Di perjalanan pulang, di dalam Honda Jazz putih itu hanya
hening saja yang terdengar. Alvin agak mengernyit dan melirik. Karena biasanya,
Shilla selalu berceloteh ria tentang segala macam. Tapi kali ini sangat
berbeda. Gadis itu hanya diam menerawang jalan di sisi kiri jendela mobil.
Kenapa gadis itu?
Shilla mendesah pelan. Mencoba menyabarkan diri. Walau
sepertinya ia tak mampu. Gelang 'spesial' di tangan Sivia terbayang-bayang
terus olehnya. Perlakuan manis Dayat pada Zahra. Ataupun juga, Ozy yang benar-benar
menunjukkan bahwa ia sangat mencintai Acha. Kenapa sih, Alvin tak seperti itu?
Shilla juga baru menyadari. Alvin jarang mengungkapkan
perasaannya. Malah, hanya satu kali. Ya saat mereka jadian dulu. Kejadian itu
terulang kembali dalam ingatan Shilla. Membuat gadis itu justru tertegun
sendiri. Kalau diingat-ingat... ia yang pertama kali mengungkapkan perasaan.
Bukan Alvin....
Shilla merasakan dadanya agak tertohok. Pikiran negatif dalam
otaknya langsung berwujud berbagai pertanyaan yang menyakitkan. Apa saat itu
Alvin hanya merasa tak enak, karena itu mengaku membalas perasaannya? Atau
karena agar Shilla berhenti menangis saat itu? Alvin menyatakan perasaan hanya
karena ingin menenangkan Shilla? Apa ia tak sungguh-sungguh? Pemuda itu setega
itukah?
"Kenapa sih?"
Shilla agak terkejut dan refleks menoleh. Alvin memandangnya,
dan tersentak melihat mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Shilla mendesah pelan,
tapi kemudian menggeleng dan kembali memandang ke luar jendela. Tak ingin
menjawab.
Alvin mengernyit, dan kembali memandang jalanan di depan.
Walau ia masih seringkali melirik ke arah Shilla. Pemuda itu heran setengah
mati. Gadis ini kenapa? Apa ada masalah? Apa ada yang salah?
Tangan Alvin menggapai radio yang berada di dalam mobil agar
memecahkan keheningan yang ada. Setelah mencari jaringan jernih, Alvin kembali
fokus menyetir. Shilla tetap diam saja. Membuat Alvin makin merasa tak enak.
Tapi mendadak, otaknya memutar kembali kejadian dua jam lalu. Saat ia dan yang
lain keluar dari kafe Angel, dan Gabriel yang menyusul kemudian duduk di
sampingnya.
"Elo apain adek
gue?" tanya Gabriel begitu saja membuat Alvin terkejut dan menoleh.
"Ha?" tanya
Alvin tak mengerti,
"Guekan udah bilang.
Kejadian waktu dia nampar lo dulu itu cukup sekali aja. Kenapa lo nyakitin dia
lagi sih?" tuduh Gabriel tersirat sekali nada marah dan tak terima.
Alvin mengernyit, walau
mulai mengerti. "Gue nggak ngapa-ngapain dia," sahutnya polos.
"Ya itu menurut
lo," kata Gabriel agak ketus. "Dia curhat ke gue, kalau selama ini lo
tuh cuek banget. Apalagi itu tuh. Sejak dari bazar."
Alvin mengernyit lagi,
dan mendekat ke arah Gabriel.
"Lo tahu? Gue beliin
Sivia gelang spesial," aku Gabriel jujur.
Alvin mendelik, "lo
percaya? Konyol amat sih."
Gabriel mendengus,
"guekan cuma pengen ngasih tahu Sivia kalau gue tuh mau ngejaga dia kayak
gelang yang KATA penjualnya bisa ngelindungin itu," balas Gabriel agak
sewot. "Lo tahu nggak sih, Vin? Shilla tuh juga ngarep lo ngelakuin hal
sama. Dia envy sama Sivia."
Alvin terdiam. Ia
menghela nafas, kemudian mengalihkan wajah menerawang ke langit ibukota malam
itu. "Kenapa sih cewek itu selalu nuntut cowok untuk bersikap
romantis?" tanyanya dengan nada mengambang, seakan bertanya pada angin.
Gabriel terdiam sejenak,
tapi kemudian ikut memandang ke arah langit. "Vin, namanya cewek, kalau
punya pacar pasti mau dianggap istimewa. Mereka tuh mau perhatian lebih,
perlakuan khusus, dan sikap yang spesial," kata Gabriel mulai memberi
wejangan. "Shilla selama ini dikejar banyak cowok yang ngasih dia berbagai
hal sampai buat dia luluh. Tapi pas sama lo? Lo malah nggak meduliin dia."
"Nggak peduli beda
sama nggak perhatian," sahut Alvin singkat.
"Ya ya, gue tahu.
Tapi lo cueknya jangan kebangetan lah. Lo nanya dia udah makan aja mungkin
nggak pernah," sahut Gabriel agak ketus. Alvin hanya mendesah.
"Dia nggak pernah
ngeluh bukan berarti dia kuat, Vin. Selama ini juga gue liat, lo jarang banget
tuh nunjukin kalau elo itu sebenarnya taken sama dia. Kalian kayak temenan
biasa, lebih-lebih, kadang malah kayak musuhan," kata Gabriel setengah
mengomel.
Alvin diam sejenak,
"Gue sayang banget sama dia, Yel. Cuma aja gue nggak tahu cara
nunjukkinnya. Guekan bukan tipe cowok teenlit yang gampang banget nyatain
perasaan dengan romantis. Lo tahu sendiri, kan? Gue... nggak pernah pacaran.
Jadi gue nggak tahu memperlakukan cewek dengan baik itu gimana. Nggak kayak lo
yang pengalaman."
Gabriel tersenyum kecil
mendengar itu. Apalagi mendengar nada agak malu Alvin.
"Gue pikir, perasaan
tuh nggak harus diungkapin pake' kata-kata romantis. Hanya diam berdua aja bisa
saling ngerasain. Tapi ternyata nggak ya?" kata Alvin sambil mendesah.
Gabriel tersenyum, lalu
menepuk pundak Alvin. "Memang bener, Vin. Cuma, perasaan itukan juga butuh
perbuataan untuk dingertiin. Lo pikir Shilla paranormal yang bisa tahu perasaan
lo tanpa harus nanya?"
Alvin terdiam. Ia hanya
menghela nafas panjang. Walau perlahan mulai merasa tak enak pada kekasihnya
itu.
Ya, Alvin mengerti sekarang. Mungkin sikap Shilla kali ini
karena kesabaran gadis itu sudah habis tak bersisa. Ternyata gadis ini cukup
aneh ya. Padahal biasanya bisa marah-marah mengamuk seperti nek lampir, tapi
kalau masalah hati, ia hanya diam menutup diri tanpa suara apapun. Membuat
Alvin justru makin merasa bersalah.
Alvin merogoh hape dari saku celananya. Ia menekan beberapa
tombol sambil sesekali melirik ke arah depan jalan. Dan tak lama, pemuda itu
menempelkan hape ke samping telina. Terdengar bunyi nada sambung beberapa saat.
"Halo?"
Shilla mengernyit, dan menoleh. Alisnya makin merapat melihat
pemuda itu menelpon. Ck. Dasar cowok tak peka. Tak tahukah ia bahwa Shilla
sedaritadi menunggu reaksi pemuda itu? Kenapa sih ia tak bertanya peduli? Apa
jawaban gelengan tadi sudah membuatnya puas? Ah. Dasar. Kenapa sih laki-laki
itu harus diberi kode dulu baru betindak? Itupun kalau peka. Ya kalau tidak?
Makan hati saja para perempuan.
"Iya. Gue yang waktu itu. Udah disave nomornya,
kan?" tanya Alvin sambil terus menyetir. "Barangnya bisa diambil
sekarang nggak?.... Ah, sorry. Tapi gue butuh sekarang nih. Elo kan janji
besok. Malam ini udah selesai belum?"
Shilla mengernyit. Agak penasaran. Apa sih yang dibicarakan
pemuda ini? Ah tapi... bodo amatlah. Perasaannya sendiri saja pemuda ini tak
peduli, untuk apa dia memedulikan urusan pemuda itu?
"Eung... ya, gue di daerah Kemang...... Oh, oke. Gue
kesana sekarang," kata Alvin berbicara pada si penelpon. Ia lalu
memutuskan sambungan dan menaruh hape di depan stirnya.
"Aku mau langsung pulang. Nggak usah mampir," ketus
Shilla begitu saja, membuat Alvin menoleh sekilas tapi segera menatap jalanan
depan lagi.
"Tapi aku mau ketemu orang bentar. Searah kok. Jadi
sekalian aja," jawab Alvin santai sambil menyetir tenang. Walau dalam hati
ia benar-benar tak sabar. Namun jalanan padat ibukota harus memaksanya untuk
sabar.
Shilla mendecak, tapi hanya menghembuskan nafas keras.
Alvin melirik sedikit, kemudian mencoba menyabarkan diri.
Suara radio masih mengalun mengiringi mereka. Sampai lagu dalam radio itu
selesai. Lalu suara dari penyiar radio mulai terdengar bercuap-cuap. Ia
membacakan deretan request yang baru saja datang. Kemudian juga menyebutkan
nomor telpon bila ada yang mau memesan lagu juga. Dan tak lama, ada lagu baru
yang diputar. Intro lagu tersebut Alvin kenal. Ia mengangkat alis, agak
tersentak karena merasa pas sekali waktunya. Tangannya lalu terjulur, membesarkan
volume raio.
Shilla melirik gerakkan pemuda itu, tapi diam saja. Telinganya
agak menajam mendengarkan suara radio. Dan suara si vokalis mulai terdengar
bernyanyi.
"Kau… diam… tanpa…
kata…
kau seolah… jenuh…
padaku…"
Shilla melebarkan mata. Sementara Alvin berdehem dengan
sengaja, membuat Shilla memutar mata ke arahnya, tapi tak berkata.
"Ku… ingin… kau
bicara…
katakan saja apa…
salahku…"
"Nancep banget ya liriknya," gumam Alvin menyindir.
Yang dapat didengar Shilla.
Shilla mengalihkan wajah ke arah jendela mobil. Tiba-tiba ia
merasa salah tingkah sendiri.
"Sungguh aku, tak
mengerti
apa yang telah terjadi
dan ku tak ingin, engaku
pergi jauh, dari
hidupku…"
Alvin melirik ke arah gadis itu. Namun Shilla masih diam tak
mau membuka mulut. Alvin menghela nafas.
"Kau takkan pernah
sadari
betapa ku mencintaimu,
kau yang selalu, aku
banggakan..."
Alvin mulai menepikan mobilnya dan masuk ke dalam parkiran
sebuah restoran di pinggir jalan. Shilla agak mengernyit. Pemuda itu lalu
berhenti dan mematikan mesin. Ia melepaskan safetybelt-nya dan menoleh pada
Shilla.
"Ikut masuk nggak?" tanya Alvin menawarkan. Shilla
diam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Ya udah. Bentar ya," pamit
Alvin mengambil hapenya kemudian keluar dari dalam mobil dan segera berlari ke
arah restoran itu.
Shilla mendesah, lalu menatap radio.
"Kau takkan pernah
sadari
betapa ku mencintaimu,
kau yang selalu, aku
banggakan...
Kau takkan pernah
mengerti
betapa ku menyayangimu
kau yang selalu, aku
inginkan…"
Shilla menggigiti bibir bawah. Ia kemudian membuang pandangan
ke arah restoran. Di depannya, Alvin bertemu dengan seorang gadis yang
sepertinya sebaya dengan Shilla. Shilla mengernyit, seperti pernah bertemu
perempuan itu. Alvin dan gadis itu berbicara sejenak. Lalu gadis itu
menyodorkan sebuah kotak ke arah Alvin. Alvin menerimanya. Kemudian gadis itu
mengangguk pamit dan masuk kembali ke dalam restoran. Tapi bukannya kembali,
Alvin justru terdiam sendiri di depan pintu restoran itu. Shilla jadi
menyondongkan tubuh ingin melihat jelas ekspresi kekasihnya tersebut. Alvin
nampak ragu dan menimang. Ia memandangi layar hape. Tapi kemudian seperti
mengetikkan sesuatu beberapa lama. Shilla sampai mendecak bosan.
Dan tak lama, Alvin berbalik. Membuat Shilla agak terkejut dan
menyandarkan punggung pada kursi mobil. Belaga tak peduli sambil kembali
mendengar lagu di radio. Alvin datang, lalu masuk ke dalam mobil. Ditaruhnya
kotak tadi ke dasbor mobil.
"Siapa?" tanya Shilla tak bisa menahan diri.
Alvin menoleh, lalu tersenyum tenang sambil menyalakan mesin.
"Lupa? Baru beberapa hari lalu ketemu."
Shilla mendelik, "nggak kenal tuh," jawabnya
singkat.
"Emang nggak kenal," kata Alvin kemudian mulai
menggerakkan mobil keluar dari parkiran. "Clue-nya tali yang ada di tangan
kamu itu."
Shilla mengernyit, dan refleks mengangkat tangan. Melihat
gelang tali berwarna merah melingkar di sana. Ia diam sejenak. Tapi lalu
wajahnya merekah dan tersentak. Mengingat sosok seorang siswi yang menjualkan
gelang itu untuknya. Gadis yang tadi di depan restoran....
"Kamu beli apa?" tanya Shilla langsung menyerbu.
Alvin tersenyum santai sambil menginjak gas perlahan, menyamai
kepadatan kendaraan di jalan besar itu. "Yang jelas bukan gelang jimat
itu."
Shilla mendelik.
"Gelang spesial," sambung Alvin membuat Shilla agak
tersentak. "Aku nggak percaya yang kayak gitu."
Shilla terdiam. Ia mengalihkan wajah, namun tak menyahut.
"Kalau mau ngelindungin seseorang itu ya harus dengan
kekuatan sendiri, bukan pake' jimat," kata Alvin sambil terus menyetir,
tanpa sedikitpun menoleh pada Shilla.
Shilla meneguk ludah, dan agak menunduk merasa malu pada diri
sendiri. Kenapa sih ia begitu konyol mengharapkan gelang itu? Argh.
Dan kemudian hanya radio yang terdengar dalam Honda Jazz putih
tersebut. Hening antar keduanya membuat suara radio makin jelas. Lagu selesai.
Si penyiar mulai kembali becuap.
"Oke buat pendengar semua, selamat bergabung buat yang
baru aja gabung dan selamat malam ya. Sekarang kita kembali bacain request
lagu."
Alvin tanpa sadar agak menegakkan tubuh dan mendadak menjadi
tegang. Diam-diam ia menunggu. Penyiar mulai membacakan sms-sms yang masuk satu
persatu. Shilla hanya diam mendengar tanpa minat. Berbeda dengan Alvin yang
mulai menyiapkan diri.
"Oke next. Sms selanjutnya dari... 08575223
blablabla."
Shilla dan Alvin tersentak. Alvin makin merasakan jantungnya
bergetar makin tak karuan. Sementara Shilla mengerutkan kening. Kok... nomornya
dia kenal ya?
"Gue mau req lagunya Tangga yang Terbaik untukmu. Buat
cewek gue aja yang daritadi diem mulu dan kayaknya udah marah maksimal sama
gue. Sorry kalau selama ini gue cuek dan nggak bisa jadi cowok yang dia
harepin."
Shilla melebarkan mata, dan tertegun. Sementara Alvin berusaha
sekuat tenaga tetap stay cool menyetir walau sebenarnya ia tak seperti itu
sekarang.
"Ini singkat banget ya. Bagus nih sms kayak gini, jadi
nggak capek bacanya. Hahaha," kata penyiar radio ceria, yang sangat tak
tahu bagaimana ketegangan yang mendadak ada dalam Honda Jazz putih Alvin.
"Itu tadi dari Alvin, untuk Shilla pacarnya."
Shilla sontak menganga lebar dan membelalak kaget. Alvin
merutuk kecil. Tapi entah mengapa ia malah menjadi lega karena akhirnya nama
itu disebutkan.
Shilla masih membeku, dan kemudian menoleh ke arah Alvin.
Alvin meliriknya sedikit, tapi belaga fokus menyetir karena jalanan sedang
padat. Seakan tak ada apapun yang terjadi.
"Buat Shilla, gue nasihatin deh. Kalau elo selalu ngarep
pasangan lo jadi apa yang lo mau, selamanya lo nggak akan ngerasain perasaan
yang dia kasih ke elo. Karena terkadang ya, cowok cuek justru lebih peduli
daripada cowok biasa."
Shilla menggigit bibir kuat. Perlahan ia dapat merasakan
wajahnya seperti terbakar. Panas.
"Dan untuk Alvin, gue yakin deh. Kalau elo beneran tulus
sayang, pasti dia juga bakal tahu perasaan lo sebenarnya. Ganbatte boy!
Pokoknya longlast ya buat kalian. Jangan berantem lagi. Semoga lagu ini bisa
buat kalian baikan deh. Spesial, gue kasih jadi urutan pertama."
Alvin tanpa sadar tersenyum mendengar itu. Sementara Shilla
menunduk, menyembunyikan wajah memerahnya.
"Dengerin tuh," kata Alvin menyindir.
"Ck, bawel lo," sahut Shilla ketus dan malu. Alvin
justru tersenyum senang.
Dan tak lama, intro lagu Terbaik Untukmu dari Tangga mulai
terdengar. Shilla mendengarkannya dengan perasaan yang melambung tinggi.
Ternyata... romantis itu sederhana ya? Tak perlu sikap dan kata-kata mesra.
Hanya perlakuan manis seperti ini saja sudah cukup romantis. Pemuda ini jarang
menunjukkan ekspresi cintanya. Namun sekali melakukan, ia menunjukkannya pada
khalayak umum. Oke, mungkin tak langsung karena lewat radio. Tapi... bukankah
itu manis sekali? Satu tindakan kecil dari seorang lelaki, memang bisa membuat
seorang perempuan tersanjung tinggi. Seperti kedua insan itu.
"Maafkanlah bilaku
selalu,
membuatmu marah dan benci
padaku,
kulakukan itu semua…
hanya untuk buatmu
bahagia…
Mungkin ku cuma tak bisa
pahami
bagaimana cara tunjukkan
maksudku,
aku cuma ingin jadi…
terbaik untukmu…
Alvin menginjak rem. Dan memarkirkan mobil tepat di depan
gerbang rumah Shilla. Ia mengecilkan radio, kemudian keluar dari mobil. Shilla
sontak tersenyum senang karena sedaritadi menahan. Tapi ia tersentak kala pintu
di sampingnya terbuka. Shilla melebarkan mata, melihat Alvin tersenyum dan
mengulurkan tangan. Gadis itu tertegun sejenak, tapi dengan pipi memanas meraih
jemari Alvin. Alvin menariknya lembut keluar dari mobil. Tangannya yang satu
lagi menggenggam sebuah kotak yang beberapa saat lalu diterimanya tadi. Ia
menuntun Shilla sampai ke depan gerbang rumah gadis itu. Shilla kemudian
berhenti, dan berbalik menatap Alvin.
Alvin melepaskan genggamannya, dan merasa agak kikuk.
"Eung... tadi... makasih lagunya," kata Shilla
tersipu dan tersenyum kecil.
Alvin mengangguk saja.
"Em... dan..." Shilla menunduk kikuk,
"maaf..."
Alvin tersenyum, "aku ngerti kok. Memang selama ini nggak
bisa jadi yang terbaik buat-"
"Vin," sela Shilla segera sambil mendongak. Pipinya
kembali besemu malu, "aku... yang salah. Nggak harusnya nuntut kamu segala
macam," akunya menyesal dan merasa bersalah. "Harusnya... kita jangan
selalu hanya menuntut seseorang bersikap baik untuk kita. Tapi juga cermin diri
apa kita sudah jadi baik untuk orang lain atau nggak. Dan... selama ini aku cuma
bisa nuntut kamu aja."
Alvin tersenyum lagi, "siapa bilang? Selama ini kamu
nggak pernah nuntut tuh. Tapi cuma diam aja. Kalau aku ada salah, harusnya kamu
ngomong. Akukan bukan peramal yang bisa tahu apa perasaan kamu tanpa harus
nanya," ucap Alvin mengutip kalimat dari Gabriel. Ia kemudian mengacungkan
kotak cokelat yang tadi diterimanya di restoran, dan lalu menyodorkan pada
Shilla. "Waktu bazar, aku pesan ini."
Shilla mengernyit, tapi lalu menerimanya. Dibukanya kotak itu
dengan hati berdebar. Mata gadis itu melebar perlahan, dan tertegun. Ada sebuah
pin lukis cantik yang agak besar di sana. Terlukis, sepasang nenek dan kakek
duduk di sebuah kursi goyang sambil berangkulan mesra. Si nenek tersenyum,
menyipitkan mata sambil bersandar di bahu si kakek. Sementara si kakek merangul
nenek sambil tersenyum di balik kacamata beningnya.
"Kita nenek dan kakeknya smanra, kan?" canda Alvin
membuat Shilla mendongak. Alvin tersenyum, "semoga bukan cuma di smanra
kita jadi pasangan nenek-kakek. Tapi juga di masa depan nanti."
Shilla tertegun lagi. Hatinya tersanjung tinggi membuat
pipinya makin merona.
"Ini," Alvin menunjuk pin lukis itu. "Adalah
gambaran masa depan aku sama kamu. Kita akan ngabisin masa tua sama-sama. Jadi
nenek dan kakek untuk cucu-cucu kita kelak."
Shilla tersenyum tersipu dengan hati meleleh. Dipandanginya
pin itu beberapa saat, kemudian mendongak. "Ternyata si preman cuek ini
bisa ngomong romantis juga ya?" tanyanya terkekeh. Walau terselip nada
bahagia di pertanyaan iseng itu.
Alvin tertawa renyah, "seorang jenius aja bisa jadi bodoh
di depan orang yang dia sukai. Lalu kenapa aku nggak?"
Shilla tersenyum kecil mendengar itu. Ditatapnya Alvin dengan
malu-malu. Alvin diam sejenak. Tapi kemudian memajukan wajahnya ke hadapan
gadis cantik itu.
"Hayo mau ngapain?!"
Shilla dan Alvin terlonjak setengah mati. Shilla yang baru
saja ingin memejamkan mata sontak melotot dan menoleh. Alvin juga segera
menegakkan tubuh dan melebarkan mata melihat sosok Shanin sudah ada di belakang
Shilla, membuka gerbang rumah sedikit sambil tersenyum menggoda.
"Yah, momennya nggak pas. Kenapa juga waktu aku keluar,
hhhh," kata Shanin tanpa dosa dengan wajah polos. "Tapi aku sama mama
lagi mau keluar, jadi mbak sama koko misi dulu ya," ucap Shanin membuka
gerbang lebih lebar, memperlihatkan avanza putih yang baru saja dinyalakan oleh
sang mama yang sudah ada di dalam mobil. Kekey ada di sampingnya. Ia tersenyum
lebar dan melambai pada Alvin dari dalam mobil. Alvin balas tersenyum.
"Oh, ya udah. Aku balik aja deh. Mobilnya kehalang,"
kata Alvin menunjuk Jazz putihnya yang terparkir tepat di depan gerbang rumah
Shilla. Alvin menoleh pada Mama Shilla, lalu mengangguk kecil sekali.
"Pulang dulu ya tante," pamitnya sopan.
Mama Shilla tersenyum dan mengangguk. Alvin melambai pada Kekey
yang masih melambai-lambai senang ke arahnya.
"Pulang ya Shan," pamit Alvin menepuk kepala Shanin
pelan. Shanin tertawa dan mengangguk. Alvin menoleh pada Shilla. Ia diam
sejenak sambil melirik ke arah Avanza putih itu. Tapi kemudian pemuda itu mendesah
dan menarik kepala Shilla mendekat dan mengecup keningnya singkat. "Pulang
ya," pamitnya mengusap puncak kepala Shilla sesaat, lalu berbalik menuju
Honda Jazz putihnya yang menunggu.
Shilla membeku. Terdiam tak menjawab. Gerakkan kecil Alvin itu
sontak membuatnya seperti ada dalam lemari es. Membeku. Tapi juga seperti
terbakar matahari panas. Meleleh. Oke, ini aneh. Bagaimana bisa ia merasakan
membeku dan meleleh di saat yang hampir bersamaan?
"Ecie," goda Shanin mencolek lengan kakak tunggalnya
itu. Sementara sang mama tersenyum kecil dari dalam mobil.
Alvin melambai sesaat dari dalam Jazz putihnya, dan lalu mulai
menginjak gas pergi. Meninggalkan Shilla yang masih diam di tempat. Yang masih
merasakan sensasi membeku-meleleh yang disebabkan oleh Alvin tadi.
xxxxx
*guling-gulingditanah* KYAAAA SAYA MAU JADI SHILLA KYAAAAAAA
Ini sebenarnya ada yang aku cut loh. Hahaha. Panjang banget
sih ._.
Tanggal 13 insyaAllah aku on. Dan ngasih sesuatu di anniv
kedua Alders. Ayo on bareng nyok. Adminnya juga loh, nanti aku kasih tau deh di
dm bakal ada apa. Khususnya ya buat para readers PMB.
Part depan? Sebenarnya part tentang O.... ah, sebut nggak ya~
haha. Tapi aku 'tukar' sama part dari couple selingan di PMB. Why? Karena aku
mau nuntaskan dulu konflik couple selingan itu, baru deh fokus ke cerita
intinya. Kan bentar lagi mau end :p
Oh ya. Aku juga mau ucapain thank you so much buat yang
masukin PMB jadi top cerbung IC. Yaelah. BCCB aja belum sepuluh besar lah udah
ada PMB --" Tapi kalian harus vote ya. Itu cuma bisa vote sekali untuk
sekali online, jadi harus vote PMB jgn yang lain :p biar PMBnya naik tingkat
wkwkwk. Oh ya lagi. Kalian mention aku ya gimana komentar kalian tentan
keseluruhan cerita PMB. Lagi butuh nih hehehe
bbye!
@aleastri ^^
keren banget ka cerbungnya >,< temen-temen aku banyak loooh yang suka baca cerbung kaka,,, gak sabar nih nunggu kelanjutannyaaa:) pati makin seru ^,^ sukses deh kabuat cerbungnya :D
BalasHapusmakasih ya ^^
BalasHapuskak lanjutin dong cerbung PMBnya :D ceritanya itu loh nyentuh banget kak, pesan moralnya nyampek bangetttt xD sukses ya kak :D
BalasHapusLanjutin dong kak PMB nya.. Penasaran banget nih gimana endingnya ^^
BalasHapusoke :) thanks ya
BalasHapusBaca couple alshill-nya sambil degdegan. Jadi senyum2 sendiri:D. Kyaaa koko alvin romantis banget.
BalasHapusIni cerbung yg keren! Haha mungkin terlambat banget baru baca sekarang:)
yeay terima kasih <3
Hapusjangan lupa beli versi novelnya ya