Selasa, 12 Maret 2013

"Sorry. Bye..." [Cerpen for 1st Month ALders]




Air mataku menetes. Ku biarkan saja. Karena tubuhku benar-benar diselimuti kebekuan. Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku tak tahu kekuatan darimana aku masih bisa berdiri kini.
Dia seperti menyadari keberadaanku. Sepasang matanya yang selalu menghanyutkanku itu, menatapku tepat. Tapi tak berekspresi. Tak terkejut atau bahkan tersentak sedikit. Membuatku merasa sepertinya ini semua mimpi. Walau sedari tadi aku meyakinkan diri bahwa ini memang hanyalah mimpi. Tapi.... sesak ini benar terasa. Bukan mimpi.
Dia melepaskan pelukannya dari perempuan itu. Membuat perempuan itu agak kecewa dan merenggut manja. Yang ingin sekali ku lemparkan dia ke Semayang, pelabuhan di kotaku.
Dia mendesah pelan. Kemudian mendatangiku masih dengan ekspresi datar. Wajahku basah sudah. Mataku kuyuh. Tak mampu mengeluarkan sumpah serapah yang ingin sekali ku ucap.
"Ngapain ke sini?" Suara serak itu sama sekali tak terdengar bersalah. Membuatku tanpa sadar melayangkan telapak tangan ke pipi kirinya. Perempuan yang tadi dalam pelukannya agak terkejut melihat itu. Sementara dia mengusap pipinya pelan, dan menoleh ke arahku.
Tangisku benar-benar pecah. Aku histeris. Tak memercayai bahwa kekasih tercintaku ini berkhianat. Seperti inikah pembalasan selama satu tahun kita bersama?
Dia menelan ludah, dan menatapku tepat. "Kita putus."
Aku merapatkan gigi. Hei! Kenapa dia yang menyebut kalimat itu!? Harusnya aku!
"Aku udah nggak butuh kamu."
Setelah itu ia berbalik, mengambil jemari perempuan MENJIJIKAN itu -oh sungguh, ingin ku bubuhi beribu umpatan kasar namun sedari kecil aku selalu dilarang seperti itu oleh ibuku- kemudian pergi menjauh. Meninggalkan aku yang benar-benar terluka di taman itu.
Aku tak tahu lagi. Seperti orang gila, aku berteriak histeris dan frustasi. Dengan beningan hangat yang meluncur deras dari sepasang bola mataku. Aku terduduk lemas, dan menangis sejadi-jadinya. Benar-benar lupa bahwa aku berada di sebuah taman. Hanya beberapa orang yang ada, namun tetap saja mereka memerhatikanku. Tapi aku tak peduli!
APA MAKSUD SEMUA INI?! Aku ingin mengamuk saja. Pada apapun, pada siapapun. Bagaimana bisa Gilang Wahyuda yang sangat ku cintai dan ku banggakan melakukan hal ini?! Dia yang selalu lembut, perhatian, dan menomor satukan aku. Malah mencampakkanku begitu saja.
KYAAAAAAA
"Angel?"
Aku terkejut. Kemudian mendongak perlahan. Seorang pemuda tampan berdiri tepat di depanku. Menatapku dengan kening berkerut.
"Kamu kenapa Ngel?" tanyanya cemas dan duduk di depanku. Kedua tangannya mengusap-usap kedua pundakku yang masih bergetar.
"Di... Difa..." panggilku tersendat menyebut namanya. Sedetik kemudian aku langsung menghambur dalam peluknya. Tak peduli kami ada di depan umum. Aku benar-benar sudah lupa diri.
Pemuda ini, Difa namanya. Sahabatku sejak SMP. Dia yang selalu menemaniku tiap harinya. Sebenarnya dia juniorku. Dia pernah menyatakan cinta padaku dulu. Namun aku sudah dimiliki Gilang. Tapi bukannya menjauh, Difa justru meminta menjadi sahabatku. Walau ia sering kali bertengkar dengan Gilang.
Difa menuntuku berdiri, lalu membawaku duduk di sebuah kursi taman. Ia mencoba menenangkanku yang tak bisa berhenti menangis. Dengan kesusahan, aku terus menyebutkan nama Gilang. Difa tak berkata apapun. Hanya mengusap-usap pundakku. Dan kala melihat aku sudah mulai berhenti terisak, ia berbisik lembut.
"Ngel.. udah ya. Minggu depan udah ujian loh. Jangan dipikirin lagi."
Aku tak menjawab. Hanya berusaha menghentikan isakku sambil bersandar di dadanya.
"Lupain dia, Ngel. Kamu bakal dapat yang terbaik dari dia."
Aku menutup mulut dengan telapak tangan, mencoba menahan kembalinya isakku yang meleleh. Tapi... bukankah tadi aku hanya menyebut nama Gilang tanpa menjelaskan apapun? Kenapa Difa sudah berkata begitu?
Ah sudahlah. Aku tak ada waktu memikirkan itu. Kini yang ingin ku lakukan hanyalah menangis. Menangis. Dan menangis.

Ujian sudah di depan mata. Teman-temanku mencoba menghibur dan menyemangatiku. Kini yang ku lakukan hanya di dalam kelas, membaca buku. Walau tak ada materi apapun yang menyangkut dalam benakku. Aku tak ingin keluar kelas. Aku tak mau bertemu dia. Kenapa juga kami harus satu sekolah? Sialan.
Semua berjalan dengan datar. Teman-temanku berdebar menghadapi ujian kelulusan. Sedangkan aku? Sama sekali tak merasakan apapun. Hatiku sudah mati. Aku bahkan tak mau memikirkan apapun.
Beruntung aku punya teman-teman sekelas yang solid dan mengerti. Saat pengawas lengah, mereka dengan sukarela bertanya soal nomor berapa yang belum ku jawab. Mereka membantuku. Membuatku ingin menangis saja. Difa juga berkali-kali memberiku semangat. Bahkan pagi sebelum pergi ujian, Difa datang ke rumahku dan membawakan sebungkus roti.

Semua berlalu begitu saja. Tak ada yang berkesan. Kebahagiaanku seperti menghilang. Sejak hari itu, aku tak pernah bertemu dengannya. Ku dengar beberapa temanku sempat mendatanginya dan yang laki-laki juga sempat menghajarnya. Aku tak peduli. Tak kurasakan apapun. Marah? Kesal? Senang? Kasihan? Tidak. Sama sekali tidak. Aku benci pemuda itu. Dan aku benar-benar sudah tak mau tahu lagi apa yang dia lakukan!

Difa menatapku sendu. Sedangkan aku hanya menunduk sambil memegangi koper besarku berdiri di depan rumahku yang sudah dikosongkan.
"Kenapa harus pergi sih?" tanya Difa lirih.
"Aku harus ikut Bapak ke daerah tambang di Penajam. Aku nggak bisa hidup sendiri. Ibu sama semua adikku tinggal di sana."
"Bukannya selama setahun ini begitu? Kamu hidup sendiri di rumahmu. Kamu mandiri Angel. Dan kamu sudah dewasa. Kenapa harus ikut secara tiba-tiba?"
"Ini bukan tiba-tiba Difa. Aku sudah pikirkan ini sejak kelas tiga."
Difa diam sejenak, lalu mendengus. "Sejak kelas tiga atau sejak putus sama Gilang?"
"Difa!" aku segera memotong dengan nada tinggi. "Jangan sebut namanya di depanku," ucapku sengit dan menatapnya tajam. Hatiku remuk seketika mendengar nama itu. Sungguh.
Difa terdiam, kemudian menghela nafas. "Ngel... ada aku di sini. Aku selalu siap buat kamu."
Aku menggeleng pelan. "Maaf Dif. Tapi..." Kutarik nafas panjang,  "aku nggak bisa move on," lanjutku lirih penuh getaran.
Difa menghela nafas lagi. Sedangkan aku menggigit bibir kuat. Mencoba membendung butiran yang mengepul di kelopak mataku. Tak akan. Aku tak mau membiarkan setetespun air mata meluncur karena dia lagi. Tak akan.

Ku coba membuka lembar baru di daerah baru ini. Kehidupan baru yang benar-benar jauh dari pemuda itu. Aku mencoba membuka diri pada orang-orang baru yang tak pernah ku kenal. Perlahan, hatiku mulai menguat kembali. Difa masih menghubungiku. Kami tetap berkomunikasi walaupun jauh. Satu persatu, beberapa pemuda mulai datang dalam hidupku. Ada yang menarik hatiku, ataupun yang mencoba menarik hatiku.
Tapi aneh. Kenapa rasanya berbeda? Aku memang tertarik. Tapi tak ada getaran yang pernah ku rasakan dulu. Getaran membahagiakan itu. Perasaan bergejolak itu. Kenapa rasanya hambar?
Aku coba move on. Menerima cinta beberapa pemuda. Namun tak ada yang bertahan lama. Selalu kandas di tengah jalan. Dengan alasan sama. Mereka tahu bahwa aku masih terbayang masa lalu.
Tapi menurutku tidak! Aku sudah melupakan pemuda itu. Bahkan aku sudah tidak merasakan apapun padanya. Aku tak peduli dia sedang apa, bersama siapa, dan dimana. Aku. Sudah. Tak. Peduli.
Tapi kenapa orang-orang masih berkata bahwa aku stuck di dia? Bahkan ibuku pernah menasihatiku bahwa sudah waktunya aku benar-benar 'membersihkan' hati. Menghapus kenangan pahit itu dan mengobati luka lama. Menurutku aku sudah mampu. Namun orang-orang masih saja berkata kalau sebenarnya aku masih terbayang dia.
Kenapa begitu sih!?

Satu tahun berlalu. Semua masih sama. Aku jatuh hati pada beberapa laki-laki. Walau masih saja aku terus mencari getaran 'itu'. Dan belum ku dapatkan. Apa benar-benar sudah menghilang? Apa aku telah mati rasa?
Aku sudah menginjak kelas dua SMA. Difa masuk ke SMA Bakti. Yang pernah ku dengar adalah sekolah dia. Aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi kalau bercerita tentang sekolah, Difa tak pernah membahas dia. Dan aku berterima kasih akan itu.
Tapi mendadak malam itu datang. Entah datang darimana. Aku tak tahu.
Hapeku berdering, menandakan ada panggilan masuk. Keningku mengernyit. Karena yang tertera adalah nomor pribadi. Dan entah kenapa hatiku bergetar. Getaran yang sudah menghilang itu. Ada apa ini?
Ku raih hape itu, menekan tombol dial dan mendekatkannya ke telinga.
"Halo?"
"....."
Keningku berkerut. Tak mendengar sapaan. Aku diam sejenak. "Halo?" Kini nada suara ku tinggikan. Tapi masih tak ada suara. Aku mendengus, dan ingin mematikan sambungan. Tapi...
"Halo..."
Garis wajahku mengendor seketika. Tubuhnya langsung menegang. Tidak. Ini bukan drama. Tapi benar.... aku tahu suara ini. Aku langsung mengetahuinya. Sangat mengenalnya.
"Angel?"
Wajahku kaku seketika. Mataku menajam, dengan aliran darah yang entah mengapa terasa menaik tinggi. "Siapa ini?" desisku sengit.
Terdengar nafas yang seperti tekekeh geli. Membuatku makin geram.
"Mr. X."
Aku memejamkan mata. Dasar bodoh. Sejak kapan di namamu ada huruf X? Kamu pikir aku bisa dibodohi olehmu lagi?
"Untuk apa kamu telpon aku?" tanyaku makin tajam.
"Ckckck, Ngel. Inikah sikapmu nerima telpon?" tanyanya dengan nada geli. Aku hanya mendengus.
"Apa kabar?"
"Penting ya?" balasku masih tak bersahabat. "Siapa sih ini?" Iya, aku memang tahu ini siapa. Tapi entah mengapa hati kecilku ingin sekali mendengar ia menyebut namanya.
"Mantanmu."
Aku mendengus tajam, "aku nggak punya mantan."
"Masa lalumu."
"Yang mana? Yang kelam?"
"Kamu udah benci banget ya sama aku?"
Aku tertawa datar. "Memangnya kamu sepenting apa sampai harus aku benci? Bahkan aku nggak pernah kenal kamu."
Hening terdengar. Tak ada suara. Aku tahu. Harusnya sekarang dengan tegas aku berkata tak usah mengganggu dan menghubungiku lagi. Lalu kemudian aku mematikan sambungan begitu saja. Tapi... seperti ada yang menahanku untuk melakukan itu. Justru sebaliknya. Aku ingin percakapan ini berlangsung lama.
"Sekarang kamu ada di mana?"
"Urusanmu?" sahutku ketus.
"Bisa ketemu?"
"Nggak akan," jawabku segera, "aku udah nggak di Balikpapan."
Ia mendesah panjang, "jadi benar kamu ikut keluargamu?"
Keningku langsung berkerut. "Tahu darimana kamu?" tanyaku menajam. "Dan juga... dapat nomorku darimana?"
Hening lagi yang terdengar. Dia pasti terdiam. Sedangkan aku mencoba menyusun logika atas pertanyaanku tadi.
"Sahabat tercintamu. Percayakah?"
Aku mengernyit lagi, "maksudmu?"
"Junior kesayanganmu itu. Si tengil sok yang selalu ikut campur masalah kita dulu."
Mataku melebar. Langsung ada sebesit nama dalam otakku. Difa.
"Dia yang ngasih info tentang kamu."
Aku tenganga sesaat, "nggak mungkin," desisku tajam.
"Kenapa nggak mungkin? Kenyataannya begitu. Apalagi sekarang dia kembali jadi adik kelasku."
"Bodoh. Kamu pikir aku lebih percaya kamu daripada Difa?"
"Haha. Dari dulu selalu begitu, kan? Kamu selalu mengutamakan Difa," katanya tajam. Membuatku mendelik geram.
"Itu urusanku," kataku tak kalah tajam.
Diam sejenak terdengar. Sebelum akhirnya ada helaan nafas panjang.
"Maaf Ngel..."
Aku terdiam. Hatiku berdesir. Namun tak lama malah menjadi sesak perlahan. Membuat mataku berembun. Kata itu. Kata yang diam-diam aku harapkan selama ini.
"Jaga diri baik-baik ya. Semoga dia bisa buat kamu bahagia."
Aku makin tertegun. Nada itu. Nada yang dulu selalu ia pakai saat bersamaku. Tapi....
"Apa maksudmu?" nadaku entah mengapa melemah. Dadaku berdebar tak nyaman.
"... Bye, malaikatku.... tuttt... tutttt...."
Hapeku terjatuh lemas dari genggaman. Aku terpaku. Tapi tak mengerti. Apa maksudnya? Orang itu mau apalagi sih? Setelah aku sudah mencoba menjauh kenapa dia harus datang lagi membawa kata-kata aneh yang membebani pikiranku?

Aku kembali ke Balikpapan. Bertemu Difa dan teman-temanku. Difa mulai terlihat berubah. Dia lebih tinggi dari saat terakhir aku bertemu dengannya. Aku tak memberitahunya bahwa malam itu dia menelpon. Aku juga tak meminta penjelasan maksud kata-kata dia bahwa Difa memberitahu hal-hal tentangku. Aku tak mau memikirkannya lebih lama.
Saat itu tepat sekali reuni SMP tiga angkatan. Angkatan di atasku, angkatanku, dan angkatan Difa. Awalnya aku tak mau datang. Tapi atas bujukan teman-teman, dan juga tawaran Difa bahwa dia akan datang bersamaku, membuatku luluh.
Di sana aku bertemu temanku yang juga murid SMA Bakti. Namanya Marsha. Awalnya kami beramai-ramai mengobrol dan melepas rindu. Diam-diam aku memerhatikan keseluruhan peserta reuni. Difa berkumpul dengan angkatannya. Dan beberapa juga membentuk kelompok untuk bernostalgia. Keningku agak berkerut. Tak menemukan dia.
Tak lama, satu persatu teman-temanku beranjak dan pergi. Entah itu mengambil minum ataupun menyapa yang lain. Tinggal aku bersama Marsha.
"Ngel, tahu nggak? Si Difa jadi most wanted loh di Bakti!" lapor Marsha membuatku melirik ke arahnya.
"Oh ya?" tanyaku mengangkat alis.
Marsha tersenyum dan mengangguk. "Kan dia emang ganteng. Apalagi anaknya ramah. Hati-hati tuh kamu," goda Marsha membuatku tertawa. Aku dan Difa memang sangat dekat dan akrab, membuat orang-orang mengira bahwa kami punya hubungan istimewa.
"Em... siapa aja yang masuk Bakti dari sekolah kita?" entah mengapa aku bertanya seperti itu.
"Banyak. Yang adek kelas atau angkatan kita?"
"Angkatan kita." Lidahku berujar begitu saja. Aku tak bisa menahan. Semua seperti memaksa untuk bertanya lebih lanjut.
"Em... ada Cindai, Bagas, Chelsea, Rafli, banyak deh!"
Aku menggigit bibir sejenak, "siapa lagi?"
Marsha diam sejenak, seperti mengingat. "Dulu sih... ada Gilang," nada suaranya memelan, dan melirik ke arahku. Aku langsung melengos kasar. Walau sejujurnya aku ingin tahu kelanjutannya tentang dia. Entahlah. Aku ingin tahu kabarnya saja.
"Tapikan sekarang dia udah nggak ada."
Aku langsung menoleh seutuhnya pada Marsha dan mengangkat alis tinggi. "Maksudnya?"
"Diakan pergi, Ngel," jawab Marsha sembari meraih hape karena ada pesan masuk. "Di Bakti dia cuma tiga bulanan doang. Kasihan banget ya."
Aku mengernyit. "Emang kenapa?"
"Em... bentar," Marsha meminta waktu membalas pesan.
"Sha!" panggilku tak sabar membuat Marsha mendongak.
Marsha mendesah pelan, seperti mengerti. "Dia pindah ke Padang."
Mataku membelalak.
"Orangtuanyakan cerai."
"Bukannya dari SMP ya?" tanyaku yang memang dulu dia pernah menceritakan hal ini padaku.
"Makin parah Ngel. Tapi... eng... ini gosipnya doang sih," Marsha memelankan suara membuatku mendekatkan wajah ke arahnya. "Katanya Mamanya tuh ngegoda suami orang lain. Diakan awalnya ikut mamanya. Nah, mamanya kawin lagi dan dihujat. Papanya nggak mau dia ikut jelek. Karena itu, dia dibawa ke Padang."
Aku terdiam. Sementara Marsha memasang wajah serius.
"Dia kasihan banget, Ngel. Apalagi adek tunggalnya sakit-sakitan. Tapi nggak tahu sih sakit apa. Katanya sih sakit parah gitu."
Aku makin terdiam. Seperti ada yang menohok dadaku keras. Aku sangat tahu. Dia mencintai adiknya itu sepenuh hati. Karena rasa kecewa pada perpisahan orangtuanya, harapannya tinggal tertuju pada sang adik. Dia bilang, dia lebih memilih hidup bersama adiknya daripada memilih satu dari dua orangtuanya. Walaupun ia harus bekerja menghidupi sang adik.
"Semoga aja deh Ngel dia dapat kehidupan lebih baik sama Papanya."
Aku tak menyahut. Hanya diam terpaku. Sampai ku rasakan tepukan halus di pundakku membuatku agak terkejut dan menoleh.
Difa berdiri di sana. Tersenyum manis dengan lembut. Marsha langsung bereaksi belaga batu menggoda. Tapi aku masih diam seribu bahasa.
"Eng, Ngel. Aku ke sana dulu ya. Bye!" pamit Marsha lalu segera ngacir pergi. Sebelumnya ia mengerling menggoda ke arah Difa, yang dibalas Difa dengan senyuman malu.
Setelah itu Difa duduk di sampingku. Aku masih diam. Masih merasa amat sesak. Mungkin membaca itu, Difa menegur.
"Kenapa Ngel?" tanyanya lembut sambil menepuk pelan pundakku.
Ku tolehkan kepala. Dan pertanyaan itu langsung tercetus. "Gilang ngomong apa sama kamu?"
Difa nampak terkejut setengah mati. Tangannya di atas pundakku langsung terjatuh begitu saja. Selama ini aku tak membolehkan SIAPAPUN ITU menyebutkan nama itu di depanku. Tapi kali ini justru aku yang menyebutnya.
"Kenapa dia pergi tiba-tiba? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia nelpon aku malam itu? Kenapa dia bilang selamat tinggal? Kenapa dia minta maaf? Kenapa dia bawa nama kamu? Kenapa!?"
Aku langsung menyerbukan berbagai pertanyaan dengan nada mendesak, membuat wajah Difa makin menegang. Aku dapat merasakan mataku mulai menghangat.
Tak lama kemudian Difa menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia menatapku tepat. "Maaf Ngel...." ucapnya penuh penyesalan.
"Apalagi sih?" tanyaku frustasi, "kenapa semua minta maaf? Kenapa memangnya!?"
Difa nampak meneguk ludah. "Aku... sudah tahu ini sejak SMP."
Mataku melebar. Walau agak kesusahan dan merasa bersalah, Difa mulai menceritakan semua. Misteri yang tak pernah ku ketahui.
Hari itu ia sengaja membawa seorang perempuan ke taman tempatku dan membuat drama. Ia memeluk gadis itu mesra. Dan ketika melihatku hanya menangis tak mengucap kata apapun, ia pun yang mengucapkannya. Bahwa kami harus berpisah. Agar aku membencinya. Dia menelpon Difa, menyuruh Difa datang untuk menemaniku. Dan dia menitipkanku pada Difa dengan syarat Difa tak boleh memberitahukan apapun padaku. Dia jadi bahan cacian di daerah rumahnya. Dan kala ia masuk SMA Bakti, para murid mulai mendengar berita tentang keluarganya. Membuatnya tersudutkan. Alasan kenapa ia memutuskanku. Dia tak mau aku menjadi pacar seseorang yang dicemooh. Apalagi keluargaku adalah keluarga yang terkenal terhormat. Dia merasa tak pantas bersamaku. Melihat aku yang sangat mencintainya, dia memutuskan bahwa dia harus menjauh dan membuatku membencinya. Agar aku mau menjauh dari dia. Akhir penderitaannya usai kala Papanya datang dari Padang. Membawanya pergi. Dan saat itu ia kembali bicara berdua dengan Difa. Difa menjelaskan semua tentangku, dan memberikan nomor telpon karena ia ingin bertemu denganku yang terakhir kalinya. Mungkin aku bisa pulang ke Balikpapan kalau dibujuk dia, begitu pikir Difa saat itu. Tapi aku justru menolaknya kasar. Membuatnya tak bisa menjelaskan yang sebenarnya dan hanya bisa meminta maaf serta mengucap selamat tinggal. Dan setelah itu... dia pergi. Tak lagi ada di sini. Entah di sana bagaimana kabarnya.
"Maaf Ngel... Maaf..." Difa menguap maaf berkali-kali.
Aku tak menjawab. Hanya menangis deras di hadapan pemuda itu. Dadaku sesak. Menyesal dan sakit. Dasar Gilang bodooohhh!!! Keberadaanku itu tulus. Aku mencintaimu dan ingin membuatmu bahagia! Kalau kamu terluka, aku ingin mengobatinya. Dasar bodoh! Kenapa kamu memilih jalan ini? Apa kamu pikir ini demi kebaikanku? Dasar bodoh!
Aku mengangkat kepala perlahan, mendongak memandang ke arah luar jendela. Menatap langit malam yang bersih. Tuhan... aku mohon. Sampaikan pesanku padanya di sana. Bawa maafku agar ia mendengarnya. Dan katakan. Terima kasih karena menyuruh Difa selalu menemaniku. Karena tanpa dia, sepertinya aku sangat merapuh atas kepergianmu.

***

HOAAAAMMM~ Ini apaan yak? Cerpen? E... atau curcol? -_-
Mungkin agak nggak jelas karena aku sendiri juga bingung cerita darimana. Tapi ini bener-bener nyesek, tapi nggak tahu harus cerita ke siapa dan hanya ada laptop serta ms.word tercinta yang setia dengarkan isi hati.
Cerpen ini spesial banget buat:
- Someone overthere. Yang sudah pergi mendadak. Hahaha. Sumpah, aku nyesal dan mohon maaf banget atas perbuatanku dan juga sumpah serapah yang pernah aku ucap :'D Semoga hidup barumu lebih bahagia ya. Semua masalah juga tuntas. Amin amin amin! haha
- Untuk... ehm. Sosok 'Difa' *YouKnowWhoYouAre* Tengkyu atas kehadirannya selama ini. Terima kasih telah mengobati luka dan jadi penopangku selama ini. Terima kasih juga udah jadi penguat dan moodbooster. Hehe muchlove! ({})
- Seorang teman yang sudah menceritakan semua kebenaran. Mungkin kamu nggak tahu kalau ceritamu tentang dia itu benar-benar buat aku nyesek. Tapi makasih karena akhirnya aku tahu semua!
- Untuk para sahabat yang selalu nyemangatin aku. Yang udah jadi penguatku juga :'*
Dan jangan mikir yang aneh-aneh dulu ya. Karena aku tahu pasti beberapa orang sudah mengerti atau ngeduga siapa aja tokoh di sini. Ini setengah fiksi kok, nggak bener-bener real. Lagian juga 'dia' ga drama waktu itu. Emang beneran selingkuh *-__-bzzzzttt*  Dan yang cerita ttg keluarganya juga ga semuanya bener. So jangan mikir jelek ya :) Dan juga utk sosok 'Difa'. Kalian mungkin ngeduga si 'anu' (?) itu. But, jgn asal nerka. Karena adek kelas yg deket sama aku tuh banyak ;p
Thanks for reading guys! Comment please mention @aleastri or @_ALders

@aleastri ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar