Selasa, 26 Februari 2013

Bintang Super Mario Part 7


Maaf sebelumnya ini ngaret banget karena ada banyak kendala. So so sorryyyyyyy

Part 7: Kembali Pulang

Rio dan Ozy melangkah santai di koridor SMA Pelita pagi ini. Mereka memang pergi bersama. Menggunakan motor Ozy. Sebenarnya Rio punya kendaraan, namun pemuda itu lebih senang pergi bersama. Kalau kata Ozy sih, alasan Rio saja agak tak keluar uang bensin.
Tiba-tiba seorang guru muda berhenti di depan keduanya, membuat Rio dan Ozy yang sebelumnya berdebat, terkejut dan menghentikan langkah. Mereka sama-sama mengangkat alis tinggi melihat Miss Alya melipat kedua tangan di depan dada dan mefokuskan tatapan ke arah Rio.
"Morning Miss..." sapa Ozy mencoba menyapa.
"Pagi Miss," ucap Rio ikutan.
Alya tersenyum sekilas, lalu mendekat. Tertuju pada Rio membuat Rio menarik wajah sedikit, merasa curiga.
"Miss, nanti wali saya datang kok, tenang aja," ucap Rio sudah panik.
Alya tertawa, lalu tersenyum. Manis sekali. Membuat Ozy yang melihat itu melebarkan mata, menjadi terpesona.
"Tapi sebelum itu, boleh saya bertanya?" kata Alya membuat kening Rio berkerut. "Nama lengkap kamu benar Mario Bintang Haling, kan?"
Rio mengangguk mantap.
"Em... sebelum ke Manado, kamu pernah tinggal di Jakarta, kan?"
Rio tersentak, dan mengernyit. Ozy juga ikut mengerutkan kening.
"Kok... tahu?" tanya Rio perlahan. Ia memutar mata pada Ozy di sampingnya, lalu seakan berkata melalui tatapan, 'jangan-jangan dia fans gue Zy?'
Ozy yang sangat mengerti Rio, langsung melotot kecil dengan geram. Rio hanya terkikik kecil, dan kembali memandang Miss Alya. Tapi ia terkejut, kala melihat tatapan Miss Alya padanya. Menyelidik, tapi seakan ada haru di sana. Rio tak mengerti maksud tatapan itu. Ozypun juga jadi sangat penasaran.
"Em... saya boleh minta satu permintaan?" ucap Alya membuat Rio tersentak.
"Eee... apa Miss?" tanya Rio mulai menebak-nebak. Waduh. Jangan-jangan guru muda ini naksir padanya? Lalu ingin menjadikan dia pacar gitu? Apakah ia setampan itu? Haha. Eh tapi, bagaimana dengan Ozy? Nanti Rio malah dimusuhinya lagi kalau ternyata guru ini menyukai Rio.
Pikiran narsis Rio langsung pecah saat mendengar ucapan Miss Alya.
"Saya mau mukul kamu."
Mata Rio sontak membelalak, Ozy juga tenganga. Alya yang melihat itu justru meledakkan tawa mendapatkan ekspresi lucu dua anak muridnya ini.
"Ma... mau apa Miss?" tanya Rio sudah membelalak ngeri.
"Mau mukul," jawab Alya santai walau masih geli melihat ekspresi Rio dan Ozy.
Rio menarik wajah menjauh, sementara Alya kembali tersenyum.
"Serius. Sekali aja, saya mau mukul kamu," ucap Alya meminta ijin. "Untuk keinginan masa lalu yang belum tercapai," lanjut Alya menggumam, membuat Rio dan Ozy samar-samar mendengarnya. Keduanya jadi makin mengerutkan kening tak mengerti.
Rio meneguk ludah, lalu akhirnya mendekat, "ya deh Miss," ucapnya pasrah.
Alya tersenyum, lalu ingin mengepalkan tangannya.
"Tapi jangan keras-keras ya Miss," ucap Rio sebelum tangan Alya bergerak.
Alya tertawa kecil, dan mengangguk. Sedetik kemudian, sebelum Rio sempat menahan lagi, tonjokkan tangan Alya sudah mendarat di bahu Rio, membuat Rio menjerit tertahan sakit.
"Lebay lo!" protes Ozy yang sempat terkejut karena rintihan Rio.
Rio bersungut, sambil mengusap-usap bahunya yang mulai terasa berdenyut. "Aduh Miss... Mau lampiasin emosi ke saya ya? Keras amat."
Alya tersenyum, lalu kembali melipat kedua tangan di depan dada. "Selama sebelas tahun ini, kamu kemana saja?" ceplosnya tak bisa menahan diri.
Rio kembali mengerutkan kening, "maksud Miss?"
"Apa selama sebelas tahun ini kamu ada di Manado?" tanya Alya tak menghiraukan pertanyaan Rio.
Rio terdiam cukup lama. "Em... saya cuma sembilan tahun di Manado, kelas dua SD pindah dari Jakarta," jawab Rio.
Alya manggut-manggut. Ia diam sejenak, berpikir. Haruskah ia bertanya frontal pada pemuda ini? Tapi... Alya sebenarnya ingin diam saja. Memerhatikan bagaimana kisah ini akan berjalan. Tapi Alya sungguh penasaran.
Alya akhirnya hanya menghela nafas saja, "Oh ya. Istirahat nanti ekskul musik akan kumpul untuk data anggota baru. Kamu harus datang ya," tegasnya membuat Rio tersentak.
"Rio ikut musik?" tanya Ozy tak tahu menahu.
"Aduh... tapikan Miss..." ucap Rio ingin menolak.
"Mario, ini sebagai hukuman. Kamu, harus berduet dengan Alyssa," potong Alya tak mau dibantah.
"Ha? Duet?" Ozy melebarkan mata dan menoleh pada Rio tak percaya. Sekaligus kesal karena Rio sama sekali tak bercerita tentang ini.
Alya mengangguk tenang, "lagipula Rio katanya pintar nyanyi. Bukankah ini kesempatan bagus? Kamu harusnya bersyukur, karena Alyssa adalah murid yang sangat berbakat. Kamu beruntung nanti berduet dengannya."
Rio tersenyum masam.
"Dan pasti kamu akan berterima kasih pada saya suatu saat nanti," ucap Alya penuh arti.
"Hm. Iya Miss, berterima kasih karena dipertemukan satu panggung sama jelangkung sapi itu," gerutu Rio mendumel.
Alya tertawa renyah, 'bukan. Tapi berterima kasih karena kamu kembali dipertemukan dengan sahabat kecilmu itu,' batin Alya tersenyum memandang Rio.
Ozy yang melihat itu hanya diam. Walaupun ia agak merasa kesal pada Rio. Kenapa sih, di depan pemuda ini Miss Alya jadi sering tertawa? Apalagi kini Miss Alya tersenyum menatap Rio. Ck. Jangan-jangan Miss Alya menaruh hati pada Rio?

^^^

Ify menopang dagu dengan kanan kirinya, sementara tangan kanannya menggenggam sesuatu. Kedua mata beningnya terus tertuju ke sana, keluar jendela di sampingnya. Memandang jauh langit cerah hari ini. Ia kemudian menghela nafas, dan menggerakkan kepala ke kepalan tangan kanannya. Jemarinya terbuka perlahan, melihatkan sebuah gantungan kunci dengan bandul boneka Super Mario kecil. Bibirnya mencair, tersenyum tipis.
Ify menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia kembali menggenggam gantungan kunci itu, lalu kembali menatap langit.
"Gimana bisa lupa kalau kerjanya begini mulu?"
Ify terlonjak setengah mati, dan segera menoleh. Gabriel dengan santai kini menduduki kursi Acha yang memang kosong. Ia ikut menopang dagu, memiringkan kepalanya sedikit dan menatap Ify lekat. Membuat Ify merasa salah tingkah.
"Tiap hari liat langit, liat matahari, liat bintang. Itu semua tentang Rio, kan?"
Ify terdiam. Ia meneguk ludah sedikit, dan menunduk.
"Hm... jangan-jangan gue bakal nunggu sampai bulan jadi tiga nih," ucap Gabriel dengan nada menyindir.
Ify mendecak, dan membuang wajah kembali menatap langit. "Guekan nggak nyuruh lo nunggu," balas Ify.
Gabriel tertawa kecil. Entah mengapa sifat Ify yang ini yang membuatnya semakin ingin mengejar Ify. Sifatnya yang tak mau kalah dan selalu balas berbicara untuk membela diri.
"Gue udah nunggu bertahun-tahun, apa salahnya gue terusin?" jawab Gabriel santai.
Ify mengerucutkan bibir, "lo nggak capek?" sahut Ify.
Gabriel tersenyum. Tangannya mengambil dagu lancip Ify, dan menariknya lembut untuk menoleh ke arah Gabriel. Gabriel kembali tersenyum manis, membuat lutut Ify tanpa sadar melemas seketika.
"Emang ada alasan ya untuk berhenti nunggu lo?"
Ify membeku. Mulutnya terbuka sedikit, dengan tenggorokkan tercekat. Ia ingin bicara, tapi sepertinya suaranya sudah hilang entah kemana. Kedua bola mata teduh yang menatapnya lekat itu benar-benar membuatnya tak bisa berkutik.
"Masih pagi woy!"
Ify dan Gabriel terlonjak seketika. Keduanya menoleh, dan refleks membenarkan posisi duduk mereka. Tangan Gabriel yang memegang dagu Ify juga sontak turun dan kini berganti jadi menggaruk tengkuknya, merasa kikuk.
Acha tersenyum lebar di depan keduanya, "gue tahu, kalian lagi kasmaran. Tapi tolong ingat ya, ini kelas. Dan jam juga masih jam tujuh kurang. Masih pagi untuk pacaran. Oke?" ucap Acha dengan nada menasihati dan wajah serius.
Sontak, wajah Ify memanas dan memerah merona. Gabriel jadi makin salah tingkah sambil senyum-senyum tak jelas.
"Katanya, nggak jawab. Tapi kok bau-baunya udah jadian?" tanya Acha menyindir, karena semalaman Ify menelponnya, menceritakan -dengan sangat heboh- bagaimana pernyataan cinta Gabriel semalam. "Peje!" lanjut Acha memalak sambil menengadahkan tangannya.
Gabriel tertawa gugup, lalu menepuk telapak tangan Acha itu. "Pagi-pagi nggak usah gosip deh," ucap Gabriel sambil berdiri, dan beranjak. Tapi tangan Acha segera menahannya.
"Mau kemana lo? Setelah buat sahabat gue udah kayak kepiting rebus gitu, kini lo pergi gitu aja?" kata Acha membuat Ify melotot kecil.
'Acha sialan. Pipi gue merah ya karena dia,' umpat Ify dalam hati.
Gabriel membuang pandangan ke arah Ify yang kini jadi menunduk gugup. Refleks, Gabriel tersenyum senang melihat pipi itu merona merah. Membuat Ify terlihat seperti baru saja diambil dari dalam kuali.
Gabriel berdehem pelan, lalu memasukkan kedua tangan di saku celana abu-abunya, "gue ke meja gue ya Fy," pamitnya manis.
Ify makin terlihat salah tingkah. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.
Acha terkikik geli, "meja lo cuma sepuluh langkah dari sini pamitnya kayak mau kemana aje," goda Acha.
Gabriel mendelik kecil, walau senyuman di wajahnya belum hilang. Ia hanya menepuk poni Acha sekilas, membuat Acha merenggut. Lalu melangkah pergi menuju kursinya.
Melihat Gabriel sudah pergi, Acha segera melompat duduk di samping Ify, dan melepaskan tasnya. "Kata lo nggak jadian," bisik Acha segera.
"Emang nggak," jawab Ify santai lalu memasukkan gantungan kunci yang sedaritadi ia genggam ke dalam tasnya. "Kan gue udah bilang, tadi malam gue emang udah ngaku suka juga sama dia. Dan dia mau nunggu," ucap Ify pelan sambil memandang ke arah Acha.
Acha manggut-manggut, lalu geleng-geleng sambil mendecak-decakkan lidahnya. "Lo bener-bener kayak lagi ada di novel-novel Fy!"
"Kemaren lo bilang kayak di film," sindir Ify.
Acha meringis, "sama aja. Drama banget!" ejek Acha, Ify hanya mencibir saja.

^^^

Istirahat kali ini, ekskul musik berkumpul di ruang musik. Semua sudah berkumpul. Ify duduk di samping Gabriel, yang sebelumnya ia sempat mendelik melihat Rio ada di antara para anggota baru. Alya berdiri di depan kelas, dengan setumpuk formulir di tangannya.
"Bulan Oktober nanti akan ada pensi. Saya akan menyeleksi siapa saja yang akan tampil nanti, khususnya untuk junior kelas sepuluh," kata Alya memulai. "Tapi sebelumnya saya akan mengumumkan beberapa anggota yang sudah terpilih."
Gabriel menoleh pada Ify, lalu berbisik, "pasti kamu, kan?"
Ify melirik, lalu tersenyum saja. 'Iya. Tapi sekarang nggak sendiri,' batinnya menjawab.
Dari jauh, diam-diam Rio memerhatikan dua orang itu. Ia mencibir kecil, 'tu cowok pacarnya si jelangkung?' tanya Rio dalam hati, entah pada siapa. Tapi tak lama ia tersentak sendiri. 'Eh, apa urusan gue?' batinnya lagi.
"Nanti akan ada penampilan dari ketua kita, Alyssa," suara Alya kembali terdengar, sambil menoleh pad Ify yang duduk di barisan depan.
Ify tersenyum. Yang lainnya tak heran. Ya iyalah. Bintang sekolah itu pasti muncul. Acha yang duduk di belakang Ify mencolek-colek pinggang Ify. Ify hanya nyengir.
"Tapi kali ini dia akan berduet," kata Alya membuat semua hening seketika.
Ify melengos, sudah bersiap. Rio acuh tak peduli sambil belaga memerhatikan ruang musik seutuhnya. Gabriel mengangkat alis, baru ingat. Oh ya. Ifykan sudah bercerita bahwa ia akan diduetkan dengan anak baru itu.
"Dia akan duet dengan murid baru sebelas ipa tiga, Rio."
"Ha?!" Acha tak bisa menahan diri untuk tidak memekik. Karena Ify tak menceritakan hal ini. Beberapa yang ada di ruangan itu juga terkejut, ada yang mendesah kaget, dan membelalakkan mata menatap ke arah Ify dan Rio bergantian yang duduk berjauhan.
Mereka akan berduet? Mereka yang sempat menghebohkan kantin karena bertengkar seperti anak kecil merebutkan mainan itu akan berduet? Duet apa? Adu jotos di atas panggung? Atau malah saling bentak tak karuan? Miss Alya tak salahkah?
"Kalian kenapa? Kaget?" tanya Alya tenang, "nanti juga akan ada penampilan dari tiga senior kalian, Angel, Kiki, dan Patton," Alya segera mengalihkan pembicaraan. Tak ingin waktu istirahat yang sedikit ini habis hanya karena terkejutan tentang Rio dan Ify.
Alya lalu juga menjelaskan bagaimana konsep pensi nanti. Sambil melihat-lihat sekilas nama-nama di formulir yang ia balik-balik satu persatu.
"Jadi nanti mungkin akan ada grup yang....." Kalimat Alya memelan, dan terhenti. Ia terdiam mendadak, membuat para muridnya mengerutkan kening.
Alya membeku. Terpaku membaca nama yang ada pada formulir di tangannya. Alya menelan ludah, lalu mendongak. Kepalanya bergerak cepat, mencari. Dan terhenti. Pada seorang pemuda jangkung tampan yang duduk di samping Ify. Alya melebarkan mata, membuat pemuda itu mengerutkan kening tak mengerti mendapat tatapan aneh tersebut.
Alya kembali membaca nama itu. Gabriel Bintang Damanik. Bintang?
Oh. As. Ta. Ga. Kenapa Alya baru menyadari? Padahal selama inikan Gabriel adalah anak muridnya sendiri. Ia adalah wali kelas Gabriel. Tapi kenapa ia baru sadar, bahwa nama Gabriel itu adalah Bintang!
Alya menggigit bibir kuat. Akhir-akhir ini ia dapat melihat Gabriel 'dekat' dengan Ify. Walau Alya tak tahu apa hubungan kedua muridnya itu. Dan... apakah Gabriel adalah Bintang saat itu? Jadi, feeling Alya sebelas tahun lalu itu akan terjadi? Bahwa Bintang akan ada di tengah-tengah Ify dan Rio.
"Miss?"
Alya terkejut, dan sontak mendongak. Acha memanggilnya sambil terus mengernyit tak paham.
"Miss kenapa?" tanya Acha peduli. Yang lain juga menatap Alya dengan bingung tapi juga cemas.
Alya diam sejenak, sebelum akhirnya tersenyum. "Maaf," ucapnya singkat, "Tadi sampai mana?"
Semua saling pandang. Masih bertanya-tanya dengan keanehan guru ini. Sementara Rio geleng-geleng kecil. Sepertinya benar guru muda ini memang aneh.
"Sampai penjelasan tentang grup Miss," jawab Gabriel.
"Oh, iya," ucap Alya segera teringat. Ia lalu kembali melanjutkan. Alya menjelaskan terperinci tentang semua. Sampai akhirnya ia selesai juga.
"Ya, begitulah. Jadi besok kalian sudah ijin ke orangtua untuk pulang sore, karena besok kita akan mulai berlatih. Mengerti?" tutup Alya. Semua mengangguk menurut. "Oke, sampai jumpa nanti," pamit Alya beranjak. Ia menaruh formulir di atas meja, lalu berjalan keluar. Tapi sebelumnya ia jadi ingat dan kembali menoleh ke dalam. "Rio, ikut saya," tegasnya membuat Rio tersentak.
Rio meneguk ludah, tapi lalu berdiri dan menurut. Ify melihat itu, tapi diam saja. Satu persatu para anggota musik mulai ikut berkeluaran.
Gabriel berdiri, lalu melangkah ke meja di depan kelas. Ia melihat-lihat formulir, ingin tahu siapa saja yang masuk ekskul musik selain dirinya. Acha kini langsung duduk di kursi Gabriel tadi, dan menyerbu Ify dengan ribuan pertanyaan kenapa bisa berduet dengan Rio. Ify melengos, lalu mulai menjelaskan.
Gabriel terus melihat satu persatu. Sampai ia berhenti pada selembar formulir. Punya Rio.
Gabriel membaca formulir Rio. Dan baru saja di kolom pertama, Gabriel terdiam. Keningnya berkerut. Lalu kembali membaca. Hatinya mulai bergerak tak nyaman. Ia baca sekali lagi. Gabriel masih kurang puas. Ia memejamkan mata, lalu membukanya. Mungkin matanya salah. Tapi tetap saja. Tulisan itu tak berubah. Nama itu tak berubah. Sama. Persis.
"Bintang Haling?" gumam Gabriel tercekat.
Ia merasa bumi terbelah jadi dua seketika. Langit seakan runtuh begitu saja. Gabriel segera memperkuat genggaman di formulir itu, karena mendadak tubuhnya melemas.
Sial. Kenapa firasat buruk itu sering kali benar terjadi? Saat itu Gabriel sudah sempat menduga bahwa Rio adalah si Rio kecil Ify. Dan benar. Sial. Kenapa dia harus kembali di saat seperti ini? Sial.
Gabriel berkali-kali mengumpat dalam hati. Tanpa sadar ia meremas kertas itu. Padahal baru tadi malam Gabriel berhasil menyatakan perasaannya pada Ify. Padahal baru tadi malam Ify mengatakan akan berusaha melupakan Rio. Namun apa yang terjadi? Rio malah kembali. Oke, mereka memang tak saling mengenal. Tapi bagaimana kalau Ify akhirnya sadar? Posisi Gabriel sudah terdesak, apa kini jadi makin di ujung tanduk? Argh.
"Gab?"
Gabriel terkejut setengah mati, dan berbalik. Ia makin terlonjak melihat Ify berdiri tepat di belakangnya. Refleks, Gabriel menyembunyikan formulir Rio di balik punggungnya. Ify mengerutkan kening.
"Kamu kenapa?" tanya Ify peduli.
"A... aku..."
Belum sempat Gabriel selesai menjawab, mata Ify sudah menangkap tumpukan formulir di atas meja. Ia kemudian menjulurkan tangan, ingin meraih tapi tersentak kala Gabriel segera menahannya. Kening Ify makin berkerut.
"Gab? Aku harus ambil formulir itu," ucap Ify. "Miss Alya nyuruh untuk data semua dan diketik jadi absen ekskul."
Gabriel melebarkan mata, lalu meneguk ludah. "Loh? Eh... kok kamu sih yang ngetik? Kamukan ketua Fy."
"Sebenarnya sih Acha, karena dia seketaris. Tapi aku mau bantu. Jadi nanti kita ngetiknya berdua," jelas Ify. Acha yang namanya disebut jadi ikut mendekat.
"Ada paan?" tanya Acha ingin tahu.
Gabriel diam sejenak, lalu mencoba tersenyum tenang seperti biasa. "Gue aja yang ngetik absen deh."
"Loh?" Acha dan Ify sontak mengerutkan kening kompak.
"Em... iya. Gue aja, nggak papa kok," kata Gabriel sambil berbalik, merapikan formulir itu dan menggenggamnya.
"Tapikan... itu tugas gue. Gue aja. Lo kerajinan deh," tolak Acha.
Gabriel meringis, sambil mencoba mencari alasan lagi. "Ya... kasihan kaliankan harus repot-repot ngetik? Kalian juga harus latihan untuk pensi. Kaliankan senior, pasti bakal jadi penampilan utama. Jadi kalian fokus aja sama latihan kalian," ucap Gabriel panjang lebar.
"Apaan sih lo. Cuma ngetik sejam doang nggak capek tahu. Bilang aja emang lonya terlalu care sama Ify, makanya nggak mau Ify repot. Huuu," sahut Acha menyoraki. Gabriel meringis. Ify malah jadi tersipu.
"Tuh, lo tahu," jawab Gabriel tersenyum lebar.
Acha geleng-geleng, "efek jatuh cinta itu sedahsyat inikah?" godanya mengerling, "gue kayaknya nggak gitu banget deh," lanjutnya setengah bergumam.
Ify yang mendengar itu jadi tersentak dan mengerutkan kening sambil menoleh, "emang lo naksir siapa?"
Acha tersentak, baru menyadari sikap keceplosannya tadi. Ia merutuk diri dalam hati, lalu cengengesan tak jelas. "Balik ke kelas yuk! Udah mau bel nih!" ucapnya beralasan, lalu segera melesat kabur sebelum Ify sempat bertanya lanjut.
"Dasar aneh," gumam Ify melihat tingkah sahabatnya itu.
Gabriel tertawa kecil, "yuk bareng," ajaknya manis, lalu melangkah. Ify tersenyum kecil, lalu berjalan di samping Gabriel.

^^^

"Ini sudah jam berapa Mario?" tanya Alya tegas, sambil melipat kedua tangan di depan dada. Menatap Rio tajam yang sedari tadi berdiri di depan pintu utama sekolah bersamanya.
"Em... anu Miss... eh... yang datang Om saya," jawab Rio, "orangtua saya masih di Manado. Nah, Om saya tuh masih ngantor. Istirahatnya jam sebelasan."
"Dan ini sudah jam setengah dua belas," sahut Alya tajam, "saya sudah bilang, kan? Batasnya jam sebelas. Kenapa harus Om? Nggak ada tante atau nenek, atau siapalah."
Rio meringis. Dalam hati menjawab, 'ya cuma Om Adit yang bisa diajak kerja sama.'
"Em... bentar ya Miss. Saya panggil Ozy dulu," pamit Rio membuat Alya mendelik.
"Untuk apa?"
"Saya mau nelpon Om saya. Ozy yang punya nomornya."
"Loh? Kok Ozy? Kan Omnya kamu."
DUAR.
Mampus.
Rio merutuk diri. Merasa sangat bodoh mengucapkan kalimat itu. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Eung... gini Miss. Kan... si Ozy tuh tetangga saya, dan deket sama Om saya juga. Eng... terus... Ozy tuh sering smsan sama Om saya! Kalau saya jarang Miss, kan satu rumah," jawab Rio beralasan sambil cengar-cengir tak jelas.
Tapi tatapan Alya justru makin menajam, "untuk apa Ozy smsan sama Om kamu?"
'BEGOOO!!!'
Rio menjerit dalam hati. Rasanya ingin sekali memukulkan kepalanya ke dinding keras-keras. Ia memutar mata, mencari alasan lagi.
Alya mendesah keras, "ya sudah cepat sana! Saya masih harus mengajar," kata Alya tak sabar.
Rio tersentak, lalu segera menurut dan berlari pergi. Satu, ia bersyukur bisa lepas dari pertanyaan-pertanyaan Alya hingga tak ketahuan. Dua, ia memang harus segera menelpon Adit. Kalau tidak mau nanti bisa-bisa Alya meminta nomor orangtuanya. Ah. Jangan sampai deh.
Alya menghela nafas melihat kepergian anak muridnya itu. Ia lalu duduk di anak tangga depan pintu utama sekolah, sambil menunggu Rio. Tangannya merogoh saku rok hitamnya, lalu mengeluarkan segenggam permen cokelat. Alya mengambil satu, dan memakannya. Sementara sisanya ia masukkan lagi dalam saku. Ia menunggu Rio sambil mengemut permen cokelat itu.
Alya merasakan hapenya bergetar di saku blezer birunya. Ia merogoh, dan melihat pesan masuk. Bibir wanita muda itu tersenyum kecil, lalu membalasnya. Ia kemudian kembali memasukkan hape dengan perasaan yang mulai mengembang bahagia karena sms tadi.
Alya mengedarkan pandangan, dan tanpa sengaja melihat ke arah gerbang utama. Sebuah Mercedes Benz hitam melaju memasuki kawasan SMA Pelita, dan berhenti di depan parkiran. Alya sedikit mengerutkan kening, tak mengenali mobil itu. Tapi ia tak terlalu memusingkan dan kembali menunggu Rio yang tak kunjung datang.
Seorang anak perempuan bepipi bulat dengan tas ransel merah muda di pundaknya keluar dari Mercy hitam itu. Ia lalu mulai berlari ke arah pintu utama sekolah. Sementara Mercy tadi masuk ke dalam parkiran, mencoba mencari tempat parkir yang sudah penuh mobil dari para guru, staf sekolah, maupun murid.
Anak perempuan manis dengan seragam SD itu berlari senang dan antusias menuju sekolah tempat kakaknya menimba ilmu. Ia bersenandung kecil dengan riang, membuat Alya jadi menoleh dan mengangkat alis. Menyadari seorang murid SD sedang mendekat ke arahnya.
Tapi karena berlari sambil bernyanyi-nyanyi dan tak fokus, saat baru saja menginjak satu tangga, anak perempuan itu terjatuh. Membuat Alya terkejut dan segera mendekat.
"Aduuhhh..." rintih anak perempuan tersebut kesakitan memegangi lututnya yang berdenyut.
"Eh, sini sini tante bantu," ucap Alya menolong sambil membantu anak tersebut berdiri dan duduk di anak tangga ketiga. "Coba sini liat. Luka nggak?" tanya Alya simpatik.
Anak perempuan itu sudah mewek, lalu mengangkat sedikit rok merahnya. Ada sedikit memar di lutut kanannya, namun tak sampai membuka kulit.
"Kita ke UKS yuk. Biar tante obatin," bujuk Alya lembut.
"Nggak mau!" tolak anak perempuan itu segera sambil menggeleng cepat. "Sakit..." rengeknya merenggut sedih.
"Nggak kok. Kan nanti ada dokter, cuma dikasih obat merah aja," bujuk Alya masih bernada lembut dengan senyuman menenangkan.
"Nggak mau!" Anak perempuan bepipi bulat itu tetap menggeleng tak mau.
Alya menghela nafas, "ya udah deh. Kalau gitu..." Alya merogoh saku rok hitamnya, mengambil tiga bungkus permen cokelat. "Nih buat kamu. Tapi jangan nangis ya," kata Alya memberikan permen-permen itu di genggaman anak perempuan tersebut.
Anak perempuan itu menyeka pipinya dan menerima.
"Siapa nama kamu?" tanya Alya sembari mengusap pipi chubby anak itu.
"Dinda," jawabnya singkat.
"Kelas berapa? Ngapain kesini?"
"Kelas tiga. Mau ketemu kakak."
Kening Alya berkerut, "kakak?"
Dinda mengangguk, lalu melihat ke arah dalam sekolah. Ia melebarkan mata melihat sebuah mading kreasi menyambut di koridor utama, dengan didampingi lemari-lemari piala di kanan dan kiri dinding koridor. Dinda merasa tertarik. Rasa sakit yang sudah hilang, membuatnya bisa berdiri dan beranjak. Alya jadi terkejut. Dinda langsung berlari kecil memasuki SMA Pelita.
"Eh, mau kemana?" tahan Alya berdiri, memandang ke arah Dinda yang memasuki SMA Pelita dengan cueknya. Alya menghela nafas dan melipat kedua tangan di depan dada. Geleng-geleng kecil melihat Dinda yang kini memandangi deretan piala-piala prestasi SMA Pelita.
"Ehm. Permisi."
Sebuah suara berat yang tiba-tiba sudah ada di belakang Alya membuat Alya tersentak. Ia diam sejenak, lalu berbalik.

*****

Yak. Karena udah panjang banget jadi dipotong dua part (eh, kayaknya jadi tiga sih wkwkwk). Sorry ye. Hehe. Gimana gimana?
Gabriel kesannya agak.... em... antagonis ga sih? haha -,- Achanya keceplosan bilang dia lagi suka sama orang. haha. ini sebenarnya request biar ada couple buat acha. oke deh oke. Betewe, Ify sama Rio kapan nyadar ya?  Dan yang manggil Alya itu siapa? Ah. You know who pasti kan? Hahaha.
Part depan masih dengan judul sama, karena bagian B dari part ini. Bocorannya, bakal ada yang bawa bunga(?), bakal ada yang dihukum (wkwkwk), dan akan ada pendekar (?). Mau tahu kan? Iya aja deh! Baca part depan yaw. Bakal cepet post kalau dipromote :p
jangan lupa follow @_ALders ya! Disana bakal bahas BSM juga ;)

salam kece!
@aleastri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar