Air mataku menetes. Ku biarkan saja. Karena tubuhku benar-benar diselimuti
kebekuan. Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku tak tahu kekuatan darimana
aku masih bisa berdiri kini.
Dia seperti menyadari keberadaanku. Sepasang matanya yang selalu
menghanyutkanku itu, menatapku tepat. Tapi tak berekspresi. Tak terkejut atau
bahkan tersentak sedikit. Membuatku merasa sepertinya ini semua mimpi. Walau
sedari tadi aku meyakinkan diri bahwa ini memang hanyalah mimpi. Tapi.... sesak
ini benar terasa. Bukan mimpi.
Dia melepaskan pelukannya dari perempuan itu. Membuat perempuan itu agak
kecewa dan merenggut manja. Yang ingin sekali ku lemparkan dia ke Semayang,
pelabuhan di kotaku.
Dia mendesah pelan. Kemudian mendatangiku masih dengan ekspresi datar.
Wajahku basah sudah. Mataku kuyuh. Tak mampu mengeluarkan sumpah serapah yang
ingin sekali ku ucap.
"Ngapain ke sini?" Suara serak itu sama sekali tak terdengar
bersalah. Membuatku tanpa sadar melayangkan telapak tangan ke pipi kirinya.
Perempuan yang tadi dalam pelukannya agak terkejut melihat itu. Sementara dia
mengusap pipinya pelan, dan menoleh ke arahku.
Tangisku benar-benar pecah. Aku histeris. Tak memercayai bahwa kekasih
tercintaku ini berkhianat. Seperti inikah pembalasan selama satu tahun kita
bersama?
Dia menelan ludah, dan menatapku tepat. "Kita putus."
Aku merapatkan gigi. Hei! Kenapa dia yang menyebut kalimat itu!? Harusnya
aku!
"Aku udah nggak butuh kamu."
Setelah itu ia berbalik, mengambil jemari perempuan MENJIJIKAN itu -oh
sungguh, ingin ku bubuhi beribu umpatan kasar namun sedari kecil aku selalu
dilarang seperti itu oleh ibuku- kemudian pergi menjauh. Meninggalkan aku yang
benar-benar terluka di taman itu.
Aku tak tahu lagi. Seperti orang gila, aku berteriak histeris dan frustasi.
Dengan beningan hangat yang meluncur deras dari sepasang bola mataku. Aku
terduduk lemas, dan menangis sejadi-jadinya. Benar-benar lupa bahwa aku berada
di sebuah taman. Hanya beberapa orang yang ada, namun tetap saja mereka
memerhatikanku. Tapi aku tak peduli!
APA MAKSUD SEMUA INI?! Aku ingin mengamuk saja. Pada apapun, pada siapapun.
Bagaimana bisa Gilang Wahyuda yang sangat ku cintai dan ku banggakan melakukan
hal ini?! Dia yang selalu lembut, perhatian, dan menomor satukan aku. Malah
mencampakkanku begitu saja.
KYAAAAAAA
"Angel?"
Aku terkejut. Kemudian mendongak perlahan. Seorang pemuda tampan berdiri
tepat di depanku. Menatapku dengan kening berkerut.
"Kamu kenapa Ngel?" tanyanya cemas dan duduk di depanku. Kedua
tangannya mengusap-usap kedua pundakku yang masih bergetar.
"Di... Difa..." panggilku tersendat menyebut namanya. Sedetik
kemudian aku langsung menghambur dalam peluknya. Tak peduli kami ada di depan
umum. Aku benar-benar sudah lupa diri.
Pemuda ini, Difa namanya. Sahabatku sejak SMP. Dia yang selalu menemaniku
tiap harinya. Sebenarnya dia juniorku. Dia pernah menyatakan cinta padaku dulu.
Namun aku sudah dimiliki Gilang. Tapi bukannya menjauh, Difa justru meminta
menjadi sahabatku. Walau ia sering kali bertengkar dengan Gilang.
Difa menuntuku berdiri, lalu membawaku duduk di sebuah kursi taman. Ia
mencoba menenangkanku yang tak bisa berhenti menangis. Dengan kesusahan, aku
terus menyebutkan nama Gilang. Difa tak berkata apapun. Hanya mengusap-usap
pundakku. Dan kala melihat aku sudah mulai berhenti terisak, ia berbisik
lembut.
"Ngel.. udah ya. Minggu depan udah ujian loh. Jangan dipikirin
lagi."
Aku tak menjawab. Hanya berusaha menghentikan isakku sambil bersandar di
dadanya.
"Lupain dia, Ngel. Kamu bakal dapat yang terbaik dari dia."
Aku menutup mulut dengan telapak tangan, mencoba menahan kembalinya isakku
yang meleleh. Tapi... bukankah tadi aku hanya menyebut nama Gilang tanpa
menjelaskan apapun? Kenapa Difa sudah berkata begitu?
Ah sudahlah. Aku tak ada waktu memikirkan itu. Kini yang ingin ku lakukan
hanyalah menangis. Menangis. Dan menangis.
Ujian sudah di depan mata. Teman-temanku mencoba menghibur dan
menyemangatiku. Kini yang ku lakukan hanya di dalam kelas, membaca buku. Walau
tak ada materi apapun yang menyangkut dalam benakku. Aku tak ingin keluar
kelas. Aku tak mau bertemu dia. Kenapa juga kami harus satu sekolah?
Sialan.
Semua berjalan dengan datar. Teman-temanku berdebar menghadapi ujian kelulusan.
Sedangkan aku? Sama sekali tak merasakan apapun. Hatiku sudah mati. Aku bahkan
tak mau memikirkan apapun.
Beruntung aku punya teman-teman sekelas yang solid dan mengerti. Saat
pengawas lengah, mereka dengan sukarela bertanya soal nomor berapa yang belum
ku jawab. Mereka membantuku. Membuatku ingin menangis saja. Difa juga
berkali-kali memberiku semangat. Bahkan pagi sebelum pergi ujian, Difa datang
ke rumahku dan membawakan sebungkus roti.
Semua berlalu begitu saja. Tak ada yang berkesan. Kebahagiaanku seperti
menghilang. Sejak hari itu, aku tak pernah bertemu dengannya. Ku dengar
beberapa temanku sempat mendatanginya dan yang laki-laki juga sempat
menghajarnya. Aku tak peduli. Tak kurasakan apapun. Marah? Kesal? Senang?
Kasihan? Tidak. Sama sekali tidak. Aku benci pemuda itu. Dan aku benar-benar
sudah tak mau tahu lagi apa yang dia lakukan!
Difa menatapku sendu. Sedangkan aku hanya menunduk sambil memegangi koper
besarku berdiri di depan rumahku yang sudah dikosongkan.
"Kenapa harus pergi sih?" tanya Difa lirih.
"Aku harus ikut Bapak ke daerah tambang di Penajam. Aku nggak bisa
hidup sendiri. Ibu sama semua adikku tinggal di sana."
"Bukannya selama setahun ini begitu? Kamu hidup sendiri di rumahmu.
Kamu mandiri Angel. Dan kamu sudah dewasa. Kenapa harus ikut secara
tiba-tiba?"
"Ini bukan tiba-tiba Difa. Aku sudah pikirkan ini sejak kelas
tiga."
Difa diam sejenak, lalu mendengus. "Sejak kelas tiga atau sejak putus
sama Gilang?"
"Difa!" aku segera memotong dengan nada tinggi. "Jangan
sebut namanya di depanku," ucapku sengit dan menatapnya tajam. Hatiku
remuk seketika mendengar nama itu. Sungguh.
Difa terdiam, kemudian menghela nafas. "Ngel... ada aku di sini. Aku
selalu siap buat kamu."
Aku menggeleng pelan. "Maaf Dif. Tapi..." Kutarik nafas
panjang, "aku nggak bisa move
on," lanjutku lirih penuh getaran.
Difa menghela nafas lagi. Sedangkan aku menggigit bibir kuat. Mencoba
membendung butiran yang mengepul di kelopak mataku. Tak akan. Aku tak mau
membiarkan setetespun air mata meluncur karena dia lagi. Tak akan.
Ku coba membuka lembar baru di daerah baru ini. Kehidupan baru yang
benar-benar jauh dari pemuda itu. Aku mencoba membuka diri pada orang-orang
baru yang tak pernah ku kenal. Perlahan, hatiku mulai menguat kembali. Difa
masih menghubungiku. Kami tetap berkomunikasi walaupun jauh. Satu persatu,
beberapa pemuda mulai datang dalam hidupku. Ada yang menarik hatiku, ataupun
yang mencoba menarik hatiku.
Tapi aneh. Kenapa rasanya berbeda? Aku memang tertarik. Tapi tak ada
getaran yang pernah ku rasakan dulu. Getaran membahagiakan itu. Perasaan
bergejolak itu. Kenapa rasanya hambar?
Aku coba move on. Menerima cinta beberapa pemuda. Namun tak ada yang
bertahan lama. Selalu kandas di tengah jalan. Dengan alasan sama. Mereka tahu
bahwa aku masih terbayang masa lalu.
Tapi menurutku tidak! Aku sudah melupakan pemuda itu. Bahkan aku sudah
tidak merasakan apapun padanya. Aku tak peduli dia sedang apa, bersama
siapa, dan dimana. Aku. Sudah. Tak. Peduli.
Tapi kenapa orang-orang masih berkata bahwa aku stuck di dia? Bahkan
ibuku pernah menasihatiku bahwa sudah waktunya aku benar-benar 'membersihkan'
hati. Menghapus kenangan pahit itu dan mengobati luka lama. Menurutku aku sudah
mampu. Namun orang-orang masih saja berkata kalau sebenarnya aku masih
terbayang dia.
Kenapa begitu sih!?
Satu tahun berlalu. Semua masih sama. Aku jatuh hati pada beberapa
laki-laki. Walau masih saja aku terus mencari getaran 'itu'. Dan belum ku
dapatkan. Apa benar-benar sudah menghilang? Apa aku telah mati rasa?
Aku sudah menginjak kelas dua SMA. Difa masuk ke SMA Bakti. Yang pernah ku
dengar adalah sekolah dia. Aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi kalau
bercerita tentang sekolah, Difa tak pernah membahas dia. Dan aku
berterima kasih akan itu.
Tapi mendadak malam itu datang. Entah datang darimana. Aku tak tahu.
Hapeku berdering, menandakan ada panggilan masuk. Keningku mengernyit.
Karena yang tertera adalah nomor pribadi. Dan entah kenapa hatiku bergetar.
Getaran yang sudah menghilang itu. Ada apa ini?
Ku raih hape itu, menekan tombol dial dan mendekatkannya ke telinga.
"Halo?"
"....."
Keningku berkerut. Tak mendengar sapaan. Aku diam sejenak.
"Halo?" Kini nada suara ku tinggikan. Tapi masih tak ada suara. Aku
mendengus, dan ingin mematikan sambungan. Tapi...
"Halo..."
Garis wajahku mengendor seketika. Tubuhnya langsung menegang. Tidak. Ini
bukan drama. Tapi benar.... aku tahu suara ini. Aku langsung mengetahuinya.
Sangat mengenalnya.
"Angel?"
Wajahku kaku seketika. Mataku menajam, dengan aliran darah yang entah
mengapa terasa menaik tinggi. "Siapa ini?" desisku sengit.
Terdengar nafas yang seperti tekekeh geli. Membuatku makin geram.
"Mr. X."
Aku memejamkan mata. Dasar bodoh. Sejak kapan di namamu ada huruf X? Kamu
pikir aku bisa dibodohi olehmu lagi?
"Untuk apa kamu telpon aku?" tanyaku makin tajam.
"Ckckck, Ngel. Inikah sikapmu nerima telpon?" tanyanya dengan
nada geli. Aku hanya mendengus.
"Apa kabar?"
"Penting ya?" balasku masih tak bersahabat. "Siapa sih
ini?" Iya, aku memang tahu ini siapa. Tapi entah mengapa hati kecilku
ingin sekali mendengar ia menyebut namanya.
"Mantanmu."
Aku mendengus tajam, "aku nggak punya mantan."
"Masa lalumu."
"Yang mana? Yang kelam?"
"Kamu udah benci banget ya sama aku?"
Aku tertawa datar. "Memangnya kamu sepenting apa sampai harus aku
benci? Bahkan aku nggak pernah kenal kamu."
Hening terdengar. Tak ada suara. Aku tahu. Harusnya sekarang dengan tegas
aku berkata tak usah mengganggu dan menghubungiku lagi. Lalu kemudian aku
mematikan sambungan begitu saja. Tapi... seperti ada yang menahanku untuk
melakukan itu. Justru sebaliknya. Aku ingin percakapan ini berlangsung lama.
"Sekarang kamu ada di mana?"
"Urusanmu?" sahutku ketus.
"Bisa ketemu?"
"Nggak akan," jawabku segera, "aku udah nggak di
Balikpapan."
Ia mendesah panjang, "jadi benar kamu ikut keluargamu?"
Keningku langsung berkerut. "Tahu darimana kamu?" tanyaku
menajam. "Dan juga... dapat nomorku darimana?"
Hening lagi yang terdengar. Dia pasti terdiam. Sedangkan aku mencoba
menyusun logika atas pertanyaanku tadi.
"Sahabat tercintamu. Percayakah?"
Aku mengernyit lagi, "maksudmu?"
"Junior kesayanganmu itu. Si tengil sok yang selalu ikut campur
masalah kita dulu."
Mataku melebar. Langsung ada sebesit nama dalam otakku. Difa.
"Dia yang ngasih info tentang kamu."
Aku tenganga sesaat, "nggak mungkin," desisku tajam.
"Kenapa nggak mungkin? Kenyataannya begitu. Apalagi sekarang dia
kembali jadi adik kelasku."
"Bodoh. Kamu pikir aku lebih percaya kamu daripada Difa?"
"Haha. Dari dulu selalu begitu, kan? Kamu selalu mengutamakan
Difa," katanya tajam. Membuatku mendelik geram.
"Itu urusanku," kataku tak kalah tajam.
Diam sejenak terdengar. Sebelum akhirnya ada helaan nafas panjang.
"Maaf Ngel..."
Aku terdiam. Hatiku berdesir. Namun tak lama malah menjadi sesak perlahan.
Membuat mataku berembun. Kata itu. Kata yang diam-diam aku harapkan selama ini.
"Jaga diri baik-baik ya. Semoga dia bisa buat kamu bahagia."
Aku makin tertegun. Nada itu. Nada yang dulu selalu ia pakai saat
bersamaku. Tapi....
"Apa maksudmu?" nadaku entah mengapa melemah. Dadaku berdebar tak
nyaman.
"... Bye, malaikatku.... tuttt... tutttt...."
Hapeku terjatuh lemas dari genggaman. Aku terpaku. Tapi tak mengerti. Apa
maksudnya? Orang itu mau apalagi sih? Setelah aku sudah mencoba menjauh kenapa
dia harus datang lagi membawa kata-kata aneh yang membebani pikiranku?
Aku kembali ke Balikpapan. Bertemu Difa dan teman-temanku. Difa mulai
terlihat berubah. Dia lebih tinggi dari saat terakhir aku bertemu dengannya.
Aku tak memberitahunya bahwa malam itu dia menelpon. Aku juga tak
meminta penjelasan maksud kata-kata dia bahwa Difa memberitahu hal-hal
tentangku. Aku tak mau memikirkannya lebih lama.
Saat itu tepat sekali reuni SMP tiga angkatan. Angkatan di atasku,
angkatanku, dan angkatan Difa. Awalnya aku tak mau datang. Tapi atas bujukan
teman-teman, dan juga tawaran Difa bahwa dia akan datang bersamaku, membuatku
luluh.
Di sana aku bertemu temanku yang juga murid SMA Bakti. Namanya Marsha.
Awalnya kami beramai-ramai mengobrol dan melepas rindu. Diam-diam aku
memerhatikan keseluruhan peserta reuni. Difa berkumpul dengan angkatannya. Dan
beberapa juga membentuk kelompok untuk bernostalgia. Keningku agak berkerut.
Tak menemukan dia.
Tak lama, satu persatu teman-temanku beranjak dan pergi. Entah itu
mengambil minum ataupun menyapa yang lain. Tinggal aku bersama Marsha.
"Ngel, tahu nggak? Si Difa jadi most wanted loh di Bakti!" lapor
Marsha membuatku melirik ke arahnya.
"Oh ya?" tanyaku mengangkat alis.
Marsha tersenyum dan mengangguk. "Kan dia emang ganteng. Apalagi
anaknya ramah. Hati-hati tuh kamu," goda Marsha membuatku tertawa. Aku dan
Difa memang sangat dekat dan akrab, membuat orang-orang mengira bahwa kami
punya hubungan istimewa.
"Em... siapa aja yang masuk Bakti dari sekolah kita?" entah
mengapa aku bertanya seperti itu.
"Banyak. Yang adek kelas atau angkatan kita?"
"Angkatan kita." Lidahku berujar begitu saja. Aku tak bisa
menahan. Semua seperti memaksa untuk bertanya lebih lanjut.
"Em... ada Cindai, Bagas, Chelsea, Rafli, banyak deh!"
Aku menggigit bibir sejenak, "siapa lagi?"
Marsha diam sejenak, seperti mengingat. "Dulu sih... ada Gilang,"
nada suaranya memelan, dan melirik ke arahku. Aku langsung melengos kasar.
Walau sejujurnya aku ingin tahu kelanjutannya tentang dia. Entahlah. Aku ingin
tahu kabarnya saja.
"Tapikan sekarang dia udah nggak ada."
Aku langsung menoleh seutuhnya pada Marsha dan mengangkat alis tinggi.
"Maksudnya?"
"Diakan pergi, Ngel," jawab Marsha sembari meraih hape karena ada
pesan masuk. "Di Bakti dia cuma tiga bulanan doang. Kasihan banget
ya."
Aku mengernyit. "Emang kenapa?"
"Em... bentar," Marsha meminta waktu membalas pesan.
"Sha!" panggilku tak sabar membuat Marsha mendongak.
Marsha mendesah pelan, seperti mengerti. "Dia pindah ke Padang."
Mataku membelalak.
"Orangtuanyakan cerai."
"Bukannya dari SMP ya?" tanyaku yang memang dulu dia pernah menceritakan
hal ini padaku.
"Makin parah Ngel. Tapi... eng... ini gosipnya doang sih," Marsha
memelankan suara membuatku mendekatkan wajah ke arahnya. "Katanya Mamanya
tuh ngegoda suami orang lain. Diakan awalnya ikut mamanya. Nah, mamanya kawin
lagi dan dihujat. Papanya nggak mau dia ikut jelek. Karena itu, dia dibawa ke
Padang."
Aku terdiam. Sementara Marsha memasang wajah serius.
"Dia kasihan banget, Ngel. Apalagi adek tunggalnya sakit-sakitan. Tapi
nggak tahu sih sakit apa. Katanya sih sakit parah gitu."
Aku makin terdiam. Seperti ada yang menohok dadaku keras. Aku sangat tahu.
Dia mencintai adiknya itu sepenuh hati. Karena rasa kecewa pada perpisahan
orangtuanya, harapannya tinggal tertuju pada sang adik. Dia bilang, dia lebih
memilih hidup bersama adiknya daripada memilih satu dari dua orangtuanya.
Walaupun ia harus bekerja menghidupi sang adik.
"Semoga aja deh Ngel dia dapat kehidupan lebih baik sama
Papanya."
Aku tak menyahut. Hanya diam terpaku. Sampai ku rasakan tepukan halus di
pundakku membuatku agak terkejut dan menoleh.
Difa berdiri di sana. Tersenyum manis dengan lembut. Marsha langsung
bereaksi belaga batu menggoda. Tapi aku masih diam seribu bahasa.
"Eng, Ngel. Aku ke sana dulu ya. Bye!" pamit Marsha lalu segera
ngacir pergi. Sebelumnya ia mengerling menggoda ke arah Difa, yang dibalas Difa
dengan senyuman malu.
Setelah itu Difa duduk di sampingku. Aku masih diam. Masih merasa amat
sesak. Mungkin membaca itu, Difa menegur.
"Kenapa Ngel?" tanyanya lembut sambil menepuk pelan pundakku.
Ku tolehkan kepala. Dan pertanyaan itu langsung tercetus. "Gilang
ngomong apa sama kamu?"
Difa nampak terkejut setengah mati. Tangannya di atas pundakku langsung
terjatuh begitu saja. Selama ini aku tak membolehkan SIAPAPUN ITU menyebutkan
nama itu di depanku. Tapi kali ini justru aku yang menyebutnya.
"Kenapa dia pergi tiba-tiba? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia
nelpon aku malam itu? Kenapa dia bilang selamat tinggal? Kenapa dia minta maaf?
Kenapa dia bawa nama kamu? Kenapa!?"
Aku langsung menyerbukan berbagai pertanyaan dengan nada mendesak, membuat
wajah Difa makin menegang. Aku dapat merasakan mataku mulai menghangat.
Tak lama kemudian Difa menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.
Ia menatapku tepat. "Maaf Ngel...." ucapnya penuh penyesalan.
"Apalagi sih?" tanyaku frustasi, "kenapa semua minta maaf?
Kenapa memangnya!?"
Difa nampak meneguk ludah. "Aku... sudah tahu ini sejak SMP."
Mataku melebar. Walau agak kesusahan dan merasa bersalah, Difa mulai
menceritakan semua. Misteri yang tak pernah ku ketahui.
Hari itu ia sengaja membawa seorang perempuan ke taman tempatku dan membuat
drama. Ia memeluk gadis itu mesra. Dan ketika melihatku hanya menangis tak
mengucap kata apapun, ia pun yang mengucapkannya. Bahwa kami harus berpisah.
Agar aku membencinya. Dia menelpon Difa, menyuruh Difa datang untuk menemaniku.
Dan dia menitipkanku pada Difa dengan syarat Difa tak boleh memberitahukan
apapun padaku. Dia jadi bahan cacian di daerah rumahnya. Dan kala ia masuk SMA
Bakti, para murid mulai mendengar berita tentang keluarganya. Membuatnya
tersudutkan. Alasan kenapa ia memutuskanku. Dia tak mau aku menjadi pacar
seseorang yang dicemooh. Apalagi keluargaku adalah keluarga yang terkenal
terhormat. Dia merasa tak pantas bersamaku. Melihat aku yang sangat mencintainya,
dia memutuskan bahwa dia harus menjauh dan membuatku membencinya. Agar aku mau
menjauh dari dia. Akhir penderitaannya usai kala Papanya datang dari Padang.
Membawanya pergi. Dan saat itu ia kembali bicara berdua dengan Difa. Difa
menjelaskan semua tentangku, dan memberikan nomor telpon karena ia ingin
bertemu denganku yang terakhir kalinya. Mungkin aku bisa pulang ke Balikpapan
kalau dibujuk dia, begitu pikir Difa saat itu. Tapi aku justru menolaknya
kasar. Membuatnya tak bisa menjelaskan yang sebenarnya dan hanya bisa meminta
maaf serta mengucap selamat tinggal. Dan setelah itu... dia pergi. Tak lagi ada
di sini. Entah di sana bagaimana kabarnya.
"Maaf Ngel... Maaf..." Difa menguap maaf berkali-kali.
Aku tak menjawab. Hanya menangis deras di hadapan pemuda itu. Dadaku sesak.
Menyesal dan sakit. Dasar Gilang bodooohhh!!! Keberadaanku itu tulus. Aku
mencintaimu dan ingin membuatmu bahagia! Kalau kamu terluka, aku ingin
mengobatinya. Dasar bodoh! Kenapa kamu memilih jalan ini? Apa kamu pikir ini
demi kebaikanku? Dasar bodoh!
Aku mengangkat kepala perlahan, mendongak memandang ke arah luar jendela.
Menatap langit malam yang bersih. Tuhan... aku mohon. Sampaikan pesanku padanya
di sana. Bawa maafku agar ia mendengarnya. Dan katakan. Terima kasih karena menyuruh
Difa selalu menemaniku. Karena tanpa dia, sepertinya aku sangat merapuh atas
kepergianmu.
***
HOAAAAMMM~ Ini apaan yak? Cerpen? E... atau curcol? -_-
Mungkin agak nggak jelas karena aku sendiri juga bingung cerita darimana.
Tapi ini bener-bener nyesek, tapi nggak tahu harus cerita ke siapa dan hanya
ada laptop serta ms.word tercinta yang setia dengarkan isi hati.
Cerpen ini spesial banget buat:
- Someone overthere. Yang sudah pergi mendadak. Hahaha. Sumpah, aku nyesal
dan mohon maaf banget atas perbuatanku dan juga sumpah serapah yang pernah aku
ucap :'D Semoga hidup barumu lebih bahagia ya. Semua masalah juga tuntas. Amin
amin amin! haha
- Untuk... ehm. Sosok 'Difa' *YouKnowWhoYouAre* Tengkyu atas kehadirannya
selama ini. Terima kasih telah mengobati luka dan jadi penopangku selama ini.
Terima kasih juga udah jadi penguat dan moodbooster. Hehe muchlove! ({})
- Seorang teman yang sudah menceritakan semua kebenaran. Mungkin kamu nggak
tahu kalau ceritamu tentang dia itu benar-benar buat aku nyesek. Tapi makasih
karena akhirnya aku tahu semua!
- Untuk para sahabat yang selalu nyemangatin aku. Yang udah jadi penguatku
juga :'*
Dan jangan mikir yang aneh-aneh dulu ya. Karena aku tahu pasti beberapa
orang sudah mengerti atau ngeduga siapa aja tokoh di sini. Ini setengah fiksi
kok, nggak bener-bener real. Lagian juga 'dia' ga drama waktu itu. Emang
beneran selingkuh *-__-bzzzzttt* Dan
yang cerita ttg keluarganya juga ga semuanya bener. So jangan mikir jelek ya :)
Dan juga utk sosok 'Difa'. Kalian mungkin ngeduga si 'anu' (?) itu. But, jgn
asal nerka. Karena adek kelas yg deket sama aku tuh banyak ;p
Thanks for reading guys! Comment please mention @aleastri or @_ALders
@aleastri ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar