Sabtu, 06 April 2013

Bintang Super Mario Part 10 [LAST PART]


It's The LAST PART of "Bintang Super Mario"

Part 10: It's the begin

Ify melangkah terseok-seok ditarik -paksa- Rio menuju taman sekolah. Istirahat kedua ini Gabriel bermain basket bersama teman-temannya. Rio tak mau kehilangan kesempatan. Karena sejujurnya ia sudah muak dengan keberadaan 'Bintang' itu. Mengganggunya saja. Oke, Ify memang yang mengajaknya bersama. Tapi pemuda satu itu bisa tahu diri sedikit, kan? Ia malah mengatakan Rio saja yang pergi kalau Rio tak suka dengan keberadaannya. Apa-apaan itu? Tak tahukah dia bahwa Ify adalah milik Rio? Dari dulu, sekarang, sampai nanti.
"Yo, mau kemana sih?" keluh Ify mencuatkan bibirnya.
Rio hanya diam terus menarik gadis itu. Sampai di sebuah bangku taman panjang, ia mendudukkan Ify di sana. Ify menurut. Rio duduk di samping gadis itu, dengan jarak dekat. Lengan kanannya disandarkan di atas kepala kursi, seakan mengurung Ify membuat Ify menarik diri dengan kening berkerut.
"Apa perasaanmu ke Gabriel?"
Pertanyaan itu seperti tembakan tanpa aba-aba. Namun menancap tepat sasaran. Membuat Ify tak siap dan membelalakkan mata dengan mulut sedikit terbuka. Sementara Rio menatapnya lurus.
"Aku tahu kalian nggak pacaran. Tapi selama ini yang ku liat kamu sering senyum ke arah dia. Kamu suka dia?" tanya Rio dengan nada tegas, membuat hati Ify seperti ditusuk-tusuk mesin jahit.
Ify meneguk ludah. Entah mengapa pipinya memanas. Teringat lagi awal ia melihat Gabriel. Awal ketetarikannya pada pemuda itu. Gabriel yang terlihat bersinar di matanya. Gabriel yang membuat aliran darahnya melaju. Gabriel yang bersikap manis. Gabriel yang menyatakan perasaannya. Ify ingin sekali menceritakan semua pada Rio. Karena dulu, apapun yang terjadi ia selalu menceritakan pada Rio. Tapi untuk masalah ini, apa juga harus begitu?
"Fy. Jawab."
Ify menggigit bibir. Ia menunduk, dan dengan agak malu-malu menjawab. "Eum... sebenarnya dari kelas satu aku naksir dia."
Garis wajah Rio mengendor.
"Dan saat kenal dia, ternyata dia anak yang nyenengin. Bisa memperlakukan cewek dengan baik dan manis."
Tatapan Rio mulai menajam.
"Tanpa diduga, ternyata dia juga sering merhatiin aku diam-diam. Dan... dia nembak aku."
Kini wajah Rio makin mengeras.
"Akunya belum jawab sih. Tapi dia mau nunggu."
Tangan Rio makin mengepal. Apalagi melihat pipi Ify mulai terlihat merona merah.
"Tolak."
Ify sontak mendongak, "ha?"
"Tolak dia," ulang Rio tegas, "kamu nggak boleh suka sama dia."
Ify merenggut, "kok-"
"Aku dulu pernah bilang, kan? Selama aku pergi kamu nggak usah main sama cowok lain. Boleh berteman dengan cewek tapi mereka nggak boleh gantiin posisi aku."
"Aku nggak janji. Kamu aja yang maksa," kata Ify membela diri.
Rio mendecak, seakan bentuk omelan bahwa Ify belum boleh menyela. Ify menipiskan bibir, mengerti.
"Kamu tahu? Selama ini aku tuh hampir gila karena nunggu kamu! Aku bahkan nggak pernah nerima cewek manapun yang deketin aku! Karena aku selalu mikirin kamu."
Ify kini terdiam.
"Kamu, nggak boleh sama cowok lain selain sama aku. Boleh berteman tapi nggak lebih dari itu. Kayak kamu ke Gabriel," kata Rio sungguh-sunguh sambil menatap Ify dalam, "kamu hanya boleh sama aku. Bukan yang lain."
Setelah mengucap kalimat itu, Rio beranjak. Berjalan menjauh meninggalkan Ify yang terbengong. Mulut gadis itu terbuka dengan wajah terpaku. Matanya mengerjap-ngerjap sesaat. Sebelum kesadarannya kembali datang. Ia meraba dadanya. Ada yang bergetar dahsyat di sana. Rasanya menyenangkan. Tapi entah mengapa sedikit sesak. Karena ternyata benar.
Ia berada di antara dua sahabat kecilnya sendiri.

^^^

Rio dan Ozy saling pandang. Mereka menghela nafas berbarengan, seakan memberi kode. Keduanya lalu mendekat ke sofa ruang tengah Ozy, dan dengan kompak melemparkan tubuh di sana. Duduk mengapit Adit, yang baru saja menyeruput kopi susunya untuk menemani menonton tivi sore ini.
Adit mengangkat wajah, menoleh kanan dan kiri bergantian. Keningnya berkerut, agak curiga.
"Om utang penjelasan ke kita," tegas Ozy dengan wajah serius.
"Iya. Kemarin Om seharian nggak ada di rumah. Entah kemana. Dan sekarang, kita tunggu cerita Om," kata Rio juga serius.
"Apa sih maksud kalian?" tanya Adit tak mengerti. Ia meniup kopinya lagi, lalu mengisapnya.
Ozy menghela nafas. "Siapa itu Alya Maharani?"
"Uhuk uhuk."
Rio dan Ozy segera menghindar. Adit sudah sibuk membersihkan air panas di sekitar bibir dan yang tertumpahan di kaos birunya. Lidahnya juga dikeluarkan karena kepanasan. Rio dan Ozy saling pandang lagi. Makin penasaran karena mendapat reaksi seperti itu.
"He! Itu guru kalian. Yang sopan," tegur Adit setelah berhasil menguasai diri atas keterkejutannya.
"Yang kita tanya itu siapa Alya Maharani, bukan Miss Alya guru bahasa Inggris SMA Pelita," kata Rio tegas. Ozy mengangguk di sampingnya.
Adit terdiam. Ia menaruh cangkirnya di meja depan sofa. Tapi tak menjawab. Tepatnya sibuk berpikir harus menjawab apa.
"Kenapa Om bohong sama dia?" tanya Ozy mengingatkan kejadian kemarin. "Em... apa Om ngerasa nggak enak sama cowok pembawa bunga itu?"
"Pacarnya Zy," kata Rio membenarkan. Karena kesannya 'cowok pembawa bunga' seperti tukang bunga yang mengantarkan ke Alya. Bukannya yang memang memberikan spesial pada Alya.
"Itu maksud gue," kata Ozy menurut, "Om dulu pernah kenal dia? Teman SMA?"
Adit menghela nafas, lalu mengangguk. "Kita ketemu di saat MOS. Berawal dari kesalahan yang sama, kita dihukum. Dan sejak itu saling kenal," Adit mulai bercerita, sambil mengenang masa itu. "Dia anak yang ceria. Pintar membawa diri. Jadi Om gampang akrab sama dia."
"Em... Om dekat sama dia?" tanya Rio perlahan. Adit mengangguk.
"Teman?" pancing Ozy sedikit memicingkan mata. "Atau... lebih?"
Adit tertawa kecil, "sampai semester dua kelas satu, teman."
"Oh..." Rio dan Ozy manggut-manggut bersamaan. Tapi saat benar-benar mencerna kalimat itu...
"JADI BENER MANTANNYA OM ADIT?!?!"
Adit sedikit terlonjak mendapat reaksi histeris tersebut. Tapi lalu ia tertawa lagi. Seakan ia merasa fine saja dengan pembicaraan ini. Tanpa ada yang tahu, sebenarnya hatinya merasa miris.
"Kan Zy! Gue bilang juga apa? Dia itu pasti firsth lovenya Om Adit!" kata Rio dengan wajah bangga karena tebakannya benar.
"Astaga! Jadi selama ini gue ngefans sama mantan om gue sendiri?!" tanya Ozy melotot tak percaya, lalu geleng-geleng kepala. "Terus terus Om? Pacarannya sampai kapan? Putusnya gimana?" tanya Ozy antusias, begitu pula dengan Rio.
Adit menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya sambil bersandar di kepala sofa. "Kita langgeng kok. Sampai kelulusan bahkan," ceritanya dengan nada santai, berbanding terbalik dengan Rio dan Ozy yang memasang wajah 'nggak nyantai'. "Tapi Om harus ke Australi, dapat beasiswa di sana. Ninggalin dia."
Rio dan Ozy masih diam mendengarkan. Walau mereka dapat merasakan aura kesedihan mulai meraja. Adit masih memasang wajah tenang dengan senyum tipis. Sebenarnya hatinya terbelah. Menyesal dan sesak. Andai saja bisa diputar waktu, ia tak akan pergi. Karena saat kembali, wanita itu sudah ada pemiliknya.
"Kita sempat LDR. Tapi sampai akhirnya dia nggak sanggup, dan akhirnya... kita putus."
Ekspresi Rio dan Ozy menunjukkan rasa iba. Adit tersenyum samar melihat itu. Antara senyum miris dan pedih.
"Kita putus koneksi bertahun-tahun. Sepuluh tahun lebih. Om nggak pernah tahu dia dimana saat Om kembali ke Indonesia. Walau pernah coba nyari, tapi nggak pernah dapat. Sampai kemarin. Karena kalian, kita ketemu lagi."
Rio dan Ozy masih diam mendengarkan. Adit mendesah.
"Om nggak tahu harus berterima kasih atau malah nyesal. Om pengen marah aja. Sama diri sendiri. Karena begitu bodohnya bertahun-tahun Om masih nyimpan rasa sama orang yang sudah ngelupain Om dan punya penggantin lain." Wajah tenang itu perlahan sendu. Ia terdiam sendiri. Merasakan luka yang kembali menganga itu. Kembali lagi terngiang kala Rohan menyodorkan bunga dengan senyuman lembut. Alya yang menerimanya dengan nada manis. Dan pengakuan Alya bahwa Rohan adalah calon suaminya. Sesal itu makin terasa. Andai saja ia tak pergi. Mungkin kemarin yang datang menyodorkan lili putih adalah dia, bukan Rohan.
"Om," Rio menepuk pundak Adit, membuat Adit tersadar dan menoleh. Wajah Rio benar-benar serius. "Sebelum janur kuning melengkung, Om harus tetap berusaha!"
"Ya! Bener banget. Lagian juga aku yakin, Miss Alya sebenarnya masih cinta sama Om. Cuma... gara-gara Dinda kemarin tuh," kata Ozy ikutan, "mungkin dia juga ngerasain hal yang sama."
Adit tersenyum tipis.
"Ayo Om! Om harus usaha! Kita dukung!" kata Ozy memberi semangat sambil mengacungkan kepalan tangan.
"Loh, bukannya kamu suka sama dia?" goda Adit membuat Ozy nyengir.
"Ngefans kok Om. Ozy sekarang udah punya pacar," sahut Rio bermaksud menenangkan.
"Amin," seru Ozy segera. Adit tertawa.
Setelah tawanya reda, Adit bertanya dengan agak lirih. "Gimana caranya bisa buat dia kembali?"
Rio dan Ozy saling pandang. Agak merasa bodoh karena belum memikirkan tentang ini.
Tiba-tiba hape di saku celana Rio bergetar, membuat Rio segera merogohnya. Ada pesan masuk. Dari Ify. Rio membacanya sambil mengangkat alis. Ia diam sejenak, membaca sms itu sekali lagi. Dan bohlam di atas kepala itu menyala, membuat wajahnya merekah bahagia. Ia menoleh pada Adit, dan tersenyum lebar. Membuat Adit mengernyit tak mengerti.

^^^

Gabriel menatap langit malam setengah menerawang. Bayang wajah imut seorang gadis kecil dengan rambut sepundak terngiang di sana. Sedang tertawa riang terbang di atas ayunan yang terayun tinggi. Ia menyebutkan nama Bintang berkali-kali dengan bahagia. Membuat Gabriel ingin sekali menculiknya, dan mengurungnya dalam rumah tak mau diberikan pada orang lain.
Ya. Itu memang egois. Tapi bukankah cinta bisa membuat kita tak memedulikan hal lain? Termasuk perasaan orang lain yang juga menginginkan gadis itu.
Gabriel menghela nafas. Jujur, ia juga tak mau membebani pikiran Ify. Ia tak ingin gadis itu tertekan karena tak tahu harus memilih siapa. Tapi harus bagaimana lagi? Ify adalah bintang baginya. Gadis itu yang memberikan sinar dalam ruang gelap Gabriel selama ini. Gabriel membutuhkannya, bukan semata menginginkannya.
Gabriel menghela nafas. Diraihnya hape dalam saku celana. Ia mengetikkan pesan beberapa saat. Dirinya diam sejenak, tapi kemudian menambahkan emoticon di akhir pesan. Lalu dikirimkan pada Ify. Pemuda tak berkata lagi. Hanya berbalik masuk menuju kamar dan ingin segera terlelap menenangkan diri.

^^^

"Bukannya dari dulu lo sukanya sama Gabriel?" tanya Acha sambil bersandar di kepala ranjang Ify.
Ify yang baru saja selesai mengirimkan sms pada Rio, menoleh. Ia mengangguk, dan lalu ikut duduk di atas ranjang, samping Acha. "Tapi biar gimanapun... dulu waktu kecil gue pengen nikah sama Rio."
Acha tergelak mendengar itu.
Ify menghembuskan nafas, membuat kedua pipinya mengembung. "Dulu gue janji sama dia, kalau dewasa nanti gue maunya nikah sama dia. Dan dia juga bilang dia bakal jadi pengantin pria gue," cerita Ify jujur.
Acha makin tertawa geli. "Fy, please deh. Itukan waktu lo masih kecil. Sekarang usia lo udah mau 17 tahun. Itu udah berapa tahun yang lalu Alyssa?"
Ify terdiam. Ia mengambil guling dan memeluknya. Tapi tak menyahut.
"Dari kelas satu lo naksir Gabriel, Fy. Dan Gabriel udah balas perasaan itu. Kalian saling suka. Lalu apalagi?" kata Acha meyakinkan.
"Tapi... dari dulu gue nggak bisa gantiin Rio, Cha," kata Ify lirih dan memelas. "Diakan... first love gue..." ucapnya memelankan suara.
Acha geleng-geleng, "Fy, lo tuh korban sinetron banget sih. Sahabat kecil yang jadi cinta pertama, belum tentu saat dewasa jadi cinta lo juga. Kalau di film atau sinetron mungkin, tapi inikan realita. Elo percaya amat sih," kata Acha setengah mengejek.
Ify terdiam lagi. Ia mengalihkan pandangan. Dan matanya jatuh pada boneka Super Mario besar yang tergeletak di atas meja belajarnya. Boneka yang diberikan Rio dulu saat mereka berpisah. "Tapi gue bener nggak bisa milih, Cha. Rio itu udah kayak hidup gue. Tapi di sisi lain, gue juga udah 'klik' di Gabriel," kata Ify bingung dengan nada frustasi.
Acha menghela nafas. "Kalau menurut gue sih ya. Mending lo milih Gabriel, dan biarkan Rio tetap jadi sahabat lo. Lagian, Riokan belum bener-bener ngaku perasaannya ke elo. Lagian lo lebih cocok sama Gabriel."
Ify mengigit bibir, namun tak menjawab. Ditatapnya lagi boneka Super Mario itu. Ia kemudian menghela nafas. Walau perlahan mulai didoktrin ucapan Acha.
Tapi tiba-tiba hapenya bergetar, membuat gadis itu agak tersentak. Ia segera membuka pesan masuk yang datang, dan mengangkat alis. Balasan dari Rio tadi.

From: Rio
aku bakal bantu kamu! tenang aja ^^
Eh betewe, udah malam noh. super mario tidur dulu sono, tapi bintangnya tetep bakal nyinarin kok ;)
main ke mimpiku yuk. nanti aku ajakin main ayunan lagi. Hahaha.
sleep well supermarioku ({})

Tanpa bisa dicegah, Ify tersenyum kecil membaca itu. Membuat Acha mendelik ingin tahu dan mengintip sedikit. Namun sadar akan hal itu, Ify segera mendekap hape menjauhkan dari Acha. Acha mencibir. Sementara Ify hanya memeletkan lidah.
Hapenya bergetar lagi. Membuat Ify agak tersentak dan membuka kembali pesan masuk. Perlahan, wajah gadis itu menjadi tertegun kala membacanya.

From: Gabriel
Bintang malam ini bersinar cerah, seakan ingin menenangkan hati yang mulai gundah.
Aku ingin kamu selalu jadi bintang yang menyinariku, walaupun kini ku tahu mulai ada sosok lain yang menginginkan cahaya itu.
Jangan gundah ataupun resah. Itu hakmu untuk memilih.
Tidurlah, semoga mimpi akan menuntunmu menemukan pilihan yang terbaik. Dan ku harap saat terbangun, sinarmu akan datang padaku.
Sweet dream :*

Pipi Ify langsung bersemu. Didekapnya hape dalam dada, mencoba menikmati benar-benar debaran menyenangkan yang ada di sana. Ah. Bagaimana ini? Walau berbeda, tapi kedua pesan itu membuat ia melayang bahagia. Dan membuat gadis itu menyadari.
Ia benar-benar tak bisa memilih.

^^^

Alya merenggangkan otot-ototnya. Dikuceknya mata sekali lagi. Kemudian mengemasi kertas-kertas hasil ulangan anak didiknya. Setelah itu, wanita muda tersebut tak langsung menuju tempat tidur. Tapi malah menghidupkan komputer. Ia membuka ms.word dan mulai mengetik. Mata ngantuknya langsung melebar kembali. Seakan ia baru saja bangun dari tidur. Ototnya bugar lagi. Dan dengan tenang jemarinya mengetik dengan cepat dan lihai.

Dulu saat remaja aku selalu percaya bahwa kisah dalam novel akan ku temui dalam hidup nyata. Dulu aku juga sering berharap semoga ceritaku seperti dalam novel yang pernah ku baca.
Tapi kala aku dewasa, waktu membuatku mengerti. Novel dituliskan dan direncanakan oleh manusia. Mudah ditebak. Tak seperti realita yang berbelit-belit, rumit, dan tak pernah diduga akhirnya.
Seperti ini. Tiba-tiba ia datang lagi. Tanpa tanda, tanpa firasat, tanpa bayangan. Mendadak pertemuan itu singgah. Sepasang bola mata yang tak pernah ku lupa seakan menancapku kuat. Membuatku terpaku tak bisa bicara.
Lalu juga mereka. Para bintang. Akhirnya langit menyatukan mereka lagi. Walau aku dapat merasakan, dewasa membuat hubungan mereka mulai berbeda seperti masa kecil. Dulu mereka bersahabat, ya walau sering bertengkar. Tapi kini? Aku dapat merasakan ada suasana menegangkan yang tak kentara. Ada aura persaingan yang tak diumbar. Mereka memperebutkan hati princess itu. Aku mengerti. Dewasa membuat mereka tahu jatuh cinta dan bagaimana cara mendapatkan cinta.
Lalu bagaimana kelanjutan kisah ini? Apalagi yang akan dituliskan langit? Lalu juga bagaimana akhir kisahku sendiri? Akankah memang hanya berujung kecewa dan penyesalan?
Ini kisah langit. Tak pernah tahu bermuara kemana. Yang aku tahu kisah ini pasti akan selalu mengalir. Membuat kita hanyut tanpa bisa menerka keberadaan sebenarnya.
Namun aku, para bintang, dan dia, akan terus mendayung agar sampai di ujung muara. Agar kami tahu pasti harus bagaimana. Tanpa meragu lagi seperti ini.
Namun... harus memilih jalan yang mana agar sampai di ujung sana?



THE END

BUT WAIITTT!!!
It's not the end. But it's the beginning! Keep read 'ocehan penulis'

1 komentar: