Maaf
sebelumnya ini ngaret banget karena ada banyak kendala. So so sorryyyyyyy
Part 7: Kembali
Pulang
Rio dan Ozy
melangkah santai di koridor SMA Pelita pagi ini. Mereka memang pergi bersama.
Menggunakan motor Ozy. Sebenarnya Rio punya kendaraan, namun pemuda itu lebih
senang pergi bersama. Kalau kata Ozy sih, alasan Rio saja agak tak keluar uang
bensin.
Tiba-tiba
seorang guru muda berhenti di depan keduanya, membuat Rio dan Ozy yang
sebelumnya berdebat, terkejut dan menghentikan langkah. Mereka sama-sama
mengangkat alis tinggi melihat Miss Alya melipat kedua tangan di depan dada dan
mefokuskan tatapan ke arah Rio.
"Morning
Miss..." sapa Ozy mencoba menyapa.
"Pagi
Miss," ucap Rio ikutan.
Alya
tersenyum sekilas, lalu mendekat. Tertuju pada Rio membuat Rio menarik wajah
sedikit, merasa curiga.
"Miss,
nanti wali saya datang kok, tenang aja," ucap Rio sudah panik.
Alya
tertawa, lalu tersenyum. Manis sekali. Membuat Ozy yang melihat itu melebarkan
mata, menjadi terpesona.
"Tapi
sebelum itu, boleh saya bertanya?" kata Alya membuat kening Rio berkerut.
"Nama lengkap kamu benar Mario Bintang Haling, kan?"
Rio mengangguk
mantap.
"Em...
sebelum ke Manado, kamu pernah tinggal di Jakarta, kan?"
Rio
tersentak, dan mengernyit. Ozy juga ikut mengerutkan kening.
"Kok...
tahu?" tanya Rio perlahan. Ia memutar mata pada Ozy di sampingnya, lalu
seakan berkata melalui tatapan, 'jangan-jangan dia fans gue Zy?'
Ozy yang
sangat mengerti Rio, langsung melotot kecil dengan geram. Rio hanya terkikik
kecil, dan kembali memandang Miss Alya. Tapi ia terkejut, kala melihat tatapan
Miss Alya padanya. Menyelidik, tapi seakan ada haru di sana. Rio tak mengerti
maksud tatapan itu. Ozypun juga jadi sangat penasaran.
"Em...
saya boleh minta satu permintaan?" ucap Alya membuat Rio tersentak.
"Eee...
apa Miss?" tanya Rio mulai menebak-nebak. Waduh. Jangan-jangan guru muda
ini naksir padanya? Lalu ingin menjadikan dia pacar gitu? Apakah ia setampan
itu? Haha. Eh tapi, bagaimana dengan Ozy? Nanti Rio malah dimusuhinya lagi
kalau ternyata guru ini menyukai Rio.
Pikiran
narsis Rio langsung pecah saat mendengar ucapan Miss Alya.
"Saya
mau mukul kamu."
Mata Rio
sontak membelalak, Ozy juga tenganga. Alya yang melihat itu justru meledakkan
tawa mendapatkan ekspresi lucu dua anak muridnya ini.
"Ma...
mau apa Miss?" tanya Rio sudah membelalak ngeri.
"Mau
mukul," jawab Alya santai walau masih geli melihat ekspresi Rio dan Ozy.
Rio menarik
wajah menjauh, sementara Alya kembali tersenyum.
"Serius.
Sekali aja, saya mau mukul kamu," ucap Alya meminta ijin. "Untuk
keinginan masa lalu yang belum tercapai," lanjut Alya menggumam, membuat
Rio dan Ozy samar-samar mendengarnya. Keduanya jadi makin mengerutkan kening
tak mengerti.
Rio meneguk
ludah, lalu akhirnya mendekat, "ya deh Miss," ucapnya pasrah.
Alya
tersenyum, lalu ingin mengepalkan tangannya.
"Tapi
jangan keras-keras ya Miss," ucap Rio sebelum tangan Alya bergerak.
Alya
tertawa kecil, dan mengangguk. Sedetik kemudian, sebelum Rio sempat menahan
lagi, tonjokkan tangan Alya sudah mendarat di bahu Rio, membuat Rio menjerit
tertahan sakit.
"Lebay
lo!" protes Ozy yang sempat terkejut karena rintihan Rio.
Rio
bersungut, sambil mengusap-usap bahunya yang mulai terasa berdenyut. "Aduh
Miss... Mau lampiasin emosi ke saya ya? Keras amat."
Alya
tersenyum, lalu kembali melipat kedua tangan di depan dada. "Selama
sebelas tahun ini, kamu kemana saja?" ceplosnya tak bisa menahan diri.
Rio kembali
mengerutkan kening, "maksud Miss?"
"Apa
selama sebelas tahun ini kamu ada di Manado?" tanya Alya tak menghiraukan
pertanyaan Rio.
Rio terdiam
cukup lama. "Em... saya cuma sembilan tahun di Manado, kelas dua SD pindah
dari Jakarta," jawab Rio.
Alya
manggut-manggut. Ia diam sejenak, berpikir. Haruskah ia bertanya frontal pada
pemuda ini? Tapi... Alya sebenarnya ingin diam saja. Memerhatikan bagaimana
kisah ini akan berjalan. Tapi Alya sungguh penasaran.
Alya
akhirnya hanya menghela nafas saja, "Oh ya. Istirahat nanti ekskul musik
akan kumpul untuk data anggota baru. Kamu harus datang ya," tegasnya
membuat Rio tersentak.
"Rio
ikut musik?" tanya Ozy tak tahu menahu.
"Aduh...
tapikan Miss..." ucap Rio ingin menolak.
"Mario,
ini sebagai hukuman. Kamu, harus berduet dengan Alyssa," potong Alya tak
mau dibantah.
"Ha?
Duet?" Ozy melebarkan mata dan menoleh pada Rio tak percaya. Sekaligus
kesal karena Rio sama sekali tak bercerita tentang ini.
Alya
mengangguk tenang, "lagipula Rio katanya pintar nyanyi. Bukankah ini
kesempatan bagus? Kamu harusnya bersyukur, karena Alyssa adalah murid yang
sangat berbakat. Kamu beruntung nanti berduet dengannya."
Rio
tersenyum masam.
"Dan
pasti kamu akan berterima kasih pada saya suatu saat nanti," ucap Alya
penuh arti.
"Hm.
Iya Miss, berterima kasih karena dipertemukan satu panggung sama jelangkung
sapi itu," gerutu Rio mendumel.
Alya
tertawa renyah, 'bukan. Tapi berterima kasih karena kamu kembali dipertemukan
dengan sahabat kecilmu itu,' batin Alya tersenyum memandang Rio.
Ozy yang
melihat itu hanya diam. Walaupun ia agak merasa kesal pada Rio. Kenapa sih, di
depan pemuda ini Miss Alya jadi sering tertawa? Apalagi kini Miss Alya
tersenyum menatap Rio. Ck. Jangan-jangan Miss Alya menaruh hati pada Rio?
^^^
Ify
menopang dagu dengan kanan kirinya, sementara tangan kanannya menggenggam
sesuatu. Kedua mata beningnya terus tertuju ke sana, keluar jendela di
sampingnya. Memandang jauh langit cerah hari ini. Ia kemudian menghela nafas, dan
menggerakkan kepala ke kepalan tangan kanannya. Jemarinya terbuka perlahan,
melihatkan sebuah gantungan kunci dengan bandul boneka Super Mario kecil.
Bibirnya mencair, tersenyum tipis.
Ify menarik
nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia kembali menggenggam gantungan
kunci itu, lalu kembali menatap langit.
"Gimana
bisa lupa kalau kerjanya begini mulu?"
Ify
terlonjak setengah mati, dan segera menoleh. Gabriel dengan santai kini
menduduki kursi Acha yang memang kosong. Ia ikut menopang dagu, memiringkan
kepalanya sedikit dan menatap Ify lekat. Membuat Ify merasa salah tingkah.
"Tiap
hari liat langit, liat matahari, liat bintang. Itu semua tentang Rio,
kan?"
Ify
terdiam. Ia meneguk ludah sedikit, dan menunduk.
"Hm...
jangan-jangan gue bakal nunggu sampai bulan jadi tiga nih," ucap Gabriel
dengan nada menyindir.
Ify
mendecak, dan membuang wajah kembali menatap langit. "Guekan nggak nyuruh
lo nunggu," balas Ify.
Gabriel
tertawa kecil. Entah mengapa sifat Ify yang ini yang membuatnya semakin ingin
mengejar Ify. Sifatnya yang tak mau kalah dan selalu balas berbicara untuk
membela diri.
"Gue
udah nunggu bertahun-tahun, apa salahnya gue terusin?" jawab Gabriel
santai.
Ify
mengerucutkan bibir, "lo nggak capek?" sahut Ify.
Gabriel
tersenyum. Tangannya mengambil dagu lancip Ify, dan menariknya lembut untuk
menoleh ke arah Gabriel. Gabriel kembali tersenyum manis, membuat lutut Ify
tanpa sadar melemas seketika.
"Emang
ada alasan ya untuk berhenti nunggu lo?"
Ify
membeku. Mulutnya terbuka sedikit, dengan tenggorokkan tercekat. Ia ingin
bicara, tapi sepertinya suaranya sudah hilang entah kemana. Kedua bola mata
teduh yang menatapnya lekat itu benar-benar membuatnya tak bisa berkutik.
"Masih
pagi woy!"
Ify dan
Gabriel terlonjak seketika. Keduanya menoleh, dan refleks membenarkan posisi
duduk mereka. Tangan Gabriel yang memegang dagu Ify juga sontak turun dan kini
berganti jadi menggaruk tengkuknya, merasa kikuk.
Acha
tersenyum lebar di depan keduanya, "gue tahu, kalian lagi kasmaran. Tapi
tolong ingat ya, ini kelas. Dan jam juga masih jam tujuh kurang. Masih pagi
untuk pacaran. Oke?" ucap Acha dengan nada menasihati dan wajah serius.
Sontak,
wajah Ify memanas dan memerah merona. Gabriel jadi makin salah tingkah sambil
senyum-senyum tak jelas.
"Katanya,
nggak jawab. Tapi kok bau-baunya udah jadian?" tanya Acha menyindir,
karena semalaman Ify menelponnya, menceritakan -dengan sangat heboh- bagaimana
pernyataan cinta Gabriel semalam. "Peje!" lanjut Acha memalak sambil
menengadahkan tangannya.
Gabriel
tertawa gugup, lalu menepuk telapak tangan Acha itu. "Pagi-pagi nggak usah
gosip deh," ucap Gabriel sambil berdiri, dan beranjak. Tapi tangan Acha
segera menahannya.
"Mau
kemana lo? Setelah buat sahabat gue udah kayak kepiting rebus gitu, kini lo
pergi gitu aja?" kata Acha membuat Ify melotot kecil.
'Acha
sialan. Pipi gue merah ya karena dia,' umpat Ify dalam hati.
Gabriel
membuang pandangan ke arah Ify yang kini jadi menunduk gugup. Refleks, Gabriel
tersenyum senang melihat pipi itu merona merah. Membuat Ify terlihat seperti
baru saja diambil dari dalam kuali.
Gabriel
berdehem pelan, lalu memasukkan kedua tangan di saku celana abu-abunya,
"gue ke meja gue ya Fy," pamitnya manis.
Ify makin
terlihat salah tingkah. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.
Acha
terkikik geli, "meja lo cuma sepuluh langkah dari sini pamitnya kayak mau
kemana aje," goda Acha.
Gabriel
mendelik kecil, walau senyuman di wajahnya belum hilang. Ia hanya menepuk poni
Acha sekilas, membuat Acha merenggut. Lalu melangkah pergi menuju kursinya.
Melihat
Gabriel sudah pergi, Acha segera melompat duduk di samping Ify, dan melepaskan
tasnya. "Kata lo nggak jadian," bisik Acha segera.
"Emang
nggak," jawab Ify santai lalu memasukkan gantungan kunci yang sedaritadi
ia genggam ke dalam tasnya. "Kan gue udah bilang, tadi malam gue emang
udah ngaku suka juga sama dia. Dan dia mau nunggu," ucap Ify pelan sambil
memandang ke arah Acha.
Acha
manggut-manggut, lalu geleng-geleng sambil mendecak-decakkan lidahnya. "Lo
bener-bener kayak lagi ada di novel-novel Fy!"
"Kemaren
lo bilang kayak di film," sindir Ify.
Acha
meringis, "sama aja. Drama banget!" ejek Acha, Ify hanya mencibir
saja.
^^^
Istirahat
kali ini, ekskul musik berkumpul di ruang musik. Semua sudah berkumpul. Ify
duduk di samping Gabriel, yang sebelumnya ia sempat mendelik melihat Rio ada di
antara para anggota baru. Alya berdiri di depan kelas, dengan setumpuk formulir
di tangannya.
"Bulan
Oktober nanti akan ada pensi. Saya akan menyeleksi siapa saja yang akan tampil
nanti, khususnya untuk junior kelas sepuluh," kata Alya memulai.
"Tapi sebelumnya saya akan mengumumkan beberapa anggota yang sudah
terpilih."
Gabriel
menoleh pada Ify, lalu berbisik, "pasti kamu, kan?"
Ify
melirik, lalu tersenyum saja. 'Iya. Tapi sekarang nggak sendiri,' batinnya
menjawab.
Dari jauh,
diam-diam Rio memerhatikan dua orang itu. Ia mencibir kecil, 'tu cowok pacarnya
si jelangkung?' tanya Rio dalam hati, entah pada siapa. Tapi tak lama ia
tersentak sendiri. 'Eh, apa urusan gue?' batinnya lagi.
"Nanti
akan ada penampilan dari ketua kita, Alyssa," suara Alya kembali
terdengar, sambil menoleh pad Ify yang duduk di barisan depan.
Ify
tersenyum. Yang lainnya tak heran. Ya iyalah. Bintang sekolah itu pasti muncul.
Acha yang duduk di belakang Ify mencolek-colek pinggang Ify. Ify hanya nyengir.
"Tapi
kali ini dia akan berduet," kata Alya membuat semua hening seketika.
Ify
melengos, sudah bersiap. Rio acuh tak peduli sambil belaga memerhatikan ruang
musik seutuhnya. Gabriel mengangkat alis, baru ingat. Oh ya. Ifykan sudah
bercerita bahwa ia akan diduetkan dengan anak baru itu.
"Dia
akan duet dengan murid baru sebelas ipa tiga, Rio."
"Ha?!"
Acha tak bisa menahan diri untuk tidak memekik. Karena Ify tak menceritakan hal
ini. Beberapa yang ada di ruangan itu juga terkejut, ada yang mendesah kaget,
dan membelalakkan mata menatap ke arah Ify dan Rio bergantian yang duduk
berjauhan.
Mereka akan
berduet? Mereka yang sempat menghebohkan kantin karena bertengkar seperti anak
kecil merebutkan mainan itu akan berduet? Duet apa? Adu jotos di atas panggung?
Atau malah saling bentak tak karuan? Miss Alya tak salahkah?
"Kalian
kenapa? Kaget?" tanya Alya tenang, "nanti juga akan ada penampilan
dari tiga senior kalian, Angel, Kiki, dan Patton," Alya segera mengalihkan
pembicaraan. Tak ingin waktu istirahat yang sedikit ini habis hanya karena
terkejutan tentang Rio dan Ify.
Alya lalu
juga menjelaskan bagaimana konsep pensi nanti. Sambil melihat-lihat sekilas
nama-nama di formulir yang ia balik-balik satu persatu.
"Jadi
nanti mungkin akan ada grup yang....." Kalimat Alya memelan, dan terhenti.
Ia terdiam mendadak, membuat para muridnya mengerutkan kening.
Alya
membeku. Terpaku membaca nama yang ada pada formulir di tangannya. Alya menelan
ludah, lalu mendongak. Kepalanya bergerak cepat, mencari. Dan terhenti. Pada
seorang pemuda jangkung tampan yang duduk di samping Ify. Alya melebarkan mata,
membuat pemuda itu mengerutkan kening tak mengerti mendapat tatapan aneh
tersebut.
Alya
kembali membaca nama itu. Gabriel Bintang Damanik. Bintang?
Oh. As. Ta.
Ga. Kenapa Alya baru menyadari? Padahal selama inikan Gabriel adalah anak
muridnya sendiri. Ia adalah wali kelas Gabriel. Tapi kenapa ia baru sadar,
bahwa nama Gabriel itu adalah Bintang!
Alya
menggigit bibir kuat. Akhir-akhir ini ia dapat melihat Gabriel 'dekat' dengan
Ify. Walau Alya tak tahu apa hubungan kedua muridnya itu. Dan... apakah Gabriel
adalah Bintang saat itu? Jadi, feeling Alya sebelas tahun lalu itu akan
terjadi? Bahwa Bintang akan ada di tengah-tengah Ify dan Rio.
"Miss?"
Alya
terkejut, dan sontak mendongak. Acha memanggilnya sambil terus mengernyit tak
paham.
"Miss
kenapa?" tanya Acha peduli. Yang lain juga menatap Alya dengan bingung
tapi juga cemas.
Alya diam
sejenak, sebelum akhirnya tersenyum. "Maaf," ucapnya singkat,
"Tadi sampai mana?"
Semua
saling pandang. Masih bertanya-tanya dengan keanehan guru ini. Sementara Rio
geleng-geleng kecil. Sepertinya benar guru muda ini memang aneh.
"Sampai
penjelasan tentang grup Miss," jawab Gabriel.
"Oh,
iya," ucap Alya segera teringat. Ia lalu kembali melanjutkan. Alya
menjelaskan terperinci tentang semua. Sampai akhirnya ia selesai juga.
"Ya,
begitulah. Jadi besok kalian sudah ijin ke orangtua untuk pulang sore, karena
besok kita akan mulai berlatih. Mengerti?" tutup Alya. Semua mengangguk
menurut. "Oke, sampai jumpa nanti," pamit Alya beranjak. Ia menaruh
formulir di atas meja, lalu berjalan keluar. Tapi sebelumnya ia jadi ingat dan kembali
menoleh ke dalam. "Rio, ikut saya," tegasnya membuat Rio tersentak.
Rio meneguk
ludah, tapi lalu berdiri dan menurut. Ify melihat itu, tapi diam saja. Satu
persatu para anggota musik mulai ikut berkeluaran.
Gabriel
berdiri, lalu melangkah ke meja di depan kelas. Ia melihat-lihat formulir,
ingin tahu siapa saja yang masuk ekskul musik selain dirinya. Acha kini
langsung duduk di kursi Gabriel tadi, dan menyerbu Ify dengan ribuan pertanyaan
kenapa bisa berduet dengan Rio. Ify melengos, lalu mulai menjelaskan.
Gabriel
terus melihat satu persatu. Sampai ia berhenti pada selembar formulir. Punya
Rio.
Gabriel
membaca formulir Rio. Dan baru saja di kolom pertama, Gabriel terdiam.
Keningnya berkerut. Lalu kembali membaca. Hatinya mulai bergerak tak nyaman. Ia
baca sekali lagi. Gabriel masih kurang puas. Ia memejamkan mata, lalu
membukanya. Mungkin matanya salah. Tapi tetap saja. Tulisan itu tak berubah.
Nama itu tak berubah. Sama. Persis.
"Bintang
Haling?" gumam Gabriel tercekat.
Ia merasa
bumi terbelah jadi dua seketika. Langit seakan runtuh begitu saja. Gabriel
segera memperkuat genggaman di formulir itu, karena mendadak tubuhnya melemas.
Sial.
Kenapa firasat buruk itu sering kali benar terjadi? Saat itu Gabriel sudah
sempat menduga bahwa Rio adalah si Rio kecil Ify. Dan benar. Sial. Kenapa dia
harus kembali di saat seperti ini? Sial.
Gabriel
berkali-kali mengumpat dalam hati. Tanpa sadar ia meremas kertas itu. Padahal
baru tadi malam Gabriel berhasil menyatakan perasaannya pada Ify. Padahal baru
tadi malam Ify mengatakan akan berusaha melupakan Rio. Namun apa yang terjadi?
Rio malah kembali. Oke, mereka memang tak saling mengenal. Tapi bagaimana kalau
Ify akhirnya sadar? Posisi Gabriel sudah terdesak, apa kini jadi makin di ujung
tanduk? Argh.
"Gab?"
Gabriel
terkejut setengah mati, dan berbalik. Ia makin terlonjak melihat Ify berdiri
tepat di belakangnya. Refleks, Gabriel menyembunyikan formulir Rio di balik
punggungnya. Ify mengerutkan kening.
"Kamu
kenapa?" tanya Ify peduli.
"A...
aku..."
Belum
sempat Gabriel selesai menjawab, mata Ify sudah menangkap tumpukan formulir di
atas meja. Ia kemudian menjulurkan tangan, ingin meraih tapi tersentak kala
Gabriel segera menahannya. Kening Ify makin berkerut.
"Gab?
Aku harus ambil formulir itu," ucap Ify. "Miss Alya nyuruh untuk data
semua dan diketik jadi absen ekskul."
Gabriel
melebarkan mata, lalu meneguk ludah. "Loh? Eh... kok kamu sih yang ngetik?
Kamukan ketua Fy."
"Sebenarnya
sih Acha, karena dia seketaris. Tapi aku mau bantu. Jadi nanti kita ngetiknya
berdua," jelas Ify. Acha yang namanya disebut jadi ikut mendekat.
"Ada
paan?" tanya Acha ingin tahu.
Gabriel
diam sejenak, lalu mencoba tersenyum tenang seperti biasa. "Gue aja yang
ngetik absen deh."
"Loh?"
Acha dan Ify sontak mengerutkan kening kompak.
"Em...
iya. Gue aja, nggak papa kok," kata Gabriel sambil berbalik, merapikan
formulir itu dan menggenggamnya.
"Tapikan...
itu tugas gue. Gue aja. Lo kerajinan deh," tolak Acha.
Gabriel
meringis, sambil mencoba mencari alasan lagi. "Ya... kasihan kaliankan
harus repot-repot ngetik? Kalian juga harus latihan untuk pensi. Kaliankan
senior, pasti bakal jadi penampilan utama. Jadi kalian fokus aja sama latihan
kalian," ucap Gabriel panjang lebar.
"Apaan
sih lo. Cuma ngetik sejam doang nggak capek tahu. Bilang aja emang lonya
terlalu care sama Ify, makanya nggak mau Ify repot. Huuu," sahut Acha
menyoraki. Gabriel meringis. Ify malah jadi tersipu.
"Tuh,
lo tahu," jawab Gabriel tersenyum lebar.
Acha
geleng-geleng, "efek jatuh cinta itu sedahsyat inikah?" godanya
mengerling, "gue kayaknya nggak gitu banget deh," lanjutnya setengah
bergumam.
Ify yang
mendengar itu jadi tersentak dan mengerutkan kening sambil menoleh, "emang
lo naksir siapa?"
Acha
tersentak, baru menyadari sikap keceplosannya tadi. Ia merutuk diri dalam hati,
lalu cengengesan tak jelas. "Balik ke kelas yuk! Udah mau bel nih!"
ucapnya beralasan, lalu segera melesat kabur sebelum Ify sempat bertanya
lanjut.
"Dasar
aneh," gumam Ify melihat tingkah sahabatnya itu.
Gabriel
tertawa kecil, "yuk bareng," ajaknya manis, lalu melangkah. Ify
tersenyum kecil, lalu berjalan di samping Gabriel.
^^^
"Ini
sudah jam berapa Mario?" tanya Alya tegas, sambil melipat kedua tangan di
depan dada. Menatap Rio tajam yang sedari tadi berdiri di depan pintu utama
sekolah bersamanya.
"Em...
anu Miss... eh... yang datang Om saya," jawab Rio, "orangtua saya
masih di Manado. Nah, Om saya tuh masih ngantor. Istirahatnya jam
sebelasan."
"Dan
ini sudah jam setengah dua belas," sahut Alya tajam, "saya sudah
bilang, kan? Batasnya jam sebelas. Kenapa harus Om? Nggak ada tante atau nenek,
atau siapalah."
Rio
meringis. Dalam hati menjawab, 'ya cuma Om Adit yang bisa diajak kerja sama.'
"Em...
bentar ya Miss. Saya panggil Ozy dulu," pamit Rio membuat Alya mendelik.
"Untuk
apa?"
"Saya
mau nelpon Om saya. Ozy yang punya nomornya."
"Loh?
Kok Ozy? Kan Omnya kamu."
DUAR.
Mampus.
Rio merutuk
diri. Merasa sangat bodoh mengucapkan kalimat itu. Ia menggaruk kepalanya yang
tak gatal. "Eung... gini Miss. Kan... si Ozy tuh tetangga saya, dan deket
sama Om saya juga. Eng... terus... Ozy tuh sering smsan sama Om saya! Kalau
saya jarang Miss, kan satu rumah," jawab Rio beralasan sambil
cengar-cengir tak jelas.
Tapi
tatapan Alya justru makin menajam, "untuk apa Ozy smsan sama Om
kamu?"
'BEGOOO!!!'
Rio
menjerit dalam hati. Rasanya ingin sekali memukulkan kepalanya ke dinding
keras-keras. Ia memutar mata, mencari alasan lagi.
Alya
mendesah keras, "ya sudah cepat sana! Saya masih harus mengajar,"
kata Alya tak sabar.
Rio
tersentak, lalu segera menurut dan berlari pergi. Satu, ia bersyukur bisa lepas
dari pertanyaan-pertanyaan Alya hingga tak ketahuan. Dua, ia memang harus
segera menelpon Adit. Kalau tidak mau nanti bisa-bisa Alya meminta nomor
orangtuanya. Ah. Jangan sampai deh.
Alya
menghela nafas melihat kepergian anak muridnya itu. Ia lalu duduk di anak
tangga depan pintu utama sekolah, sambil menunggu Rio. Tangannya merogoh saku
rok hitamnya, lalu mengeluarkan segenggam permen cokelat. Alya mengambil satu,
dan memakannya. Sementara sisanya ia masukkan lagi dalam saku. Ia menunggu Rio
sambil mengemut permen cokelat itu.
Alya
merasakan hapenya bergetar di saku blezer birunya. Ia merogoh, dan melihat
pesan masuk. Bibir wanita muda itu tersenyum kecil, lalu membalasnya. Ia
kemudian kembali memasukkan hape dengan perasaan yang mulai mengembang bahagia
karena sms tadi.
Alya
mengedarkan pandangan, dan tanpa sengaja melihat ke arah gerbang utama. Sebuah
Mercedes Benz hitam melaju memasuki kawasan SMA Pelita, dan berhenti di depan
parkiran. Alya sedikit mengerutkan kening, tak mengenali mobil itu. Tapi ia tak
terlalu memusingkan dan kembali menunggu Rio yang tak kunjung datang.
Seorang
anak perempuan bepipi bulat dengan tas ransel merah muda di pundaknya keluar
dari Mercy hitam itu. Ia lalu mulai berlari ke arah pintu utama sekolah.
Sementara Mercy tadi masuk ke dalam parkiran, mencoba mencari tempat parkir
yang sudah penuh mobil dari para guru, staf sekolah, maupun murid.
Anak
perempuan manis dengan seragam SD itu berlari senang dan antusias menuju
sekolah tempat kakaknya menimba ilmu. Ia bersenandung kecil dengan riang,
membuat Alya jadi menoleh dan mengangkat alis. Menyadari seorang murid SD
sedang mendekat ke arahnya.
Tapi karena
berlari sambil bernyanyi-nyanyi dan tak fokus, saat baru saja menginjak satu
tangga, anak perempuan itu terjatuh. Membuat Alya terkejut dan segera mendekat.
"Aduuhhh..."
rintih anak perempuan tersebut kesakitan memegangi lututnya yang berdenyut.
"Eh,
sini sini tante bantu," ucap Alya menolong sambil membantu anak tersebut
berdiri dan duduk di anak tangga ketiga. "Coba sini liat. Luka
nggak?" tanya Alya simpatik.
Anak
perempuan itu sudah mewek, lalu mengangkat sedikit rok merahnya. Ada sedikit
memar di lutut kanannya, namun tak sampai membuka kulit.
"Kita
ke UKS yuk. Biar tante obatin," bujuk Alya lembut.
"Nggak
mau!" tolak anak perempuan itu segera sambil menggeleng cepat.
"Sakit..." rengeknya merenggut sedih.
"Nggak
kok. Kan nanti ada dokter, cuma dikasih obat merah aja," bujuk Alya masih
bernada lembut dengan senyuman menenangkan.
"Nggak
mau!" Anak perempuan bepipi bulat itu tetap menggeleng tak mau.
Alya
menghela nafas, "ya udah deh. Kalau gitu..." Alya merogoh saku rok
hitamnya, mengambil tiga bungkus permen cokelat. "Nih buat kamu. Tapi
jangan nangis ya," kata Alya memberikan permen-permen itu di genggaman
anak perempuan tersebut.
Anak
perempuan itu menyeka pipinya dan menerima.
"Siapa
nama kamu?" tanya Alya sembari mengusap pipi chubby anak itu.
"Dinda,"
jawabnya singkat.
"Kelas
berapa? Ngapain kesini?"
"Kelas
tiga. Mau ketemu kakak."
Kening Alya
berkerut, "kakak?"
Dinda
mengangguk, lalu melihat ke arah dalam sekolah. Ia melebarkan mata melihat
sebuah mading kreasi menyambut di koridor utama, dengan didampingi
lemari-lemari piala di kanan dan kiri dinding koridor. Dinda merasa tertarik.
Rasa sakit yang sudah hilang, membuatnya bisa berdiri dan beranjak. Alya jadi
terkejut. Dinda langsung berlari kecil memasuki SMA Pelita.
"Eh,
mau kemana?" tahan Alya berdiri, memandang ke arah Dinda yang memasuki SMA
Pelita dengan cueknya. Alya menghela nafas dan melipat kedua tangan di depan
dada. Geleng-geleng kecil melihat Dinda yang kini memandangi deretan
piala-piala prestasi SMA Pelita.
"Ehm.
Permisi."
Sebuah
suara berat yang tiba-tiba sudah ada di belakang Alya membuat Alya tersentak.
Ia diam sejenak, lalu berbalik.
*****
Yak. Karena
udah panjang banget jadi dipotong dua part (eh, kayaknya jadi tiga sih wkwkwk).
Sorry ye. Hehe. Gimana gimana?
Gabriel
kesannya agak.... em... antagonis ga sih? haha -,- Achanya keceplosan bilang
dia lagi suka sama orang. haha. ini sebenarnya request biar ada couple buat
acha. oke deh oke. Betewe, Ify sama Rio kapan nyadar ya? Dan yang manggil Alya itu siapa? Ah. You know
who pasti kan? Hahaha.
Part depan
masih dengan judul sama, karena bagian B dari part ini. Bocorannya, bakal ada
yang bawa bunga(?), bakal ada yang dihukum (wkwkwk), dan akan ada pendekar (?).
Mau tahu kan? Iya aja deh! Baca part depan yaw. Bakal cepet post kalau
dipromote :p
jangan lupa
follow @_ALders ya! Disana bakal bahas BSM juga ;)
salam kece!
@aleastri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar