Senin, 04 Maret 2013

Bintang Super Mario Part 7b


Part 7b. Kembali Pulang

Dunia masih berputar sesuai porosnya. Awan masih bergerak mengikuti arah angin. Matahari ada di sana, memberikan sinar terang sesuai tugasnya. Semua berjalan seperti biasa bagi semua orang. Tapi tidak bagi kedua orang itu. Yang kini berdiri berhadap-hadapan di depan pintu utama SMA Pelita. Dibatasi tiga anak tangga saja. Mata mereka telah bertemu. Tepat. Dan kedua pasang bola mata itu seakan terkunci. 
Seperti ada yang berbeda di dunia. Seakan berhenti berputar tak pada porosnya. Awan ikut mematung di langit sana. Matahari hanya diam, memberikan cahaya menghias kedua lakon itu, yang seakan terlihat makin bersinar di mata satu sama lain.
Apakah ini termasuk kisah langit? Apakah semua telah diatur olehNya? Seperti Adam dan Hawa yang pernah dipisahkan jauh karena melanggar laranganNya, lalu dipertemukan lagi. Itu yang namanya jodoh, kan? 
Dan kedua orang itu. Setelah sekian lama, sebelas tahun mungkin, berpisah dengan jarak yang sangat jauh. Tanpa ada kabar sedikitpun. Tanpa komunikasi apapun. Mereka kembali bertemu. Dengan tak terduga. Tanpa pernah sedikitpun keduanya berpikir akan terjadi hal ini.
Keduanya saling memerhatikan satu sama lain. Meneliti perbedaan kontras saat putih abu-abu dulu. Pria itu, kini lebih tinggi. Badannya tegap, dengan kemeja putih dan jas hitam formal menutupinya. Ada dasi biru menggantung di leher kemejanya. Membuatnya terlihat sangat dewasa, berbeda sekali dengannya sebelas tahun lalu. Sementara si wanita, bentuk tubuhnya mulai berubah. Indah layaknya wanita dalam majalah. Kini ia terlihat sangat anggun memakai blezer biru dengan rok selutut hitam. Hak tinggi hitamnya membuat ia makin terlihat jauh lebih feminim daripada sebelas tahun lalu.
Keheningan itu memudar. Ketika Adit mencoba tersenyum.
"Hai..."
Alya merasakan lidahnya membeku. Suara itu. Yang kini terdengar lebih berat dan berwibawa. Ia menarik nafas dalam tak kentara, dan melemparkan senyum balasan. "Hai..."
Adit sempat terdiam, merasakan hatinya berdesir melihat senyum itu. Ia menggerakkan mata dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Senyumnya melebar, "guru?" godanya mengerling.
Alya tertawa kecil, lalu mengangguk. Ia lalu sedikit memiringkan kepala, meneliti Adit. "Manager? Direktur? Atau... panitia masjid yang sering minta sumbangan?"
Tawa Adit meledak. Ia tersenyum kalem. "Direktur," jawabnya singkat. "Apa kabar?"
"Baik," jawab Alya ringan, "kamu?"
"Ya... begini," jawab Adit mengedikkan bahunya. Ia baru saja akan membuka mulut lagi, kala tanpa sengaja matanya melihat di balik punggung Alya. Seorang anak kecil dengan ransel merah muda memandangi mading kreasi SMA Pelita.
Kening Adit berkerut sedikit, "Dinda!"
Dinda tersentak, dan berbalik. Alya juga ikut tersentak ternyata anak kecil tadi mengenal Adit. Dinda meringis kecil melihat Adit sudah datang, lalu berlari mendekat.
"Tadi aku jatoh di situ," adu Dinda merengek menunjuk anak tangga terbawah.
Alya tersenyum melihat wajah manja anak itu. Dinda berdiri di samping Alya, lalu menoleh pada Alya.
"Tadi tante ini nolong aku, dan kasih aku permen!" lapor Dinda jadi ceria mengacungkan permen cokelat yang kini tinggal sebungkus di jarinya. Ia kembali memandang Adit, lalu menuruni tangga dan mendatangi Adit.
"Ini, aku sisain buat ayah satu!" kata Dinda sambil memberikan sebungkus permen ke arah Adit.
Senyum Alya yang memandangi Dinda perlahan lenyap.
Adit tersenyum menerimanya, "kalau suka buat kamu aja," ucapnya lembut.
"Em... bagi dua deh!" kata Dinda tersenyum lebar.
Adit tertawa, lalu membukakan bungkus permen itu.
Alya terdiam. Menatap pria dan anak kecil di depannya itu. Apa tadi kata Dinda? Tadi Dinda memanggil Adit dengan sebutan apa? Alya tak salah dengar, kan?
"Ehm."
Sebuah deheman membuat Alya tersadar dan mengerjap. Adit dan Dinda juga tersentak. Ketiganya menoleh kompak. Mendapati seorang pria dengan kemeja abu-abu dan celana jins hitam panjang datang, dengan sebuket lili putih di tangannya. Alya melebarkan mata. Sementara Adit mengerutkan kening, walau sedikit tergetar melihat lili putih itu.
Pria itu, Rohan, melangkah menuju Alya. Ia sempat melihat Adit, dan memandangi Dinda yang juga menatap Rohan. Saat mata Rohan jatuh pada Dinda, pria itu tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum melihat wajah imut menggemaskan Dinda. Dinda balas tersenyum dengan malu-malu.
Bersamaan dengan itu, Rio dan Ozy baru datang dari dalam gedung sekolah. Tapi mereka kompak menghentikan langkah di samping mading kala melihat Om Adit berhadap-hadapan dengan Miss Alya. Ada Dinda juga. Dan pria dengan buket lili putih. Kening keduanya berkerut. Tapi lalu bersembunyi di lemari samping pintu dengan mengendap-endap, dan mencuri dengar dari sana. Menarik nih sepertinya.
Rohan berdiri di samping Alya yang terdiam. "Siapa? Wali murid?" tanya Rohan pelan sambil memutar mata ke arah Adit. Jujur, ia merasa sedikit tak nyaman melihat kekasihnya mengobrol dengan pria muda -yang ganteng dan berpenampilan rapi- itu.
Alya berdehem, mencoba menguasai diri. Harusnya ia tidak kaget dengan kedatangan Rohan. Karena tadi Rohan sudah mengirimnya sms bahwa akan datang membawa hadiah. Ya... mungkin buket lili putih itu. Bunga kesukaan Alya sedari dulu.
"Iya. Dia... wali murid," jawab Alya melirik Adit.
Adit diam sejenak, lalu mencoba tersenyum ramah pada Rohan. "Adit."
Alya menggigit bibir kuat. Pria itu tak berubah. Masih ramah pada siapa saja. Seperti dulu.
Rohan balas tersenyum, "Rohan." Rohan melirik Alya sekilas, lalu menatap Adit lagi. "Kenal sama Alya sebelumnya?"
Alya menunduk, dan memejamkan mata sekilas. Sementara Adit terdiam sejenak, tapi kemudian mencoba tersenyum. Usia membuatnya dewasa untuk menguasai diri.
"Dulu temen SMA," jawab Adit. Ya memang, kan?
Rohan manggut-manggut. Alya menghela nafas tak kentara, dan mendongak kembali. Matanya kembali jatuh pada Dinda yang kini menggenggam tangan kanan Adit. Ia meneguk ludah, lalu menoleh pada Rohan.
"Itu hadiahnya?" tanya Alya menunjuk buket lili putih itu.
Rohan tersenyum, lalu menyodorkannya. "Kemarin pas lewat toko bunga kamu mandangin ini terus. Kalau mau bilang aja," goda Rohan tersenyum manis.
Alya tersenyum, -walau matanya sedikit melirik ke arah Adit-. "Makasih ya," jawabnya manis. Ia lalu kembali menatap Adit. "Oh ya, Dit. Ini Rohan, calon suami aku."
Adit terdiam. Nada Alya yang seakan ditekankan itu menonjok dadanya keras. Tapi wajahnya masih menggambarkan ekspresi tenang. Seperti tak tersinggung sama sekali. Tanpa Adit tahu, sebenarnya Rohan juga ikut tersentak. Karena hubungan yang baru berjalan tujuh bulan ini masih jauh dengan pernikahan. Bahkan mereka tak pernah membahasnya. Kening Rohan mengernyit, entah mengapa ada yang ganjal di hatinya.
"Ayah," panggil Dinda tiba-tiba sambil menarik jas hitam Adit membuat Adit menoleh, "mana cokelatnya?" tanya Dinda polos sambil mengadahkan tangan. Karena sedaritadi Adit tak juga memberikan permen yang tadi ia buka.
Adit tersadar, lalu tersenyum sambil memberikan permen itu pada Dinda. Dinda menerimanya dan memakannya dengan senang.
"Lucu banget. Siapa namanya?" tanya Rohan membungkuk di depan Dinda dan mencubit lembut pipi kanan Dinda.
"Dinda," jawab Dinda sedikit tersipu karena ada seorang 'Om Ganteng dan Keren' sedang menyapanya.
Rohan menegakkan tubuh kembali sambil tersenyum, "anakmu?" tanyanya pada Adit.
Alya menggigit bibir lagi, merasakan nafasnya sedikit sesak mendengar pertanyaan itu.
Adit terdiam. Sambil melirik Alya yang mengalihkan pandangan. Adit dapat melihat wanita itu sedang menggigit bibir. Dinda hanya diam, mendongak memandang Adit.
Adit mendesah pelan, lalu tersenyum ke arah Rohan. Sambil mengeratkan genggaman di tangan Dinda. "Iya. Anakku."
Tanpa sadar, Alya meremas plastik bening yang membungkus lili-lili putih itu. Ada yang menohok dadanya keras. Tapi wanita itu mencoba menguasai diri dan memasang wajah biasa saja.
Dinda diam sejenak, tapi kemudian tersenyum senang di samping Adit. Sementara Rio dan Ozy yang menguping saling pandang dengan kening berkerut.
"Oh ya. Untuk apa kamu kesini?" tanya Alya segera membelokkan pembicaraan, dan memang belum bertanya maksud Adit tiba-tiba muncul di depannya.
"Aku mau ketemu guru bahasa Inggris kelas dua. Keponakanku bermasalah," jawab Adit membuat Alya tersentak.
Kebetulan kosmos lagi...
Alya mengucap 'a' tanpa suara, lalu mengatupkan mulutnya dan menoleh ke belakang, baru sadar Rio belum datang. Tapi saat ia membalikkan wajah, Rio dan Ozy dengan segera kembali bersembunyi. Mereka kaget bukan main kala Alya menoleh.
Alya menghela nafas, lalu menoleh lagi ke arah Adit. "Pas banget. Yang harus kamu temui itu aku."
Mata Adit melebar, "Bahasa Inggris?" tanyanya sedikit tak percaya. Alya mengangguk. "Loh? Bukannya dulu cinta banget sama sastra? Kenapa nggak jadi guru bahasa Indonesia?"
Rohan mengernyit. Waw. Adit sepertinya tahu sekali ya tentang Alya.
Alya tersenyum, "jalan hidup seseorang bisa berubah, kan? Termasuk keinginan," jawabnya enteng, lalu menoleh pada Rohan. "Aku harus ngomong sama wali murid aku dulu ya. Kamu nanti aja jemput pas pulang."
Rohan diam sejenak, lalu tersenyum dan mengangguk.
"Em... ini juga bunganya," Alya menyodorkan kembali buket lili putih itu pada Rohan membuat Rohan mendelik heran.
"Kok dikembaliin?" protes Rohan tak terima.
"Nanti aja deh pas pulang. Akukan malu kalau dibawa ke kantor," jawab Alya mendorong lili putih itu ke arah Rohan.
Rohan tersenyum mengerti sambil menerimanya. "Oke. See you ya!" pamitnya manis mengelus rambut Alya sejenak, membuat Adit kembali mengeratkan genggaman pada tangan Dinda.
Dinda menoleh dan menatap Adit. Tapi diam saja. Sampai ia merasakan cubitan lembut di pipinya membuatnya menoleh. Rohan tersenyum manis.
"Bye adek lucu! Om pulang ya," pamit Rohan tersenyum pada Dinda.
Dina tersenyum lebar dan mengangguk. "Dadah Om!" ucapnya melambai.
Rohan balas melambai, lalu mulai berjalan menjauh.
Alya menghela nafas melihat Rohan yang melangkah menuju parkiran. Mobilnya berada tepat di luar parkiran karena pria itu memang bermaksud sebentar saja. Ia masuk ke dalamnya, dan menit kemudian sudah melaju keluar dari SMA Pelita.
Alya kembali berhadapan dengan Adit. Ia lalu melipat kedua tangan di depan dada. "Keluar sekarang!"
Adit tersentak, dan mengerutkan kening tak mengerti. Dinda juga ikut bingung.
"Kalian berdua. Di belakang saya. Yang sembunyi di balik lemari."
Rio dan Ozy merasakan ada petir khayalan di atas sana. Mereka saling menoleh, dan sama-sama memasang wajah yang langsung memucat.
"Mario, Fauzi. Perlu saya jemput?" tegas Alya tajam tanpa sekalipun menoleh lagi ke belakang.
Rio dan Ozy meneguk ludah kompak. Ozy menepuk kening dengan tangannya.
"Apes deh kita," bisik Ozy tercekat.
"Mampus," gumam Rio.
Mereka berdua mendesah, lalu dengan pasrah keluar dari tempat persembunyian dan melangkah keluar. Adit dan Dinda terkejut melihat keduanya.
"Kalian?" ucap Adit mengerutkan kening, "dari kapan ada di situ?"
Rio dan Ozy berhenti di ujung tangga, lalu saling pandang lagi.
"Eng... dari... tadi sih Om," jawab Rio sambil meringis.
"Rio yang ngajakin," tuduh Ozy menunjuk Rio membuat Rio melotot kaget.
"Ozy kok! Ozy!" balas Rio gantian menunjuk Ozy.
Alya melengos keras, lalu berbalik. Membuat kedua murid itu refleks terdiam. Guru muda itu tatapan jadi tajam, menaiki tangga membuat suara benturan pelan hak tingginya dengan keramik tangga. Ketika sudah satu lantai dengan dua murid itu. Alya kembali melipat kedua tangan di depan dada.
"Tadi kamu bilang Omnya siapa? Om kamu?" tanya Alya sambil memasang senyum dibuat-buat.
Rio meringis, "i... iya Miss..."
Alya angguk-angguk kecil, seakan percaya. Tapi detik berikutnya ia menjewer telinga Rio membuat Rio merintih. Dinda dan Ozy tertawa geli melihat itu. Sementara Adit tersenyum kecil melihat sikap Alya ketika menjadi seorang guru.
"Oh... Om kamu..." kata Alya dengan nada dibuat-buat sambil terus menarik kuping Rio.
"Aduh aduh, ampun Miss ampun..." kata Rio mohon ampun. Ozy tertawa melihatnya.
Alya menoleh pada Ozy, dan menyipitkan mata. "Kamu nggak usah ikut ketawa," ucapnya langsung menjewer telinga Ozy juga membuat Ozy ikutan mengaduh. "Pasti yang bantuin dia kamukan Fauzy?"
"Eeee eeh Rio Miss yang minta tolong ke Om Adit," ucap Ozy membela diri.
"Idenya Ozy!" ucap Rio tak mau disalahkan.
"Sudah diam!" tegas Alya makin menarik daun telinga keduanya. "Kalian tahu? Aditya Saputra ini adalah teman SMA saya! Dan saya tidak pernah tahu tuh dia punya keponakan bandel dari Manado yang seperti ini! Apalagi namanya Mario Bintang Haling."
Rio dan Ozy makin merintih memegangi telinga masing-masing. Kok Miss Alya bisa tahu secepat ini sih?
Ya, mereka tak tahu. Sebenarnya Alya segera tahu karena logika wanita itu langsung bekerja. Kalau Rio keponakan Adit, kenapa saat di taman sebelas tahun lalu kala melihat Rio, Adit biasa saja? Tak menegur atau bercerita pada Alya bahwa itu keponakannya. Dan kalau melihat Adit mau jadi wali murid Rio seperti ini, itu berarti Adit dekat dengan Rio, kan? Tapi kenapa sebelas tahun lalu mereka tak saling mengenal?
Alya menghembuskan nafas keras sambil melepaskan tangan dari dua telinga itu. Rio dan Ozy langsung mengusap-usap telinga masing-masing sambil meringis. Alya menoleh pada Adit dengan kesal.
"Kamu kenapa bantuin anak bandel ini sih?" protes Alya.
Adit yang awalnya tertawa geli, langsung tersenyum lebar. "Diakan tetangga terdekatku. Udah dianggap sodara. Apa salahnya bantu?" jawab Adit enteng, "dia baru pertama masuk, tapi udah dipanggil guru. Nggak bisa bayangin reaksi mamanya gimana. Yang memang udah pusing ngurusin tu anak," kata Adit menggerakkan dagu ke arah Rio sambil tertawa kecil. Rio mencibir mendengar itu.
Alya menghela nafas sambil geleng-geleng kepala. "Kamu memang harus saya kasih MOS ya, Mario?" tanya Alya sarkatis.
Tubuh Rio langsung melemas dengan garis wajah memelas seketika. Sementara Alya menatap tajam muridnya itu.

^^^

"Hahahaha."
Rio menggeram kesal, lalu melotot ke arah murid-murid yang menertawakannya. Sementara Ozy hanya mendesah saja. Bel pulang sudah berbunyi. Koridor tempat Rio dan Ozy menyapu mulai ramai dan penuh. Kalau menyapu saja mungkin masih standar. Tapi Miss Alya tak tanggung-tanggung. Rio dipakaikan topi renda yang biasanya dipakai baby sitter ataupun balita. Dengan tali di dagunya. Dan juga celemek ibu kantin berwarna pink susu. Dengan penampilan seperti itu, Rio harus menyapu seluruh koridor sekolah. Awal masuk saja Rio sudah mengeluh akan banyaknya koridor di sekolah ini. Dan sekarang justru ia yang harus membersihkan semua koridor itu. Sementara Ozy tak perlu memakai apapun. Hanya menemani Rio saja.
"Beuh Rio. Dari Manado lo jadi apa? TKI?" ejek Rizky, salah satu teman sekelas Rio.
Rio mendelik sebal, "diem lo!" ancamnya mengacungkan sapu di tangannya ke arah Rizky. Rizky tertawa dan segera ngacir pergi.
"Errghh padahal ini koridor yang menurut gue paling sepi. Tapi ternyata koridor yang sering dilewatin anak kelas sebelas. Sialan..." rutuk Rio menggerutu sambil menyapu dengan kesal.
"Ya gue udah bilang, kan? Kita ke koridor kelas satu aja. Mereka mana berani ngetawain gini!" sahut Ozy memerotes.
"Ya berarti reputasi kita sebagai senior bakal anjlok!" balas Rio tak setuju.
Ozy hanya mencibir dan kembali menyapu. Rio melengos kasar dan menyapu dengan kesal. Tanpa sengaja, sapunya mengenai sepasang sepatu hijau tosca yang baru saja melangkah mendekat melewatinya. Rio tersentak. Lalu mendongak. Matanya langsung membelalak maksimal.
Pemilik sepatu itu, Ify, juga ikut melotot. Ia melihat Rio dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Dan tak lama...
"HUAHAHAHAHA."
Rio mendelik kesal. Ify tanpa dosa tertawa ngakak di depan Rio, melihat penampilan pemuda itu yang sungguh konyol.
"Wow! Gue baru tahu SMA Pelita punya baby sitter yang merangkap jadi pembantu serta cleaning service," ejek Ify geli sambil terus tertawa terbahak-bahak. "Ya ampun... elo unyu banget sih! Hahaha."
Rio melotot geram. Kalau bisa, rasanya ia ingin memasukkan sapu di tangannya ini ke mulut lebar Ify yang terus tertawa tanpa henti.
Ify memegangi perutnya yang sakit karena tertawa. Ia lalu mulai melangkah lagi. Tapi Rio dengan sengaja menghadangkan sapu ke depan kaki Ify membuat Ify tersandung.
"Kyaaa," teriak Ify, tapi langsung terhenti kala Ozy segera menangkap tubuhnya tepat.
"Yah! Kok lo tolong sih?" protes Rio sebal. Tapi ia langsung melihat tas merah Ify di balik punggungnya.
"Thanks Zy!" ucap Ify menegakkan tubuh kembali lalu menoleh kesal ke arah Rio. "He! Elo cari masalah lagi?" tanya Ify mulai terpancing.
Rio kali ini tak menggubris, justru menarik tas merah Ify ingin melihatnya lebih jelas. Ify tersentak, dan refleks menggerakkan tubuhnya menjauhkan Rio memegang tasnya. Rio mendecak, dan ingin menarik lagi. Tapi Ify segera menghindar.
"Gue mau liat Sapi!" kata Rio berusaha menggapai tas di pundak Ify.
"Kenapa sih?" tanya Ify kesal sambil terus menghindar.
Rio dengan sigap memegang kedua pundak Ify membuat tubuh Ify tak bisa lagi berkutik. Rio membalikkan paksa tubuh langsing itu, dan melihat depan tas Ify. Matanya membulat. Tas Ify berwarna merah dengan motif Super Mario. Di tutup tasnya ada motif topi dengan huruf S besar. Lalu di bawah tutup tas itu ada Super Mario berbentuk kecil dengan jamur-jamur. Ada juga gantungan kunci Super Mario kecil di resletingnya.
"Elo suka Super Mario juga?" tanya Rio tak bisa menahan diri.
Ify segera membalikkan tubuhnya kembali, "kenapa emangnya?" jawabnya ketus.
Rio mencibir, "ya tumben aja gitu di jaman sekarang ada yang masih addict sama Super Mario. Malah gue pikir, elo tuh sukanya sama Stitch. Makhluk aneh perpaduan antara alien dan monster. Kayak elo."
Ify menganga geram, lalu menendang kaki Rio membuat Rio mengadu keras. Ozy yang melihat itu tertawa.
"Eh tapi Sa. Sebenarnya Rio nanya gitu karena dia juga addict sama Super Mario," kata Ozy membuat Ify menoleh, "Rio punya banyak banget merchandise Super Mario."
Ify menoleh pada Rio, lalu mendelik. "Sebanyak apa? Banyakkan juga gue!" ucapnya menyombongkan diri.
"Oh ya? Gue udah ngumpulin dari TK!" sahut Rio tak mau kalah.
"Gue juga! Mau apa lo?" balas Ify melotot menantang.
Ify lalu menendang sapu di tangan Rio, membuat Rio tersentak dan segera menangkap sapunya yang hampir jatuh. Ia mendelik geram. Ify dengan sigap segera menghindar kala Rio mengacungkan sapunya. Tangan Ify meraih sapu di tangan Ozy membuat Ozy terlonjak tapi tak bisa mengelak karena Ify terlalu cepat.
TUK
Ganggang sapu Ify dan tangkai sapu Rio saling berbentur. Layaknya pendekar dengan pedang, keduanya berdiri berhadapan dengan sapu di tangan masing-masing saling mengarah satu sama lain. Hingga dari sudut samping terbentuk tanda silang antar keduanya.
"Elo jual, gue beli," tantang Rio.
"Siapa takut?" sahut Ify berani.
Keduanya diam sejenak. Ozy kini hanya bisa cengo di antara keduanya. Sementara para murid yang masih melewati koridor menghentikan langkah, membentuk titik-titik penonton di sekitar Rio dan Ify yang kini sudah seperti atlet anggar siap bertarung.
Ify mulai menggerakkan sapunya ke depan, Rio dengan sigap segera menangkis. Ify menggerakkan ke arah perut Rio, Rio segera menghindar. Pemuda itu lalu membalas, maju dengan sapunya. Membuat Ify refleks mundur tapi menangkis sapu Rio. Mereka saling menangkiskan sapu satu sama lain. Rio terus maju, membuat Ify terus termundur.
"Eh, eh..." Ify mulai kewalahan dan panik dengan serangan sapu Rio.
Para penonton yang melihat itu bukannya tegang, justru tertawa geli karena keduanya bertarung dengan sapu ijuk.
Acha yang baru saja dari perpus untuk mengembalikan buku, bersiap ke parkiran karena Ify sudah menunggu. Hari ini Gabriel tak bisa bersamanya karena sedang rapat dengan tim basket. Tapi baru saja sampai koridor, Acha melotot kaget melihat sahabatnya itu justru sedang bertarung konyol dengan Rio di koridor sekolah. Apalagi penampilan Rio kini memakai topi renda dan celemek. Konyol!
Acha ingin tertawa, tapi mengingat itu adalah Ify, sahabatnya, ia segera berlari mendekat.
"Eh, stop stop!" ucap Acha mencoba melerai. Tapi ia segera menghindar kala sapu dari Ify hampir mengenainya. Rio dan Ify tak mendengar, terus bertarung.
Ozy yang melihat Acha datang, langsung tersadar. Ia jadi ikut mendekat dan melerai.
"Wei! Jangan dilerai! Seru tahu!" celetuk Sivia yang ada di antara para penonton.
"Iya! Bener tuh!" yang lain segera mengiyakan sambil tertawa.
"Diem lo pada! Bantuin kek!" protes Acha mencoba mengambil sapu milik Ify tapi selalu saja gagal.
"Yo! Sadar lo tuh pake pakaian begini malah berantem pake' sapu!" kata Ozy meninggikan suara sambil menepis sapu Rio yang ingin memukul sapu Ify lagi.
Rio langsung diam, dan menoleh. Membuat Ify juga berhenti. Acha tak mau kehilangan kesempatan. Ia dengan segera merebut sapu di tangan Ify dan Rio. Membuatnya keduanya terlonjak dan melotot protes.
"Gue belum selesai!" kata Ify ingin mengambil sapu itu. Tapi Acha segera melemparnya jauh.
"Fy! Elo tuh bintang sekolah! Tapi malah berantem di koridor!" bisik Acha menyadarkan sahabatnya itu.
"Yeee biarin! Tu anak baru rese yang cari masalah!" kata Ify menunjuk Rio.
Rio mendelik sebal, "he Sa'fii!"
"Saufika!" ralat Ify segera dengan kesal.
"Iya, itu maksud gue!" kata Rio menurut membenarkan, "lo tadi yang nendang sapu gue duluan!"
"Ya elo mau nandingin Super Mario gue!" sahut Ify membela diri.
"Ck, ni cewek bener-bener ya," geram Rio hilang sabar. Ia segera menepis tangan Ozy yang langsung menahannya.
Ify dengan cepat bereaksi dan ikut maju. Lagi-lagi, keduanya bertengkar. Rio mengacak-acak rambut panjang Ify yang tergerai, Ify menarik paksa topi renda Rio, lalu menjambak rambut Rio. Rio jadi ikut menarik rambut Ify. Para murid ygn belum juga beranjak jadi makin heboh bersorak.
"Ya ampuuunnnn!!!" jerit Acha segera menarik tubuh Ify menjauh. Ozy juga ikutan menarik tubuh Rio.
"Rio! Rio! Rio!" "Alyssa! Alyssa! Alyssa!"
Koridor di dekat deretan kelas sebelas kini jadi seperti arena tinju. Ada yang meneriakkan nama Rio, ada yang meneriakkan nama Alyssa. Entah itu maksudnya memberi semangat atau memang mengompori.
Ify dengan lincah menyikut rusuk Rio. Walau tak keras, tapi sukses membuat pemuda itu mengaduh dan menjauh. Rio tak diam, ia menjulurkan tangan. Tapi langsung terhenti saat segera sadar arah tujuan jemarinya menuju dada kanan Ify. Ify tenganga dan membelalak geram, lalu mengambil tangan Rio segera dan memelintirnya. Penonton makin heboh.
"FY!!! STOOOPPP!!!" kata Acha histeris melihat Ify yang sudah hilang kendali.
Rio menepis keras tangan Ify lalu gantian mengambil lengan gadis itu dan menariknya ke belakang. Membuat Ify merintih kesakitan.
"YO! DIA CEWEK WOY!" kata Ozy menyadarkan sambil menjauhkan Rio.
Tapi keduanya terus saja bertengkar tiada henti. Menendang kaki, menginjak sepatu, menjambak, mengacak-acak rambut, sampai mencakar. Benar-benar seperti anak SD.
"BERHENTIIII!!!"
Sebuah teriakkan dari sebuah toak yang tepat ada di samping Ify, Rio, Acha, dan Ozy, membuat semua terlonjak kaget. Dan saat melihat siapa yang membawa toak itu, suara segera menghilang tanpa jejak. Ify refleks segera melepaskan tangan dari Rio. Rio juga jadi ikut diam. Acha dan Ozy yang berdiri di samping Ify dan Rio menganga, lalu melengos panjang.
Bu Ira. Kepsek. Galak. Tegas. Tak bisa dibantah. Memberi hukuman tanpa segan. Monster bagi sebagian murid.
GLEK

*****

Maap ini dipotong lagi ya. Udah panjang banget soalnya. Itu pertemuan Alya sama Adit ngingatin sama suatu film nggak sih? Inspirasi dari sono loh. Yang bisa jawab nanti aku kasih diskon novelku :p follow @_ALders aja ya buat jelasnya.
Suasana berantemnya Ify sama Rio itu hampir sama kayak di sekolahku. Kalau ada yang kelahi bukannya dilerai, eee malah dikomporin -_- Jujur, aku pengen banget punya tas kayak Ify. Dijual dimana ya? ._.
Part depan, masih dengan judul sama. Tapi merupakan klimaks dari FF ini. Bakal dipost cepet kalau dipromote dan viewnya banyak! Hehehe

@aleastri ^^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar