Sivia sudah mencoba membujuk Gabriel agar
berdamai dengan Rio. Dan memberitahu bahwa sebenarnya ada kisah antara murid
smanra dan smanhar yang Gabriel tak tahu. Lalu bagaimana kelanjutan kisah ini?
Akankah perdamaian semakin dekat? Atau justru makin menjauh tak kunjung datang?
Bagaimana juga dengan kisah para pasangan
yang mengukir kisah cinta dalam cerita ini?
Part 25. Permintaan Maaf
Kalau ada seseorang yang membuatmu marah besar, apakah kamu
akan memaafkannya?
Kalau dia sudah mengaku salah, aku akan memaafkannya.
Walau dia sudah membuatmu marah besar?
Iya. Kalau dia tulus minta maaf padaku,
pasti aku akan memaafkannya.
Apa benar?
Ya, dan kalau ia mau berjanji tidak akan
mengulanginya lagi, aku akan memaafkan. Karena kata Bunda, tidak baik bila kita
dendam dan tidak memaafkan orang lain.
**
Rio menatap nanar gadis berwajah bulat
yang sedang melangkah keluar dari kantor guru dengan kepala tertunduk.
Dengar-dengar, nilainya merosot drastis minggu ini. Mungkin ia mendapat teguran
dari para guru. Gadis itu berjalan cepat sesegera mungkin menuju kelasnya.
Membuat kaki Rio gatal sekali rasanya ingin segera berlari menyusul gadis itu.
Mencoba menenangkannya.
Tapi... ah bodoh. Kapan dia bisa move on
kalau ia tak bisa menahan diri untuk tidak peduli lagi?
"Yo!" tegur seseorang dengan
sebuah tepukan halus di pundak membuat Rio tersadar dari lamunan dan menoleh.
Debo tersenyum tipis, kemudian duduk di samping Rio di bangku
pinggir lapangan basket. Rizky, Deva, dan juga Lintar duduk berlesehan di depan
Rio. Mereka berhenti bermain basket dan menatap Rio peduli.
"Lo masih mikirin Keke terus?" tanya Lintar
khawatir. Rio hanya menjawab dengan helaan nafas.
"Yo! Gue yakin kok. Kalau elo sama Keke bener-bener
saling sayang, dan perasaan kalian itu emang kuat, kalian pasti bisa ngatasin
semua ini. Walau itu butuh proses," kata Deva menyemangati.
Rio tersenyum miris. "Ini bukan kisah novel,"
ucapnya membuat Deva mengernyit. "Lo pikir dengan cinta semua bisa
selesai? Kekuatan cinta cuma ada dalam khayalan penulis novel ataupun lagu
romantis. Pada nyatanya? Nggak semudah itu," sambungnya pedih dan lirih.
Semua terdiam dan mendesah kecil.
"Nggak usah tarik-tarik gue!" kata seseorang yang
mendekat membuat semua menoleh. Mereka melebarkan mata. Melihat Zevana menarik
tangan Dea paksa dengan wajah serius. Sementara Dea terus berusaha melepaskan
tangannya dengan wajah merenggut.
Zevana berhenti di depan teman-temannya, kemudian menarik Dea
ke depan menghadap semua. Dea terdiam. Apalagi kala matanya bertemu tepat
sepasang mata teduh Rio. Garis wajah Dea langsung menegang. Ia menunduk gugup.
"Kenapa Ze?" tanya Rizky merasakan aura tak
menyenangkan dari dua gadis itu.
"Tanya aja sama Dea," jawab Zeva melirik tajam Dea.
Dea menggigit bibir kuat dan makin menunduk dalam.
Dea seperti ketakutan. Ia menunduk dan diam. Semua juga hening
menunggunya bicara.
"Dea, cepet ngomong," kata Lintar penasaran.
Zevana mendesah. "Dia mau minta maaf sama Rio,"
katanya tak sabar, membuat semua tersentak. Dea tanpa sadar mendekatkan diri ke
samping Zevana, meminta perlindungan.
"Minta maaf apa?" tanya Rio tak mengerti.
Zevana diam, kemudian menoleh pada Dea. "Elo udah janji
mau ngomong sendiri," ucapnya tajam, membuat Dea makin merasa bersalah.
"Untung hari ini Ify nggak turun. Kalau nggak mungkin lo udah dapat lebih
dari ini," bisik Zevana membuat Dea makin menunduk menarik diri. "Lo
jujur, atau gue yang ngomong tapi ditambah-tambah?" ancam Zevana tak sabar
melihat Dea yang gugup.
Dea memejamkan mata sejenak, kemudian melirik Rio takut-takut.
"Ma... maaf Yo..." ucapnya bergetar.
"Kenapa sih? Lo ngomong yang jelas," kata Rio gemas
dan berdiri.
Dea menarik nafas dalam, dan menghembuskan pelan. "Gue...
dalang semua ini," nada suara Dea makin bergetar, membuat Rio mendekatkan
diri untuk mendengar lebih jelas. "Gue yang cetak poto lo sama Keke lagi
berdua, dan ngirim poto itu ke rumah Keke. Gue yang buat lo sama
Keke....." Dea tak melanjutkan kalimatnya. Apalagi kepalanya yang menunduk
dapat melihat gerakkan jemari Rio yang mulai mengepal.
Diam sejenak. Semua terdiam dan tertegun menatap Dea yang
sudah ingin menangis. Dan tak lama...
"Maksud lo apasih?!" marah Rio ingin maju tapi
dengan segera Zevana berdiri di depan Dea dan melindungi. Debo dan yang lain
juga segera berdiri mendekat menahan Rio.
"Elo punya masalah apa sama gue?!" bentak Rio
mengamuk.
Dea makin menarik diri takut. Tangisnya pecah sudah.
"Maafin gue, Yo. Gue cuma kalap karena waktu itu gue marah lo lebih milih
Keke daripada gue," jelas Dea terisak dan bergetar ketakutan.
"Gila kali elo ya! Kalau elo bersikap kayak gini, gue
malah tambah nggak suka sama lo!" bentak Rio meraung marah dan ingin
melayangkan tinjuan tapi dengan segera yang lain menahan pemuda itu. Zevana
menahan kepalan tangan Rio dan mencoba menenangkan pemuda tersebut.
"Yo sadar, dia cewek," desis Zevana panik.
"Tahan diri lo, Yo," kata Debo menarik sahabatnya
itu menjauh.
Beberapa murid di sekitar lapangan basket melihat ke arah itu
sambil berkasak-kusuk. Dea menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan
menangis deras. Sementara Rio mencoba menenangkan diri yang sudah terbakar
amarah.
"Cewek memang suka di luar kendali saat patah hati, Yo.
Please, ngerti," kata Zevana mencoba membujuk.
"Ngerti apa?! Kelakuan dia itu udah abnormal! Temen lo
tuh nggak punya hati! Gimana bisa dia patah hati?!" marah Rio masih
mengamuk. "Kelakuannya udah keterlaluan tahu nggak! Dia ngerti nggak kalau
tingkahnya ini buat semua berantakan?! Kenapa gue harus ngertiin dia kalau dia
sendiri nggak mau ngertiin gue!"
Zevana agak menarik wajah menjauh karena ledakan emosi Rio. Ia
mendesah pelan, mencoba menyabarkan diri. Biar bagaimanapun, gadis yang berbuat
kesalahan fatal ini adalah sahabatnya. Sudah seharusnya ia melakukan pembelaan.
"Seenggaknya dia udah ngakuin semua, Yo. Dia ngaku
salah," Zevana diam sejenak, "dia... juga udah ngaku dan minta maaf
sama Keke. Dan Keke maafin dia. Gue harap lo juga gitu."
Rio terdiam. Mendengar penjelasan itu membuat ia langsung
tertegun.
"Maafin aja, Yo. Seengganya kita udah tahu siapa dalang
semua ini. Lagian juga, buat apa lo nggak maafin dia? Elo maafin dia atau
nggak, semua sama aja. Toh, semuanya udah terjadi," saran Debo ikut ambil
suara.
Rio menghembuskan nafas keras, dan menatap tajam Dea yang
menangis di belakang punggung Zevana.
"Oke gue maafin," ucap Rio singkat, dan kemudian
beranjak menubruk pundak Zevana pelan dan berjalan cepat.
Zevana agak tersentak, tapi kemudian mendesah. Dea hanya diam
dan terus terisak.
^^^
Sivia agak kikuk kala berjalan di belakang Alvin dan Shilla
memasuki restoran yang baru akan diresmikan itu. Namanya Angelova, restoran
milik keluarga Angel yang nantinya juga akan diberikan pada Angel. Di dalam
sudah ada beberapa kenalan dan keluarga Angel. Ada wajah Gabriel, Ray, Cakka,
Sion, Irsyad, Zahra, Dayat, serta beberapa murid smanra lain berkumpul di pojok
restoran. Terbagi menjadi tiga meja.
Menyadari kedatangan Alvin dan Shilla, mereka menoleh
serempak. Dan agak tersentak melihat gadis putih bermata agak sipit dengan
dress cantik berwarna peach berada di belakang mereka. Cakka, Ray, Sion, serta
Irsyad yang memang sudah pernah melihat gadis cantik itu terkejut. Sementara
Gabriel tanpa sadar wajahnya menjadi merekah.
"Kenalin, ini sepupu gua. Namanya Sivia," kata Alvin
menunjuk Sivia yang tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
Sion dan Irsyad saling pandang. Dan agak memandang Sivia
waspada. Sementara Cakka dan Ray yang memang sudah mengetahui sifat asli gadis
ini -karena diceritakan Gabriel tentu saja- berdiri menyambut sambil tersenyum
manis.
"Hei, elo ingat gua, kan? Cakka," ucap Cakka
mengulurkan tangan.
Sivia mengangkat alis sejenak, tapi membalas uluran itu dan
tersenyum.
"Hei, Via. Elo udah nggak galak lagi kan sama gue? Kan
sekarang kalau bahas Gabriel malah seneng," sapa Ray setengah menggoda.
Mengingatkan bagaimana reaksi gadis itu kala Ray menyebutkan nama Gabriel saat
berkunjung ke rumah Alvin.
Sivia agak melotot geram ke arahnya. Apalagi mengingat tingkah
pemuda itu kalau datang ke rumah Alvin. Sementara Gabriel yang duduk di depan
Ray langsung menendang kaki Ray dari bawah meja. Ray agak mengaduh sedikit.
Sion dan Irsyad yang melihat itu justru menganga heran. He?
Kok jadi begini?
"Oh. Ini yang namanya Sivia itu? Yang bisa luluhin si
pangeran playboy?" tanya Zahra mengerling ke arah Gabriel. Gabriel
melengos dengan wajah mulai merona.
Sivia melebarkan mata, dan menjadi agak kikuk. Selanjutnya,
Sivia dikenalkan pada yang lainnya. Angel juga datang dari yang sebelumnya
bersama keluarganya, kini juga berkenalan dengan Sivia. Ray dan Cakka yang
sebelumnya ada satu meja dengan Gabriel, dengan isengnya pergi dan berpindah
tempat. Alvin dan Shilla juga dengan terburu duduk di meja bersama Dayat dan
Zahra. Sivia agak mendelik melihat tingkah itu. Karena kini mau tak mau, ia
harus duduk di satu meja dengan Gabriel, berdua. Gabriel belaga memasang wajah
cool sambil memanggil salah satu waiter untuk memesan minuman. Sivia merasakan
pipinya merona. Tapi kemudian akhirnya duduk di kursi depan Gabriel. Yang lain
tersenyum-senyum melihat itu. Karena Gabriel, sosok yang sering arogan dan
merendahkan perempuan, akhirnya kena batunya juga. Kini ia malah terlihat
sekali salah tingkah dan kikuk di hadapan Sivia.
"Eh, ngomong-ngomong Ozy mana?" tanya Shilla yang
baru menyadari ada yang kurang.
Ray menoleh, lalu menghela nafas. "Sibuk ngukir nisan
kali," jawab Ray asal, "semangat hidupnya kan udah sekarat. Mungkin
tinggal hitung hari. Dan dia bakal benar-benar jadi zombi seutuhnya."
"Ray," tegur Alvin, sementara Ray melengos dan
memasang wajah serius. Ia yang sebenarnya berbeda meja dengan Alvin, agak
mendekatkan kursi ke meja di sisi kirinya itu.
"Vin, gue bukannya marah atau gimana. Cuma gue nggak
terima diginiin mulu. Emang gue tuh siapanya dia sih, Vin? Kenapa gue nggak
tahu apa-apa? Kenapa harus lo yang belum setahun jadi temannya? Kenapa harus
Shilla yang sering berantem sama dia? Kenapa gue yang sahabatan sama dia dari
MOS malah nggak tahu apapun?" keluh Ray bertubi-tubi dengan nada kecewa.
Shilla dan Alvin terdiam. Cakka yang mendengar itu, ikut
mendekat dan berada di samping Ray. Keduanya menatap Shilla dan Alvin dengan
tatapan menuntut penjelasan.
"Ini... masalah serius," kata Shilla akhirnya
setelah diam memikirkan bicara apa.
"Gue tahu, Shil. Gue sangat sangat tahu. Karena dia
sampai segitu banget ya berarti ini masalah sangat serius, kan?" kata Ray
membuat Shilla jadi diam lagi.
"Kita nggak bisa jelasin," kata Alvin membuat Ray
dan Cakka menoleh ke arahnya. "Ini masalah dia, jadi haknya dia mau
gimana. Elo harusnya tanya sendiri ke dia, bukan gue ataupun Shilla."
"Emang lo pikir dia mau cerita ke kita?" tanya Cakka
agak sinis.
Alvin mendesah panjang, "gue aja tahu hanya karena
kebetulan gue ada di tempat kejadian," ucap Alvin membuat Ray dan Cakka
mengernyit sedikit, makin penasaran. "Dan.... gue termasuk orang yang
bersangkutan."
Ray dan Cakka tersentak. Mata keduanya melebar menatap Alvin.
Shilla juga agak terkejut dengan ucapan itu. Restoran yang ramai dan bising,
tak membuat suara mereka sampai ke yang lainnya. Walau para murid smanra yang
datang berada di dekat situ, tapi hanya Ray, Cakka, dan Shilla saja yang dapat
mendengar kalimat Alvin.
"Ini... tentang musuh kalian," Alvin memperlambat
nada bicaranya. Membuat Ray dan Cakka agak mendekat lagi.
"Tentang..."
"Vin," tahan Shilla segera, membuat Alvin menoleh
dan menghentikan ucapan. Shilla tak berkata lagi. Hanya menatap Alvin tapi
seakan matanya bertanya, 'kamu yakin mau jujur?'
Alvin terdiam. Mengerti tatapan itu. Ia menggigit bibir,lalu
memandang ke arah Sivia yang nampak mengobrol dengan Gabriel. Ah. Andai saja
Sivia ada di dekat sini. Alvin ingin mendengar saran sepupu terdekatnya itu.
Sekarang ia harus bagaimana? Apalagi kini seakan-akan ia sudah ada di 'ujung
tombak'.
"Ck. Tentang apa sih?" tanya Cakka tak sabar karena
sedaritadi menunggu. "Nek, please. Gue mau dengar penjelasan Alvin,"
pinta Cakka menatap Shilla.
"Ini masalah serius," tegas Shilla sungguh-sungguh,
"dan restoran ini bukan tempat yang tepat untuk bahas hal ini."
"Jadi dimana?" tanya Ray memberi penawaran.
Shilla terdiam. "Suatu saat... kalian juga akan tahu
sendiri."
"Shil!" Ray agak meninggikan suara, tak terima.
"Lo kenapa sih? Kenapa harus nahan Alvin? Biarin dia jelasin semua!"
Shilla agak menunduk merasa bersalah. Ia menarik nafas sesaat,
"tapi ini juga tentang pacar gue. Dan gue nggak mau masalah dia makin
besar," tegas Shilla mendongak balas tatapan Ray.
Alvin tertegun mendengar kalimat itu. Ray dan Cakka juga jadi
ikut terdiam.
"Gue yakin seyakin-yakinnya kalian nggak akan percaya
semua. Dan juga jelasin darimana? Ini semua terlalu rumit! Jadi biarin aja
waktu yang jelasin ke kalian. Kalian juga akan tahu sendiri. Tapi itu bukan
sekarang," kata Shilla serius. Membuat ketiga pemuda itu langsung tak
membantah lagi. Karena aura Shilla yang memang sudah kuat, makin terasa kuat
dan menegangkan karena wajah cantiknya menjadi sangat serius.
"Wey."
Ray agak terloncat kecil sangking kagetnya. Kala ia merasakan
tepukan di pundak kanan. Pemuda itu menoleh ke belakang. Sion berdiri di sana.
"Ada sebatang? Gue abis," kata Sion mengadahkan
tangan.
Ray diam sejenak. Tapi kemudian mengangguk. "Gue ikut
deh," ucapnya berdiri, "daripada stress mikirin rahasia nenek-kakek
sama cucunya," sindir Ray melirik sedikit, dan bersama Sion melangkah
menuju keluar.
"Gue ikut," kata Cakka segera berdiri dan mengekor.
Alvin ikut beranjak, tapi dengan segera tangan Shilla
menahannya.
"Kamu ngerokok juga sekarang?" tanya Shilla tajam.
Alvin menggeleng santai, "mau ikut aja. Akukan punya
penyakit pernapasan," jelas Alvin tenang.
"Tapikan nggak boleh deket-deket asap rokok, Vin,"
tahan Shilla.
"Nggak papa kok. Tenang aja. Asal nggak ngerokok,"
kata Alvin ingin pergi tapi Shilla tak melepaskan genggaman.
"Perokok pasif jauh lebih beresiko daripada perokok
aktif," kata Shilla tegas.
Alvin mendesah, "nanti hidungnya gue tutupin,"
katanya masih mengelak. Ia melepaskan pegangan Shilla dan pergi.
Shilla mendesah mengalah. "Jangan kelepasan ngomong lagi,
Vin!" ingatnya sebelum Alvin jauh. Alvin hanya mengangguk dan mengikuti
Cakka menyusul Ray dan Sion.
Tak lama Shilla jadi terdiam sendiri. Tapi kemudian gadis itu
menghela nafas dan memutar tubuh, menghadap Dayat dan Zahra yang satu meja
dengannya.
"Mau pesen apa Shil?" tanya Dayat yang menunggu
Zahra sedaritadi memilih menu. Waiter baru saja datang ingin menuliskan
pesanan.
"Minum aja," jawab Shilla malas-malasan.
"Minum apa? Nih," ucap Zahra yang sudah selesai dan
menjulurkan menu ke arah Shilla. Shilla menerima dan membacanya. Sementara
Zahra menoleh ke arah waiter.
"Kwetiaw goreng sama ice-cappucino," pesan Zahra
yang sontak membuat Dayat mendelik tak suka. "Kamu apa?" tanya Zahra
menoleh pada Dayat.
Dayat mendesah sesaat, "nasi goreng sama lemon tea."
"Gue ice-crem cokelat brownies aja," kata Shilla
mendongak.
Waiter menuliskan pesanan mereka. Mengucapnya sekali lagi,
kemudian berbalik dan mulai menjauh pergi menuju dapur.
"Kamu tuh jangan terlalu banyak minum kopi. Nanti maghnya
kambuh," omel Dayat membuat Shilla yang awalnya ingin memainkan hapenya,
jadi mengangkat wajah.
"Sedikit aja kali," sahut Zahra merenggut.
"Sedikit apanya? Udah dibilang berkali-kali tapi masih
sering tuh mesen cappucino," sahut Dayat murni perhatian.
"Ya namanya suka, mau gimana," kata Zahra memanyunkan
bibir bawahnya.
"Lebih suka aku atau cappucino?" tanya Dayat
mendekatkan wajah pada kekasihnya itu.
Zahra diam sejenak, kemudian tersenyum. "Cappucino,"
jawabnya tanpa dosa. Shilla terkikik kecil melihat wajah innocent sahabatnya
itu kala menjawab.
Dayat mendelik kesal, dan lalu mencubit hidung bangir Zahra
membuat gadis itu mengaduh. Tapi Zahra balas mencubit pinggang Dayat. Keduanya
kini malah jadi tertawa bersama.
Shilla mengangkat alis melihat itu. Ia jadi terdiam sendiri.
Eung... Dayat perhatian ya?
Tapi, ya wajarlah. Dayatkan pacarnya Zahra. Wajar kalau
perhatian. Tapi... kenapa Shilla tak pernah merasakan perhatian Alvin? Itu
wajar, tidak?
Dari awal bertemu, Alvin memang bersikap cuek tak peduli. Ia
tak pernah menggubris Shilla. Ya... dimulai saat Shilla marah besar dan
menamparnya itu, Alvin meminta maaf dan mulai mendekatkan diri pada Shilla.
Tapi ya tetap saja. Shilla tak pernah merasa pemuda itu memedulikannya secara
intens. Adanya Shilla yang selalu memerhatikan Alvin. Bahkan itu hal kecil seperti
noda pulpen di seragam Alvin.
Shilla melirik Zahra dan Dayat kembali. Kini Dayat merangkul
Zahra dan keduanya bersandar di dinding sofa. Mereka mengobrol ria sambil
tertawa tertawa kecil. Shilla menggigit bibir dan mengalihkan wajah. Hhh,
menggenggam tangan saja jarang, apalagi merangkul mesra seperti itu? Alvin
benar kekasih Shilla bukan sih?
"Hei Shilla."
Shilla terkejut dan menoleh. Dayat dan Zahra juga menoleh
sekilas, tapi malah kembali sibuk berdua. Sivia tersenyum lebar, kemudian duduk
di kursi yang tadi Alvin duduki, di samping Shilla.
"Loh? Gabriel?" Shilla menoleh ke arah meja Sivia
dan Gabriel. Kini hanya ada dua gelas tinggi yang sudah hampir habis tersisa di
sana.
"Dia keluar. Tadi nyariin Alvin sama yang lain,"
jawab Sivia membuat Shilla membulatkan bibir. "Em... Shil... em..."
Sivia menggigiti bibir bawahnya, "nanti... aku pulang sama Gabriel aja ya.
Kamu berdua sama Alvin," kata Sivia agak malu-malu.
Tawa Shilla langsung meledak, "ya ampun Via. Gue pikir lo
mau ngomong apa," ucapnya geli, "iya iya. Tenang aja," kata
Shilla mengedipkan mata.
"Ya... eee... kan maksudnya biar aku nggak ganggu kalian
gitu," kata Sivia agak salah tingkah.
"Loh, bukannya terbalik nih?" goda Shilla membuat
pipi Sivia memerah. "Biar bisa berduaan," ucap Shilla dengan nada
menggoda.
"Shilla ih," ucap Sivia mendorong pelan Shilla.
Shilla tertawa. Tapi matanya lalu jatuh pada tangan kiri Sivia
yang mendorongnya pelan barusan. Sivia mengenakan dress lengan panjang, jadi
Shilla tadi tak terlalu memerhatikan. Tapi kali ini ia dapat melihat ada gelang
silver-emas melingkar di pergelangan tangan gadis itu. Hm... gelang spesial
ya....
Shilla diam-diam mencoba menelan kepahitan itu sekali lagi.
Namun rasa iri pada Zahra dan Sivia tak bisa dibendung lagi. Gadis itu meragu
pada perasaan Alvin.
xxxxx
Sebelumnya aku minta maaf karena ini
dipotong jadi dua part. Juga karena lagi-lagi PHP. Jujur, aku udah siap banget
tanggal 1 itu mau ngepost, tapi ternyata ada kendala lagi. Dari awal part 24,
aku emang mau ngepost next part tanggal 1. Emang sengaja ngaret :p Karena...
bentar lagi PMB mau tamat coy. Aku pengen masih lama-lama sama readersnya PMB,
hehehe. Karena menurut pengalaman, bccb's readers udah pada ilang karena bccb
tamat. Aku belum mau readersnya PMB kayak gitu u,u
Sorry ini jadi dua part karena part
aslinya panjaaaannggg banget. Dan menurutku dipotongnya enaknya di bagian yang
ini nih. Part depan ttg AlShil sepenuhnya. Jadi bagi para penggemar mereka,
bersiap ye. Kalau yg ga suka, ya harus tetep baca -,- *inimaksa
Udah tahu dari @_ALders kan? Aku bakal
ngasih sesuatu di anniv kedua nanti. Tanggal 13 April. Dan itu tentang PMB.
Stay tune ya :')
muchlove! xoxo
@aleastri
Yeay akhirnya dha d lnjut,
BalasHapusThanks y dha d lnjut :D,
D tnggu part slnjutnya - last part,
Oh y aq mau tnya donk bccb kpanjangannya ap? Hehe
Oh y 1 gy boleh follback ga d twitter, namaq @jannahvalina, mkasih :)
bukan cerita (cinta) biasa :) udah aku folbek ya :D
BalasHapus