Cerpen ini
spesial teruntuk Gabriel Stevent Damanik dan para GabrielFC untuk lima tahunan
kebersamaan kita. Hahahaha.
***
Kamu berubah. Ini
bukan kamu. Di mana kamu yang dulu? Yang selalu menyampatkan diri menyapaku,
menanyakan kabarku, dan berbagi cerita dengan riangnya? Di mana kamu yang dulu?
Yang selalu mencoba menghibur ku walau aku tak sedang bersedih. Di mana kamu yang
dulu? Yang selalu dewasa menanggapi sesuatu, tanpa merasa takut pada apapun.
Di mana kamu yang
dulu? Bersembunyi di balik topeng 'pacar ganteng' kekasih barumu itu?
Sekarang aku mulai
merasakan kamu selalu berusaha menjaga image. Selalu berusaha terlihat 'tampan'
di depan kekasihmu. Tak pernah memedulikanku. Melupakan dan menjauhiku. Biar
apa? Biar kekasihmu tak cemburu? Lucu. Tolong beritahu dia. Kita bersama sudah
bertahun-tahun. Oh ya. Bukankah saat itu di awal dia mengatakan dia mengerti
dengan kondisi kita? Lalu kenapa mendadak seperti ini?
Jangan membuatku
jadi membenci kekasihmu. Dan parahnya, jangan membuatku jadi membencimu.
"Cindai?"
Cindai
terlonjak setengah mati. Tubuhnya bahkan terloncat kecil dan sontak mendongak,
dari awalnya khusyuk menulis di buku catatan oranyenya.
"Kenapa?
Kok kayaknya marah gitu?" tanya Marsha, sahabat Cindai, sambil duduk di
depan kursi Cindai. Ia baru saja datang dari kantin sambil membawa segelas
plastik es cokelat. "Mata lo juga berkaca-kaca. Kenapa sih?" tanyanya
khawatir, lalu menyedot es cokelatnya.
Cindai
terdiam. Lalu menghela nafas panjang. Ia menatap Marsha lurus. "Gue mau
bunuh Chelsea."
Marsha
sontak tersedak. Es cokelat dari sedotannya sampai menyembur membuat Cindai
refleks menarik tubuh menjauh.
Marsha terbatuk-batuk
sesaat, lalu melotot menatap Cindai. "Lo gila!" desisnya tak percaya.
Cindai
mendengus. "Sumpah, Sha! Ini udah di batas kesabaran! Gue emosi!!!"
geramnya kesal. Kalau mengingat buku di depannya bukan 'buku keramat'nya,
mungkin sudah ia jadikan pelampiasan amarah. Mengacak-acak kertas buku itu
sambil mengamuk.
Marsha
mendesah. "Udah deh, Ndai. Kemarahan lo nggak akan didenger Bagas.
Berantem lagi yang ada."
"Ya
karena itu!" Cindai menggebrak meja sambil berdiri. "Dia tuh udah
dibutakan! Bahkan gue, temennya dari SD sampai dilupain sama dia! Lo pikir
nggak nyesek? Sakit Sha!"
Marsha agak
menarik wajah, dan mengerjap-ngerjap menatap Cindai yang sudah 'berasap'.
Beberapa murid yang berada di dalam kelas menatap gadis itu.
"Gue
yang selalu dukung dia selama ini! Gue yang selalu nyemangatin dia! Gue yang
selalu ada! Tapi nyatanya? Di saat seneng dia nempelnya sama si sipit centil
sialan itu! Bahkan dia belain cewek itu daripada gue!"
"Ndai,
sabar Ndai, sabar," kata Marsha menarik Cindai duduk lagi. Ia memandang
teman-teman sekelasnya, lalu nyengir. "Sorry, biasa. Efek tadi nggak
ngantin nih. Hehehe."
Murid kelas
9B yang ada di sana saling pandang sesaat, tapi lalu kembali ke akitifas
masing-masing, belaga tak mengerti. Walau mereka sangat tahu. Cindai marah
karena Bagas jadian dengan Chelsea. Bukan karena cemburu. Jelas sekali. Karena
yang mereka tahu, Bagas kini seperti melupakan Cindai, dan selalu menempel pada
Chelsea. Bukan hanya Cindai, tapi hampir semua juga tahu, bahwa Bagas telah
berubah.
***
Bagas
mendesah, menatap gadis berseragam putih biru yang sedang menempelkan selembar
kertas di mading sekolah. Ia menata kertas berwarna jingga itu, lalu berbalik
dan kembali melangkah menuju kelasnya.
Bagas
menunggu sampai gadis itu pergi, dan kemudian mendekat ke depan mading. Pasti
cerpen baru. Gadis chubby tadi, Cindai, memang seorang penulis di sekolah ini.
Cerpen dan puisinya sudah sering ada tertempel di mading sekolah. Bagas selalu
membacanya. Dulu bersama Cindai, yang kemudian langsung mengomentari cerpen
itu. Dulu.
Bagas
membaca cerpen itu. Berjudul 'Kamu Telah Dewasa'. Mengisahkan tentang
persahabatan dua remaja putri SMP. Salah satunya sudah mempunyai seorang pacar,
dan membuatnya merasa ia sudah dewasa. Merubah segala hal. Dimulai dari bermain
bersama, mengerjakan pr bersama, tertawa bersama, secara perlahan semua telah
berkurang. Disibukkan dengan kegiatan bersama si pacar. Dewasa menjadikan dia
jadi pribadi yang arogan. Hanya mementingkan diri sendiri tanpa memedulikan
orang yang peduli padanya. Ia selalu menjadi baik di hadapan sang pacar,
menomorsatukan sang pacar, dan selalu berada di samping sang pacar. Tak lagi
memedulikan sahabatnya. Melupakan semua hal. Yang ada hanya pacarnya, pacarnya,
dan pacarnya.
"Cara
sindir ala Cindai banget," gumam Bagas membaca setengah cerpen itu. Ia
kemudian mendesah. "Kamu nggak ngerti, Ndai..." bisiknya pelan, entah
pada siapa.
"Bagas!"
Bagas agak
terkejut. Ia berbalik, mendapati seorang gadis cantik oriental berambut panjang
lurus tersenyum di hadapannya. Chelsea.
"Yuk
ke kelas. PR metik nomer 7 aku belum. Hehe," kata Chelsea cengengesan.
Bagas diam
sejenak, kemudian tertawa kecil. "Yuk," ajaknya kemudian menarik
tangan Chelsea menuju kelas mereka.
'Aku sayang
dia, Ndai,' batin Bagas melamun sambil melangkah. 'Dulu kamu selalu ngedukung
aku, kan? Tapi kenapa sekarang nggak? Memangnya salah aku punya pacar?'
***
Chelsea
mengangkat sebelah alis, membalas tatapan tajam seorang gadis manis bepipi
bulat yang sedang duduk berjarak dua meja darinya di kantin sekolah ini. Ia
bersama sahabatnya, sementara Chelsea bersama dua temannya.
Gadis itu.
Yang jelas sekali terlihat tak menyukai Chelsea. Berawal dari kedekatan Chelsea
dan Bagas sejak mereka sekelas. Chelsea tahu, Bagas dan dia berteman sejak
dulu. Tapi ya tetap saja, kan? Gadis itu adalah seorang gadis. Tak ada hubungan
darah dengan Bagas. Wajar kalau Chelsea merasa tak suka.
Gadis itu,
Cindai, tak bisa mengalihkan tatapan. Apalagi sejak Chelsea balas menatapnya.
Seakan-akan Cindai telah mengatakan apa yang ada di isi hatinya saat balas
tatapan itu. Bahwa ia ingin, ingin sekali, teramat ingin, sangat ingin, ingin
banget, kalau Chelsea menjauh dari Bagas sesegera mungkin.
Panggilan
dari temannya membuat mau tak mau Chelsea mengalihkan pandangan. Cindai
mendengus.
"Sha,"
panggilnya tanpa mengalihkan pandangan, membuat Marsha yang sedang melahap
batagornya menoleh. "Bawa samurai nggak?"
Marsha
langsung terbatuk-batuk. Ini sudah kedua kalinya ceplosan Cindai membuatnya
tersedak. Ia memandang ke depan, melihat Chelsea yang sedang mengobrol bersama
teman-temannya. "Nggak, cuma ada ini nih," canda Marsha mengacungkan
garpu di tangan.
"Oke
deh bisa. Sini," Cindai merebut garpu itu dan ingin berdiri.
"Eeeehhh,"
Marsha segera menariknya duduk, dan mengambil alih garpu itu segera. "Udah
deh, Ndai! Gila ah lo!"
Cindai
menghembuskan nafas keras. "Sha, gue tuh temenan udah lima tahun lebih!
Wajar kalau gue nggak terima diginiin! Gue curiga kalau Bagas udah diracunin
atau dipelet!" gerutunya geram dan tertahan, mengingat ini adalah kantin.
Walau emosi, gadis itu berusaha menahan diri.
Marsha
mendesah. Ini sekian kalinya ia mendengar omelan itu. Selalu begitu.
"Gue
juga pernah kali pacaran sama si Ray! Tapi gue nggak lupain dia loh! Bahkan Ray
sering marah karena gue mentingin dia. Gue justru malah bela dia! Karena dia
sahabat gue!" marah Cindai tak tahan.
"Iya,
Ndai. Gue gerti," kata Marsha menenangkan. "Udah deh, Ndai. Waktu itu
aja lo berantem hebat sama Bagas gara-gara ini. Lo mau apa? Ngelabrak Chelsea
gitu? Itu justru buat Bagas makin kesel sama lo. Mungkin sekarang Bagas udah
bener-bener sayang," kata Marsha menasihati. "Lo harusnya
ngedukung."
Cindai
menghela nafas panjang, mencoba menyabarkan diri karena ia sadar bahwa ini
masih di kantin sekolah. "Sha, gue udah dukung dia kok. Gue ngerti. Tapi
ya nggak gini juga lah. Masa' dia nggak pernah nyapa gue, ngomong sama gue,
ataupun main ke rumah gue. Mana pernah Sha! Lo terima nggak kalau gue gituin
elo?"
Marsha
terdiam. "Eung... ya nggak sih...." katanya mau tak mau membenarkan
juga.
"Nah!
Punya pacar buat dia ngelupain siapa yang selama ini ada buat dia! Gue doain
deh shortlast!"
"Cindai
ah!" tegur Marsha segera. "Bagas itukan sahabat lo, nggak boleh
gitu."
"Gue
emosi!" sahut Cindai ketus. "Sumpah ya, Sha. Selama ini, setiap gue
marah ataupun kecewa sama Bagas, nggak pernah sampai kayak gini. Ini udah batas
maks gue bete sama dia! Gara-gara apa? Gara-gara cewek yang belum ada satu
tahun dia kenal!"
Marsha
menghela nafas, "kalau menurut gue sih ya. Bagas hanya berusaha nyenengin
Chelsea. Wajar Ndai kalau lo bersikap manis di depan orang yang lo suka. Gitu
juga Bagas. Usia kita ini Ndai, awal dimana kita baru-baru ngerasain cinta
monyet, naksir-naksiran, yang buat perasaan kita bahagia terlalu banyak,
ataupun sedih berlebihan. Jadi lo ngerti kalau Bagas lagi bahagia di atas awan
sama Chelsea, karena itu dia selalu mementingkan Chelsea daripada yang lain,"
nasihat Marsha panjang lebar. Ia menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dan
melanjutkan. "Coba deh lo ingat saat lo suka sama Ray. Lo pasti mikirin
Ray terus, kan? Pengen tahu dia lagi apa, khawatir dia lagi sama siapa, atau
yang lain. Lo pengen liat dia seneng karena elo, kan? Dan saat jadian, lo
pengen terus sama-sama Ray, kan? Lo seakan-akan nggak mau pisah, kan? Itu
wajar, Ndai. Itu tingkah orang jatuh cinta."
Cindai
terdiam. Seperti ditembak telak. Tak bisa membantah lagi. Marsha memang sahabatnya
yang paling unik. Terkadang sering asal ceplos, tapi terkadang dewasa
menanggapi sesuatu. Tipe sahabat baik yang dibutuhkan.
"Jangan
salahin Bagas terus, Ndai. Biarkan dia bahagia. Nggak lama kok. Karena gue
yakin, kalau nanti dia pisah sama Chelsea, yang dia ingat pasti elo. Orang yang
selalu ada buat dia," kata Marsha menenangkan, lalu tersenyum. Dan
kemudian kembali melanjutkan makan batagornya yang sempat tertunda. Membiarkan
Cindai terdiam memikirkan ucapan-ucapannya.
***
Bagas
mendelik. Dan tak lama raut wajahnya jadi kaku dan geram. Menatap gadis cantik
itu, yang kini sudah berkaca-kaca di hadapannya.
"Maksud
kamu apa sih?" tanya Bagas mencoba sabar, walau jelas sekali ia menahan
amarah.
"Sorry,
Gas..." kata Chelsea bergetar. "Aku nggak maksud. Tapi..."
ucapan Chelsea terhenti sejenak. "Aku nggak bisa bohongin perasaan, kalau
aku... masih sayang sama Arya."
Tangan
Bagas terkepal. Ada sesuatu yang menancap dadanya. Sakit sekali. "Jadi...
selama ini kamu masih sering berhubungan sama dia?" tanyanya serak dan
datar.
Chelsea
menarik kembali bulir hangat yang hampir menetes dari mata sipitnya. "I...
iya..." ucapnya bergetar dan menunduk.
Bagas
menghela nafas keras. "Selama ini, aku selalu coba jaga perasaan kamu. Aku
nggak pernah sekalipun ngobrol sama Cindai padahal dia sahabat aku! Aku bahkan
ngejauh dari Cindai karena kamu! Tapi kamu malah kayak gini?" kata Bagas
tak bisa menahan diri. Jelas sekali terdengar nada kecewa dan emosi.
Chelsea
makin menunduk. Air matanya mulai mengalir tak bisa dibendung. "Maaf,
Gas... Maaf..." ucapnya tersendat dan bergetar.
Bagas
menggelengkan kepala tak percaya, kemudian menghela nafas keras. "Kita
putus," tegasnya tajam, dan kemudian segera berbalik pergi. Meninggalkan
Chelsea yang menangis di koridor sekolah yang sudah sepi.
Bagas
melangkah cepat dengan gusar. Ransel di punggungnya bergerak-gerak seiring
langkahnya. Sekolah sudah sepi karena setengah jam lalu bel pulang sudah
berbunyi. Ini hari Sabtu. Ada beberapa anak yang masih berada di area sekolah.
Sekedar nongkrong ataupun latihan ekskul.
Bagas terus
melangkah. Hatinya benar-benar retak dan hancur. Dan entah kenapa perasaannya
membawanya melangkah menuju perpustakaan. Tidak. Ia bukan masuk ke perpustakaan
yang diisi anak mading itu, tapi menuju ke belakangnya. Dimana ada botanical
garden sekolah yang sejuk.
Mendengar
suara langkah, Cindai sontak terlonjak dan segera menoleh. Ia makin terkejut,
serta refleks berdiri. Menatap Bagas yang wajahnya kaku dan pucat, berdiri tak
jauh di depannya.
Bagas
terdiam. Tak bisa berkata. Hanya menghentikan gerak kaki dan terdiam. Ia tak
tahu harus bagaimana. Dirinya juga bingung bagaimana bisa ia menuju kemari.
Tentu saja di hari Sabtu begini, sepulang sekolah bukannya ikut ekskul, Cindai
justru bersembunyi di belakang perpus. Di samping botanical garden yang sejuk.
Ada meja dan beberapa kursi taman di sana, yang biasanya dipakai para penjaga
sekolah dan tukang kebun untuk berkumpul ataupun merokok bareng. Sabtu jam
sebelas seperti ini para penjaga sekolah dan tukang kebun sibuk, belum waktu
mereka istirahat. Jadi Cindai selalu memakainya sebagai tempat menulis.
Cindai
dapat membaca rasa sedih dan kecewa dalam mata Bagas. Membuatnya melangkah
keluar dari belakang meja dan maju ke hadapan sahabatnya itu.
"Kenapa?"
tanya Cindai khawatir dan cemas.
Bagas
seperti ditampar keras. Nada itu. Ekspresi itu. Dari sahabatnya. Yang selalu
ada untuknya. Yang selalu mendukungnya. Yang selalu menyemangatinya. Yang
pernah ia lupakan.
Lutut Bagas
melemas. Membuatnya luruh dan dengan perlahan berlutut, membuat Cindai
terkejut. Pemuda itu menatap Cindai nanar sambil berlutut tepat di hadapan
Cindai.
"Maaf..."
Kata itu
terlontar begitu saja. Penuh getaran penyesalan. Penuh pilu dan rasa bersalah.
Membuat hati Cindai terenyuh. Ia membeku, menatap Bagas dengan mata melebar.
"Aku
sudah jadi sahabat yang jahat. Maaf..."
Bagas
mengucapkan sepenuh hati, benar-benar menyesal. Membuat Cindai mendesah lega
dan tersenyum haru. Ia menatap Bagas, dengan mata yang mulai berkaca.
"Lain
kali, sadar diri biar nggak overdosis. Kamu kemarin mabuk," kata Cindai
membuat Bagas mengernyit. "Mabuk cinta maksudku," sambungnya
tersenyum menahan tangis.
Bagas
tertegun sejenak, tapi lalu tertawa kecil. Cindai mengulurkan tangan, menarik
pemuda itu berdiri kembali. Mereka berdiri berhadapan, saling menatap. Hening
itu seakan telah bercerita, menjelaskan semua. Membuat Cindai mengerti, pemuda
ini telah memutuskan hubungannya dan tersadar akan semua. Membuat Bagas juga
mengerti, gadis ini pernah kecewa dan marah padanya, tapi tak pernah 'pergi'.
"Jangan
berubah lagi," kata Cindai lirih, penuh permohonan.
Bagas
tersenyum lembut, "maaf..."
Cindai
balas tersenyum, kemudian mengacungkan kelingking kanannya. "Still amigo
ya?" katanya tersenyum lebar.
Bagas
tertawa kecil, lalu membalas uluran itu, mengaitkan kelingkingnya.
"Amigo," ucapnya seraya tersenyum.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
EAAAAAAAA
HAHAHAHA APAINI YA -_-
Ya gitu
deh. Ini curahan hati ttg rasa kecewa dan marah buat abang kambing tercinta.
Tapi ucapan Marsha di cerpen ini bener2 buat aku jadi sadar sendiri. Kalau
emang harusnya kita ngertiin orang yg lagi 'fall in love'. Dia juga manusia
biasa, juga ngerasain hal yg sama klo lagi jatuh cinta. Kita juga gitu kan?
Ya bukannya
doain shortlast ataupun berakhir kayak cerbung ini. Klo dia baca, aku cuma mau
dia tahu kalau kita, para fansnya, akan selalu ada buat dia walaupun dia udah
pernah ngecewain kita. Kita akan selalu ada buat dia ya. Hehehe.
Dan buat my
lovely kambing tersayang, walau lagi bahagia, please jgn nyuekin kita ya.
Seenggaknya kamu kyak dulu, ngehibur kita walau itu hanya di timeline. Dgn twit
kocakmu, ataupun dgn pendapatmu ttg sesuatu. Hihihihi. Tapi kalau memang kamu
mau berubah jadi lebih dewasa, please berubah secara perlahan. Dan berubah ke
arah yang baik ya. Biar banyak yg makin sayang sama kamu.
Udah deh
gitu aja. Sorry ini cerpennya badai lagi. Nggak tahu mau couple apa bingung
saya -_- masa AlieL? Kan ga cucok gitu. Hahaha. Eh, but. Buat yg bilang aliel
aliel dan aliel, tengkyu loh! Hahaha aku aja kaget ada yg bilang gitu dan kini
nyebar. wkwkwk.
cheers!
@aleastri
^^
http://nalurerenewws.blogspot.com/2018/08/taipanqq-bahaya-bila-area-kewanitaan.html
BalasHapusTaipanbiru
TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsasusun
• Domino99
• Poker
• BandarPoker
• Sakong
• Bandar66
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : E314EED5
Daftar taipanqq
Taipanqq
taipanqq.com
Agen BandarQ
Kartu Online
Taipan1945
Judi Online
AgenSakong