Senin, 04 Maret 2013

Aku, Kamu, dan Hujan [CERPEN]


Ini cerpen sebenarnya untuk lomba. Tapi karena udah kelewat deadline, jadi gagal deh. Hehehe. Sorry kalau agak bingung. Pokoknya kalau hurufnya miring, itu berarti flashback ya. Kalau hurufnya tegak itu waktu sekarang. Ya gitu deh.
Happy reading, guys! ^^

Aku, Kamu, dan Hujan
- @aleastri -

Tahun 2013
Ku julurkan tangan keluar jendela kamar. Rintik airnya membasahi telapakku, mengantarkan dingin hingga sampai ke nadi. Hujan lagi.
Aku mendongak, menatap langit gelap yang terus menumpahkan ribuan butiran bening itu. Hari ini hujan lagi. Kamu dimana? Bukannya kamu sangat suka hujan? Apa kamu di sana, bersama hujan?
Dan karenamu, aku juga menyukai hujan. Saat kita masih berusia sepuluh tahun. Saat kita baru empat tahun saling mengenal. Saat kamu masih selalu ada di sampingku.

*****
Tahun 2006
"Rafli!" teriakku di tengah gemuruh hujan, memanggilmu yang kini asyik bermain bola bersama teman-temanmu yang lain. Payung putihku melindungiku dari derasnya hujan sore itu.
Kamu menoleh, lalu melemparkan cengiran lebar.
"Ayo pulang!" ucapku dengan nada lantang agar kamu mendengarnya.
Kamu terlihat mendecak tak setuju. Tapi kemudian berlari menghampiriku. "Sha, main hujan aja yuk!" ajakmu menarik tanganku, yang tentu saja segera ku tahan.
"Kalau sakit gimana?" tanyaku ragu.
Kamu tertawa, "hujan itu asyik, Sha! Sakit atau nggak tergantung pertahanan tubuhmu. Ayo, main sama yang lain!" ajakmu senang.
"Kamu tuh emang ya. Dari dulu seneng banget main hujan. Nggak ah! Aku disuruh mama kamu manggil kamu pulang, tahu!" omelku kini gantian menarik tanganmu pergi.
"Marsha!" tahanmu malah jadi menarik tanganku lagi. Aku melotot dan mencoba menarikmu. Tapi ya karena aku perempuan dan kamu laki-laki (walau kita sama-sama berusia sepuluh tahun saat itu) tenagamu lebih besar. Hingga membuatku terjatuh, untung saja tubuhmu segera menopang. Tapi yang terjatuh justru payung di peganganku, membuatku mau tak mau malah jadi basah juga.
"Yee Marsha basah!" girangmu tertawa riang. Lalu detik kemudian kamu sudah menarikku memasuki lapangan perumahan kita. Yang lain menyambutku dengan senang.
Kamu tertawa-tawa sambil melepaskan genggamanmu di tanganku dan bergabung bersama yang lain. Aku berdiri di tempat sambil menatapmu. Bodoh. Kenapa selalu ekspresi itu yang ku temukan kalau kamu ada di bawah hujan? Tertawa riang. Apa sebegitu sukanya kah kamu pada hujan?
Ini pertama kalinya aku mandi hujan. Bersamamu. Bersama teman lainnya. Jujur, sebenarnya aku kurang suka hujan. Tapi entah mengapa mulai saat itu, aku juga ikut menyukai hujan.

***

Kamu yang membuatku menyukai hujan. Kamu selalu mengajakku keluar kalau hujan turun. Tapi kalau guntur dan petir ada, kamu justru melarang keras aku berada di luar rumah. Aku sering tertawa mengenang itu. Bukannya kamu ya yang sangat suka main hujan? Harusnya aku yang memberimu larangan. Bodoh.
Kamu ingat hari itu? Kala patah hati pertamaku. Aku menangis sendu dan mengadu padamu. Hujan turun. Kamu menarikku keluar untuk melepaskan sesak di dadaku. Aku sempat mengomel. Bukankah kita sudah SMP? Kenapa masih harus bermain hujan?

*****
Tahun 2009
"Hujannya deras banget," ucapku mendongak. Kamu yang baru saja akan berlari lagi, menoleh ke arahku. Aku balas menatapmu. "Sama kayak sakit hati yang aku rasa," lanjutku lirih.
Kamu mendesah, kemudian mendekat. "Setelah hujan bakal ada pelangi kok. Yuk, kita cari pelangi!" ajakmu riang sambil menarik tanganku, berlari di bawah hujan.
"Rafli, hujannya masih deras. Mana ada pelangi!" protesku tapi tetap pasrah mengikutimu.
Kamu tertawa, dan lalu membawaku ke sebuah taman komplek. "Kalau hujannya reda, kita bisa liat pelangi dari sini. Aku sering liat loh! Mejikuhibiniu! Ya... walau yang keliatan kadang cuma merah sama ungu doang, ujung-ujungnya aja!" ceritamu antusias.
Aku mengangkat alis mendengarnya. Tapi kemudian tertawa. Dasar. Ekspresimu itu kenapa selalu begitu sih? Membuatku geli melihatnya.
Kamu diam sejenak, lalu tersenyum lebar. "Hujannya belum berenti, tapi kok udah ada pelangi?" tanyamu membuatku mendelik heran. Kamu menunjuk wajahku, "pelangi itukan indah. Kayak senyum itu tuh."
Pipiku langsung memanas. Kamu malah makin tertawa. Kemudian kamu menggenggam jemariku dan membawaku mengitari taman di tengah guyuran hujan yang masih setia menemani kita berdua.
"Kamu tahu apa baiknya hujan?" tanyamu.
"Em... dia selalu bisa buat kamu senyum?" jawabku agak asal, yang membuatmu lagi-lagi tertawa.
Kamu menoleh padaku, dan tepat menatap kedua bola mataku. "Hujan bisa menghapus dan membawa pergi sesuatu. Kayak air mata," ucapmu menunjuk ujung mataku, "atau juga kesedihan. Aku selalu bahagia di bawah hujan. Karena entah kenapa, hujan buat pikiranku dingin, jadi tenang."
Aku manggut-manggut, tapi kemudian tersenyum. "Hujan juga bawa pelangi. Kalau ada pelangi, harus ada hujan. Ya, kan?"
Kamu mengangguk, "kayak perumpamaan. Untuk dapat liat pelangi, harus ada hujan dulu. Jadi kalau mau bahagia, ya seenggaknya harus ada kesedihan dulu." Kamu kembali menatapku, "Jadi, hari ini kamu boleh sedih bahkan sampai nangis. Tapi besok, lupain semua dan kamu harus senyum! Oke?"
Aku tertawa, lalu mengangguk menyanggupi. Makin bertambah kesukaanku pada hujan. Seperti rasa yang entah mengapa mendadak muncul. Rasa suka aku padamu.

***

Itu adalah hari awal dimana aku mulai merasakan kagum padamu. Mungkin karena telah bersahabat sejak kelas satu SD, aku tak pernah benar-benar memerhatikan. Bahwa kamu itu... manis. Dan beberapa saat terlihat keren. Aku menyukaimu. Aku senang berada di sampingmu. Dan ada hal yang memaksaku untuk terus ingin ada di sampingmu. Sampai kita mulai beranjak SMA, aku makin sadar bahwa rasa ini memang lebih dari sekedar persahabatan semata.
Tapi kenapa saat aku mulai rasakan hal ini, kamu malah pergi?

******
24 November 2012

Aku masih ingat. Ingat jelas. Siang itu hujan lebat. Bahkan pagi sempat ada angin deras dan badai. Bukankah aku sudah melarangmu untuk pergi? Tapi kenapa kamu masih saja keras kepala sih? Kamu pergi ke apotik hanya karena aku mengeluh pusing padamu. Kamu lebay, Rafli! Apa kamu tahu akibatnya apa karena tindakan nekatmu ini?
Dering telpon rumah yang segera diangkat ibuku entah mengapa membuatku merasa tak nyaman. Ibu langsung menoleh padaku dengan mata nanar. Dan dengan bergetar ibu berkata.
Kamu kecelakaan.
Aku dan ibu datang ke UGD. Tapi kamu tak ada. Keluargamu satupun tak ada. Tubuhku sudah melemas. Dan ucapan suster yang memberitahu kami, membuat jantungku benar-benar mencelos.
Kamu ada di ruang mayat.
Apa maksudnya? Kenapa kamu ada di sana? Bukankah kamu masih harus dirawat dulu? Apa dokter tak bisa merawatmu lagi?! Kenapa kamu ada di sana?
Entah kekuatan darimana, aku berdiri menatapmu. Yang sedang terbaring kaku di salah satu tempat tidur. Bodoh. Kepalaku hanya pusing, kenapa kamu berlebihan sampai harus ke apotik? Untuk apa? Untukku? Lalu kamu pergi begini, untuk siapa juga? Bodoh! Kamu selalu bertingkah seperti itu. Sesukamu, keras kepala, dan bodoh!
Apa begitu sukanya kamu pada hujan hingga kamu ikut menyatu dengannya di langit sana?
Lalu aku bagaimana? Siapa yang akan menemani hariku lagi? Siapa yang akan mencarikan pelangi untukku? Dan siapa yang akan menemaniku bermain hujan lagi? Siapa?!
Kenapa kamu pergi mendadak seperti ini? Kamu terlalu jahat, Rafli. Aku bahkan belum sempat mengatakan apapun. Selamat tinggalpun tidak kamu beri kesempatan. Padahal aku belum mengatakannya. Aku belum sempat menunjukkannya.
Aku mulai menyukaimu, Rafli.

***

Aku berjalan keluar rumah. Berdiri diguyur hujan. Tangisku tumpah. Langit menemaniku, ikut menangis bersama alam. Hujan bisa membawa sesuatu pergi, katamu. Tapi kenapa rasa sesak ini belum pergi juga? Hujan tidak selalu menghapus dan membawa pergi sesuatu. Seperti segala kenanganku bersamamu dengan hujan. Hujan selalu membawa kenangan itu. Membuat rasa kehilangan dan rindu makin menyeruak menyiksa batinku.
Rafli... bolehkah aku menyusulmu? Ikut menyatu bersama hujan di langit sana. Bolehkah? Aku ingin ada di sampingmu. Selalu ada di sampingmu. Sekarang, dengan siapa aku berbagi? Dengan siapa ku cari pelangi setelah hujan? Dengan siapa Rafli?
Aku membentangkan kedua tangan, dan mendongakkan kepala. Membiarkan tetesan itu membasahi wajah dan tubuhku. Kamu bilang hatimu selalu tenang bila bermain hujan. Tapi kenapa aku tidak?
"Marsha!"
Aku agak terkejut. Lalu menoleh, melihat siapa yang berlari dari dalam rumah sambil membawa payung.
"Ayo masuk, nanti kamu sakit!" omel Mama menatapku.
Aku terdiam. Menatap wanita tua cantik ini.
"Sudah sayang, jangan diingat lagi," kata Mama lembut, seakan membaca pikiranku. Diusapnya pipiku yang sudah basah. Wajahku basah kuyup. Tapi dia tahu bahwa aku menangis.
"Kamu selalu punya mama kok," katanya mengusap puncak kepalaku lembut.
Tangisku kembali tumpah. Apakah ini jawabanmu Rafli? Apakah dengan wanita ini aku bisa temukan pelangi?
Mama tersenyum, lalu mendekapku. Payungnya dilepas begitu saja, ikut basah menemaniku. Aku menangis di pelukannya.
Ya, aku tahu. Memang dengan wanita inilah aku bisa temukan pelangi. Aku takkan menyiakannya. Dan aku akan membuatnya bahagia. Suatu hal yang belum aku lakukan padamu dulu.
Dan hujan... aku mohon, jaga sahabatku di-sana. Beri ia pelangi jika mendung datang pada wajahnya. Kumohon, jangan membuatnya sedih. Walaupun itu hanya sedetik. Dan katakan pada Tuhan. Tempatkan dia di tempat yang terbaik untuknya.

xxxxx

Hehehe. Ya begitulah ya. Mau mellow, tapi kayaknya saya gagal. Huhu :'s
Ya semoga pesennya nyampe ya. Dari awal nama tokohnya emang Rafli dan Marsha, hohoho.
Jangan lupa follow @_ALders ya teman-teman. Yang silent readers juga kudu loh. Buat non ICL juga harus :p
Ini cerpen sebagai bayaran karena udah ngaret lama banget untuk cerbung2 yang lain. I'm so sorry guys. Tapi janji deh ga ngaret lagi hehehe.
Komennya loh ditungguin di mention saya. Fb juga boleh deh ^^

see you di cerita lainnya yaw!
@aleastri

1 komentar:

  1. Cerpennya sukses bikin aku nangis...
    Kalo beneran buat lomba kayaknya lolos nih ^^

    BalasHapus