Part 2. Nostalgia
Bel pulang
berbunyi. Para murid mengemasi barangnya, lalu beranjak pergi. Ify dan Acha
juga begitu. Mereka melangkah bersama keluar kelas, sebelum tiba-tiba seseorang
menahannya berdiri di depan dua gadis itu. Ify dan Acha terkejut. Mereka tak
bisa menahan diri untuk tidak melotot kaget melihat pemuda tampan itu kini
tersenyum ramah di depan keduanya.
"Fy,
gue mau ngomong," kata pemuda itu, Gabriel.
Ify
merasakan tungkainya melemas seketika. Hatinya seakan mencelos. Mulutnya
sedikit terbuka tak percaya. Apa tadi Gabriel bilang? Mau ngomong? Aduh... kok
kesannya kayak cowok yang mau nembak gitu ya? Aduhduh. Tanpa sadar pipi Ify
langsung memanas.
Acha
menyenggol lengan Ify, membuat gadis itu segera tersadar ia berada di hadapan
cowok pujaan hatinya. Masa' ia balah terbengong? Memasang wajah bodoh? Aduh...
Ify
berdehem pelan, berusaha sekuat tenaga bersikap tenang. "Ya? Kenapa?"
Gabriel
tersenyum (tanpa tahu gadis yang mendapat senyuman itu langsung meleleh tak
karuan). "Gue mau gabung ekskul musik nih. Daftar ke elo, kan?"
"Lo
mau gabung?" Ify tak bisa menahan nada bahagia dari mendengar ucapan itu.
Acha di
sampingnya merutuk sahabatnya ini. Kentara banget sih Ify sangat gembira.
Ckckck.
"Iya.
Gue seneng sama musik juga. Dari kelas satu sih mau gabung, tapi karena waktu
itu gue lebih condong olahraga, jadi gue milih fokus basket," jelas
Gabriel.
Ify meneguk
ludah. Gila meeen!!! Ini mah cowok idaman banget. Udah jago olahraga, suka
musik pula! Awawaw.
"Basket
lo gimana?" tanya Acha ikut bicara.
"Tetep
sih, cuma gue pasti bisa bagi waktu kok. Lagian, jadwal basket sama musik itu
beda. Ya, kan?" tanya Gabriel menoleh pada Ify dan tersenyum ramah.
Ya Tuhan...
murah senyum sekali pangeran satu ini. Dia sadar kali ya senyumannya itu maut?
Makanya tersenyum terus. Tapi... bisa-bisa Ify akan cepat mati di samping
pemuda ini kalau melihat senyuman menawan itu berkali-kali.
"Gimana
Fy? Bisa, kan?"
Ify
berdehem lagi, mencoba menguasai diri. "Bisa kok," ucapnya manis
sambil tersenyum.
Diam-diam
Acha sedikit mendelik geli.
"Eh,
oh ya. Kebetulan banget gue mau ke ruang musik dulu nih sebelum pulang. Lo bisa
sekalian ambil formulirnya di sana," kata Ify mengingat ia harus ke ruang
musik dulu mengambil buku lagunya yang tertinggal kemarin.
"Oke.
Bareng yuk," ajak Gabriel ramah sambil berbalik, dan mulai melangkah.
Saat pemuda
itu berpaling, mulut Ify segera terbuka lebar dengan mata membelalak. Antara
terkejut dan senang. Acha segera menarik lengan gadis itu, mengikuti langkah
Gabriel.
Menyadari
ia memimpin langkah, Gabriel memelankan langkahnya. Agar ia sejajar dengan dua
gadis itu. Dan ia tepat berada di samping Ify, membuat jantung Ify jadi seperti
petasan betawi di acara kawinan. Meledak-ledak.
"Eh,
gue lupa deh. Tadi disuruh ke kantor sama Miss Alya," kata Acha tiba-tiba
sambil menghentikan langkah.
"Ha?
Kapan Miss Alya ngomong?" tanya Ify menoleh, tak tahu menahu.
"Ada
tadi. Elo sih nggak merhatiin! Liat langit mulu," kata Acha beralasan.
Ify
mencibir, sementara Gabriel mengangkat alis.
"Kayaknya
nggak bisa ikut kalian ke ruang musik deh."
Kali ini
Ify jadi membelalak.
"Jadi...
kalian berdua aja ya! Dadaaa!!!" pamit Acha melambai, lalu segera berbalik
dan ngacir.
"Accchh....."
nama itu menggantung di ujung lidah Ify, menyadari sia-sia saja ia menahan.
Gadis itu menggigit bibir kuat, dan berdoa dalam hati. Semoga jantungnya tak
benar-benar 'meledak' saat ini juga.
"Ya
udah. Yuk," suara Gabriel dari balik punggung Ify terdengar, membuat Ify
segera sadar.
Mereka
kembali melangkah menuju ruang musik. Berdua. Beriringan. Bersampingan. Bagi
kalian yang kasmaran, pasti tahu kan rasanya jalan berdua dengan si pemilik
hati? Kebahagiaannya itu tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Mungkin kalau
ada kata di atas sangat-bahagia-banget-sekali, itu adalah yang pas.
"Fy..."
Ify melirik
sedikit, "ya?" jawabnya singkat.
"Kok
lo diem? Kayaknya gue sering liat lo justru suka ngomong gitu deh, hehe."
"Ih
apaan sih. Itu Acha kali," sahut Ify mencoba menyembunyikan suara bergetar
dahsyat karena jantungnya yang benar-benar diterpa gempa mendadak. Karena...
tolong ya diulangi. SERING LIAT? Jadi... Gabriel sering melihatnya?
Memerhatikannya? KYAAA.
"Tapi
lo juga kok," sahut Gabriel tanpa menyadari salah tingkah Ify.
Ify merutuk
kesal kala melihat ternyata pintu ruang musik sudah dekat. Ah. Kenapa ruang
musik deket banget sih? Bisa nggak dijauhin sampai ke Manado? Atau Papua kek
sekalian. Biar Ify bisa lama-lama berjalan dengan pemuda ini. Eh tapi. Nantikan
di ruang musik mereka juga akan berdua, ya? Aduhduh.
Ify dan
Gabriel melangkah masuk ke dalam ruang musik yang kosong itu. Berukuran seperti
ruang kelas biasa. Di pojok ada sebuah piano, yang bersebrangan dengan sebuah
drum dan juga keyboard. Dinding-dindingnya dihiasi gitar-gitar yang
bergantungan. Ada juga bass, biola, dan beberapa alat perkusi.
Ify menuju
meja yang berada di sisi berseberangan dengan alat-alat musik, lalu mengambil
satu formulir dan menyerahkan ke Gabriel. Gabriel tersenyum menerimanya,
kemudian duduk di salah satu kursi terdekat dan mulai mengisi. Ify kini
melangkah menuju piano hitam di sudut kelas, dan mengambil buku lagu yang ada
di atasnya.
"Fy..."
"Hm?"
jawab Ify sambil duduk di kursi piano. Ia belaga membuka-buka buku lagunya,
padahal sebenarnya menyembunyikan diri bahwa ia sangat sangat gembira karena
hari ini Gabriel berulang kali memanggil namanya. Ya... walaupun dua huruf,
tapi itu kemajuan pesat. Sangat pesat.
"Lo
nyanyi dong," pinta Gabriel tiba-tiba, membuat Ify sontak mendongak.
"Selama ini lo main piano doang. Kali ini, main piano sambil nyanyi dong.
Gue pengen liat," kata Gabriel semangat sambil tersenyum.
Ify
merasakan pipinya mulai membara lagi, "eum... nyanyi?"
Gabriel
mengangguk.
"Nyanyi
apa?" tanya Ify tak bisa menolak. Apapun ia juga pasti tak akan menolak
kalau pemuda ini yang meminta.
"Terserah
elo," kata Gabriel mengangkat bahu.
Ify memutar
mata, berpikir. Ia kemudian membuka-buka buku lagunya lagi. Sampai gadis itu
menemukan satu lagi yang tepat. Wajahnya merekah, lalu menaruh buku lagu itu
disenderan atas piano.
"Ehm.
Denger ya," kata Ify riang, sambil mulai menekan tuts.
Gabriel
memperbaiki posisi duduk, dan memerhatikan Ify lekat. Gadis itu kini mulai hanyut
dalam permainan pianonya. Ia mulai membuka mulut, suaranya ternyata tak kalah
merdu dengan nada-nada indah musiknya.
"Setiap
waktu, memikirkanmu... Ku katakan, pada bayangmu..." Ify menggerakkan mata
perlahan, melirik ke arah Gabriel. "Sampai kapanku harus, menunggumu...
jatuh cinta..."
Gabriel
tanpa sadar tersenyum memandang gadis itu. Entah mengapa ia makin terlihat
cantik setiap ia bermain piano. Apalagi kini gadis itu juga bersenandung merdu.
Gabriel terus memandang Ify lekat. Tapi entah mengapa, mendadak ia jadi
mengerutkan kening sedikit. Sepertinya... ia pernah melihat wajah Ify. Ah, ia
memang sering lihat kan selama sekolah di sini? Tapi... entah mengapa di benak
Gabriel yang muncul bukanlah Ify berwajah tirus dengan behel dan senyuman manis
ini. Ada sosok lain. Pipinya lebih bulat, tak setirus sekarang. Rambutnya lebih
pendek. Suaranya juga lebih cempreng dan lucu. Em... Sebenarnya Gabriel pernah
berfirasat seperti ini. Apakah... mungkin?
"Rindu
ini, terus mengganggu... Ku tak sabar, ingin bertemu... Berapa lama lagi...
menantikan, kata cinta..."
Ify melirik
Gabriel, tak kuasa memandang keseluruhan pemuda itu. Jemarinya sudah hapal tuts
piano, sehingga bergerak dengan begitu lincah walau matanya sering bergerak
memandang pemuda yang jadi tujuan lirik yang ia nyanyikan ini. Betapa ia sangat
mengaguminya, selalu menunggu dan menantinya, dengan penuh harapan yang terus
mengembang tak karuan. Andai saja pemuda ini tahu.
"Andaikan
dia tahu... Apa yang ku rasa... resah tak menentu, mendamba cintamu... Andaikan
dia rasa... hati yang mencinta... Ku yakini, kau belahan jiwa..."
Jemari Ify
dengan lincah bergerak menekan tuts itu dengan merdu. Dan tak lama, gadis itu
menghentikan permainan pianonya, lalu mendongak. Tersenyum pada Gabriel.
Gabriel
tersenyum lebar, lalu menepuk kedua tangannya berkali-kali. "Keren keren.
Bagus banget," puji Gabriel tulus.
Ify
tersenyum tersipu. Gabriel berhenti bertepuk tangan, lalu cukup terdiam lama
memandangi Ify. Membuat Ify merasa jengah dan menunduk.
"Fy,
kita pernah kenal nggak sih?"
Ify
tersentak, dan mendongak. Gabriel menatapnya lekat, membuat ia sedikit salah
tingkah.
"Kok...
kayaknya gue pernah liat elo ya? Dan... em... Ify. Nama itu kayaknya juga gue
pernah denger," kata Gabriel mencoba mengingat. Walau sebenarnya sudah ada
sosok gadis kecil dalam ingatannya.
Ify
mengerutkan kening, "em... jujur sih. Awal liat lo gue juga sempet inget
seseorang gitu. Tapi... gue lupa," kata Ify cengengesan. Ya, memang. Dia
tertarik pada pemuda ini awalnya karena wajah Gabriel mengingatkan dia pada
seseorang.
Kedua orang
itu saling tatap. Ify sejenak melupakan detakan jantung cepat kala menatap
sepasang bola mata itu. Mereka terus mencoba saling mengingat, mencari
bongkahan-bongkahan kenangan yang mungkin saja masih tersisa dalam ingatan
mereka.
"Elo...
waktu kecil sekolah di TK Harapan nggak?" tanya Gabriel.
Mata Ify
melebar, "iya!"
Wajah
Gabriel merekah seketika, "lo... sering main di taman deket TK itu, kan?
Main ayunan pasti!"
Mulut Ify
terbuka lebar. Ia tadi memang sempat menduga, tapi entah mengapa otaknya
menyangkal. Dan mendengar ucapan itu. Membuatnya benar-benar jadi ingat.
"BINTANG?!"
Gabriel
tersentak, tapi lalu tersenyum. Lebar sekali. "Ify! Ify Super Mario!"
kata Gabriel menunjuk Ify yang sudah berdiri dari duduknya.
"Oh
God..." gumam Ify tercekat, lalu mendekat.
Gabriel
juga beranjak dan mendekat. Keduanya lalu berdiri berhadapan. Ify menggerakkan
kepala dari atas ke bawah, begitu pula Gabriel. Sama-sama tak percaya dengan
perubahan drastis yang masing-masing alami.
"Sumpah!
Gue baru ingat sama Bintang!" kata Ify jujur, membuat Gabriel tertawa.
"Jadi
lo lupa sama cowok yang sering dorongin lo ayunan tanpa capek? Padahal elokan
bawel banget nggak mau berenti main," ejek Gabriel.
"Gila.
Elo kok.... berubah banget," kata Ify tak percaya menatap sekali lagi
Gabriel dari atas ke bawah. 'Jadi tambah ganteng...' batin Ify.
Gabriel
tersenyum, "semua pasti berubah lah. Elo juga. Untung gue masih inget dagu
panjang lo itu."
Ify sontak
memegang dagunya, dan lalu tertawa.
"Gue
jadi pengen nostalgia nih. Em... gimana kalau kita ke taman itu? Udah lama
nggak ke sana," ajak Gabriel senang.
"Mau
mau!" kata Ify segera, tapi ia merutuk dalam hati karena begitu
bersemangat.
Gabriel
hanya tertawa, lalu memasukkan formulir dan pulpen ke dalam tasnya. "Nanti
aja ya gue kasih lo formulirnya," kata Gabriel mulai melangkah.
"Nggak
papa. Besok juga boleh kok," kata Ify mengikuti sambil menggenggam buku
lagunya. Dalam hati ia sangat senaaang sekali.
^^^
Gabriel dan
Ify duduk di sebuah bangku taman di dekat TK Harapan. Banyak yang berubah dari
taman ini. Walau tak terlalu terlihat. Permainan-permainannya agak bertambah.
Beberapa berubah letak. Air mancur yang dulu ada di tengah taman kini
menghilang. Berubah menjadi tempat duduk melingkar dengan tanaman bunga di
tengahnya.
"Udah
berapa lama ya kita nggak ketemu?" tanya Gabriel setelah memandangi
sekeliling taman yang agak ramai.
"Eum...
sepuluh mungkin? Atau sebelas ya?" jawab Ify mencoba mengingat.
"Seingat gue sih, setelah lulus TK gue nggak pernah ke sini lagi."
Di
sampingnya, Gabriel mengangguk-angguk. "Rumah gue dulu deket sini. Setiap
siang pasti mainnya ke sini nih. Ketemu elo," kenangnya tersenyum.
Ify ikut
tersenyum. Diam-diam, ia mengenang saat-saat itu. Tanpa tahu, Gabriel juga ikut
terlempar dalam kenangan yang muncul lagi ke permukaan ingatan mereka.
*
Besoknya setelah
kejadian Bintang datang untuk menemani Ify, Ify dan Rio kembali datang ke taman
itu. Kedua mama mereka memang sering mengajak mereka ke sini kalau sore hari.
Tak jauh dari rumah. Walau pulang sekolah Ify dan Rio pasti main ke sini,
sorenya mereka juga sering meminta untuk datang lagi. Karena Ify senang sekali
playground. Terutama ayunan.
Ify tersenyum kala
melihat Bintang sedang duduk di ayunan, lalu berlari mendekat. Rio yang
berjalan di sampingnya tersentak, tapi segera mengikuti Ify.
"Bintang! Kamu
datang lagi," kata Ify senang sambil duduk di ayunan samping Bintang.
Ayunan itu hanya dua, membuat Rio merenggut karena tak kebagian. Ia hanya
berdiri di samping Ify.
Bintang tersenyum,
"kan kamu yang bilang. Besok main lagi. Ya udah aku datang. Rumah aku
deket kok. Di situ tuh," jawab Bintang menunjuk sebuah rumah di deretan
samping TK Harapan, sekolah Ify dan Rio.
"Ngapain sih?
Ify mainnya sama aku!" kata Rio yang sudah kesal melihat pemuda kecil ini.
"Lio ih! Nggak
papa tahu," sahut Ify mengomeli, lalu menoleh pada Bintang, "udah
Bin, nggak usah dihirauin. Rio emang galak."
"Ipi!" tukas
Rio.
Bintang tertawa,
"kalian berdua emang sama-sama galak."
Ify dan Rio sontak
mendelik dan manyun. Bintang makin tertawa, lalu menatap Rio.
"Rio, aku juga
mau jadi teman kalian. Selama ini jarang ada anak yang seumuran aku main di
taman ini sore-sore begini. Aku mau ikut main sama kalian," pinta Bintang.
Ify dan Rio
terdiam. Ify memandang ke arah Rio, dan menunjukkan wajah memelas. Rio menghela
nafas, mengerti ekspresi itu.
"Oke oke.
Tapi, kamu kebagian tugas yang dorongin Ify main ayunan ya. Aku males
banget," kata Rio dengan gaya bossy.
Bintang tertawa,
tapi menurut saja. Ia lalu beranjak, dan berdiri di belakang Ify. Ify tertawa
senang.
Rio mendesah,
kemudian gantian duduk di ayunan Bintang tadi. Bintang mendorong ayunan Ify
sambil tersenyum senang. Tak lama, Ify memilih berhenti, lalu menoleh pada Rio.
"Lio..."
panggil Ify membuat Rio yang sedari tadi hanya menggoyang-goyangkan ayunannya
menoleh.
"Rio,"
tukas Rio meralat.
"Iya,
Rio," ucap Ify menurut. Ia diam sejenak, lalu tersenyum bahagia. "Sekarang
aku nggak perlu liat langit lagi."
Rio dan Bintang
mengerutkan kening, sementara Ify makin tersenyum lebar.
"Karena,
sekarang aku punya dua bintang di bumi ini. Ada kamu, dan Bintang," Ify
menggerakkan kepala ke arah Bintang sambil tersenyum, "bintang-bintang di
langit nggak bisa nyamain kalian. Jadi aku nggak perlu ditemenin bintang
lagi."
Rio tertegun,
sementara Bintang tak tahu menahu maksudnya.
"Aku
seneeeeeng banget sekarang punya dua teman yang sama-sama punya nama Bintang.
Karena aku yakin deh, sinar kalian pasti bisa buat aku bahagia terus!"
kata Ify ceria dan girang.
Rio dan Bintang
saling pandang sejenak. Sebelum keduanya akhirnya tersenyum pada Ify.
"Tapi sinar
aku lebih terang, kan?" tanya Rio menyombongkan diri.
"Eum... kalau
kamu beliin aku boneka Super Mario, oke," kata Ify tertawa lalu memeletkan
lidah.
"Huh! Super
Mario mulu kamu ini," kata Rio mendecak.
"Yakan kamu
yang ngajarin. Kalau aja kamu nggak seneng main game Super Marioku, pasti aku
juga nggak ikutan suka," kata Ify membela diri, "lagian, mamakan beli
kasetnya buat aku. Tapi kok yang nyobain pertama malah kamu."
"Yeee kamukan
nggak bisa main, harus aku ajarin dulu," balas Rio. Ify mencibir.
"Eum... Super
Mario apa sih?" tanya Bintang yang diam sedari tadi. Rio dan Ify menoleh.
"Kamu nggak
tahu? Deso banget," ejek Rio. Bintang menggeleng saja.
"Itu games
yang lagi booming banget Bin. Nanti deh kapan-kapan kamu ke rumah aku, kita
main bareng pake nitendo aku," ajak Ify ceria, berbeda sekali dengan nada
suara Rio. "Oh ya. Super Mario juga ada di TV kok. Setiap Minggu pagi.
Kamu harus nonton!"
Bintang
mengangguk-angguk, "kalau Minggu, mama aku biasanya ngajak jalan. Makanya
aku jarang nonton kartun. Ya udah nanti aku mau nonton!" katanya
tersenyum.
"Yeay! Mulai
sekarang, kita jadi trio Super Mario!" kata Ify gembira.
"Ih nggak.
Kamu aja. Aku nggak mau jadi gendut dan berkumis kayak Super Mario," kata
Rio menolak. "Ipi Super Mario."
"Lio
jelek," ejek Ify kesal.
"Kata mamaku
aku ganteng tuh," sahut Rio memeletkan lidah.
"Kata mamaku
kamu jelek," balas Ify tak mau kalah.
"Eh...
sudahlah kalian. Ayo main lagi," kata Bintang menengahi. Sepertinya
keberadaannya bisa jadi penengah antara Rio dan Ify yang terus berkelahi.
Rio hanya mencibir,
tapi kali ini menurut tak membalas. Bintang tersenyum, dan kemudian mendorong
ayunan Ify lagi dengan kencang. Dan selanjutnya, beralih ke Rio mendorong anak
laki-laki itu membuat Rio tersentak dan segera berpegang pada tali ayunan.
"Wooo,"
teriak Ify bersorak senang.
"Waaa,"
kini Rio yang ikut bersorak.
Bintang tertawa
melihat keduanya. Mungkin orang-orang berkata ia bodoh, mau saja mendorong dua
orang itu yang tak mau gantian dengannya. Terserahlah. Karena kali ini Bintang
benar-benar senang, memiliki dua teman baru seperti Rio dan Ify.
*
"Dulu
lucu banget ya Fy," kata Gabriel setelah mengingat kenangan dulu ia
bersama Ify.
Ify
tersentak dari lamunannya, lalu tersenyum. "Iya. Kita jadi sering main
bareng di sini. Dan kamu pasti dorongin ayunan aku. Hahaha."
"Em...
Fy," panggil Gabriel membuat Ify menoleh dan menggumam menjawab. "Rio
mana?"
JLEB
Garis wajah
Ify mengendor seketika. Ify merasakan jantungnya berhenti sejenak. Pertanyaan
yang... jujur, paling ia benci. Karena setiap mendengar pertanyaan itu -oh,
mungkin nama itu- hati gadis ini selalu retak. Jantungnya seakan ditikam keras.
Membuatnya terdiam membeku.
Gabriel
mengerutkan kening, melihat jelas perubahan pada wajah Ify, "kenapa?"
tanyanya agak khawatir, "Rio... masih ada kan Fy?"
Masih ada.
Ify merasakan hatinya makin teriris. Ia mendongak, menatap langit cerah dengan
tatapan sendu.
"Masih
ada dalam artian apa nih?" tanya Ify dengan suara lirih.
"Em...
ya... maksud gue... Masih di dunia kita gitu," kata Gabriel merasa agak
salah bicara.
Ify tertawa
getir, lalu mengedikkan bahu. "Gue nggak tahu."
Gabriel
mengerutkan kening, "kenapa?"
Ify
menghela nafas panjang. Ia menunduk, lalu memejamkan mata sesaat. Kemudian
gadis itu kembali menoleh pada Gabriel, dan mencoba tersenyum tipis.
"Dia..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar