Sabtu, 12 Januari 2013

Bintang Super Mario Part 2



Part 2. Nostalgia

Bel pulang berbunyi. Para murid mengemasi barangnya, lalu beranjak pergi. Ify dan Acha juga begitu. Mereka melangkah bersama keluar kelas, sebelum tiba-tiba seseorang menahannya berdiri di depan dua gadis itu. Ify dan Acha terkejut. Mereka tak bisa menahan diri untuk tidak melotot kaget melihat pemuda tampan itu kini tersenyum ramah di depan keduanya.
"Fy, gue mau ngomong," kata pemuda itu, Gabriel.
Ify merasakan tungkainya melemas seketika. Hatinya seakan mencelos. Mulutnya sedikit terbuka tak percaya. Apa tadi Gabriel bilang? Mau ngomong? Aduh... kok kesannya kayak cowok yang mau nembak gitu ya? Aduhduh. Tanpa sadar pipi Ify langsung memanas.
Acha menyenggol lengan Ify, membuat gadis itu segera tersadar ia berada di hadapan cowok pujaan hatinya. Masa' ia balah terbengong? Memasang wajah bodoh? Aduh...
Ify berdehem pelan, berusaha sekuat tenaga bersikap tenang. "Ya? Kenapa?"
Gabriel tersenyum (tanpa tahu gadis yang mendapat senyuman itu langsung meleleh tak karuan). "Gue mau gabung ekskul musik nih. Daftar ke elo, kan?"
"Lo mau gabung?" Ify tak bisa menahan nada bahagia dari mendengar ucapan itu.
Acha di sampingnya merutuk sahabatnya ini. Kentara banget sih Ify sangat gembira. Ckckck.
"Iya. Gue seneng sama musik juga. Dari kelas satu sih mau gabung, tapi karena waktu itu gue lebih condong olahraga, jadi gue milih fokus basket," jelas Gabriel.
Ify meneguk ludah. Gila meeen!!! Ini mah cowok idaman banget. Udah jago olahraga, suka musik pula! Awawaw.
"Basket lo gimana?" tanya Acha ikut bicara.
"Tetep sih, cuma gue pasti bisa bagi waktu kok. Lagian, jadwal basket sama musik itu beda. Ya, kan?" tanya Gabriel menoleh pada Ify dan tersenyum ramah.
Ya Tuhan... murah senyum sekali pangeran satu ini. Dia sadar kali ya senyumannya itu maut? Makanya tersenyum terus. Tapi... bisa-bisa Ify akan cepat mati di samping pemuda ini kalau melihat senyuman menawan itu berkali-kali.
"Gimana Fy? Bisa, kan?"
Ify berdehem lagi, mencoba menguasai diri. "Bisa kok," ucapnya manis sambil tersenyum.
Diam-diam Acha sedikit mendelik geli.
"Eh, oh ya. Kebetulan banget gue mau ke ruang musik dulu nih sebelum pulang. Lo bisa sekalian ambil formulirnya di sana," kata Ify mengingat ia harus ke ruang musik dulu mengambil buku lagunya yang tertinggal kemarin.
"Oke. Bareng yuk," ajak Gabriel ramah sambil berbalik, dan mulai melangkah.
Saat pemuda itu berpaling, mulut Ify segera terbuka lebar dengan mata membelalak. Antara terkejut dan senang. Acha segera menarik lengan gadis itu, mengikuti langkah Gabriel.
Menyadari ia memimpin langkah, Gabriel memelankan langkahnya. Agar ia sejajar dengan dua gadis itu. Dan ia tepat berada di samping Ify, membuat jantung Ify jadi seperti petasan betawi di acara kawinan. Meledak-ledak.
"Eh, gue lupa deh. Tadi disuruh ke kantor sama Miss Alya," kata Acha tiba-tiba sambil menghentikan langkah.
"Ha? Kapan Miss Alya ngomong?" tanya Ify menoleh, tak tahu menahu.
"Ada tadi. Elo sih nggak merhatiin! Liat langit mulu," kata Acha beralasan.
Ify mencibir, sementara Gabriel mengangkat alis.
"Kayaknya nggak bisa ikut kalian ke ruang musik deh."
Kali ini Ify jadi membelalak.
"Jadi... kalian berdua aja ya! Dadaaa!!!" pamit Acha melambai, lalu segera berbalik dan ngacir.
"Accchh....." nama itu menggantung di ujung lidah Ify, menyadari sia-sia saja ia menahan. Gadis itu menggigit bibir kuat, dan berdoa dalam hati. Semoga jantungnya tak benar-benar 'meledak' saat ini juga.
"Ya udah. Yuk," suara Gabriel dari balik punggung Ify terdengar, membuat Ify segera sadar.
Mereka kembali melangkah menuju ruang musik. Berdua. Beriringan. Bersampingan. Bagi kalian yang kasmaran, pasti tahu kan rasanya jalan berdua dengan si pemilik hati? Kebahagiaannya itu tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Mungkin kalau ada kata di atas sangat-bahagia-banget-sekali, itu adalah yang pas.
"Fy..."
Ify melirik sedikit, "ya?" jawabnya singkat.
"Kok lo diem? Kayaknya gue sering liat lo justru suka ngomong gitu deh, hehe."
"Ih apaan sih. Itu Acha kali," sahut Ify mencoba menyembunyikan suara bergetar dahsyat karena jantungnya yang benar-benar diterpa gempa mendadak. Karena... tolong ya diulangi. SERING LIAT? Jadi... Gabriel sering melihatnya? Memerhatikannya? KYAAA.
"Tapi lo juga kok," sahut Gabriel tanpa menyadari salah tingkah Ify.
Ify merutuk kesal kala melihat ternyata pintu ruang musik sudah dekat. Ah. Kenapa ruang musik deket banget sih? Bisa nggak dijauhin sampai ke Manado? Atau Papua kek sekalian. Biar Ify bisa lama-lama berjalan dengan pemuda ini. Eh tapi. Nantikan di ruang musik mereka juga akan berdua, ya? Aduhduh.
Ify dan Gabriel melangkah masuk ke dalam ruang musik yang kosong itu. Berukuran seperti ruang kelas biasa. Di pojok ada sebuah piano, yang bersebrangan dengan sebuah drum dan juga keyboard. Dinding-dindingnya dihiasi gitar-gitar yang bergantungan. Ada juga bass, biola, dan beberapa alat perkusi.
Ify menuju meja yang berada di sisi berseberangan dengan alat-alat musik, lalu mengambil satu formulir dan menyerahkan ke Gabriel. Gabriel tersenyum menerimanya, kemudian duduk di salah satu kursi terdekat dan mulai mengisi. Ify kini melangkah menuju piano hitam di sudut kelas, dan mengambil buku lagu yang ada di atasnya.
"Fy..."
"Hm?" jawab Ify sambil duduk di kursi piano. Ia belaga membuka-buka buku lagunya, padahal sebenarnya menyembunyikan diri bahwa ia sangat sangat gembira karena hari ini Gabriel berulang kali memanggil namanya. Ya... walaupun dua huruf, tapi itu kemajuan pesat. Sangat pesat.
"Lo nyanyi dong," pinta Gabriel tiba-tiba, membuat Ify sontak mendongak. "Selama ini lo main piano doang. Kali ini, main piano sambil nyanyi dong. Gue pengen liat," kata Gabriel semangat sambil tersenyum.
Ify merasakan pipinya mulai membara lagi, "eum... nyanyi?"
Gabriel mengangguk.
"Nyanyi apa?" tanya Ify tak bisa menolak. Apapun ia juga pasti tak akan menolak kalau pemuda ini yang meminta.
"Terserah elo," kata Gabriel mengangkat bahu.
Ify memutar mata, berpikir. Ia kemudian membuka-buka buku lagunya lagi. Sampai gadis itu menemukan satu lagi yang tepat. Wajahnya merekah, lalu menaruh buku lagu itu disenderan atas piano.
"Ehm. Denger ya," kata Ify riang, sambil mulai menekan tuts.
Gabriel memperbaiki posisi duduk, dan memerhatikan Ify lekat. Gadis itu kini mulai hanyut dalam permainan pianonya. Ia mulai membuka mulut, suaranya ternyata tak kalah merdu dengan nada-nada indah musiknya.
"Setiap waktu, memikirkanmu... Ku katakan, pada bayangmu..." Ify menggerakkan mata perlahan, melirik ke arah Gabriel. "Sampai kapanku harus, menunggumu... jatuh cinta..."
Gabriel tanpa sadar tersenyum memandang gadis itu. Entah mengapa ia makin terlihat cantik setiap ia bermain piano. Apalagi kini gadis itu juga bersenandung merdu. Gabriel terus memandang Ify lekat. Tapi entah mengapa, mendadak ia jadi mengerutkan kening sedikit. Sepertinya... ia pernah melihat wajah Ify. Ah, ia memang sering lihat kan selama sekolah di sini? Tapi... entah mengapa di benak Gabriel yang muncul bukanlah Ify berwajah tirus dengan behel dan senyuman manis ini. Ada sosok lain. Pipinya lebih bulat, tak setirus sekarang. Rambutnya lebih pendek. Suaranya juga lebih cempreng dan lucu. Em... Sebenarnya Gabriel pernah berfirasat seperti ini. Apakah... mungkin?
"Rindu ini, terus mengganggu... Ku tak sabar, ingin bertemu... Berapa lama lagi... menantikan, kata cinta..."
Ify melirik Gabriel, tak kuasa memandang keseluruhan pemuda itu. Jemarinya sudah hapal tuts piano, sehingga bergerak dengan begitu lincah walau matanya sering bergerak memandang pemuda yang jadi tujuan lirik yang ia nyanyikan ini. Betapa ia sangat mengaguminya, selalu menunggu dan menantinya, dengan penuh harapan yang terus mengembang tak karuan. Andai saja pemuda ini tahu.
"Andaikan dia tahu... Apa yang ku rasa... resah tak menentu, mendamba cintamu... Andaikan dia rasa... hati yang mencinta... Ku yakini, kau belahan jiwa..."
Jemari Ify dengan lincah bergerak menekan tuts itu dengan merdu. Dan tak lama, gadis itu menghentikan permainan pianonya, lalu mendongak. Tersenyum pada Gabriel.
Gabriel tersenyum lebar, lalu menepuk kedua tangannya berkali-kali. "Keren keren. Bagus banget," puji Gabriel tulus.
Ify tersenyum tersipu. Gabriel berhenti bertepuk tangan, lalu cukup terdiam lama memandangi Ify. Membuat Ify merasa jengah dan menunduk.
"Fy, kita pernah kenal nggak sih?"
Ify tersentak, dan mendongak. Gabriel menatapnya lekat, membuat ia sedikit salah tingkah.
"Kok... kayaknya gue pernah liat elo ya? Dan... em... Ify. Nama itu kayaknya juga gue pernah denger," kata Gabriel mencoba mengingat. Walau sebenarnya sudah ada sosok gadis kecil dalam ingatannya.
Ify mengerutkan kening, "em... jujur sih. Awal liat lo gue juga sempet inget seseorang gitu. Tapi... gue lupa," kata Ify cengengesan. Ya, memang. Dia tertarik pada pemuda ini awalnya karena wajah Gabriel mengingatkan dia pada seseorang.
Kedua orang itu saling tatap. Ify sejenak melupakan detakan jantung cepat kala menatap sepasang bola mata itu. Mereka terus mencoba saling mengingat, mencari bongkahan-bongkahan kenangan yang mungkin saja masih tersisa dalam ingatan mereka.
"Elo... waktu kecil sekolah di TK Harapan nggak?" tanya Gabriel.
Mata Ify melebar, "iya!"
Wajah Gabriel merekah seketika, "lo... sering main di taman deket TK itu, kan? Main ayunan pasti!"
Mulut Ify terbuka lebar. Ia tadi memang sempat menduga, tapi entah mengapa otaknya menyangkal. Dan mendengar ucapan itu. Membuatnya benar-benar jadi ingat.
"BINTANG?!"
Gabriel tersentak, tapi lalu tersenyum. Lebar sekali. "Ify! Ify Super Mario!" kata Gabriel menunjuk Ify yang sudah berdiri dari duduknya.
"Oh God..." gumam Ify tercekat, lalu mendekat.
Gabriel juga beranjak dan mendekat. Keduanya lalu berdiri berhadapan. Ify menggerakkan kepala dari atas ke bawah, begitu pula Gabriel. Sama-sama tak percaya dengan perubahan drastis yang masing-masing alami.
"Sumpah! Gue baru ingat sama Bintang!" kata Ify jujur, membuat Gabriel tertawa.
"Jadi lo lupa sama cowok yang sering dorongin lo ayunan tanpa capek? Padahal elokan bawel banget nggak mau berenti main," ejek Gabriel.
"Gila. Elo kok.... berubah banget," kata Ify tak percaya menatap sekali lagi Gabriel dari atas ke bawah. 'Jadi tambah ganteng...' batin Ify.
Gabriel tersenyum, "semua pasti berubah lah. Elo juga. Untung gue masih inget dagu panjang lo itu."
Ify sontak memegang dagunya, dan lalu tertawa.
"Gue jadi pengen nostalgia nih. Em... gimana kalau kita ke taman itu? Udah lama nggak ke sana," ajak Gabriel senang.
"Mau mau!" kata Ify segera, tapi ia merutuk dalam hati karena begitu bersemangat.
Gabriel hanya tertawa, lalu memasukkan formulir dan pulpen ke dalam tasnya. "Nanti aja ya gue kasih lo formulirnya," kata Gabriel mulai melangkah.
"Nggak papa. Besok juga boleh kok," kata Ify mengikuti sambil menggenggam buku lagunya. Dalam hati ia sangat senaaang sekali.

^^^

Gabriel dan Ify duduk di sebuah bangku taman di dekat TK Harapan. Banyak yang berubah dari taman ini. Walau tak terlalu terlihat. Permainan-permainannya agak bertambah. Beberapa berubah letak. Air mancur yang dulu ada di tengah taman kini menghilang. Berubah menjadi tempat duduk melingkar dengan tanaman bunga di tengahnya.
"Udah berapa lama ya kita nggak ketemu?" tanya Gabriel setelah memandangi sekeliling taman yang agak ramai.
"Eum... sepuluh mungkin? Atau sebelas ya?" jawab Ify mencoba mengingat. "Seingat gue sih, setelah lulus TK gue nggak pernah ke sini lagi."
Di sampingnya, Gabriel mengangguk-angguk. "Rumah gue dulu deket sini. Setiap siang pasti mainnya ke sini nih. Ketemu elo," kenangnya tersenyum.
Ify ikut tersenyum. Diam-diam, ia mengenang saat-saat itu. Tanpa tahu, Gabriel juga ikut terlempar dalam kenangan yang muncul lagi ke permukaan ingatan mereka.
*
Besoknya setelah kejadian Bintang datang untuk menemani Ify, Ify dan Rio kembali datang ke taman itu. Kedua mama mereka memang sering mengajak mereka ke sini kalau sore hari. Tak jauh dari rumah. Walau pulang sekolah Ify dan Rio pasti main ke sini, sorenya mereka juga sering meminta untuk datang lagi. Karena Ify senang sekali playground. Terutama ayunan.
Ify tersenyum kala melihat Bintang sedang duduk di ayunan, lalu berlari mendekat. Rio yang berjalan di sampingnya tersentak, tapi segera mengikuti Ify.
"Bintang! Kamu datang lagi," kata Ify senang sambil duduk di ayunan samping Bintang. Ayunan itu hanya dua, membuat Rio merenggut karena tak kebagian. Ia hanya berdiri di samping Ify.
Bintang tersenyum, "kan kamu yang bilang. Besok main lagi. Ya udah aku datang. Rumah aku deket kok. Di situ tuh," jawab Bintang menunjuk sebuah rumah di deretan samping TK Harapan, sekolah Ify dan Rio.
"Ngapain sih? Ify mainnya sama aku!" kata Rio yang sudah kesal melihat pemuda kecil ini.
"Lio ih! Nggak papa tahu," sahut Ify mengomeli, lalu menoleh pada Bintang, "udah Bin, nggak usah dihirauin. Rio emang galak."
"Ipi!" tukas Rio.
Bintang tertawa, "kalian berdua emang sama-sama galak."
Ify dan Rio sontak mendelik dan manyun. Bintang makin tertawa, lalu menatap Rio.
"Rio, aku juga mau jadi teman kalian. Selama ini jarang ada anak yang seumuran aku main di taman ini sore-sore begini. Aku mau ikut main sama kalian," pinta Bintang.
Ify dan Rio terdiam. Ify memandang ke arah Rio, dan menunjukkan wajah memelas. Rio menghela nafas, mengerti ekspresi itu.
"Oke oke. Tapi, kamu kebagian tugas yang dorongin Ify main ayunan ya. Aku males banget," kata Rio dengan gaya bossy.
Bintang tertawa, tapi menurut saja. Ia lalu beranjak, dan berdiri di belakang Ify. Ify tertawa senang.
Rio mendesah, kemudian gantian duduk di ayunan Bintang tadi. Bintang mendorong ayunan Ify sambil tersenyum senang. Tak lama, Ify memilih berhenti, lalu menoleh pada Rio.
"Lio..." panggil Ify membuat Rio yang sedari tadi hanya menggoyang-goyangkan ayunannya menoleh.
"Rio," tukas Rio meralat.
"Iya, Rio," ucap Ify menurut. Ia diam sejenak, lalu tersenyum bahagia. "Sekarang aku nggak perlu liat langit lagi."
Rio dan Bintang mengerutkan kening, sementara Ify makin tersenyum lebar.
"Karena, sekarang aku punya dua bintang di bumi ini. Ada kamu, dan Bintang," Ify menggerakkan kepala ke arah Bintang sambil tersenyum, "bintang-bintang di langit nggak bisa nyamain kalian. Jadi aku nggak perlu ditemenin bintang lagi."
Rio tertegun, sementara Bintang tak tahu menahu maksudnya.
"Aku seneeeeeng banget sekarang punya dua teman yang sama-sama punya nama Bintang. Karena aku yakin deh, sinar kalian pasti bisa buat aku bahagia terus!" kata Ify ceria dan girang.
Rio dan Bintang saling pandang sejenak. Sebelum keduanya akhirnya tersenyum pada Ify.
"Tapi sinar aku lebih terang, kan?" tanya Rio menyombongkan diri.
"Eum... kalau kamu beliin aku boneka Super Mario, oke," kata Ify tertawa lalu memeletkan lidah.
"Huh! Super Mario mulu kamu ini," kata Rio mendecak.
"Yakan kamu yang ngajarin. Kalau aja kamu nggak seneng main game Super Marioku, pasti aku juga nggak ikutan suka," kata Ify membela diri, "lagian, mamakan beli kasetnya buat aku. Tapi kok yang nyobain pertama malah kamu."
"Yeee kamukan nggak bisa main, harus aku ajarin dulu," balas Rio. Ify mencibir.
"Eum... Super Mario apa sih?" tanya Bintang yang diam sedari tadi. Rio dan Ify menoleh.
"Kamu nggak tahu? Deso banget," ejek Rio. Bintang menggeleng saja.
"Itu games yang lagi booming banget Bin. Nanti deh kapan-kapan kamu ke rumah aku, kita main bareng pake nitendo aku," ajak Ify ceria, berbeda sekali dengan nada suara Rio. "Oh ya. Super Mario juga ada di TV kok. Setiap Minggu pagi. Kamu harus nonton!"
Bintang mengangguk-angguk, "kalau Minggu, mama aku biasanya ngajak jalan. Makanya aku jarang nonton kartun. Ya udah nanti aku mau nonton!" katanya tersenyum.
"Yeay! Mulai sekarang, kita jadi trio Super Mario!" kata Ify gembira.
"Ih nggak. Kamu aja. Aku nggak mau jadi gendut dan berkumis kayak Super Mario," kata Rio menolak. "Ipi Super Mario."
"Lio jelek," ejek Ify kesal.
"Kata mamaku aku ganteng tuh," sahut Rio memeletkan lidah.
"Kata mamaku kamu jelek," balas Ify tak mau kalah.
"Eh... sudahlah kalian. Ayo main lagi," kata Bintang menengahi. Sepertinya keberadaannya bisa jadi penengah antara Rio dan Ify yang terus berkelahi.
Rio hanya mencibir, tapi kali ini menurut tak membalas. Bintang tersenyum, dan kemudian mendorong ayunan Ify lagi dengan kencang. Dan selanjutnya, beralih ke Rio mendorong anak laki-laki itu membuat Rio tersentak dan segera berpegang pada tali ayunan.
"Wooo," teriak Ify bersorak senang.
"Waaa," kini Rio yang ikut bersorak.
Bintang tertawa melihat keduanya. Mungkin orang-orang berkata ia bodoh, mau saja mendorong dua orang itu yang tak mau gantian dengannya. Terserahlah. Karena kali ini Bintang benar-benar senang, memiliki dua teman baru seperti Rio dan Ify.
  *
"Dulu lucu banget ya Fy," kata Gabriel setelah mengingat kenangan dulu ia bersama Ify.
Ify tersentak dari lamunannya, lalu tersenyum. "Iya. Kita jadi sering main bareng di sini. Dan kamu pasti dorongin ayunan aku. Hahaha."
"Em... Fy," panggil Gabriel membuat Ify menoleh dan menggumam menjawab. "Rio mana?"
JLEB
Garis wajah Ify mengendor seketika. Ify merasakan jantungnya berhenti sejenak. Pertanyaan yang... jujur, paling ia benci. Karena setiap mendengar pertanyaan itu -oh, mungkin nama itu- hati gadis ini selalu retak. Jantungnya seakan ditikam keras. Membuatnya terdiam membeku.
Gabriel mengerutkan kening, melihat jelas perubahan pada wajah Ify, "kenapa?" tanyanya agak khawatir, "Rio... masih ada kan Fy?"
Masih ada. Ify merasakan hatinya makin teriris. Ia mendongak, menatap langit cerah dengan tatapan sendu.
"Masih ada dalam artian apa nih?" tanya Ify dengan suara lirih.
"Em... ya... maksud gue... Masih di dunia kita gitu," kata Gabriel merasa agak salah bicara.
Ify tertawa getir, lalu mengedikkan bahu. "Gue nggak tahu."
Gabriel mengerutkan kening, "kenapa?"
Ify menghela nafas panjang. Ia menunduk, lalu memejamkan mata sesaat. Kemudian gadis itu kembali menoleh pada Gabriel, dan mencoba tersenyum tipis. "Dia..."




Tidak ada komentar:

Posting Komentar