Seorang
pemuda sawo matang melangkah memasuki sekolah yang terlihat elite itu.
Tertulis, SMA Pelita. Pemuda itu memasukkan kedua tangan di saku celananya,
lalu mengangkat sebelah alis melihat bangunan tinggi itu. Ini nih sekolahnya
nanti? Biasa saja tuh. Kenapa si Ozy -tetangga sebelah rumahnya yang juga
sekolah di sini- seperti sangat melebih-lebihkan sekolah ini? Please deh. Di
Manado, asalnya dulu, sekolah begini juga banyak. Sekolah ibukota dan kota
biasa sama saja ya.
"Keren,
kan?"
Ozy
tiba-tiba sudah ada di samping pemuda tersebut, nyengir ke arahnya.
Pemuda itu
mendengus, "biasa aja," ucapnya singkat yang langsung merubah garis
wajah Ozy.
"Luarnya
emang mungkin biasa bro. Tapikan lo nggak tahu di dalamnya," kata Ozy.
Pemuda itu
mencibir, "apa? Tentang guru musik muda yang lo ceritain itu? Yang lo suka
diam-diam itu? Iya?"
"Gue
sikat lo! Gue ngepens doang! Sejak kapan gue mau jadi brondong
tante-tante," sergah Ozy menjitak kepala temannya itu.
Pemuda
tampan itu terkejut kesal memegangi kepalanya, "lo bilang dia masih
muda?"
"Iya,
sekitar duapuluh tahunan gitu. Tapi ah sudahlah. Masuk yuk. Lo kan harus
liat-liat dulu, dan sekalian beli baju. Jam segini koperasi masih buka
kok," ajak Ozy merangkul pemuda itu dan menariknya ke dalam sekolah.
"Om
ditinggal nih?"
Sebuah
suara membuat keduanya menghentikan langkah dan menoleh. Seorang pria berusia
sekitar 28 tahun melangkah mendekat, setelah sebelumnya memarkirkan mobilnya
dan membiarkan dua anak ini pergi duluan.
"Ya
nggaklah Om. Nanti yang bayarin baju siapa," kata pemuda sawo matang tadi
sambil tertawa.
Ozy ikut
tertawa, tapi lalu wajahnya jadi galak dan menjitak lagi kepala temannya itu,
"kampret lo. Elokan bawa uang dari nyokap! Ngapain pake duit om gue?"
Pemuda itu
bersungut memegangi kepalanya, "canda Zy. Elo kayak cewek PMS tahu!
Galak."
Ozy hanya
mencibir.
Pria tadi
tertawa melihatnya, lalu mendekat. Ia kemudian berdiri di antara kedua pemuda
tersebut, "Yuk masuk bareng," ajaknya merangkul keduanya, lalu
berjalan masuk ke SMA Pelita.
^^^
"Dia...
pergi."
Gabriel
mengerutkan kening, dan mendekatkan diri. Merasa amat tertarik dan penasaran.
Ia menatap Ify yang kini menunduk.
"Saat
kita kelas dua SD, dia harus pindah. Gue nggak tahu kemana. Yang jelas gue cuma
ngurung diri di kamar karena... marah, sedih, kecewa, semuanya," cerita
Ify lirih. "Dia berkali-kali pengen ketemu gue, tapi gue nggak mau dengar
apapun. Gue nggak mau dia pergi..."
Ify menarik
nafas dalam, mencoba mencari oksigen sebanyak mungkin. Untuk mengisi kehampaan
yang lagi-lagi ia rasakan dalam dadanya. Sosok yang sangat berarti itu kini tak
ada, menyisakan ruang kosong yang luas dalam hati Ify. Membuatnya sering kali
merasa sendiri, tanpa teman lagi.
"Sampai...
waktu hari keberangkatannya, atas paksaan mama gue ikut ngantar. Dia... ngasih
boneka super mario besar ke gue," kenang Ify sambil tertawa pedih.
"Sampai saat ini gue nggak pernah lupa dia. Dia yang ngenalin gue
pertemanan, yang ngajarin gue banyak hal, yang ngasih gue banyak pengalaman.
Dia... yang udah jadi bintang bagi gue."
Gabriel
ikut merasa sendu juga. Ia tak pernah tahu hal ini. Karena saat ia lulus TK
juga, pemuda itu harus pindah rumah. Jauh dari taman biasa ia bermain dengan
Ify dan Rio. Mereka hanya melakukan perpisahan biasa. Ify terlihat tak terlalu
sedih. Tak seperti ini, Ify benar-benar merasa kehilangan. Rio memang
sahabatnya sejak dulu, bahkan sebelum ia bisa berbicara lancar. Sejak kecil
mereka sudah menjalin persahabatan.
"Elo...
ninggalin gue. Dan dia... juga ninggalin gue. Dua bintang yang dulu selalu ada,
kini malah hilang..." Suara Ify mulai terdengar bergetar. Mata gadis itu
mulai menghangat.
Ify
menghela nafas berat, lalu menoleh perlahan ke arah Gabriel. "Lo tahu? Gue
sempet menyendiri. Nggak mau berteman sama siapapun. Karena ngeliat itu, mama
masukin gue ke les musik. Dan di sanalah, hidup gue berubah."
Gabriel
mengangkat alis, dan terus mendengarkan.
"Gue
jadi kenal musik. Gue tahu piano, sampai juga latihan vokal. Di sana juga ada
temen-temen baru. Perlahan gue mulai membuka diri. Dan... gue coba ngelupain
kalian..."
Gabriel
menggigit bibir. Merasa sedikit merasa bersalah karena dulu meninggalkan gadis
ini sendiri.
"Gue
bisa lupa. Tapi... entah kenapa kalau ingat dia, rasa sesak itu masih ada.
Nyesek.... banget..."
Ify
memejamkan mata, membuat setetes butiran bening meluncur ke pipinya. Ia membuka
mata perlahan, dan mendesah panjang. "Dan entah kenapa, rasa rindu itu
jadi rasa benci. Karena... gue capek nangisin dia terus. Gue capek selalu
berharap dia bakal kembali. Gue benci dia!!!" Ify meninggikan suara, walau
terdengar makin bergetar.
Gabriel
mendekatkan diri lagi ke samping gadis itu, lalu mengusap pundak Ify lembut,
mencoba menenangkan hati gadis itu. Mendadak, segala emosi yang tersimpan rapat
dalam hati gadis cantik itu meledak. Seperti bom atom yang menunggu waktu.
Perasaan rindu yang meluap-luap dan kekesalan tiada akhir itu memecah begitu saja.
Di depan pemuda ini, semuanya ia ungkapkan. Perasaan yang tak pernah ia
ceritakan pada siapapun, bahkan pada Mamanya sendiri, orang terdekatnya.
"Dia
janji bakal selalu ada. Dia janji, kalau dia pergi dia pasti kembali lagi. Tapi
nyatanya? Dia itu jahat! Dia emang selalu egois, keras kepala, nggak mau
ngalah, seenaknya!" Ify mengumpat sebal Rio, walau air mata kini malah
jadi berkejaran keluar dari sepasang mata indahnya. Gadis itu mencoba mengusap
hidung bangirnya yang merah menahan isak.
"Gue
benci dia! Gue benci diaaa!!!" Ify menjerit tertahan. Luka itu kembali
terbuka, membuatnya perih. Rasa kecewa yang sempat berusaha ia kubur dalam,
jadi berkumpul dalam dadanya. Membuat ia benar-benar merasa sesak.
Ify menutup
wajah dengan kedua tangan, dan mulai terisak. Gabriel mendesah, lalu merangkul
gadis itu dan mengelus pundaknya. Ia tak bisa berkata apapun lagi.
Keterkejutannya karena gadis ini adalah sahabat kecilnya, dan ditambah ternyata
gadis ini punya luka karena sahabat mereka telah pergi. Diam-diam, sebenarnya
Gabriel sangat merindukan kebersamaan mereka. Tapi... waktu sepertinya telah
mengubah segalanya. Ify berubah. Dan Rio -yang entah kini ada dimana- pasti
juga berubah. Semua... tak akan sama seperti saat mereka kecil dulu.
Namun
sebenarnya di sisi lain, entah mengapa Gabriel merasa justru ini kesempatannya.
Yang sedari dulu hanya ia diamkan. Kalau keadaan ternyata seperti ini, mungkin
Tuhan telah memberikan jawaban di setiap doa yang ia panjatkan. Bahwa kepergian
Rio, dan kembalinya gadis ini, adalah jalan yang harus ia tempuh. Untuk
menemukan kebahagiaan yang telah lama hilang darinya.
Ya... siapa
yang tahu kepiluan di balik wajah tampan dan senyum maut itu?
******
Hem...
entah mengapa aku berasa curhat ngetik part ini (??)
Oke oke.
Kemaren udah ada yang nebak-nebak ya? Huahaha. Sengaja sih dipotong jadi dua
part, karena... em... iseng aja(?) :p
Pokoknya
kalau mau baca, cerbung ini antara dua hari, Rabu dan Minggu. Bisa dua kali
seminggu, atau sekali seminggu di salah satu hari. Sorry part 1 ke part 2nya
lama banget karena lagi asik liburan :p wkwkwk
Komen di
blog atau twitter dong. Biar keliatan gitu (???) hahaha. Part depan
judulnya.... "He's back" Hahaha. Sudah tahulah pastinya. So, wait aja
ya ;) jangan lupa promote ke yang lain :p
twitter.com/aleastri
qaqa penulis lanjoooottttt dong cepet........ langsung 5part loh..
BalasHapushari rabu ya :)
BalasHapus