It's The
LAST PART of "Bintang Super Mario"
Part 10: It's the begin
Ify
melangkah terseok-seok ditarik -paksa- Rio menuju taman sekolah. Istirahat
kedua ini Gabriel bermain basket bersama teman-temannya. Rio tak mau kehilangan
kesempatan. Karena sejujurnya ia sudah muak dengan keberadaan 'Bintang' itu.
Mengganggunya saja. Oke, Ify memang yang mengajaknya bersama. Tapi pemuda satu
itu bisa tahu diri sedikit, kan? Ia malah mengatakan Rio saja yang pergi kalau
Rio tak suka dengan keberadaannya. Apa-apaan itu? Tak tahukah dia bahwa Ify
adalah milik Rio? Dari dulu, sekarang, sampai nanti.
"Yo,
mau kemana sih?" keluh Ify mencuatkan bibirnya.
Rio hanya
diam terus menarik gadis itu. Sampai di sebuah bangku taman panjang, ia
mendudukkan Ify di sana. Ify menurut. Rio duduk di samping gadis itu, dengan
jarak dekat. Lengan kanannya disandarkan di atas kepala kursi, seakan mengurung
Ify membuat Ify menarik diri dengan kening berkerut.
"Apa
perasaanmu ke Gabriel?"
Pertanyaan
itu seperti tembakan tanpa aba-aba. Namun menancap tepat sasaran. Membuat Ify
tak siap dan membelalakkan mata dengan mulut sedikit terbuka. Sementara Rio
menatapnya lurus.
"Aku
tahu kalian nggak pacaran. Tapi selama ini yang ku liat kamu sering senyum ke
arah dia. Kamu suka dia?" tanya Rio dengan nada tegas, membuat hati Ify
seperti ditusuk-tusuk mesin jahit.
Ify meneguk
ludah. Entah mengapa pipinya memanas. Teringat lagi awal ia melihat Gabriel.
Awal ketetarikannya pada pemuda itu. Gabriel yang terlihat bersinar di matanya.
Gabriel yang membuat aliran darahnya melaju. Gabriel yang bersikap manis.
Gabriel yang menyatakan perasaannya. Ify ingin sekali menceritakan semua pada
Rio. Karena dulu, apapun yang terjadi ia selalu menceritakan pada Rio. Tapi
untuk masalah ini, apa juga harus begitu?
"Fy.
Jawab."
Ify
menggigit bibir. Ia menunduk, dan dengan agak malu-malu menjawab. "Eum...
sebenarnya dari kelas satu aku naksir dia."
Garis wajah
Rio mengendor.
"Dan
saat kenal dia, ternyata dia anak yang nyenengin. Bisa memperlakukan cewek
dengan baik dan manis."
Tatapan Rio
mulai menajam.
"Tanpa
diduga, ternyata dia juga sering merhatiin aku diam-diam. Dan... dia nembak
aku."
Kini wajah
Rio makin mengeras.
"Akunya
belum jawab sih. Tapi dia mau nunggu."
Tangan Rio
makin mengepal. Apalagi melihat pipi Ify mulai terlihat merona merah.
"Tolak."
Ify sontak
mendongak, "ha?"
"Tolak
dia," ulang Rio tegas, "kamu nggak boleh suka sama dia."
Ify
merenggut, "kok-"
"Aku
dulu pernah bilang, kan? Selama aku pergi kamu nggak usah main sama cowok lain.
Boleh berteman dengan cewek tapi mereka nggak boleh gantiin posisi aku."
"Aku
nggak janji. Kamu aja yang maksa," kata Ify membela diri.
Rio
mendecak, seakan bentuk omelan bahwa Ify belum boleh menyela. Ify menipiskan
bibir, mengerti.
"Kamu
tahu? Selama ini aku tuh hampir gila karena nunggu kamu! Aku bahkan nggak
pernah nerima cewek manapun yang deketin aku! Karena aku selalu mikirin
kamu."
Ify kini
terdiam.
"Kamu,
nggak boleh sama cowok lain selain sama aku. Boleh berteman tapi nggak lebih
dari itu. Kayak kamu ke Gabriel," kata Rio sungguh-sunguh sambil menatap
Ify dalam, "kamu hanya boleh sama aku. Bukan yang lain."
Setelah
mengucap kalimat itu, Rio beranjak. Berjalan menjauh meninggalkan Ify yang
terbengong. Mulut gadis itu terbuka dengan wajah terpaku. Matanya
mengerjap-ngerjap sesaat. Sebelum kesadarannya kembali datang. Ia meraba
dadanya. Ada yang bergetar dahsyat di sana. Rasanya menyenangkan. Tapi entah
mengapa sedikit sesak. Karena ternyata benar.
Ia berada
di antara dua sahabat kecilnya sendiri.
^^^
Rio dan Ozy
saling pandang. Mereka menghela nafas berbarengan, seakan memberi kode.
Keduanya lalu mendekat ke sofa ruang tengah Ozy, dan dengan kompak melemparkan
tubuh di sana. Duduk mengapit Adit, yang baru saja menyeruput kopi susunya
untuk menemani menonton tivi sore ini.
Adit
mengangkat wajah, menoleh kanan dan kiri bergantian. Keningnya berkerut, agak
curiga.
"Om
utang penjelasan ke kita," tegas Ozy dengan wajah serius.
"Iya.
Kemarin Om seharian nggak ada di rumah. Entah kemana. Dan sekarang, kita tunggu
cerita Om," kata Rio juga serius.
"Apa
sih maksud kalian?" tanya Adit tak mengerti. Ia meniup kopinya lagi, lalu
mengisapnya.
Ozy
menghela nafas. "Siapa itu Alya Maharani?"
"Uhuk
uhuk."
Rio dan Ozy
segera menghindar. Adit sudah sibuk membersihkan air panas di sekitar bibir dan
yang tertumpahan di kaos birunya. Lidahnya juga dikeluarkan karena kepanasan.
Rio dan Ozy saling pandang lagi. Makin penasaran karena mendapat reaksi seperti
itu.
"He!
Itu guru kalian. Yang sopan," tegur Adit setelah berhasil menguasai diri
atas keterkejutannya.
"Yang
kita tanya itu siapa Alya Maharani, bukan Miss Alya guru bahasa Inggris SMA
Pelita," kata Rio tegas. Ozy mengangguk di sampingnya.
Adit
terdiam. Ia menaruh cangkirnya di meja depan sofa. Tapi tak menjawab. Tepatnya
sibuk berpikir harus menjawab apa.
"Kenapa
Om bohong sama dia?" tanya Ozy mengingatkan kejadian kemarin. "Em...
apa Om ngerasa nggak enak sama cowok pembawa bunga itu?"
"Pacarnya
Zy," kata Rio membenarkan. Karena kesannya 'cowok pembawa bunga' seperti
tukang bunga yang mengantarkan ke Alya. Bukannya yang memang memberikan spesial
pada Alya.
"Itu
maksud gue," kata Ozy menurut, "Om dulu pernah kenal dia? Teman
SMA?"
Adit
menghela nafas, lalu mengangguk. "Kita ketemu di saat MOS. Berawal dari
kesalahan yang sama, kita dihukum. Dan sejak itu saling kenal," Adit mulai
bercerita, sambil mengenang masa itu. "Dia anak yang ceria. Pintar membawa
diri. Jadi Om gampang akrab sama dia."
"Em...
Om dekat sama dia?" tanya Rio perlahan. Adit mengangguk.
"Teman?"
pancing Ozy sedikit memicingkan mata. "Atau... lebih?"
Adit
tertawa kecil, "sampai semester dua kelas satu, teman."
"Oh..."
Rio dan Ozy manggut-manggut bersamaan. Tapi saat benar-benar mencerna kalimat
itu...
"JADI
BENER MANTANNYA OM ADIT?!?!"
Adit
sedikit terlonjak mendapat reaksi histeris tersebut. Tapi lalu ia tertawa lagi.
Seakan ia merasa fine saja dengan pembicaraan ini. Tanpa ada yang tahu,
sebenarnya hatinya merasa miris.
"Kan
Zy! Gue bilang juga apa? Dia itu pasti firsth lovenya Om Adit!" kata Rio
dengan wajah bangga karena tebakannya benar.
"Astaga!
Jadi selama ini gue ngefans sama mantan om gue sendiri?!" tanya Ozy
melotot tak percaya, lalu geleng-geleng kepala. "Terus terus Om?
Pacarannya sampai kapan? Putusnya gimana?" tanya Ozy antusias, begitu pula
dengan Rio.
Adit
menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya sambil bersandar di kepala sofa.
"Kita langgeng kok. Sampai kelulusan bahkan," ceritanya dengan nada
santai, berbanding terbalik dengan Rio dan Ozy yang memasang wajah 'nggak
nyantai'. "Tapi Om harus ke Australi, dapat beasiswa di sana. Ninggalin
dia."
Rio dan Ozy
masih diam mendengarkan. Walau mereka dapat merasakan aura kesedihan mulai
meraja. Adit masih memasang wajah tenang dengan senyum tipis. Sebenarnya
hatinya terbelah. Menyesal dan sesak. Andai saja bisa diputar waktu, ia tak akan
pergi. Karena saat kembali, wanita itu sudah ada pemiliknya.
"Kita
sempat LDR. Tapi sampai akhirnya dia nggak sanggup, dan akhirnya... kita
putus."
Ekspresi
Rio dan Ozy menunjukkan rasa iba. Adit tersenyum samar melihat itu. Antara
senyum miris dan pedih.
"Kita
putus koneksi bertahun-tahun. Sepuluh tahun lebih. Om nggak pernah tahu dia
dimana saat Om kembali ke Indonesia. Walau pernah coba nyari, tapi nggak pernah
dapat. Sampai kemarin. Karena kalian, kita ketemu lagi."
Rio dan Ozy
masih diam mendengarkan. Adit mendesah.
"Om
nggak tahu harus berterima kasih atau malah nyesal. Om pengen marah aja. Sama
diri sendiri. Karena begitu bodohnya bertahun-tahun Om masih nyimpan rasa sama
orang yang sudah ngelupain Om dan punya penggantin lain." Wajah tenang itu
perlahan sendu. Ia terdiam sendiri. Merasakan luka yang kembali menganga itu.
Kembali lagi terngiang kala Rohan menyodorkan bunga dengan senyuman lembut.
Alya yang menerimanya dengan nada manis. Dan pengakuan Alya bahwa Rohan adalah
calon suaminya. Sesal itu makin terasa. Andai saja ia tak pergi. Mungkin
kemarin yang datang menyodorkan lili putih adalah dia, bukan Rohan.
"Om,"
Rio menepuk pundak Adit, membuat Adit tersadar dan menoleh. Wajah Rio
benar-benar serius. "Sebelum janur kuning melengkung, Om harus tetap
berusaha!"
"Ya!
Bener banget. Lagian juga aku yakin, Miss Alya sebenarnya masih cinta sama Om.
Cuma... gara-gara Dinda kemarin tuh," kata Ozy ikutan, "mungkin dia
juga ngerasain hal yang sama."
Adit
tersenyum tipis.
"Ayo
Om! Om harus usaha! Kita dukung!" kata Ozy memberi semangat sambil
mengacungkan kepalan tangan.
"Loh,
bukannya kamu suka sama dia?" goda Adit membuat Ozy nyengir.
"Ngefans
kok Om. Ozy sekarang udah punya pacar," sahut Rio bermaksud menenangkan.
"Amin,"
seru Ozy segera. Adit tertawa.
Setelah
tawanya reda, Adit bertanya dengan agak lirih. "Gimana caranya bisa buat
dia kembali?"
Rio dan Ozy
saling pandang. Agak merasa bodoh karena belum memikirkan tentang ini.
Tiba-tiba
hape di saku celana Rio bergetar, membuat Rio segera merogohnya. Ada pesan
masuk. Dari Ify. Rio membacanya sambil mengangkat alis. Ia diam sejenak,
membaca sms itu sekali lagi. Dan bohlam di atas kepala itu menyala, membuat
wajahnya merekah bahagia. Ia menoleh pada Adit, dan tersenyum lebar. Membuat
Adit mengernyit tak mengerti.
^^^
Gabriel
menatap langit malam setengah menerawang. Bayang wajah imut seorang gadis kecil
dengan rambut sepundak terngiang di sana. Sedang tertawa riang terbang di atas
ayunan yang terayun tinggi. Ia menyebutkan nama Bintang berkali-kali dengan bahagia.
Membuat Gabriel ingin sekali menculiknya, dan mengurungnya dalam rumah tak mau
diberikan pada orang lain.
Ya. Itu
memang egois. Tapi bukankah cinta bisa membuat kita tak memedulikan hal lain?
Termasuk perasaan orang lain yang juga menginginkan gadis itu.
Gabriel
menghela nafas. Jujur, ia juga tak mau membebani pikiran Ify. Ia tak ingin
gadis itu tertekan karena tak tahu harus memilih siapa. Tapi harus bagaimana
lagi? Ify adalah bintang baginya. Gadis itu yang memberikan sinar dalam ruang
gelap Gabriel selama ini. Gabriel membutuhkannya, bukan semata menginginkannya.
Gabriel
menghela nafas. Diraihnya hape dalam saku celana. Ia mengetikkan pesan beberapa
saat. Dirinya diam sejenak, tapi kemudian menambahkan emoticon di akhir pesan.
Lalu dikirimkan pada Ify. Pemuda tak berkata lagi. Hanya berbalik masuk menuju
kamar dan ingin segera terlelap menenangkan diri.
^^^
"Bukannya
dari dulu lo sukanya sama Gabriel?" tanya Acha sambil bersandar di kepala
ranjang Ify.
Ify yang
baru saja selesai mengirimkan sms pada Rio, menoleh. Ia mengangguk, dan lalu
ikut duduk di atas ranjang, samping Acha. "Tapi biar gimanapun... dulu
waktu kecil gue pengen nikah sama Rio."
Acha
tergelak mendengar itu.
Ify
menghembuskan nafas, membuat kedua pipinya mengembung. "Dulu gue janji
sama dia, kalau dewasa nanti gue maunya nikah sama dia. Dan dia juga bilang dia
bakal jadi pengantin pria gue," cerita Ify jujur.
Acha makin
tertawa geli. "Fy, please deh. Itukan waktu lo masih kecil. Sekarang usia
lo udah mau 17 tahun. Itu udah berapa tahun yang lalu Alyssa?"
Ify
terdiam. Ia mengambil guling dan memeluknya. Tapi tak menyahut.
"Dari
kelas satu lo naksir Gabriel, Fy. Dan Gabriel udah balas perasaan itu. Kalian
saling suka. Lalu apalagi?" kata Acha meyakinkan.
"Tapi...
dari dulu gue nggak bisa gantiin Rio, Cha," kata Ify lirih dan memelas.
"Diakan... first love gue..." ucapnya memelankan suara.
Acha
geleng-geleng, "Fy, lo tuh korban sinetron banget sih. Sahabat kecil yang
jadi cinta pertama, belum tentu saat dewasa jadi cinta lo juga. Kalau di film
atau sinetron mungkin, tapi inikan realita. Elo percaya amat sih," kata
Acha setengah mengejek.
Ify terdiam
lagi. Ia mengalihkan pandangan. Dan matanya jatuh pada boneka Super Mario besar
yang tergeletak di atas meja belajarnya. Boneka yang diberikan Rio dulu saat
mereka berpisah. "Tapi gue bener nggak bisa milih, Cha. Rio itu udah kayak
hidup gue. Tapi di sisi lain, gue juga udah 'klik' di Gabriel," kata Ify
bingung dengan nada frustasi.
Acha
menghela nafas. "Kalau menurut gue sih ya. Mending lo milih Gabriel, dan
biarkan Rio tetap jadi sahabat lo. Lagian, Riokan belum bener-bener ngaku
perasaannya ke elo. Lagian lo lebih cocok sama Gabriel."
Ify
mengigit bibir, namun tak menjawab. Ditatapnya lagi boneka Super Mario itu. Ia
kemudian menghela nafas. Walau perlahan mulai didoktrin ucapan Acha.
Tapi
tiba-tiba hapenya bergetar, membuat gadis itu agak tersentak. Ia segera membuka
pesan masuk yang datang, dan mengangkat alis. Balasan dari Rio tadi.
From: Rio
aku bakal
bantu kamu! tenang aja ^^
Eh betewe,
udah malam noh. super mario tidur dulu sono, tapi bintangnya tetep bakal
nyinarin kok ;)
main ke
mimpiku yuk. nanti aku ajakin main ayunan lagi. Hahaha.
sleep well
supermarioku ({})
Tanpa bisa
dicegah, Ify tersenyum kecil membaca itu. Membuat Acha mendelik ingin tahu dan
mengintip sedikit. Namun sadar akan hal itu, Ify segera mendekap hape
menjauhkan dari Acha. Acha mencibir. Sementara Ify hanya memeletkan lidah.
Hapenya
bergetar lagi. Membuat Ify agak tersentak dan membuka kembali pesan masuk.
Perlahan, wajah gadis itu menjadi tertegun kala membacanya.
From: Gabriel
Bintang
malam ini bersinar cerah, seakan ingin menenangkan hati yang mulai gundah.
Aku ingin
kamu selalu jadi bintang yang menyinariku, walaupun kini ku tahu mulai ada
sosok lain yang menginginkan cahaya itu.
Jangan
gundah ataupun resah. Itu hakmu untuk memilih.
Tidurlah,
semoga mimpi akan menuntunmu menemukan pilihan yang terbaik. Dan ku harap saat
terbangun, sinarmu akan datang padaku.
Sweet dream
:*
Pipi Ify
langsung bersemu. Didekapnya hape dalam dada, mencoba menikmati benar-benar
debaran menyenangkan yang ada di sana. Ah. Bagaimana ini? Walau berbeda, tapi
kedua pesan itu membuat ia melayang bahagia. Dan membuat gadis itu menyadari.
Ia
benar-benar tak bisa memilih.
^^^
Alya
merenggangkan otot-ototnya. Dikuceknya mata sekali lagi. Kemudian mengemasi
kertas-kertas hasil ulangan anak didiknya. Setelah itu, wanita muda tersebut
tak langsung menuju tempat tidur. Tapi malah menghidupkan komputer. Ia membuka
ms.word dan mulai mengetik. Mata ngantuknya langsung melebar kembali. Seakan ia
baru saja bangun dari tidur. Ototnya bugar lagi. Dan dengan tenang jemarinya
mengetik dengan cepat dan lihai.
Dulu saat remaja
aku selalu percaya bahwa kisah dalam novel akan ku temui dalam hidup nyata.
Dulu aku juga sering berharap semoga ceritaku seperti dalam novel yang pernah
ku baca.
Tapi kala aku
dewasa, waktu membuatku mengerti. Novel dituliskan dan direncanakan oleh
manusia. Mudah ditebak. Tak seperti realita yang berbelit-belit, rumit, dan tak
pernah diduga akhirnya.
Seperti ini.
Tiba-tiba ia datang lagi. Tanpa tanda, tanpa firasat, tanpa bayangan. Mendadak
pertemuan itu singgah. Sepasang bola mata yang tak pernah ku lupa seakan
menancapku kuat. Membuatku terpaku tak bisa bicara.
Lalu juga mereka.
Para bintang. Akhirnya langit menyatukan mereka lagi. Walau aku dapat
merasakan, dewasa membuat hubungan mereka mulai berbeda seperti masa kecil.
Dulu mereka bersahabat, ya walau sering bertengkar. Tapi kini? Aku dapat
merasakan ada suasana menegangkan yang tak kentara. Ada aura persaingan yang
tak diumbar. Mereka memperebutkan hati princess itu. Aku mengerti. Dewasa
membuat mereka tahu jatuh cinta dan bagaimana cara mendapatkan cinta.
Lalu bagaimana
kelanjutan kisah ini? Apalagi yang akan dituliskan langit? Lalu juga bagaimana
akhir kisahku sendiri? Akankah memang hanya berujung kecewa dan penyesalan?
Ini kisah langit.
Tak pernah tahu bermuara kemana. Yang aku tahu kisah ini pasti akan selalu
mengalir. Membuat kita hanyut tanpa bisa menerka keberadaan sebenarnya.
Namun aku, para
bintang, dan dia, akan terus mendayung agar sampai di ujung muara. Agar kami
tahu pasti harus bagaimana. Tanpa meragu lagi seperti ini.
Namun... harus
memilih jalan yang mana agar sampai di ujung sana?
THE END
BUT WAIITTT!!!
It's not the end.
But it's the beginning! Keep read 'ocehan penulis'
Kok ngegantung sih, kak. sequelnya mana ?
BalasHapus