Kamis, 11 April 2013

Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 25b


Di perjalanan pulang, di dalam Honda Jazz putih itu hanya hening saja yang terdengar. Alvin agak mengernyit dan melirik. Karena biasanya, Shilla selalu berceloteh ria tentang segala macam. Tapi kali ini sangat berbeda. Gadis itu hanya diam menerawang jalan di sisi kiri jendela mobil. Kenapa gadis itu?
Shilla mendesah pelan. Mencoba menyabarkan diri. Walau sepertinya ia tak mampu. Gelang 'spesial' di tangan Sivia terbayang-bayang terus olehnya. Perlakuan manis Dayat pada Zahra. Ataupun juga, Ozy yang benar-benar menunjukkan bahwa ia sangat mencintai Acha. Kenapa sih, Alvin tak seperti itu?
Shilla juga baru menyadari. Alvin jarang mengungkapkan perasaannya. Malah, hanya satu kali. Ya saat mereka jadian dulu. Kejadian itu terulang kembali dalam ingatan Shilla. Membuat gadis itu justru tertegun sendiri. Kalau diingat-ingat... ia yang pertama kali mengungkapkan perasaan. Bukan Alvin....
Shilla merasakan dadanya agak tertohok. Pikiran negatif dalam otaknya langsung berwujud berbagai pertanyaan yang menyakitkan. Apa saat itu Alvin hanya merasa tak enak, karena itu mengaku membalas perasaannya? Atau karena agar Shilla berhenti menangis saat itu? Alvin menyatakan perasaan hanya karena ingin menenangkan Shilla? Apa ia tak sungguh-sungguh? Pemuda itu setega itukah?
"Kenapa sih?"
Shilla agak terkejut dan refleks menoleh. Alvin memandangnya, dan tersentak melihat mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Shilla mendesah pelan, tapi kemudian menggeleng dan kembali memandang ke luar jendela. Tak ingin menjawab.
Alvin mengernyit, dan kembali memandang jalanan di depan. Walau ia masih seringkali melirik ke arah Shilla. Pemuda itu heran setengah mati. Gadis ini kenapa? Apa ada masalah? Apa ada yang salah?
Tangan Alvin menggapai radio yang berada di dalam mobil agar memecahkan keheningan yang ada. Setelah mencari jaringan jernih, Alvin kembali fokus menyetir. Shilla tetap diam saja. Membuat Alvin makin merasa tak enak. Tapi mendadak, otaknya memutar kembali kejadian dua jam lalu. Saat ia dan yang lain keluar dari kafe Angel, dan Gabriel yang menyusul kemudian duduk di sampingnya.

"Elo apain adek gue?" tanya Gabriel begitu saja membuat Alvin terkejut dan menoleh.
"Ha?" tanya Alvin tak mengerti,
"Guekan udah bilang. Kejadian waktu dia nampar lo dulu itu cukup sekali aja. Kenapa lo nyakitin dia lagi sih?" tuduh Gabriel tersirat sekali nada marah dan tak terima.
Alvin mengernyit, walau mulai mengerti. "Gue nggak ngapa-ngapain dia," sahutnya polos.
"Ya itu menurut lo," kata Gabriel agak ketus. "Dia curhat ke gue, kalau selama ini lo tuh cuek banget. Apalagi itu tuh. Sejak dari bazar."
Alvin mengernyit lagi, dan mendekat ke arah Gabriel.
"Lo tahu? Gue beliin Sivia gelang spesial," aku Gabriel jujur.
Alvin mendelik, "lo percaya? Konyol amat sih."
Gabriel mendengus, "guekan cuma pengen ngasih tahu Sivia kalau gue tuh mau ngejaga dia kayak gelang yang KATA penjualnya bisa ngelindungin itu," balas Gabriel agak sewot. "Lo tahu nggak sih, Vin? Shilla tuh juga ngarep lo ngelakuin hal sama. Dia envy sama Sivia."
Alvin terdiam. Ia menghela nafas, kemudian mengalihkan wajah menerawang ke langit ibukota malam itu. "Kenapa sih cewek itu selalu nuntut cowok untuk bersikap romantis?" tanyanya dengan nada mengambang, seakan bertanya pada angin.
Gabriel terdiam sejenak, tapi kemudian ikut memandang ke arah langit. "Vin, namanya cewek, kalau punya pacar pasti mau dianggap istimewa. Mereka tuh mau perhatian lebih, perlakuan khusus, dan sikap yang spesial," kata Gabriel mulai memberi wejangan. "Shilla selama ini dikejar banyak cowok yang ngasih dia berbagai hal sampai buat dia luluh. Tapi pas sama lo? Lo malah nggak meduliin dia."
"Nggak peduli beda sama nggak perhatian," sahut Alvin singkat.
"Ya ya, gue tahu. Tapi lo cueknya jangan kebangetan lah. Lo nanya dia udah makan aja mungkin nggak pernah," sahut Gabriel agak ketus. Alvin hanya mendesah.
"Dia nggak pernah ngeluh bukan berarti dia kuat, Vin. Selama ini juga gue liat, lo jarang banget tuh nunjukin kalau elo itu sebenarnya taken sama dia. Kalian kayak temenan biasa, lebih-lebih, kadang malah kayak musuhan," kata Gabriel setengah mengomel.
Alvin diam sejenak, "Gue sayang banget sama dia, Yel. Cuma aja gue nggak tahu cara nunjukkinnya. Guekan bukan tipe cowok teenlit yang gampang banget nyatain perasaan dengan romantis. Lo tahu sendiri, kan? Gue... nggak pernah pacaran. Jadi gue nggak tahu memperlakukan cewek dengan baik itu gimana. Nggak kayak lo yang pengalaman."
Gabriel tersenyum kecil mendengar itu. Apalagi mendengar nada agak malu Alvin.
"Gue pikir, perasaan tuh nggak harus diungkapin pake' kata-kata romantis. Hanya diam berdua aja bisa saling ngerasain. Tapi ternyata nggak ya?" kata Alvin sambil mendesah.
Gabriel tersenyum, lalu menepuk pundak Alvin. "Memang bener, Vin. Cuma, perasaan itukan juga butuh perbuataan untuk dingertiin. Lo pikir Shilla paranormal yang bisa tahu perasaan lo tanpa harus nanya?"
Alvin terdiam. Ia hanya menghela nafas panjang. Walau perlahan mulai merasa tak enak pada kekasihnya itu.

Ya, Alvin mengerti sekarang. Mungkin sikap Shilla kali ini karena kesabaran gadis itu sudah habis tak bersisa. Ternyata gadis ini cukup aneh ya. Padahal biasanya bisa marah-marah mengamuk seperti nek lampir, tapi kalau masalah hati, ia hanya diam menutup diri tanpa suara apapun. Membuat Alvin justru makin merasa bersalah.
Alvin merogoh hape dari saku celananya. Ia menekan beberapa tombol sambil sesekali melirik ke arah depan jalan. Dan tak lama, pemuda itu menempelkan hape ke samping telina. Terdengar bunyi nada sambung beberapa saat.
"Halo?"
Shilla mengernyit, dan menoleh. Alisnya makin merapat melihat pemuda itu menelpon. Ck. Dasar cowok tak peka. Tak tahukah ia bahwa Shilla sedaritadi menunggu reaksi pemuda itu? Kenapa sih ia tak bertanya peduli? Apa jawaban gelengan tadi sudah membuatnya puas? Ah. Dasar. Kenapa sih laki-laki itu harus diberi kode dulu baru betindak? Itupun kalau peka. Ya kalau tidak? Makan hati saja para perempuan.
"Iya. Gue yang waktu itu. Udah disave nomornya, kan?" tanya Alvin sambil terus menyetir. "Barangnya bisa diambil sekarang nggak?.... Ah, sorry. Tapi gue butuh sekarang nih. Elo kan janji besok. Malam ini udah selesai belum?"
Shilla mengernyit. Agak penasaran. Apa sih yang dibicarakan pemuda ini? Ah tapi... bodo amatlah. Perasaannya sendiri saja pemuda ini tak peduli, untuk apa dia memedulikan urusan pemuda itu?
"Eung... ya, gue di daerah Kemang...... Oh, oke. Gue kesana sekarang," kata Alvin berbicara pada si penelpon. Ia lalu memutuskan sambungan dan menaruh hape di depan stirnya.
"Aku mau langsung pulang. Nggak usah mampir," ketus Shilla begitu saja, membuat Alvin menoleh sekilas tapi segera menatap jalanan depan lagi.
"Tapi aku mau ketemu orang bentar. Searah kok. Jadi sekalian aja," jawab Alvin santai sambil menyetir tenang. Walau dalam hati ia benar-benar tak sabar. Namun jalanan padat ibukota harus memaksanya untuk sabar.
Shilla mendecak, tapi hanya menghembuskan nafas keras.
Alvin melirik sedikit, kemudian mencoba menyabarkan diri. Suara radio masih mengalun mengiringi mereka. Sampai lagu dalam radio itu selesai. Lalu suara dari penyiar radio mulai terdengar bercuap-cuap. Ia membacakan deretan request yang baru saja datang. Kemudian juga menyebutkan nomor telpon bila ada yang mau memesan lagu juga. Dan tak lama, ada lagu baru yang diputar. Intro lagu tersebut Alvin kenal. Ia mengangkat alis, agak tersentak karena merasa pas sekali waktunya. Tangannya lalu terjulur, membesarkan volume raio.
Shilla melirik gerakkan pemuda itu, tapi diam saja. Telinganya agak menajam mendengarkan suara radio. Dan suara si vokalis mulai terdengar bernyanyi.

"Kau… diam… tanpa… kata…
kau seolah… jenuh… padaku…"

Shilla melebarkan mata. Sementara Alvin berdehem dengan sengaja, membuat Shilla memutar mata ke arahnya, tapi tak berkata.

"Ku… ingin… kau bicara…
katakan saja apa… salahku…"

"Nancep banget ya liriknya," gumam Alvin menyindir. Yang dapat didengar Shilla.
Shilla mengalihkan wajah ke arah jendela mobil. Tiba-tiba ia merasa salah tingkah sendiri.

"Sungguh aku, tak mengerti
apa yang telah terjadi
dan ku tak ingin, engaku
pergi jauh, dari hidupku…"

Alvin melirik ke arah gadis itu. Namun Shilla masih diam tak mau membuka mulut. Alvin menghela nafas.

"Kau takkan pernah sadari
betapa ku mencintaimu,
kau yang selalu, aku banggakan..."

Alvin mulai menepikan mobilnya dan masuk ke dalam parkiran sebuah restoran di pinggir jalan. Shilla agak mengernyit. Pemuda itu lalu berhenti dan mematikan mesin. Ia melepaskan safetybelt-nya dan menoleh pada Shilla.
"Ikut masuk nggak?" tanya Alvin menawarkan. Shilla diam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Ya udah. Bentar ya," pamit Alvin mengambil hapenya kemudian keluar dari dalam mobil dan segera berlari ke arah restoran itu.
Shilla mendesah, lalu menatap radio.

"Kau takkan pernah sadari
betapa ku mencintaimu,
kau yang selalu, aku banggakan...
Kau takkan pernah mengerti
betapa ku menyayangimu
kau yang selalu, aku inginkan…"

Shilla menggigiti bibir bawah. Ia kemudian membuang pandangan ke arah restoran. Di depannya, Alvin bertemu dengan seorang gadis yang sepertinya sebaya dengan Shilla. Shilla mengernyit, seperti pernah bertemu perempuan itu. Alvin dan gadis itu berbicara sejenak. Lalu gadis itu menyodorkan sebuah kotak ke arah Alvin. Alvin menerimanya. Kemudian gadis itu mengangguk pamit dan masuk kembali ke dalam restoran. Tapi bukannya kembali, Alvin justru terdiam sendiri di depan pintu restoran itu. Shilla jadi menyondongkan tubuh ingin melihat jelas ekspresi kekasihnya tersebut. Alvin nampak ragu dan menimang. Ia memandangi layar hape. Tapi kemudian seperti mengetikkan sesuatu beberapa lama. Shilla sampai mendecak bosan.
Dan tak lama, Alvin berbalik. Membuat Shilla agak terkejut dan menyandarkan punggung pada kursi mobil. Belaga tak peduli sambil kembali mendengar lagu di radio. Alvin datang, lalu masuk ke dalam mobil. Ditaruhnya kotak tadi ke dasbor mobil.
"Siapa?" tanya Shilla tak bisa menahan diri.
Alvin menoleh, lalu tersenyum tenang sambil menyalakan mesin. "Lupa? Baru beberapa hari lalu ketemu."
Shilla mendelik, "nggak kenal tuh," jawabnya singkat.
"Emang nggak kenal," kata Alvin kemudian mulai menggerakkan mobil keluar dari parkiran. "Clue-nya tali yang ada di tangan kamu itu."
Shilla mengernyit, dan refleks mengangkat tangan. Melihat gelang tali berwarna merah melingkar di sana. Ia diam sejenak. Tapi lalu wajahnya merekah dan tersentak. Mengingat sosok seorang siswi yang menjualkan gelang itu untuknya. Gadis yang tadi di depan restoran....
"Kamu beli apa?" tanya Shilla langsung menyerbu.
Alvin tersenyum santai sambil menginjak gas perlahan, menyamai kepadatan kendaraan di jalan besar itu. "Yang jelas bukan gelang jimat itu."
Shilla mendelik.
"Gelang spesial," sambung Alvin membuat Shilla agak tersentak. "Aku nggak percaya yang kayak gitu."
Shilla terdiam. Ia mengalihkan wajah, namun tak menyahut.
"Kalau mau ngelindungin seseorang itu ya harus dengan kekuatan sendiri, bukan pake' jimat," kata Alvin sambil terus menyetir, tanpa sedikitpun menoleh pada Shilla.
Shilla meneguk ludah, dan agak menunduk merasa malu pada diri sendiri. Kenapa sih ia begitu konyol mengharapkan gelang itu? Argh.
Dan kemudian hanya radio yang terdengar dalam Honda Jazz putih tersebut. Hening antar keduanya membuat suara radio makin jelas. Lagu selesai. Si penyiar mulai kembali becuap.
"Oke buat pendengar semua, selamat bergabung buat yang baru aja gabung dan selamat malam ya. Sekarang kita kembali bacain request lagu."
Alvin tanpa sadar agak menegakkan tubuh dan mendadak menjadi tegang. Diam-diam ia menunggu. Penyiar mulai membacakan sms-sms yang masuk satu persatu. Shilla hanya diam mendengar tanpa minat. Berbeda dengan Alvin yang mulai menyiapkan diri.
"Oke next. Sms selanjutnya dari... 08575223 blablabla."
Shilla dan Alvin tersentak. Alvin makin merasakan jantungnya bergetar makin tak karuan. Sementara Shilla mengerutkan kening. Kok... nomornya dia kenal ya?
"Gue mau req lagunya Tangga yang Terbaik untukmu. Buat cewek gue aja yang daritadi diem mulu dan kayaknya udah marah maksimal sama gue. Sorry kalau selama ini gue cuek dan nggak bisa jadi cowok yang dia harepin."
Shilla melebarkan mata, dan tertegun. Sementara Alvin berusaha sekuat tenaga tetap stay cool menyetir walau sebenarnya ia tak seperti itu sekarang.
"Ini singkat banget ya. Bagus nih sms kayak gini, jadi nggak capek bacanya. Hahaha," kata penyiar radio ceria, yang sangat tak tahu bagaimana ketegangan yang mendadak ada dalam Honda Jazz putih Alvin. "Itu tadi dari Alvin, untuk Shilla pacarnya."
Shilla sontak menganga lebar dan membelalak kaget. Alvin merutuk kecil. Tapi entah mengapa ia malah menjadi lega karena akhirnya nama itu disebutkan.
Shilla masih membeku, dan kemudian menoleh ke arah Alvin. Alvin meliriknya sedikit, tapi belaga fokus menyetir karena jalanan sedang padat. Seakan tak ada apapun yang terjadi.
"Buat Shilla, gue nasihatin deh. Kalau elo selalu ngarep pasangan lo jadi apa yang lo mau, selamanya lo nggak akan ngerasain perasaan yang dia kasih ke elo. Karena terkadang ya, cowok cuek justru lebih peduli daripada cowok biasa."
Shilla menggigit bibir kuat. Perlahan ia dapat merasakan wajahnya seperti terbakar. Panas.
"Dan untuk Alvin, gue yakin deh. Kalau elo beneran tulus sayang, pasti dia juga bakal tahu perasaan lo sebenarnya. Ganbatte boy! Pokoknya longlast ya buat kalian. Jangan berantem lagi. Semoga lagu ini bisa buat kalian baikan deh. Spesial, gue kasih jadi urutan pertama."
Alvin tanpa sadar tersenyum mendengar itu. Sementara Shilla menunduk, menyembunyikan wajah memerahnya.
"Dengerin tuh," kata Alvin menyindir.
"Ck, bawel lo," sahut Shilla ketus dan malu. Alvin justru tersenyum senang.
Dan tak lama, intro lagu Terbaik Untukmu dari Tangga mulai terdengar. Shilla mendengarkannya dengan perasaan yang melambung tinggi. Ternyata... romantis itu sederhana ya? Tak perlu sikap dan kata-kata mesra. Hanya perlakuan manis seperti ini saja sudah cukup romantis. Pemuda ini jarang menunjukkan ekspresi cintanya. Namun sekali melakukan, ia menunjukkannya pada khalayak umum. Oke, mungkin tak langsung karena lewat radio. Tapi... bukankah itu manis sekali? Satu tindakan kecil dari seorang lelaki, memang bisa membuat seorang perempuan tersanjung tinggi. Seperti kedua insan itu.

"Maafkanlah bilaku selalu,
membuatmu marah dan benci padaku,
kulakukan itu semua…
hanya untuk buatmu bahagia…

Mungkin ku cuma tak bisa pahami
bagaimana cara tunjukkan maksudku,
aku cuma ingin jadi…
terbaik untukmu…

Alvin menginjak rem. Dan memarkirkan mobil tepat di depan gerbang rumah Shilla. Ia mengecilkan radio, kemudian keluar dari mobil. Shilla sontak tersenyum senang karena sedaritadi menahan. Tapi ia tersentak kala pintu di sampingnya terbuka. Shilla melebarkan mata, melihat Alvin tersenyum dan mengulurkan tangan. Gadis itu tertegun sejenak, tapi dengan pipi memanas meraih jemari Alvin. Alvin menariknya lembut keluar dari mobil. Tangannya yang satu lagi menggenggam sebuah kotak yang beberapa saat lalu diterimanya tadi. Ia menuntun Shilla sampai ke depan gerbang rumah gadis itu. Shilla kemudian berhenti, dan berbalik menatap Alvin.
Alvin melepaskan genggamannya, dan merasa agak kikuk.
"Eung... tadi... makasih lagunya," kata Shilla tersipu dan tersenyum kecil.
Alvin mengangguk saja.
"Em... dan..." Shilla menunduk kikuk, "maaf..."
Alvin tersenyum, "aku ngerti kok. Memang selama ini nggak bisa jadi yang terbaik buat-"
"Vin," sela Shilla segera sambil mendongak. Pipinya kembali besemu malu, "aku... yang salah. Nggak harusnya nuntut kamu segala macam," akunya menyesal dan merasa bersalah. "Harusnya... kita jangan selalu hanya menuntut seseorang bersikap baik untuk kita. Tapi juga cermin diri apa kita sudah jadi baik untuk orang lain atau nggak. Dan... selama ini aku cuma bisa nuntut kamu aja."
Alvin tersenyum lagi, "siapa bilang? Selama ini kamu nggak pernah nuntut tuh. Tapi cuma diam aja. Kalau aku ada salah, harusnya kamu ngomong. Akukan bukan peramal yang bisa tahu apa perasaan kamu tanpa harus nanya," ucap Alvin mengutip kalimat dari Gabriel. Ia kemudian mengacungkan kotak cokelat yang tadi diterimanya di restoran, dan lalu menyodorkan pada Shilla. "Waktu bazar, aku pesan ini."
Shilla mengernyit, tapi lalu menerimanya. Dibukanya kotak itu dengan hati berdebar. Mata gadis itu melebar perlahan, dan tertegun. Ada sebuah pin lukis cantik yang agak besar di sana. Terlukis, sepasang nenek dan kakek duduk di sebuah kursi goyang sambil berangkulan mesra. Si nenek tersenyum, menyipitkan mata sambil bersandar di bahu si kakek. Sementara si kakek merangul nenek sambil tersenyum di balik kacamata beningnya.
"Kita nenek dan kakeknya smanra, kan?" canda Alvin membuat Shilla mendongak. Alvin tersenyum, "semoga bukan cuma di smanra kita jadi pasangan nenek-kakek. Tapi juga di masa depan nanti."
Shilla tertegun lagi. Hatinya tersanjung tinggi membuat pipinya makin merona.
"Ini," Alvin menunjuk pin lukis itu. "Adalah gambaran masa depan aku sama kamu. Kita akan ngabisin masa tua sama-sama. Jadi nenek dan kakek untuk cucu-cucu kita kelak."
Shilla tersenyum tersipu dengan hati meleleh. Dipandanginya pin itu beberapa saat, kemudian mendongak. "Ternyata si preman cuek ini bisa ngomong romantis juga ya?" tanyanya terkekeh. Walau terselip nada bahagia di pertanyaan iseng itu.
Alvin tertawa renyah, "seorang jenius aja bisa jadi bodoh di depan orang yang dia sukai. Lalu kenapa aku nggak?"
Shilla tersenyum kecil mendengar itu. Ditatapnya Alvin dengan malu-malu. Alvin diam sejenak. Tapi kemudian memajukan wajahnya ke hadapan gadis cantik itu.
"Hayo mau ngapain?!"
Shilla dan Alvin terlonjak setengah mati. Shilla yang baru saja ingin memejamkan mata sontak melotot dan menoleh. Alvin juga segera menegakkan tubuh dan melebarkan mata melihat sosok Shanin sudah ada di belakang Shilla, membuka gerbang rumah sedikit sambil tersenyum menggoda.
"Yah, momennya nggak pas. Kenapa juga waktu aku keluar, hhhh," kata Shanin tanpa dosa dengan wajah polos. "Tapi aku sama mama lagi mau keluar, jadi mbak sama koko misi dulu ya," ucap Shanin membuka gerbang lebih lebar, memperlihatkan avanza putih yang baru saja dinyalakan oleh sang mama yang sudah ada di dalam mobil. Kekey ada di sampingnya. Ia tersenyum lebar dan melambai pada Alvin dari dalam mobil. Alvin balas tersenyum.
"Oh, ya udah. Aku balik aja deh. Mobilnya kehalang," kata Alvin menunjuk Jazz putihnya yang terparkir tepat di depan gerbang rumah Shilla. Alvin menoleh pada Mama Shilla, lalu mengangguk kecil sekali. "Pulang dulu ya tante," pamitnya sopan.
Mama Shilla tersenyum dan mengangguk. Alvin melambai pada Kekey yang masih melambai-lambai senang ke arahnya.
"Pulang ya Shan," pamit Alvin menepuk kepala Shanin pelan. Shanin tertawa dan mengangguk. Alvin menoleh pada Shilla. Ia diam sejenak sambil melirik ke arah Avanza putih itu. Tapi kemudian pemuda itu mendesah dan menarik kepala Shilla mendekat dan mengecup keningnya singkat. "Pulang ya," pamitnya mengusap puncak kepala Shilla sesaat, lalu berbalik menuju Honda Jazz putihnya yang menunggu.
Shilla membeku. Terdiam tak menjawab. Gerakkan kecil Alvin itu sontak membuatnya seperti ada dalam lemari es. Membeku. Tapi juga seperti terbakar matahari panas. Meleleh. Oke, ini aneh. Bagaimana bisa ia merasakan membeku dan meleleh di saat yang hampir bersamaan?
"Ecie," goda Shanin mencolek lengan kakak tunggalnya itu. Sementara sang mama tersenyum kecil dari dalam mobil.
Alvin melambai sesaat dari dalam Jazz putihnya, dan lalu mulai menginjak gas pergi. Meninggalkan Shilla yang masih diam di tempat. Yang masih merasakan sensasi membeku-meleleh yang disebabkan oleh Alvin tadi.

xxxxx

*guling-gulingditanah* KYAAAA SAYA MAU JADI SHILLA KYAAAAAAA
Ini sebenarnya ada yang aku cut loh. Hahaha. Panjang banget sih ._.
Tanggal 13 insyaAllah aku on. Dan ngasih sesuatu di anniv kedua Alders. Ayo on bareng nyok. Adminnya juga loh, nanti aku kasih tau deh di dm bakal ada apa. Khususnya ya buat para readers PMB.
Part depan? Sebenarnya part tentang O.... ah, sebut nggak ya~ haha. Tapi aku 'tukar' sama part dari couple selingan di PMB. Why? Karena aku mau nuntaskan dulu konflik couple selingan itu, baru deh fokus ke cerita intinya. Kan bentar lagi mau end :p
Oh ya. Aku juga mau ucapain thank you so much buat yang masukin PMB jadi top cerbung IC. Yaelah. BCCB aja belum sepuluh besar lah udah ada PMB --" Tapi kalian harus vote ya. Itu cuma bisa vote sekali untuk sekali online, jadi harus vote PMB jgn yang lain :p biar PMBnya naik tingkat wkwkwk. Oh ya lagi. Kalian mention aku ya gimana komentar kalian tentan keseluruhan cerita PMB. Lagi butuh nih hehehe

bbye!
@aleastri ^^

7 komentar:

  1. keren banget ka cerbungnya >,< temen-temen aku banyak loooh yang suka baca cerbung kaka,,, gak sabar nih nunggu kelanjutannyaaa:) pati makin seru ^,^ sukses deh kabuat cerbungnya :D

    BalasHapus
  2. kak lanjutin dong cerbung PMBnya :D ceritanya itu loh nyentuh banget kak, pesan moralnya nyampek bangetttt xD sukses ya kak :D

    BalasHapus
  3. Lanjutin dong kak PMB nya.. Penasaran banget nih gimana endingnya ^^

    BalasHapus
  4. Baca couple alshill-nya sambil degdegan. Jadi senyum2 sendiri:D. Kyaaa koko alvin romantis banget.
    Ini cerbung yg keren! Haha mungkin terlambat banget baru baca sekarang:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. yeay terima kasih <3
      jangan lupa beli versi novelnya ya

      Hapus