Part 7b. Kembali Pulang
Dunia masih
berputar sesuai porosnya. Awan masih bergerak mengikuti arah angin. Matahari
ada di sana, memberikan sinar terang sesuai tugasnya. Semua berjalan seperti
biasa bagi semua orang. Tapi tidak bagi kedua orang itu. Yang kini berdiri
berhadap-hadapan di depan pintu utama SMA Pelita. Dibatasi tiga anak tangga
saja. Mata mereka telah bertemu. Tepat. Dan kedua pasang bola mata itu seakan
terkunci.
Seperti ada
yang berbeda di dunia. Seakan berhenti berputar tak pada porosnya. Awan ikut
mematung di langit sana. Matahari hanya diam, memberikan cahaya menghias kedua
lakon itu, yang seakan terlihat makin bersinar di mata satu sama lain.
Apakah ini
termasuk kisah langit? Apakah semua telah diatur olehNya? Seperti Adam dan Hawa
yang pernah dipisahkan jauh karena melanggar laranganNya, lalu dipertemukan
lagi. Itu yang namanya jodoh, kan?
Dan kedua
orang itu. Setelah sekian lama, sebelas tahun mungkin, berpisah dengan jarak
yang sangat jauh. Tanpa ada kabar sedikitpun. Tanpa komunikasi apapun. Mereka
kembali bertemu. Dengan tak terduga. Tanpa pernah sedikitpun keduanya berpikir
akan terjadi hal ini.
Keduanya
saling memerhatikan satu sama lain. Meneliti perbedaan kontras saat putih
abu-abu dulu. Pria itu, kini lebih tinggi. Badannya tegap, dengan kemeja putih
dan jas hitam formal menutupinya. Ada dasi biru menggantung di leher kemejanya.
Membuatnya terlihat sangat dewasa, berbeda sekali dengannya sebelas tahun lalu.
Sementara si wanita, bentuk tubuhnya mulai berubah. Indah layaknya wanita dalam
majalah. Kini ia terlihat sangat anggun memakai blezer biru dengan rok selutut
hitam. Hak tinggi hitamnya membuat ia makin terlihat jauh lebih feminim
daripada sebelas tahun lalu.
Keheningan
itu memudar. Ketika Adit mencoba tersenyum.
"Hai..."
Alya
merasakan lidahnya membeku. Suara itu. Yang kini terdengar lebih berat dan
berwibawa. Ia menarik nafas dalam tak kentara, dan melemparkan senyum balasan.
"Hai..."
Adit sempat
terdiam, merasakan hatinya berdesir melihat senyum itu. Ia menggerakkan mata
dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Senyumnya melebar, "guru?"
godanya mengerling.
Alya
tertawa kecil, lalu mengangguk. Ia lalu sedikit memiringkan kepala, meneliti
Adit. "Manager? Direktur? Atau... panitia masjid yang sering minta
sumbangan?"
Tawa Adit
meledak. Ia tersenyum kalem. "Direktur," jawabnya singkat. "Apa
kabar?"
"Baik,"
jawab Alya ringan, "kamu?"
"Ya...
begini," jawab Adit mengedikkan bahunya. Ia baru saja akan membuka mulut
lagi, kala tanpa sengaja matanya melihat di balik punggung Alya. Seorang anak
kecil dengan ransel merah muda memandangi mading kreasi SMA Pelita.
Kening Adit
berkerut sedikit, "Dinda!"
Dinda
tersentak, dan berbalik. Alya juga ikut tersentak ternyata anak kecil tadi
mengenal Adit. Dinda meringis kecil melihat Adit sudah datang, lalu berlari
mendekat.
"Tadi
aku jatoh di situ," adu Dinda merengek menunjuk anak tangga terbawah.
Alya
tersenyum melihat wajah manja anak itu. Dinda berdiri di samping Alya, lalu
menoleh pada Alya.
"Tadi
tante ini nolong aku, dan kasih aku permen!" lapor Dinda jadi ceria mengacungkan
permen cokelat yang kini tinggal sebungkus di jarinya. Ia kembali memandang
Adit, lalu menuruni tangga dan mendatangi Adit.
"Ini,
aku sisain buat ayah satu!" kata Dinda sambil memberikan sebungkus permen
ke arah Adit.
Senyum Alya
yang memandangi Dinda perlahan lenyap.
Adit
tersenyum menerimanya, "kalau suka buat kamu aja," ucapnya lembut.
"Em...
bagi dua deh!" kata Dinda tersenyum lebar.
Adit
tertawa, lalu membukakan bungkus permen itu.
Alya
terdiam. Menatap pria dan anak kecil di depannya itu. Apa tadi kata Dinda? Tadi
Dinda memanggil Adit dengan sebutan apa? Alya tak salah dengar, kan?
"Ehm."
Sebuah
deheman membuat Alya tersadar dan mengerjap. Adit dan Dinda juga tersentak.
Ketiganya menoleh kompak. Mendapati seorang pria dengan kemeja abu-abu dan
celana jins hitam panjang datang, dengan sebuket lili putih di tangannya. Alya
melebarkan mata. Sementara Adit mengerutkan kening, walau sedikit tergetar
melihat lili putih itu.
Pria itu,
Rohan, melangkah menuju Alya. Ia sempat melihat Adit, dan memandangi Dinda yang
juga menatap Rohan. Saat mata Rohan jatuh pada Dinda, pria itu tak bisa menahan
diri untuk tidak tersenyum melihat wajah imut menggemaskan Dinda. Dinda balas
tersenyum dengan malu-malu.
Bersamaan
dengan itu, Rio dan Ozy baru datang dari dalam gedung sekolah. Tapi mereka
kompak menghentikan langkah di samping mading kala melihat Om Adit
berhadap-hadapan dengan Miss Alya. Ada Dinda juga. Dan pria dengan buket lili
putih. Kening keduanya berkerut. Tapi lalu bersembunyi di lemari samping pintu
dengan mengendap-endap, dan mencuri dengar dari sana. Menarik nih sepertinya.
Rohan
berdiri di samping Alya yang terdiam. "Siapa? Wali murid?" tanya
Rohan pelan sambil memutar mata ke arah Adit. Jujur, ia merasa sedikit tak
nyaman melihat kekasihnya mengobrol dengan pria muda -yang ganteng dan
berpenampilan rapi- itu.
Alya
berdehem, mencoba menguasai diri. Harusnya ia tidak kaget dengan kedatangan
Rohan. Karena tadi Rohan sudah mengirimnya sms bahwa akan datang membawa
hadiah. Ya... mungkin buket lili putih itu. Bunga kesukaan Alya sedari dulu.
"Iya.
Dia... wali murid," jawab Alya melirik Adit.
Adit diam
sejenak, lalu mencoba tersenyum ramah pada Rohan. "Adit."
Alya
menggigit bibir kuat. Pria itu tak berubah. Masih ramah pada siapa saja.
Seperti dulu.
Rohan balas
tersenyum, "Rohan." Rohan melirik Alya sekilas, lalu menatap Adit
lagi. "Kenal sama Alya sebelumnya?"
Alya
menunduk, dan memejamkan mata sekilas. Sementara Adit terdiam sejenak, tapi
kemudian mencoba tersenyum. Usia membuatnya dewasa untuk menguasai diri.
"Dulu
temen SMA," jawab Adit. Ya memang, kan?
Rohan
manggut-manggut. Alya menghela nafas tak kentara, dan mendongak kembali.
Matanya kembali jatuh pada Dinda yang kini menggenggam tangan kanan Adit. Ia
meneguk ludah, lalu menoleh pada Rohan.
"Itu
hadiahnya?" tanya Alya menunjuk buket lili putih itu.
Rohan
tersenyum, lalu menyodorkannya. "Kemarin pas lewat toko bunga kamu
mandangin ini terus. Kalau mau bilang aja," goda Rohan tersenyum manis.
Alya
tersenyum, -walau matanya sedikit melirik ke arah Adit-. "Makasih
ya," jawabnya manis. Ia lalu kembali menatap Adit. "Oh ya, Dit. Ini
Rohan, calon suami aku."
Adit
terdiam. Nada Alya yang seakan ditekankan itu menonjok dadanya keras. Tapi
wajahnya masih menggambarkan ekspresi tenang. Seperti tak tersinggung sama
sekali. Tanpa Adit tahu, sebenarnya Rohan juga ikut tersentak. Karena hubungan
yang baru berjalan tujuh bulan ini masih jauh dengan pernikahan. Bahkan mereka
tak pernah membahasnya. Kening Rohan mengernyit, entah mengapa ada yang ganjal
di hatinya.
"Ayah,"
panggil Dinda tiba-tiba sambil menarik jas hitam Adit membuat Adit menoleh,
"mana cokelatnya?" tanya Dinda polos sambil mengadahkan tangan.
Karena sedaritadi Adit tak juga memberikan permen yang tadi ia buka.
Adit
tersadar, lalu tersenyum sambil memberikan permen itu pada Dinda. Dinda
menerimanya dan memakannya dengan senang.
"Lucu
banget. Siapa namanya?" tanya Rohan membungkuk di depan Dinda dan mencubit
lembut pipi kanan Dinda.
"Dinda,"
jawab Dinda sedikit tersipu karena ada seorang 'Om Ganteng dan Keren' sedang
menyapanya.
Rohan
menegakkan tubuh kembali sambil tersenyum, "anakmu?" tanyanya pada
Adit.
Alya
menggigit bibir lagi, merasakan nafasnya sedikit sesak mendengar pertanyaan
itu.
Adit
terdiam. Sambil melirik Alya yang mengalihkan pandangan. Adit dapat melihat
wanita itu sedang menggigit bibir. Dinda hanya diam, mendongak memandang Adit.
Adit
mendesah pelan, lalu tersenyum ke arah Rohan. Sambil mengeratkan genggaman di
tangan Dinda. "Iya. Anakku."
Tanpa
sadar, Alya meremas plastik bening yang membungkus lili-lili putih itu. Ada
yang menohok dadanya keras. Tapi wanita itu mencoba menguasai diri dan memasang
wajah biasa saja.
Dinda diam
sejenak, tapi kemudian tersenyum senang di samping Adit. Sementara Rio dan Ozy
yang menguping saling pandang dengan kening berkerut.
"Oh
ya. Untuk apa kamu kesini?" tanya Alya segera membelokkan pembicaraan, dan
memang belum bertanya maksud Adit tiba-tiba muncul di depannya.
"Aku
mau ketemu guru bahasa Inggris kelas dua. Keponakanku bermasalah," jawab
Adit membuat Alya tersentak.
Kebetulan
kosmos lagi...
Alya
mengucap 'a' tanpa suara, lalu mengatupkan mulutnya dan menoleh ke belakang,
baru sadar Rio belum datang. Tapi saat ia membalikkan wajah, Rio dan Ozy dengan
segera kembali bersembunyi. Mereka kaget bukan main kala Alya menoleh.
Alya
menghela nafas, lalu menoleh lagi ke arah Adit. "Pas banget. Yang harus
kamu temui itu aku."
Mata Adit
melebar, "Bahasa Inggris?" tanyanya sedikit tak percaya. Alya
mengangguk. "Loh? Bukannya dulu cinta banget sama sastra? Kenapa nggak
jadi guru bahasa Indonesia?"
Rohan
mengernyit. Waw. Adit sepertinya tahu sekali ya tentang Alya.
Alya
tersenyum, "jalan hidup seseorang bisa berubah, kan? Termasuk
keinginan," jawabnya enteng, lalu menoleh pada Rohan. "Aku harus
ngomong sama wali murid aku dulu ya. Kamu nanti aja jemput pas pulang."
Rohan diam
sejenak, lalu tersenyum dan mengangguk.
"Em...
ini juga bunganya," Alya menyodorkan kembali buket lili putih itu pada
Rohan membuat Rohan mendelik heran.
"Kok
dikembaliin?" protes Rohan tak terima.
"Nanti
aja deh pas pulang. Akukan malu kalau dibawa ke kantor," jawab Alya
mendorong lili putih itu ke arah Rohan.
Rohan
tersenyum mengerti sambil menerimanya. "Oke. See you ya!" pamitnya
manis mengelus rambut Alya sejenak, membuat Adit kembali mengeratkan genggaman
pada tangan Dinda.
Dinda
menoleh dan menatap Adit. Tapi diam saja. Sampai ia merasakan cubitan lembut di
pipinya membuatnya menoleh. Rohan tersenyum manis.
"Bye
adek lucu! Om pulang ya," pamit Rohan tersenyum pada Dinda.
Dina
tersenyum lebar dan mengangguk. "Dadah Om!" ucapnya melambai.
Rohan balas
melambai, lalu mulai berjalan menjauh.
Alya
menghela nafas melihat Rohan yang melangkah menuju parkiran. Mobilnya berada
tepat di luar parkiran karena pria itu memang bermaksud sebentar saja. Ia masuk
ke dalamnya, dan menit kemudian sudah melaju keluar dari SMA Pelita.
Alya
kembali berhadapan dengan Adit. Ia lalu melipat kedua tangan di depan dada.
"Keluar sekarang!"
Adit
tersentak, dan mengerutkan kening tak mengerti. Dinda juga ikut bingung.
"Kalian
berdua. Di belakang saya. Yang sembunyi di balik lemari."
Rio dan Ozy
merasakan ada petir khayalan di atas sana. Mereka saling menoleh, dan sama-sama
memasang wajah yang langsung memucat.
"Mario,
Fauzi. Perlu saya jemput?" tegas Alya tajam tanpa sekalipun menoleh lagi
ke belakang.
Rio dan Ozy
meneguk ludah kompak. Ozy menepuk kening dengan tangannya.
"Apes
deh kita," bisik Ozy tercekat.
"Mampus,"
gumam Rio.
Mereka
berdua mendesah, lalu dengan pasrah keluar dari tempat persembunyian dan
melangkah keluar. Adit dan Dinda terkejut melihat keduanya.
"Kalian?"
ucap Adit mengerutkan kening, "dari kapan ada di situ?"
Rio dan Ozy
berhenti di ujung tangga, lalu saling pandang lagi.
"Eng...
dari... tadi sih Om," jawab Rio sambil meringis.
"Rio
yang ngajakin," tuduh Ozy menunjuk Rio membuat Rio melotot kaget.
"Ozy
kok! Ozy!" balas Rio gantian menunjuk Ozy.
Alya
melengos keras, lalu berbalik. Membuat kedua murid itu refleks terdiam. Guru
muda itu tatapan jadi tajam, menaiki tangga membuat suara benturan pelan hak
tingginya dengan keramik tangga. Ketika sudah satu lantai dengan dua murid itu.
Alya kembali melipat kedua tangan di depan dada.
"Tadi
kamu bilang Omnya siapa? Om kamu?" tanya Alya sambil memasang senyum
dibuat-buat.
Rio
meringis, "i... iya Miss..."
Alya
angguk-angguk kecil, seakan percaya. Tapi detik berikutnya ia menjewer telinga
Rio membuat Rio merintih. Dinda dan Ozy tertawa geli melihat itu. Sementara
Adit tersenyum kecil melihat sikap Alya ketika menjadi seorang guru.
"Oh...
Om kamu..." kata Alya dengan nada dibuat-buat sambil terus menarik kuping
Rio.
"Aduh
aduh, ampun Miss ampun..." kata Rio mohon ampun. Ozy tertawa melihatnya.
Alya
menoleh pada Ozy, dan menyipitkan mata. "Kamu nggak usah ikut
ketawa," ucapnya langsung menjewer telinga Ozy juga membuat Ozy ikutan
mengaduh. "Pasti yang bantuin dia kamukan Fauzy?"
"Eeee
eeh Rio Miss yang minta tolong ke Om Adit," ucap Ozy membela diri.
"Idenya
Ozy!" ucap Rio tak mau disalahkan.
"Sudah
diam!" tegas Alya makin menarik daun telinga keduanya. "Kalian tahu?
Aditya Saputra ini adalah teman SMA saya! Dan saya tidak pernah tahu tuh dia
punya keponakan bandel dari Manado yang seperti ini! Apalagi namanya Mario
Bintang Haling."
Rio dan Ozy
makin merintih memegangi telinga masing-masing. Kok Miss Alya bisa tahu secepat
ini sih?
Ya, mereka
tak tahu. Sebenarnya Alya segera tahu karena logika wanita itu langsung
bekerja. Kalau Rio keponakan Adit, kenapa saat di taman sebelas tahun lalu kala
melihat Rio, Adit biasa saja? Tak menegur atau bercerita pada Alya bahwa itu
keponakannya. Dan kalau melihat Adit mau jadi wali murid Rio seperti ini, itu
berarti Adit dekat dengan Rio, kan? Tapi kenapa sebelas tahun lalu mereka tak
saling mengenal?
Alya
menghembuskan nafas keras sambil melepaskan tangan dari dua telinga itu. Rio
dan Ozy langsung mengusap-usap telinga masing-masing sambil meringis. Alya
menoleh pada Adit dengan kesal.
"Kamu
kenapa bantuin anak bandel ini sih?" protes Alya.
Adit yang
awalnya tertawa geli, langsung tersenyum lebar. "Diakan tetangga
terdekatku. Udah dianggap sodara. Apa salahnya bantu?" jawab Adit enteng,
"dia baru pertama masuk, tapi udah dipanggil guru. Nggak bisa bayangin
reaksi mamanya gimana. Yang memang udah pusing ngurusin tu anak," kata
Adit menggerakkan dagu ke arah Rio sambil tertawa kecil. Rio mencibir mendengar
itu.
Alya
menghela nafas sambil geleng-geleng kepala. "Kamu memang harus saya kasih
MOS ya, Mario?" tanya Alya sarkatis.
Tubuh Rio
langsung melemas dengan garis wajah memelas seketika. Sementara Alya menatap
tajam muridnya itu.
^^^
"Hahahaha."
Rio
menggeram kesal, lalu melotot ke arah murid-murid yang menertawakannya.
Sementara Ozy hanya mendesah saja. Bel pulang sudah berbunyi. Koridor tempat
Rio dan Ozy menyapu mulai ramai dan penuh. Kalau menyapu saja mungkin masih
standar. Tapi Miss Alya tak tanggung-tanggung. Rio dipakaikan topi renda yang
biasanya dipakai baby sitter ataupun balita. Dengan tali di dagunya. Dan juga
celemek ibu kantin berwarna pink susu. Dengan penampilan seperti itu, Rio harus
menyapu seluruh koridor sekolah. Awal masuk saja Rio sudah mengeluh akan
banyaknya koridor di sekolah ini. Dan sekarang justru ia yang harus
membersihkan semua koridor itu. Sementara Ozy tak perlu memakai apapun. Hanya
menemani Rio saja.
"Beuh
Rio. Dari Manado lo jadi apa? TKI?" ejek Rizky, salah satu teman sekelas
Rio.
Rio
mendelik sebal, "diem lo!" ancamnya mengacungkan sapu di tangannya ke
arah Rizky. Rizky tertawa dan segera ngacir pergi.
"Errghh
padahal ini koridor yang menurut gue paling sepi. Tapi ternyata koridor yang
sering dilewatin anak kelas sebelas. Sialan..." rutuk Rio menggerutu
sambil menyapu dengan kesal.
"Ya
gue udah bilang, kan? Kita ke koridor kelas satu aja. Mereka mana berani
ngetawain gini!" sahut Ozy memerotes.
"Ya
berarti reputasi kita sebagai senior bakal anjlok!" balas Rio tak setuju.
Ozy hanya
mencibir dan kembali menyapu. Rio melengos kasar dan menyapu dengan kesal.
Tanpa sengaja, sapunya mengenai sepasang sepatu hijau tosca yang baru saja
melangkah mendekat melewatinya. Rio tersentak. Lalu mendongak. Matanya langsung
membelalak maksimal.
Pemilik
sepatu itu, Ify, juga ikut melotot. Ia melihat Rio dari atas ke bawah, lalu ke
atas lagi. Dan tak lama...
"HUAHAHAHAHA."
Rio
mendelik kesal. Ify tanpa dosa tertawa ngakak di depan Rio, melihat penampilan
pemuda itu yang sungguh konyol.
"Wow!
Gue baru tahu SMA Pelita punya baby sitter yang merangkap jadi pembantu serta
cleaning service," ejek Ify geli sambil terus tertawa terbahak-bahak.
"Ya ampun... elo unyu banget sih! Hahaha."
Rio melotot
geram. Kalau bisa, rasanya ia ingin memasukkan sapu di tangannya ini ke mulut
lebar Ify yang terus tertawa tanpa henti.
Ify
memegangi perutnya yang sakit karena tertawa. Ia lalu mulai melangkah lagi.
Tapi Rio dengan sengaja menghadangkan sapu ke depan kaki Ify membuat Ify
tersandung.
"Kyaaa,"
teriak Ify, tapi langsung terhenti kala Ozy segera menangkap tubuhnya tepat.
"Yah!
Kok lo tolong sih?" protes Rio sebal. Tapi ia langsung melihat tas merah
Ify di balik punggungnya.
"Thanks
Zy!" ucap Ify menegakkan tubuh kembali lalu menoleh kesal ke arah Rio.
"He! Elo cari masalah lagi?" tanya Ify mulai terpancing.
Rio kali
ini tak menggubris, justru menarik tas merah Ify ingin melihatnya lebih jelas.
Ify tersentak, dan refleks menggerakkan tubuhnya menjauhkan Rio memegang
tasnya. Rio mendecak, dan ingin menarik lagi. Tapi Ify segera menghindar.
"Gue
mau liat Sapi!" kata Rio berusaha menggapai tas di pundak Ify.
"Kenapa
sih?" tanya Ify kesal sambil terus menghindar.
Rio dengan
sigap memegang kedua pundak Ify membuat tubuh Ify tak bisa lagi berkutik. Rio
membalikkan paksa tubuh langsing itu, dan melihat depan tas Ify. Matanya
membulat. Tas Ify berwarna merah dengan motif Super Mario. Di tutup tasnya ada
motif topi dengan huruf S besar. Lalu di bawah tutup tas itu ada Super Mario
berbentuk kecil dengan jamur-jamur. Ada juga gantungan kunci Super Mario kecil
di resletingnya.
"Elo
suka Super Mario juga?" tanya Rio tak bisa menahan diri.
Ify segera
membalikkan tubuhnya kembali, "kenapa emangnya?" jawabnya ketus.
Rio
mencibir, "ya tumben aja gitu di jaman sekarang ada yang masih addict sama
Super Mario. Malah gue pikir, elo tuh sukanya sama Stitch. Makhluk aneh
perpaduan antara alien dan monster. Kayak elo."
Ify
menganga geram, lalu menendang kaki Rio membuat Rio mengadu keras. Ozy yang
melihat itu tertawa.
"Eh
tapi Sa. Sebenarnya Rio nanya gitu karena dia juga addict sama Super
Mario," kata Ozy membuat Ify menoleh, "Rio punya banyak banget
merchandise Super Mario."
Ify menoleh
pada Rio, lalu mendelik. "Sebanyak apa? Banyakkan juga gue!" ucapnya
menyombongkan diri.
"Oh
ya? Gue udah ngumpulin dari TK!" sahut Rio tak mau kalah.
"Gue
juga! Mau apa lo?" balas Ify melotot menantang.
Ify lalu
menendang sapu di tangan Rio, membuat Rio tersentak dan segera menangkap
sapunya yang hampir jatuh. Ia mendelik geram. Ify dengan sigap segera
menghindar kala Rio mengacungkan sapunya. Tangan Ify meraih sapu di tangan Ozy
membuat Ozy terlonjak tapi tak bisa mengelak karena Ify terlalu cepat.
TUK
Ganggang
sapu Ify dan tangkai sapu Rio saling berbentur. Layaknya pendekar dengan
pedang, keduanya berdiri berhadapan dengan sapu di tangan masing-masing saling
mengarah satu sama lain. Hingga dari sudut samping terbentuk tanda silang antar
keduanya.
"Elo
jual, gue beli," tantang Rio.
"Siapa
takut?" sahut Ify berani.
Keduanya
diam sejenak. Ozy kini hanya bisa cengo di antara keduanya. Sementara para
murid yang masih melewati koridor menghentikan langkah, membentuk titik-titik
penonton di sekitar Rio dan Ify yang kini sudah seperti atlet anggar siap
bertarung.
Ify mulai
menggerakkan sapunya ke depan, Rio dengan sigap segera menangkis. Ify
menggerakkan ke arah perut Rio, Rio segera menghindar. Pemuda itu lalu
membalas, maju dengan sapunya. Membuat Ify refleks mundur tapi menangkis sapu
Rio. Mereka saling menangkiskan sapu satu sama lain. Rio terus maju, membuat
Ify terus termundur.
"Eh,
eh..." Ify mulai kewalahan dan panik dengan serangan sapu Rio.
Para
penonton yang melihat itu bukannya tegang, justru tertawa geli karena keduanya
bertarung dengan sapu ijuk.
Acha yang
baru saja dari perpus untuk mengembalikan buku, bersiap ke parkiran karena Ify
sudah menunggu. Hari ini Gabriel tak bisa bersamanya karena sedang rapat dengan
tim basket. Tapi baru saja sampai koridor, Acha melotot kaget melihat
sahabatnya itu justru sedang bertarung konyol dengan Rio di koridor sekolah.
Apalagi penampilan Rio kini memakai topi renda dan celemek. Konyol!
Acha ingin
tertawa, tapi mengingat itu adalah Ify, sahabatnya, ia segera berlari mendekat.
"Eh,
stop stop!" ucap Acha mencoba melerai. Tapi ia segera menghindar kala sapu
dari Ify hampir mengenainya. Rio dan Ify tak mendengar, terus bertarung.
Ozy yang
melihat Acha datang, langsung tersadar. Ia jadi ikut mendekat dan melerai.
"Wei!
Jangan dilerai! Seru tahu!" celetuk Sivia yang ada di antara para
penonton.
"Iya!
Bener tuh!" yang lain segera mengiyakan sambil tertawa.
"Diem
lo pada! Bantuin kek!" protes Acha mencoba mengambil sapu milik Ify tapi
selalu saja gagal.
"Yo!
Sadar lo tuh pake pakaian begini malah berantem pake' sapu!" kata Ozy
meninggikan suara sambil menepis sapu Rio yang ingin memukul sapu Ify lagi.
Rio
langsung diam, dan menoleh. Membuat Ify juga berhenti. Acha tak mau kehilangan
kesempatan. Ia dengan segera merebut sapu di tangan Ify dan Rio. Membuatnya
keduanya terlonjak dan melotot protes.
"Gue
belum selesai!" kata Ify ingin mengambil sapu itu. Tapi Acha segera
melemparnya jauh.
"Fy!
Elo tuh bintang sekolah! Tapi malah berantem di koridor!" bisik Acha
menyadarkan sahabatnya itu.
"Yeee
biarin! Tu anak baru rese yang cari masalah!" kata Ify menunjuk Rio.
Rio
mendelik sebal, "he Sa'fii!"
"Saufika!"
ralat Ify segera dengan kesal.
"Iya,
itu maksud gue!" kata Rio menurut membenarkan, "lo tadi yang nendang
sapu gue duluan!"
"Ya
elo mau nandingin Super Mario gue!" sahut Ify membela diri.
"Ck,
ni cewek bener-bener ya," geram Rio hilang sabar. Ia segera menepis tangan
Ozy yang langsung menahannya.
Ify dengan
cepat bereaksi dan ikut maju. Lagi-lagi, keduanya bertengkar. Rio mengacak-acak
rambut panjang Ify yang tergerai, Ify menarik paksa topi renda Rio, lalu
menjambak rambut Rio. Rio jadi ikut menarik rambut Ify. Para murid ygn belum
juga beranjak jadi makin heboh bersorak.
"Ya
ampuuunnnn!!!" jerit Acha segera menarik tubuh Ify menjauh. Ozy juga
ikutan menarik tubuh Rio.
"Rio!
Rio! Rio!" "Alyssa! Alyssa! Alyssa!"
Koridor di
dekat deretan kelas sebelas kini jadi seperti arena tinju. Ada yang meneriakkan
nama Rio, ada yang meneriakkan nama Alyssa. Entah itu maksudnya memberi
semangat atau memang mengompori.
Ify dengan
lincah menyikut rusuk Rio. Walau tak keras, tapi sukses membuat pemuda itu
mengaduh dan menjauh. Rio tak diam, ia menjulurkan tangan. Tapi langsung
terhenti saat segera sadar arah tujuan jemarinya menuju dada kanan Ify. Ify
tenganga dan membelalak geram, lalu mengambil tangan Rio segera dan
memelintirnya. Penonton makin heboh.
"FY!!!
STOOOPPP!!!" kata Acha histeris melihat Ify yang sudah hilang kendali.
Rio menepis
keras tangan Ify lalu gantian mengambil lengan gadis itu dan menariknya ke
belakang. Membuat Ify merintih kesakitan.
"YO!
DIA CEWEK WOY!" kata Ozy menyadarkan sambil menjauhkan Rio.
Tapi
keduanya terus saja bertengkar tiada henti. Menendang kaki, menginjak sepatu,
menjambak, mengacak-acak rambut, sampai mencakar. Benar-benar seperti anak SD.
"BERHENTIIII!!!"
Sebuah
teriakkan dari sebuah toak yang tepat ada di samping Ify, Rio, Acha, dan Ozy,
membuat semua terlonjak kaget. Dan saat melihat siapa yang membawa toak itu,
suara segera menghilang tanpa jejak. Ify refleks segera melepaskan tangan dari
Rio. Rio juga jadi ikut diam. Acha dan Ozy yang berdiri di samping Ify dan Rio
menganga, lalu melengos panjang.
Bu Ira.
Kepsek. Galak. Tegas. Tak bisa dibantah. Memberi hukuman tanpa segan. Monster
bagi sebagian murid.
GLEK
*****
Maap ini
dipotong lagi ya. Udah panjang banget soalnya. Itu pertemuan Alya sama Adit
ngingatin sama suatu film nggak sih? Inspirasi dari sono loh. Yang bisa jawab
nanti aku kasih diskon novelku :p follow @_ALders aja ya buat jelasnya.
Suasana
berantemnya Ify sama Rio itu hampir sama kayak di sekolahku. Kalau ada yang
kelahi bukannya dilerai, eee malah dikomporin -_- Jujur, aku pengen banget
punya tas kayak Ify. Dijual dimana ya? ._.
Part depan,
masih dengan judul sama. Tapi merupakan klimaks dari FF ini. Bakal dipost cepet
kalau dipromote dan viewnya banyak! Hehehe
@aleastri
^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar