Ini cerpen
sebenarnya untuk lomba. Tapi karena udah kelewat deadline, jadi gagal deh.
Hehehe. Sorry kalau agak bingung. Pokoknya kalau hurufnya miring, itu berarti
flashback ya. Kalau hurufnya tegak itu waktu sekarang. Ya gitu deh.
Happy reading,
guys! ^^
Aku, Kamu,
dan Hujan
- @aleastri
-
Tahun 2013
Ku julurkan
tangan keluar jendela kamar. Rintik airnya membasahi telapakku, mengantarkan
dingin hingga sampai ke nadi. Hujan lagi.
Aku
mendongak, menatap langit gelap yang terus menumpahkan ribuan butiran bening
itu. Hari ini hujan lagi. Kamu dimana? Bukannya kamu sangat suka hujan? Apa
kamu di sana, bersama hujan?
Dan
karenamu, aku juga menyukai hujan. Saat kita masih berusia sepuluh tahun. Saat
kita baru empat tahun saling mengenal. Saat kamu masih selalu ada di sampingku.
*****
Tahun 2006
"Rafli!"
teriakku di tengah gemuruh hujan, memanggilmu yang kini asyik bermain bola
bersama teman-temanmu yang lain. Payung putihku melindungiku dari derasnya
hujan sore itu.
Kamu menoleh, lalu
melemparkan cengiran lebar.
"Ayo
pulang!" ucapku dengan nada lantang agar kamu mendengarnya.
Kamu terlihat
mendecak tak setuju. Tapi kemudian berlari menghampiriku. "Sha, main hujan
aja yuk!" ajakmu menarik tanganku, yang tentu saja segera ku tahan.
"Kalau sakit
gimana?" tanyaku ragu.
Kamu tertawa,
"hujan itu asyik, Sha! Sakit atau nggak tergantung pertahanan tubuhmu.
Ayo, main sama yang lain!" ajakmu senang.
"Kamu tuh
emang ya. Dari dulu seneng banget main hujan. Nggak ah! Aku disuruh mama kamu
manggil kamu pulang, tahu!" omelku kini gantian menarik tanganmu pergi.
"Marsha!"
tahanmu malah jadi menarik tanganku lagi. Aku melotot dan mencoba menarikmu.
Tapi ya karena aku perempuan dan kamu laki-laki (walau kita sama-sama berusia
sepuluh tahun saat itu) tenagamu lebih besar. Hingga membuatku terjatuh, untung
saja tubuhmu segera menopang. Tapi yang terjatuh justru payung di peganganku,
membuatku mau tak mau malah jadi basah juga.
"Yee Marsha
basah!" girangmu tertawa riang. Lalu detik kemudian kamu sudah menarikku memasuki
lapangan perumahan kita. Yang lain menyambutku dengan senang.
Kamu tertawa-tawa
sambil melepaskan genggamanmu di tanganku dan bergabung bersama yang lain. Aku
berdiri di tempat sambil menatapmu. Bodoh. Kenapa selalu ekspresi itu yang ku
temukan kalau kamu ada di bawah hujan? Tertawa riang. Apa sebegitu sukanya kah
kamu pada hujan?
Ini pertama kalinya
aku mandi hujan. Bersamamu. Bersama teman lainnya. Jujur, sebenarnya aku kurang
suka hujan. Tapi entah mengapa mulai saat itu, aku juga ikut menyukai hujan.
***
Kamu yang
membuatku menyukai hujan. Kamu selalu mengajakku keluar kalau hujan turun. Tapi
kalau guntur dan petir ada, kamu justru melarang keras aku berada di luar
rumah. Aku sering tertawa mengenang itu. Bukannya kamu ya yang sangat suka main
hujan? Harusnya aku yang memberimu larangan. Bodoh.
Kamu ingat
hari itu? Kala patah hati pertamaku. Aku menangis sendu dan mengadu padamu.
Hujan turun. Kamu menarikku keluar untuk melepaskan sesak di dadaku. Aku sempat
mengomel. Bukankah kita sudah SMP? Kenapa masih harus bermain hujan?
*****
Tahun 2009
"Hujannya
deras banget," ucapku mendongak. Kamu yang baru saja akan berlari lagi,
menoleh ke arahku. Aku balas menatapmu. "Sama kayak sakit hati yang aku
rasa," lanjutku lirih.
Kamu mendesah,
kemudian mendekat. "Setelah hujan bakal ada pelangi kok. Yuk, kita cari
pelangi!" ajakmu riang sambil menarik tanganku, berlari di bawah hujan.
"Rafli,
hujannya masih deras. Mana ada pelangi!" protesku tapi tetap pasrah
mengikutimu.
Kamu tertawa, dan
lalu membawaku ke sebuah taman komplek. "Kalau hujannya reda, kita bisa
liat pelangi dari sini. Aku sering liat loh! Mejikuhibiniu! Ya... walau yang
keliatan kadang cuma merah sama ungu doang, ujung-ujungnya aja!" ceritamu
antusias.
Aku mengangkat alis
mendengarnya. Tapi kemudian tertawa. Dasar. Ekspresimu itu kenapa selalu begitu
sih? Membuatku geli melihatnya.
Kamu diam sejenak,
lalu tersenyum lebar. "Hujannya belum berenti, tapi kok udah ada
pelangi?" tanyamu membuatku mendelik heran. Kamu menunjuk wajahku,
"pelangi itukan indah. Kayak senyum itu tuh."
Pipiku langsung
memanas. Kamu malah makin tertawa. Kemudian kamu menggenggam jemariku dan
membawaku mengitari taman di tengah guyuran hujan yang masih setia menemani
kita berdua.
"Kamu tahu apa
baiknya hujan?" tanyamu.
"Em... dia
selalu bisa buat kamu senyum?" jawabku agak asal, yang membuatmu lagi-lagi
tertawa.
Kamu menoleh
padaku, dan tepat menatap kedua bola mataku. "Hujan bisa menghapus dan
membawa pergi sesuatu. Kayak air mata," ucapmu menunjuk ujung mataku,
"atau juga kesedihan. Aku selalu bahagia di bawah hujan. Karena entah
kenapa, hujan buat pikiranku dingin, jadi tenang."
Aku
manggut-manggut, tapi kemudian tersenyum. "Hujan juga bawa pelangi. Kalau
ada pelangi, harus ada hujan. Ya, kan?"
Kamu mengangguk,
"kayak perumpamaan. Untuk dapat liat pelangi, harus ada hujan dulu. Jadi
kalau mau bahagia, ya seenggaknya harus ada kesedihan dulu." Kamu kembali
menatapku, "Jadi, hari ini kamu boleh sedih bahkan sampai nangis. Tapi
besok, lupain semua dan kamu harus senyum! Oke?"
Aku tertawa, lalu
mengangguk menyanggupi. Makin bertambah kesukaanku pada hujan. Seperti rasa
yang entah mengapa mendadak muncul. Rasa suka aku padamu.
***
Itu adalah
hari awal dimana aku mulai merasakan kagum padamu. Mungkin karena telah
bersahabat sejak kelas satu SD, aku tak pernah benar-benar memerhatikan. Bahwa
kamu itu... manis. Dan beberapa saat terlihat keren. Aku menyukaimu. Aku senang
berada di sampingmu. Dan ada hal yang memaksaku untuk terus ingin ada di
sampingmu. Sampai kita mulai beranjak SMA, aku makin sadar bahwa rasa ini
memang lebih dari sekedar persahabatan semata.
Tapi kenapa
saat aku mulai rasakan hal ini, kamu malah pergi?
******
24 November
2012
Aku masih ingat.
Ingat jelas. Siang itu hujan lebat. Bahkan pagi sempat ada angin deras dan
badai. Bukankah aku sudah melarangmu untuk pergi? Tapi kenapa kamu masih saja
keras kepala sih? Kamu pergi ke apotik hanya karena aku mengeluh pusing padamu.
Kamu lebay, Rafli! Apa kamu tahu akibatnya apa karena tindakan nekatmu ini?
Dering telpon rumah
yang segera diangkat ibuku entah mengapa membuatku merasa tak nyaman. Ibu
langsung menoleh padaku dengan mata nanar. Dan dengan bergetar ibu berkata.
Kamu kecelakaan.
Aku dan ibu datang
ke UGD. Tapi kamu tak ada. Keluargamu satupun tak ada. Tubuhku sudah melemas.
Dan ucapan suster yang memberitahu kami, membuat jantungku benar-benar
mencelos.
Kamu ada di ruang
mayat.
Apa maksudnya?
Kenapa kamu ada di sana? Bukankah kamu masih harus dirawat dulu? Apa dokter tak
bisa merawatmu lagi?! Kenapa kamu ada di sana?
Entah kekuatan
darimana, aku berdiri menatapmu. Yang sedang terbaring kaku di salah satu
tempat tidur. Bodoh. Kepalaku hanya pusing, kenapa kamu berlebihan sampai harus
ke apotik? Untuk apa? Untukku? Lalu kamu pergi begini, untuk siapa juga? Bodoh!
Kamu selalu bertingkah seperti itu. Sesukamu, keras kepala, dan bodoh!
Apa begitu sukanya
kamu pada hujan hingga kamu ikut menyatu dengannya di langit sana?
Lalu aku bagaimana?
Siapa yang akan menemani hariku lagi? Siapa yang akan mencarikan pelangi
untukku? Dan siapa yang akan menemaniku bermain hujan lagi? Siapa?!
Kenapa kamu pergi
mendadak seperti ini? Kamu terlalu jahat, Rafli. Aku bahkan belum sempat
mengatakan apapun. Selamat tinggalpun tidak kamu beri kesempatan. Padahal aku
belum mengatakannya. Aku belum sempat menunjukkannya.
Aku mulai
menyukaimu, Rafli.
***
Aku
berjalan keluar rumah. Berdiri diguyur hujan. Tangisku tumpah. Langit
menemaniku, ikut menangis bersama alam. Hujan bisa membawa sesuatu pergi,
katamu. Tapi kenapa rasa sesak ini belum pergi juga? Hujan tidak selalu
menghapus dan membawa pergi sesuatu. Seperti segala kenanganku bersamamu dengan
hujan. Hujan selalu membawa kenangan itu. Membuat rasa kehilangan dan rindu
makin menyeruak menyiksa batinku.
Rafli...
bolehkah aku menyusulmu? Ikut menyatu bersama hujan di langit sana. Bolehkah?
Aku ingin ada di sampingmu. Selalu ada di sampingmu. Sekarang, dengan siapa aku
berbagi? Dengan siapa ku cari pelangi setelah hujan? Dengan siapa Rafli?
Aku
membentangkan kedua tangan, dan mendongakkan kepala. Membiarkan tetesan itu
membasahi wajah dan tubuhku. Kamu bilang hatimu selalu tenang bila bermain
hujan. Tapi kenapa aku tidak?
"Marsha!"
Aku agak
terkejut. Lalu menoleh, melihat siapa yang berlari dari dalam rumah sambil
membawa payung.
"Ayo
masuk, nanti kamu sakit!" omel Mama menatapku.
Aku
terdiam. Menatap wanita tua cantik ini.
"Sudah
sayang, jangan diingat lagi," kata Mama lembut, seakan membaca pikiranku.
Diusapnya pipiku yang sudah basah. Wajahku basah kuyup. Tapi dia tahu bahwa aku
menangis.
"Kamu
selalu punya mama kok," katanya mengusap puncak kepalaku lembut.
Tangisku
kembali tumpah. Apakah ini jawabanmu Rafli? Apakah dengan wanita ini aku bisa
temukan pelangi?
Mama
tersenyum, lalu mendekapku. Payungnya dilepas begitu saja, ikut basah
menemaniku. Aku menangis di pelukannya.
Ya, aku
tahu. Memang dengan wanita inilah aku bisa temukan pelangi. Aku takkan
menyiakannya. Dan aku akan membuatnya bahagia. Suatu hal yang belum aku lakukan
padamu dulu.
Dan
hujan... aku mohon, jaga sahabatku di-sana. Beri ia pelangi jika mendung datang
pada wajahnya. Kumohon, jangan membuatnya sedih. Walaupun itu hanya sedetik.
Dan katakan pada Tuhan. Tempatkan dia di tempat yang terbaik untuknya.
xxxxx
Hehehe. Ya
begitulah ya. Mau mellow, tapi kayaknya saya gagal. Huhu :'s
Ya semoga
pesennya nyampe ya. Dari awal nama tokohnya emang Rafli dan Marsha, hohoho.
Jangan lupa
follow @_ALders ya teman-teman. Yang silent readers juga kudu loh. Buat non ICL
juga harus :p
Ini cerpen
sebagai bayaran karena udah ngaret lama banget untuk cerbung2 yang lain. I'm so
sorry guys. Tapi janji deh ga ngaret lagi hehehe.
Komennya
loh ditungguin di mention saya. Fb juga boleh deh ^^
see you di
cerita lainnya yaw!
@aleastri
Cerpennya sukses bikin aku nangis...
BalasHapusKalo beneran buat lomba kayaknya lolos nih ^^