Minggu, 21 September 2014

Hello Sunset! Part 4



Keke melangkahkan kaki menuju sekolahnya, karena tadi baru saja dari toko fotokopi. Ia mendapat tugas dari Pak Deni untuk memfotokopi kumpulan soal yang memang disiapkan. Tapi mesin fotokopi di koperasi sekolah sedang rusak, dan Keke disuruh menuju toko yang tak jauh dari sekolahnya. Tadi Keke melangkah dari kamar mandi sendiri, dan tak sengaja bertemu Pak Deni. Pak Deni yang memang akan mengajar di kelas Keke, menyuruh Keke tanpa ditemani siapapun. Keke hanya bisa menurut, walau sebenarnya sedikit mengeluh karena biasanya ia pergi bersama Acha.

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh orang-orang berlari. Keke sontak balik badan, dan terpana. Segerombolan besar siswa SMA Pangeran kembali datang menyerang. Beberapa membawa tongkat kayu, dan beberapa membawa plastik hitam yang sudah pasti isinya batu.

Oh no. Jangan lagi.

Keke segera bersembunyi di pohon peneduh jalan yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Bersamaan dengan itu dari dalam sekolahnya segerombol siswa mulai maju, menyadari kedatangan lawan satu jam sebelum bel pulang sekolah berbunyi. Mungkin mereka memang sudah saling menentukan waktu.

Keke mengedarkan pandangan, mulai panik. Musuh sekolanya sudah mulai dekat, sementara para murid sekolahnya sudah menyebar ke barisan depan. Keke menerka-nerka. Kalau ia kabur sekarang dan berlari memasuki sekolah, kemungkinan ia akan selamat.

Kekepun tak mau kehilangan kesempatan itu. Ia keluar dari persembunyian. Namun sial beribu sial. Saat ia sudah mulai berlari, lengannya tiba-tiba dicekal seseorang. Dengan nafas tercekat Keke menoleh, dan membelalak melihat seorang siswa dengan seragam SMA Pangeran dan sebuah kayu di tangan kanannya tersenyum miring menakutkan.

"Elo cewek yang kemarin, kan? Yang diselamatin Rio sama Gabriel?" tanya siswa itu, membuat tubuh Keke kaku seketika.

BUK

Satu tinjuan itu, bersamaan dengan lengan Keke satu lagi yang ditarik segera, membuat Keke terkejut. Gabriel tiba-tiba sudah berdiri di depannya, melindungi gadis itu. Siswa Pangeran yang tadi terkena tinjuan Gabriel segera membalas. Tapi Gabriel segera menendang pemuda itu, membuat pemuda itu tersungkur. Gabriel lalu segera berbalik, menatap Keke yang gemetaran.

"Lo emang bandel ya! Ngapain lagi sih elo!?" marah Gabriel membuat Keke bergidik takut.

Keke melotot kala melihat seseorang dari pihak musuhnya berdiri tak jauh di belakang Gabriel, dengan mengacungkan tongkat kayu tinggi-tinggi.

"Kak, awas!" pekik Keke mendorong tubuh Gabriel menjauh sampai Gabriel terjatuh. Keke lalu menunduk, menghindari pukulan dari siswa itu yang melesat. Keke lalu dengan sekuat tenaga menendang perut pemuda itu, membuatnya terkaget dan melepaskan tongkatnya. Dengan segera Keke mengambil tongkat kayu itu, lalu tanpa segan memukulkan tongkat itu keras-keras ke arah pemuda tadi. Keke sudah tak peduli dan membuang jauh-jauh rasa teganya. Dengan membabi buta ia memukul musuh sekolahnya itu dengan kasar, membuat pemuda itu tersungkur dan merintih sakit.

Keke belum mau berhenti, sampai sebuah tangan menahan lengannya, lalu menarik tangan Keke turun kembali. Keke menoleh dan terdiam.

"Elo gila ya?! Ngapain elo ikut berantem?!" bentak Gabriel, lalu mengambil alih tongkat di tangan Keke.

Beberapa siswa dari musuhnya datang menghampiri Gabriel saat tahu pentolan sekolah lawannya sudah berada di area pertarungan. Gabriel segera berdiri di depan Keke, lalu seperti kerasukan, ia memukuli para lawannya itu dengan tongkat di tangannya dan juga beberapa tendangan. Keke sempat memekik berkali-kali dan sering menunduk takut, menghindari serangan yang bisa saja mengenainya. Sampai sebuah tangan tiba-tiba menarik Keke, membuat Keke berteriak histeris dan Gabriel segera menoleh.

"Dia sama gue!" teriak orang itu, Rio, lalu segera menarik tangan Keke berlari menjauh. Gabriel tak peduli lanjut, ia kembali melawani para musuhnya itu.

Rio terus berlari sambil menggandeng tangan Keke, dan juga berusaha melindungi Keke dari lemparan batuan yang datang dari segala arah itu. Keke seakan-akan terbang, karena kecepatan lari Rio yang sudah sangat cepat.

Saat melihat satu batu sedikit besar melayang menuju arahnya, Rio sontak memeluk Keke, membuat Keke memekik. Rio lalu melindungi gadis itu, membuat punggungnya terkena lemparan batu tersebut. Rio sempat merintih, tapi lalu tak terlalu memikirkan dan kembali menarik Keke karena gerbang sekolah sudah dekat. Keke menurut, walau ia menatap Rio cemas.

Mereka segera masuk ke dalam sekolah yang sudah ramai para siswa dari kelas sepuluh sampai dua belas, ikut membela sekolah mereka.

Rio membawa Keke masuk ke koridor sekolah. Ia lalu mulai memelankah langkahnya. Kekepun juga ikut memelankan langkah sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah. Tangan mereka masih saling menggenggam satu sama lain.

"Kak, kakak nggak papa?" tanya Keke cemas dan panik, memandang Rio yang nafasnya masih ngos-ngosan.

"Nggak papa kok," jawab Rio segera. Ia lalu membawa Keke ke kelasnya. "Elo, tetep di kelas lo. Jangan kemana-mana, gue bakal pergi lagi," pesan Rio menegaskan dalam-dalam ucapannya.

"Kakak mau kemana lagi?" tanya Keke cemas.

"Ya mau ngelawan merekalah! Lo pikir gue bakal diam aja sedangkan teman-teman gue lagi bertarung?" tanya Rio sarkatis, membuat Keke terdiam. Mereka sudah sampai di ambang kelas Keke.

Kelas yang semula ribut karena kecemasan tentang sekolah mereka, mendadak hening. Pak Deni yang harusnya mengajar tidak hadir di tempat. Mungkin juga memikirkan taruhan siswanya itu. Walaupun para guru tak pernah bisa bertindak lanjut.

Para mata langsung tersorot pada dua tokoh di pintu itu. Dan mereka membelalak kala melihat tangan Rio yang menggenggam jemari Keke.

"Ingat ya, elo jangan kemana-mana," pesan Rio membuat Keke menoleh.

Keke mengangguk, "hati-hati ya kak," ucapnya. Rio hanya tersenyum tipis, lalu beranjak dan berlari pergi menuju gerbang sekolah kembali.

Keke menghela nafas pelan. Melafalkan doa dalam hati semoga Gabriel dan Rio baik-baik saja.

"Ke!"

Keke menoleh, lalu dengan gusar melangkah mendekat. Para murid di dalam kelasnya mulai mendekati Keke.

"Kenapa Ke?" tanya Acha cemas.

Keke menghela nafas sambil duduk di kursinya. Ia hanya menjawab dengan ekspresi lelah dan masih sedikit shock.

"Ke! Gimana rasanya?" tanya Oik duduk di depan Keke.

Keke mengangkat alis tinggi, "maksudnya?"

"Gimana rasanya digandeng sama Rio? Kyaaa bahagia banget ya, Ke?" tanya Oik menggebu-gebu, membuat semua menganga.

"Oik! Keke tuh tadi lagi terancam! Kok malah nanya itu sih," protes Acha sebal. Oik hanya nyengir kuda. Acha kembali menoleh pada Keke. "Elo nggak kenapa-kenapa kan, Ke? Tadi kedapetan anak Pangeran?" tanyanya khawatir.

Keke menarik nafas, lalu mengangguk sambil menghembuskannya. Membuat semua membelalak dan mulai prihatin.

"Terus gimana?" tanya Patton penasaran.

"Tadi untung aja ada Kak Gabriel. Dan tadi, gue ditarik Kak Rio ngejauh dari sana," cerita Keke yang disambut mulut 'o' lebar dari teman-temannya.

"Wih... beruntung banget elo, Ke," ucap Oik dengan nada envy.

"Oik!!!" kini bukan hanya Acha. Nova, Nadya, dan beberapa teman lain juga ikut gemas melihat Oik yang masih saja memikirkan cowok-cowok ganteng itu.

Oik menyeringai, "ya kan hampir semua cewek tuh berangan untuk bisa deket sama FourG! Makanya.... em... Keke beruntung.... Hihihi."

Acha menggeram dan melemparkan tinju kecil ke arah Oik, lalu menoleh lagi ke arah Keke. Kini wajahnya serius. "Ke, elo harus hati-hati. Ini udah yang kedua kalinya. Mulai sekarang, jangan jauh-jauh dari sekolah ini ataupun FourG, kalau elo masih pakai seragam sekolah ini. Ngerti lo?"

Keke mengangkat alis, tapi lalu mengangguk menurut. Walau heran juga. Tumben sekali Acha cerdas. Biasanya gadis satu ini selalu bertingkah ceroboh dan telmi.

"Eh, oh ya Ke. Mana tugas dari Pak Deni? Tadi kita disuruh ngerjain itu, karena Pak Deni harus ke kantor," kata Lintar, selaku ketua kelas, mengingatkan.

Keke melebarkan mata, lalu menepuk keningnya sendiri. "Astaga! Kayaknya tadi jatuh atau ketinggalan gitu deh. Gue panik sih! Tadi gue juga mukul anak Pangeran."

"HA?!"

Keke menarik diri sejenak, mendengar pekikan dari teman-temannya itu.

"Apa Ke? Elo... mukul anak Pangeran?" tanya Nova tak percaya dengan mata melotot.

Keke meneguk ludah, "ya habis... tadi Kak Gabriel itu hampir dipukul dari belakang! Gue nggak bisa diam aja dong! Ya makanya... gue... eum... ya... gitu," jelas Keke terpotong-potong sambil memain-mainkan jari-jarinya.

"Gila lo, Ke! Elo cari mati apa ya?" tanya Nadya tak percaya. Keke menipiskan bibirnya dan menunduk.

"Ckckck. Demi Kak Gabriel, elo nekat ngelawan musuh?" tanya Lintar membuat Keke mendongak dan mendelik. Para murid juga mulai tersadar dengan ucapan itu, dan menatap Keke dengan mata melebar.

"Ih apa sih lo! Bukan itu juga maksudnya!" elak Keke, "sekarang gini deh. Kalau tadi Kak Gabriel kenapa-kenapa, nanti yang bakal ngelindungin gue siapa dong? Kak Rio kan datangnya tadi belakangan. Gue juga mikirin diri sendiri kali!"

Para murid manggut-manggut percaya. Sementara Keke mencuatkan bibirnya. Alasan itu sebenarnya baru beberapa detik lalu ia dapat. Karena ia juga baru sadar. Tadi, karena tak ingin Gabriel terkena pukulan, Keke nekat mendorong Gabriel dan menendang lawannya itu. Astaga bodohnya. Bagaimana kalau preman sekolah yang tadi Keke pukul itu membalas Keke dengan kejam? Bisa habis Keke!

Sabtu, 20 September 2014

Hello Sunset! Part 3



Keke memakan sarapannya dengan gelisah. Ia tak juga tenang di meja makan. Pikirannya melayang-layang. Mengingat ucapan Rio kemarin. Rina menatap Keke heran. Keke memang tinggal bersama keluarga dari adik Mamanya sejak menjadi murid SMA Bintang. Karena lebih dekat dari sekolah. Sementara rumahnya dulu jauh dari sekolahnya, membutuhkan waktu lama. Rina juga tak keberatan. Karena selama ini ia sendiri di rumah. Suaminya bekerja di luar kota, sementara anak sulungnya kuliah dan asrama. Jadi kehadiran Keke membuat rumah ini berisi kembali. Tak sepi terus menerus.

Suara deru motor dari depan rumah membuat Keke tersentak. Mendadak, tubuhnya membeku. Tapi lalu ia merutuk dalam hati.

"Eum... tante... Keke pergi dulu ya," pamit Keke mengambil ranselnya.

Rina yang sekarang sedang sibuk dengan layar iPadnya, menoleh. Keke mencium tangannya, lalu berbalik. Rina kembali memusatkan perhatian pada layar iPad, karena ada sebuah pekerjaan yang harus ia kerjakan.

Keke melangkah dengan jantung bergetar heboh menuju pintu rumah. Ia lalu membuka pintu, dan keluar. Gadis itu terpana. Melihat kini ada empat buah sepeda motor besar menunggu di depan pagar. Keke tak bisa menahan diri untuk tidak melongo. Ia memang sering melihat empat pemuda itu memakai motor besar ke sekolah, tapi tak pernah sekompak ini. Biasanya salah satu membawa motor, dan ada yang membawa mobil atau menebeng dengan yang lain. Namun hari ini, keempatnya membawa motor masing-masing.

Keke meneguk ludah, lalu menutup pintu dan melangkah mendekat. Cakka menyambutnya dengan cengiran lebar. Alvin juga melemparkan senyum selamat pagi. Rio hanya acuh tak peduli di atas motornya. Sementara Gabriel menatap Keke tak sabar karena langkah gadis itu lambat.

Keke membuka pagar, dan keluar masih dengan perasaan tak menyangka.

"Nih," Cakka menyodorkan helm yang ia bawa.

Keke tersenyum kaku, lalu menerimanya. Dan memakainya. Namun ia sedikit bingung harus naik ke motor yang mana.

"Elo sama gue. Cepet," perintah Gabriel membaca pikiran Keke.

Keke tenganga sesaat. Tapi melihat mata tajam Gabriel, membuatnya menurut. Keke duduk menyamping, membuat Gabriel mendecak.

"Elo pikir gue tukang ojek? Duduk yang bener! Jangan nyamping!" perintah Gabriel ketus, membuat Keke sedikit sebal.

Keke mendesah pelan, lalu menurut kembali. Ia memang hanya bisa pasrah. Dikelilingi empat preman sekolah, bisa apa dia? Melawan? Sama saja cari mati kalau begitu.

Setelah melihat Keke sudah duduk manis, dengan jemarinya yang menggenggam erat pegangan di belakang jok, Gabriel menipiskan bibir dan menyalakan mesin lagi. Ia lalu memimpin tiga lainnya menarik gas pergi, membelah jalanan pagi Jakarta.

***

SMA Bintang gempar. Jam tujuh tepat, sekolah sudah ramai. Jadi banyak saksi mata yang melihat kejadian itu.

Motor hijau Cakka dan motor hitam merah Alvin berada di depan. Di susul oleh motor hitam Gabriel dan motor putih Rio. Keempatnya mengendarai empat motor besar walau ada yang bermerek berbeda. Tapi tetap saja terlihat keren di mata para siswi. Namun itu permandangan biasa. Yang membuat gempar tentu saja, motor hitam Gabriel. Biasanya Gabriel selalu sendiri. Dan kini, seorang siswi berseragam SMA Bintang sedang duduk di belakangnya dengan wajah sengaja ditutup kaca helm. Gadis itu menyembunyikan wajah, karena sadar ia langsung jadi pusat perhatian begitu Gabriel menghentikan motor.

Dengan canggung Keke turun dari motor. Gabriel dan yang lain melepas helm mereka, menaruh di atas motor. Lalu juga membuka jaket yang mereka pakai. Sementara Keke masih diam di tempat, dengan helm yang enggan ia buka. Karena kalau sampai wajahnya terlihat, semua orang pasti akan makin heboh.

"Elo mau jadi power rangers pake' helm mulu?" tanya Alvin becanda.

Keke tersenyum masam, tapi lalu dengan enggan melepas helmnya. Dan benar saja. Para mata memandang membelalak, dan tak sedikit yang menganga. Kening mereka berkerut, tak mengenali sosok Keke, walau beberapa sedikit tahu wajah Keke.

"Ayo," Gabriel memimpin di depan. Yang lain mengikuti. Keke masih ragu untuk melangkah. Namun ia tersentak saat Rio menarik pergelangan tangannya, dan memaksanya melangkah di samping Gabriel, di depan tiga orang lainnya.

Gabriel seperti biasa, melangkah tenang dan santai. Alvin melemparkan senyuman pada beberapa yang menyapanya. Rio selalu saja cuek tak peduli. Sementara Cakka sibuk melambaikan tangan pada beberapa siswi yang menyapa pagi.

Keke sedikit menunduk, menyadari kini ia menjadi sorot utama. Beberapa siswi awalnya menyapa cowok-cowok ganteng itu, tapi setelah itu melemparkan tatapan iri ke arah Keke. Keke berjalan kikuk setengah mati, meneguk ludah panik. Gabriel membaca gerakkan itu. Ia mengangkat alis, dan mendekat ke Keke sambil memindai para mata yang menatap gadis itu tajam. Tingkah Gabriel justru membuat para siswa makin ingin gigit besi. Keke juga makin merutuk. Bukannya merasa aman, ia justru merasa makin di ujung jurang! Oke, mungkin FourG melindunginya dari sekolah lawan, tapi begini sama saja melemparkan Keke menjadi korban di sekolah sendiri!

Kelas 10B masih berjalan seperti biasa. Ada yang menyapu piket, ada yang mengerjakan tugas, dan ada juga yang sibuk bergosip. Tapi kala Keke dan keempat pemegang sekolah itu menampakkan diri, sontak semua terdiam. Beberapa bahkan menganga parah. Oik merasakan hatinya langsung mencelos jatuh.

Hening.

"Pulang nanti elo nggak usah kemana-mana, tunggu kita," perintah Gabriel dengan nada otoritas.

"Tapi kak..." protes Keke terhenti, kala mendapat tatapan tajam Gabriel.

"Elo lagi dalam bahaya. Mau lo jadi sandera anak Pangeran?" tanya Gabriel sinis.

Keke mengerucutkan bibirnya kecil, tapi lalu hanya menunduk. 'Gue emang aman dari cowok-cowok Pangeran, tapi sama aja jadi umpan cewek-cewek Bintang!' batinnya menggerutu.

Gabriel hanya mendesah, namun tak berkata apapun lagi dan melangkah pergi. Rio sempat melemparkan tatapan lama pada Keke, tapi lalu mengikuti.

"Tunggu kita ya," pesan Alvin sebelum mengekor.

"Bye Ke!" pamit Cakka ceria, dan ikut menyusul.

Keke menghembuskan nafas, lalu berbalik. Dan melebarkan mata kala melihat tatapan tak percaya dari teman-temannya. Keke hanya melengos, lalu melangkah menuju kursinya dan duduk di sana. Acha masih menatapnya dengan mulut terbuka lebar dan mata membelalak.

Tapi detik berikutnya, dipimpin teriakan Oik memanggil nama Keke, semua murid segera mengerubungi meja Keke, membuat Keke terkejut dan menoleh kanan kiri kebingungan karena teman-temannya langsung melemparkan beribu pertanyaan tentang kejadian tadi.

"Aduuuhhh diem dulu deh. Gimana gue mau jawab?" ucap Keke kesal dan bernada tinggi, membuat suara-suara gaduh itu perlahan menghilang.

"Oke deh oke. Kita diem. Cerita gih," kata Oik membenarkan posisi duduknya yang berhimpit dengan Nadya di kursi Nadya.

Keke menghela nafas panjang, "panjang ceritanya," ucapnya malas.

"Nggak papa!" jawab para murid serempak. Kini bukan hanya para siswi, tapi beberapa siswa juga ikut tertarik.

Keke menggeram kecil dengan sebal, "Pokoknya intinya, mulai sekarang gue bakal selalu bareng sama FourG!"

"HA?!"

Keke sedikit mengkerut kala mendengar jeritan dari segala arah itu.

"Serius lo? Kok bisa? Kenapa?" tanya yang lain bertubi-tubi.

Keke melengos, "ada kemungkinan gue diincer anak Pangeran, dan karena nggak mau hal itu terjadi, mereka mau jaga gue!" jelas Keke sedikit sebal.

Lagi-lagi semua memekik tak percaya.

"Keren banget..." desah Oik kagum, membuat Keke mendelik.

"Jadi... maksudnya... FourG bakal ngelindungin elo?" tanya Lintar.

Keke mendecak kecil dan memainkan bibirnya, tapi lalu mengangguk pelan. Membuat semua mendesah tak percaya dan juga takjub.

"Gila ih! Ini udah kayak di komik-komik Jepang aja sih!" komentar Acha geleng-geleng.

"Ke!" Oik menepuk dan memegang pundak Keke, membuat Keke mengerutkan kening menatapnya. Oik memandangnya serius, "menurut gue, mulai detik ini, elo... bakal jadi princess sekolah!"

"Ha?" kini giliran Keke yang memekik. Semua berkoar setuju dan mengiyakan.

"Bener banget, Ke! Bayangin deh, elo bakal dijaga empat pentolannya SMA Bintang. Dan salah satu dari mereka adalah bosgengnya nih sekolah! Pangeran sekolah pula! Itu berarti... elo bakal jadi cewek yang punya kedudukan tinggi di sekolah ini!" kata Nova panjang lebar dan menggebu-gebu.

"Wih keren nih. Elo bakal dijaga pasukannya Gabriel! Beuuhh," kata Patton terkagum.

"Kayak ftv!"

"Bukan, drama Korea!"

"So sweetnya ngalahin komik Jepang!"

"Keren, Ke!"

Keke menganga, tapi lalu menghembuskan nafas panjang. Mereka pikir ini keren? Keren apanya? Adanya Keke malah akan terus mendapat kesialan dan tekanan batin bertubi-tubi!

***

Sambil melahap mie ayamnya, Keke menceritakan tentang kronologi kejadian pada Acha, sahabat terdekatnya. Acha yang sedang mengunyah mie, terdiam dan tertegun mendengar cerita Keke. Mereka di pojokan kantin yang kini cukup sepi, jadi tak ada yang mendengar. Keke menceritakan dari awal ia bertemu Gabriel-Rio, digendong Rio, dan semuanya. Mata Acha melebar sepanjang Keke bercerita.

"Ya ampun Ke... itu romantis banget!" komentar Acha kala cerita Keke selesai, "Lebih menggetarkan daripada film-film!"

Keke melengos, sepertinya salah ia bercerita pada Acha. Karena gadis ini sama saja seperti yang lain.

"Tapi... kasian elo juga sih. Bakal banyak tekanan nih," lanjut Acha mengelus dagunya. Keke menghembuskan nafas lega karena akhirnya ada yang mengerti keadaannya.

"Elo juga sih Ke! Ngapain sih pergi jauh-jauh dari sekolah? Ke arah SMA Pangeran lagi! Nyetop taksi di gerbang aja emang nggak bisa?" omel Acha membuat Keke bersungut.

"Kemarin tuh gue mau ke supermarket. Dan pas banget anak Pangeran datang!" sahut Keke mencak-mencak.

Acha mendecak, lalu memain-mainkan sendok dan garpunya di mangkuk. Ia berpikir keras. "Emang sih, jalan satu-satunya ya elo harus dilindungin FourG kalau nggak mau ada hal macem-macem. Tapi kalau gini caranya, elo malah jadi tersudutkan kalau di sekolah!"

Keke mengangguk cepat, menyetujui kalimat itu, "tadi pagi aja, cewek-cewek tuh natap gue kayak mau ngebunuh gue! Dari kelas satu sampai kelas tiga," keluh Keke lalu bergidik. "Dan elo tahu nggak sih Cha, gue tuh udah kayak pembantunya Kak Gabriel! Diperintah ini-itu mulu. Gue nurut aja, karena gue juga takut kalau dia udah marah. Diakan serem."

Acha terkikik geli melihat muka cemberut Keke saat menceritakan Gabriel. "Kalau elo ngelawan, elo bakal mati Ke!"

Keke mengerucutkan bibir, dan menghembuskan nafas panjang. Sementara Acha menepuk-nepuk pundaknya, mencoba menyabarkan hati Keke.




Jumat, 19 September 2014

Hello Sunset! Part 2



Keke melangkah menjauhi gerbang sekolah, karena bel pulang sebentar lagi berbunyi. Kelas Keke memang keluar lebih awal karena Bu Romi sudah keluar lebih dulu. Gerbang sudah mulai ramai karena bel berbunyi sekitar tiga menit lagi. Hari ini Keke tidak dijemput tantenya, karena memang sejak masuk SMA ia sudah pergi dan pulang sendiri. Kini gadis itu melangkah menuju supermarket terdekat. Karena ia ingin membeli cemilan saat di rumah nanti.

Namun sial.

Keke mengerutkan kening kala tiba-tiba dari arah berlawanan segerombol laki-laki dengan suara teriakan dan alat di tangan masing-masing berlari menuju SMA Bintang, tepat ketika bel pulang berbunyi nyaring. Keke melotot, menyadari itu pasukan SMA Pangeran, musuh dari sekolahnya. Mereka pasti datang menyerang. Tanpa pikir panjang, Keke segera berbalik. Para murid sekolahnya juga segera berlari masuk kembali ke sekolah, sementara para siswa mulai maju, dan mencari-cari batu di sekitar mereka sebagai senjata.

Tapi Keke sudah terlalu jauh dari sekolah. Tak ada pilihan. Ia segera bersembunyi di balik bak sampah besar di dekatnya. Tak pedulilah bau tak sedap yang langsung hinggap di hidungnya. Gadis itu meringkuk ke belakang bak sampah dengan sangat gemetaran. Para pasukan SMA Pangeran itu berlari melintasinya. Keke terus berdoa agar ia tak terlihat. Kedua tangannya sudah keringat dingin.

Pasukan dari sekolahnya maju, saling baku hantam dengan SMA Pangeran. Memang sudah rahasia umum, bahwa dua sekolah itu sering bertarung.

Keke mengedarkan pandangan, mencari jalan keluar. Ada sebuah gang kecil menuju samping sekolahnya. Gadis itu melongok kecil, pasukan SMA Pangeran sudah melintasinya dan tak ada lagi. Gadis itu segera mengambil kesempatan. Ia berlari secepat yang ia bisa menuju gang itu, dimana kini jaraknya hanya sepuluh meter dari area pertarungan.

"He! Elo anak SMA Bintang?" hardik seseorang membuat Keke menoleh. Keke melotot, melihat dua orang dari pihak musuhnya mendapati dia.

Keke memekik, lalu segera berlari kembali. Kini dua orang itu mengejarnya. Memang sering, kalau cewek dari SMA Bintang ditangkap, akan dijadikan sandera untuk memancing SMA Bintang. Keke terus berlari panik dengan jantung yang bertalu-talu dahsyat.

Keke berhenti di dinding samping sekolahnya. Tak ada jalan lagi. Ia berbalik, merasa tersudut. Sementara dua musuh itu tersenyum kemenangan, dan mendekat perlahan. Keke merasakan lututnya melemas. Ia memejamkan mata, lalu berteriak sekencang mungkin.

"TOLONGGGG!!!"

BUK

Gadis itu terlonjak kaget. Ia membuka mata, dan tercengang saat mendapati sudah ada dua siswa dari sekolahnya menghantam dua orang itu, yang segera mereka balas. Keke makin terpana saat tahu wajah kedua orang itu. Gabriel dan Rio!

"Yo, elo urus dulu tuh cewek! Cepet!" perintah Gabriel sambil menahan satu tinjuan lawannya, lalu menendang satu orang lain.

Rio segera menurut, dan berlari ke arah Keke yang membeku. "Ayo ikut gue!" kata Rio menarik pergelangan tangan Keke.

Namun karena terkaget dan belum siap, Keke terjatuh, membuat Rio menoleh dengan gemas. Keke merintih kesakitan. Rio memandang sesaat Gabriel yang masih melawan kedua orang itu. Rio mendecak, lalu tanpa pikir lagi ia mengangkut tubuh Keke, membuat Keke memekik namun tak bisa melawan. Dengan Keke di gendongannya, Rio berlari. Keke memejamkan mata takut dan membenamkan wajah ke dada Rio, tak mau melihat apa yang terjadi.

Rio tak kembali ke sekolah, karena sama saja mengantar nyawa. Peperangan masih ada di sana. Dengan seorang perempuan di gendongan, Rio sangat tidak mungkin membawa Keke ke sana. Pemuda itu berlari berlawanan dengan arah sekolah. Ia lalu membawa Keke ke arah belokan di persimpangan depan. Rio masuk ke dalam sebuah pos polisi yang sedang kosong. Pos di persimpangan jalan itu memang sudah tak terpakai.

Rio segera menunduk, sementara Keke yang masih gemetaran kini ikut berjongkok di sampingnya.

Rio melongokkan kepala, dan terkejut setengah mati kala gerombolan SMA Pangeran ternyata sudah kembali. Mereka berlarian melintasi pos polisi tempat Rio dan Keke bersembunyi. Kedua tangan Rio segera menyembunyikan Keke, membuat gadis itu meringkuk dalam dan menunduk sedalam mungkin ke dalam dekapan Rio. Rio juga meringkuk, walau masih waspada kalau-kalau ia ketahuan.

Suara keramaian itu samar mulai menghilang perlahan. Dan tak lama pun kembali hening. Menandakan SMA Pangeran sudah benar-benar pergi.

Rio mendesah lega, lalu membuka rengkuhannya, membuat Keke mendongak kembali. Rio menghela nafas, lalu bersandar di dinding pos satpam. Ia mendecak kecil memegangi pipinya yang sempat terkena pukulan tadi.

"Hiks... hiks..."

Rio terkejut, dan menoleh. Keke sudah menangis tersedu di sampingnya. Wajahnya pucat dan masih tegang. Bahunya bergetar seiring isakannya.

Rio mendecak, "aduh... elo jangan nangis dong," ucapnya sedikit tak suka. Karena bagaimanapun, Rio laki-laki sejati, yang tak suka melihat perempuan menangis.

"Aku... hiks... aku... takut kak..." jawab Keke tersendat dengan isakan, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Rio sedikit tersentak melihat lengan kiri Keke terluka, mungkin karena jatuh tadi. Pemuda itu mendesah kecil, "udah lo tenang. Elo aman sekarang. Oke?" tanya Rio menenangkan sambil memegang kedua pundak Keke. Tapi Keke masih menangis dengan kedua tangan menutupi wajahnya.

Rio merogoh kantong seragamnya. Lalu tak lama menyodorkan sebungkus permen ke arah Keke. "Hei," panggil Rio membuat Keke membuka tangan dan mendongak.

Keke agak tertegun, melihat sebungkus permen disodorkan Rio padanya.

"Elo jangan nangis," kata Rio mengusap puncak kepala Keke sesaat, lalu menaruh permen itu di genggaman Keke.

Keke hanya diam menerimanya walau masih sesenggukkan.

Hape Rio berdering, membuat perhatian Rio tertuju padanya. Ia lalu merogoh hape, dan setelah membaca nama kontak, ia menekan tombol hijau dan mendekatkan hape ke telinga.

"Ya?" jawab Rio pada telpon. "Iya masih sama gue..... Oh, oke."

Setelah itu Rio mematikan sambungan, lalu memasukkan kembali hape ke saku seragamnya. Dan menoleh pada Keke.

"Kita harus kembali ke sekolah sekarang. Tenang, ada gue di samping elo," kata Rio membuat Keke tertegun sejenak.

Rio berdiri, lalu menuntun Keke ikut berdiri. Keke sedikit merintih karena tadi kakinya terluka saat jatuh. Lengan kirinya juga ikut terluka.

"Elo bisa jalan nggak?" tanya Rio memastikan.

Keke menunduk, lalu mengangguk pelan sambil mengusap pipinya yang basah. Ia mulai melangkah, walau sedikit pincang karena kaki kirinya terkilir dan masih terasa sakit.

Rio mendecak melihat itu, "mau gue gendong lagi?"

Mendengar tawaran itu Keke segera mendongak, lalu menggeleng cepat. "Nggak usah kak," tolaknya segera.

Rio melengos, tapi lalu mengambil tangan Keke, dan melingkarkannya di pundak Rio. Keke terkejut sejenak, tapi hanya diam menelan ludah. Rio mulai menuntun Keke yang masih tertatih menuju gerbang sekolahnya.

Keke menatap wajah pemuda itu dari samping. Entah kenapa, rasanya hati ringan sekali sekarang.


***
Keke menunduk dalam kala Rio membawanya ke salah satu kelas yang sudah kosong. Di dalamnya sudah ada Gabriel, Cakka, serta Alvin yang menunggu. Keke tak berani mendongak. Entahlah. Ia masih merasa ketar-ketir karena kini berada di antara empat preman sekolah. Bukannya merasa aman, justru Keke merasa ada dalam bahaya. Rio masih menuntunnya pelan memasuki kelas.

Melihat kedatangan Rio, Gabriel dan yang lain segera menegakkan tubuh dan memandangi gadis yang dibawa Rio itu. Rio mendudukkan Keke di salah satu bangku. Keke masih menunduk dalam, sambil menggenggam erat permen yang tadi diberi Rio dan belum juga dibukanya.

"Nih," sebuah tangan terulur dengan segelas air mineral membuat Keke melirik sejenak. Cakka sedang tersenyum menawarkan minum untuk Keke.

"Elo minum dulu. Pasti masih panik ya? Muka lo pucet banget," kata Cakka lembut, "tenang. Nggak ada apa-apa kok isinya. Nih," Cakka makin menyodorkan air mineral itu.

Keke meneguk ludah, tapi hanya menurut. Mengambil gelas itu dengan sedikit gemetar. Ia meneguk sedikit, lalu menaruh gelas itu ke atas meja di depannya.

Gabriel menghela nafas, lalu mendekat. Ia menggeser gelas tadi, lalu menaruh kedua tangan di meja di depan Keke, membuat Keke menunduk takut. Gabriel melihat badge di seragam Keke. Ia lalu mendengus kecil.

"Pantes. Masih kelas sepuluh toh," kata Gabriel membuat Keke sedikit takut, "he! Elo tadi mau cari mati ya? Nggak tahu apa kalau Pangeran emang mau nyerang kita di Minggu ini? Semua itu udah waspada sepanjang Minggu ini. Jangan keluar sekolah kalau keadaan belum ramai. Tadi gerbang masih sepi elo udah ngeluyur jauh aja. Ke arah sekolah mereka pula. Elo-"

"Yel," Cakka segera memotong omelan panjang Gabriel, "elo ngomong alus dikit nggak bisa? Dia tuh cewek. Mukanya masih pucet tuh. Perasaannya yang masih kacau, makin kacau dengar omelan lo."

Gabriel melengos, lalu kembali memandang ke arah Keke yang masih menunduk. Terlihat sekali ketegangan dari bahasa tubuh Keke. Bahkan kedua kaki gadis itu gemetar pelan.

Rio hanya diam berdiri bersandar di salah satu meja dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana abu-abunya. Sementara Alvin duduk di samping Rio memandangi Keke terus.

Cakka menepuk pundak Keke, membuat Keke sedikit terkejut dan melirik sedikit namun tak berani mendongak. Cakka mengelus pundak Keke lembut, "elo tenangin diri aja dulu. Kita cuma ngingetin aja, lain kali jangan gegabah. Sekarang Pangeran lagi mau balas dendam sama kita. So, elo harus hati-hati," nasihat Cakka lembut, berbeda sekali dengan Gabriel tadi.

"Kayaknya sekarang harus super hati-hati deh," Alvin tiba-tiba besua, membuat Gabriel, Rio, dan Cakka menoleh ke arahnya dengan kening berkerut. Alvin mendesah, lalu sedikit mengubah posisi duduknya. "Tadi ada dua murid dari Pangeran ngejar ni cewek. Dan secara kebetulan Rio liat, dan ngejar sama elo Yel. Kalian berdua ini mukanya paling dihapal di Bintang. Dan kalian ngelindungin seorang cewek kelas satu dari Bintang juga. Besar kemungkinan, mereka pasti ngira cewek ini ada sesuatu sama kalian," jelas Alvin panjang lebar.

"Maksud lo?" tanya Gabriel kurang mengerti.

"Maksud gue, mereka bakal berpikir kalau cewek ini ada hubungan sama kalian. Makanya, kalian ngelindungin cewek ini. Kalian berdua sekaligus. Bisa jadi, cewek ini malah jadi incaran mereka untuk ngebalas kita nanti," jawab Alvin menjelaskan, membuat Keke tercengang.

Tubuh Keke kaku kembali. Wajahnya sudah menggambarkan ia menahan tangis. Jari-jarinya mengerat makin kencang. Rio yang melihat itu, mulai merasa tak enak. Karena telah membawa gadis yang sebenarnya sama sekali tak bersalah, bahkan tak tahu apapun ke dalam peperangan ini.

"Bener tuh," kata Cakka setuju, "kalau Rio aja yang ngelindungin, atau cuma elo aja, mungkin itu biasa. Tapi kalau kalian berdua, yang udah jelas pentolannya ni sekolah, sama-sama ngelindungin satu cewek yang sama, itu berarti ada sesuatu dari cewek ini."

Gabriel mendecak, lalu melengos panjang, "terus kita harus apa? Muka ni cewek pasti udah dihapal!"

Keke makin menunduk dalam. Ia menggigit bibir kuat. Sangat merasa ketakutan. Ia seperti masuk ke dalam kandang buaya kalau begini caranya. Rasanya ingin menangis saja.

Rio menghela nafas, "ya cuma ada satu cara. Kita harus ngelindungin ni cewek."

Keke membelalakan mata, lalu mendongak. Rio menoleh, menatapnya. Keke meneguk ludah, tapi lalu menunduk kembali.

Gabriel menghela nafas, lalu kembali menatap gadis yang terus menunduk di depannya ini. Gabriel memajukan badan, membuat Keke mundur dan sudah menempelkan punggung pada kursi yang ia duduki.

"Siapa nama lo?" tanya Gabriel.

Keke menggigit bibir sejenak, "Keke..." jawabnya bergetar.

"Ha? Siapa?" tanya Gabriel makin maju.

"Keke... kak..." jawab Keke kini sedikit lantang, walau masih bergetar.

"Keke, Yel," kata Alvin yang mendengar ucapan itu.

Gabriel manggut-manggut. Walau sebenarnya ia memang sudah mendengar nama gadis ini. Tapi karena gadis ini yang masih terlihat ketakutan, ia sengaja mendekatkan tubuhnya.

Gabriel menegakkan tubuh kembali, walau kedua tangan masih ditaruh di atas meja. "Dongak lo. Gue mau liat muka lo," kata Gabriel datar. Ia tadi memang sempat melihat wajah gadis ini, tapi hanya sekilas.

Keke diam-diam menghembuskan nafas. Lalu dengan perlahan ia mendongak. Dan saat matanya bertemu dengan sepasang mata Gabriel, entah mengapa tatapan itu jadi terkunci.

Gabriel tertegun kala sepasang mata bulat Keke menatapnya. Matanya melebar perlahan. Ia lalu meneliti garis wajah itu benar-benar, lalu tanpa sadar memajukan muka, membuat Keke refleks menarik wajah dengan nafas tercekat. Alis Gabriel sedikit berkerut. Tiba-tiba raut wajahnya berubah. Tapi hanya sejenak saja. Karena ia lalu menipiskan bibir dan mendesah.

"Nama lo Keke. Kelas berapa?" tanya Gabriel datar.

Keke meneguk ludah lagi, "Sepuluh B," jawabnya takut-takut.

Gabriel mengangguk-angguk kecil, lalu menegakkan tubuh kembali. Ia lalu menoleh ke ketiga sahabatnya,  "Gue ke kantor dulu, ngurus anak-anak yang ketangkep guru. Siapa yang mau nganter ni anak?"

Mendengar ucapan itu Keke sedikit melebarkan mata, tapi hanya diam.

"Gue bisa!" kata Cakka sambil nyengir.

"Ah jangan, Yel. Ni anak kalau cewek bukannya diajak pulang, malah dibawa lari pasti!" sahut Alvin segera, membuat Cakka mencibir sebal.

"Gue aja," ucap Rio menegakkan tubuh.

"Tapi elokan lagi nggak bawa motor, Yo," kata Cakka.

"Bawa punya gue," ucap Gabriel lalu merogoh saku celananya, dan melemparkan benda logam ke arah Rio, dengan sigap Rio menangkapnya. "Bawa sampai rumah. Nanti elo balik ke sini. Awas kalau sampai lecet!"

"Lecet apanya? Mobil lo atau ni cewek?" tanya Cakka memastikan sambil menggoda.

Gabriel mendengus, "ya ceweknya!" sahutnya sedikit sebal, membuat Cakka terkekeh kecil.

Keke yang mendengar itu hanya diam menunduk. Walau perasaannya masih tak tenang. Wajahnya juga masih pucat pasi. Rio lalu beranjak, mendekat ke arah Keke.

"Kaki lo masih sakit?" tanya Rio memandang kaki Keke. Keke hanya menggeleng pelan.

"Elo masih takut ya?" tanya Cakka geli, "tenang aja kali. Kita nggak makan orang kok. Nyantai aja," hibur Cakka menenangkan.

Keke menghela nafas dalam, dan mengangguk, "iya kak..." jawabnya pelan.

"Ya udah yuk," ajak Rio yang sudah berdiri menunggu.

Keke menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya samar. Ia lalu membenarkan letak ranselnya, dan berdiri. Rio mulai melangkah, dan Keke mengekori di belakang.

"Hati-hati ya!" pesan Cakka sebelum mereka keluar dari kelas.

Gabriel hanya diam memandangi kepergian Keke. Walau ada sebuah pikiran menggelayut dalam benaknya.

Sementara Rio terus melangkah santai di koridor yang sepi menuju parkiran. Keke terus menunduk, dengan jarak dua langkah di belakang Rio. Kejadian yang barusan ia alami seperti mimpi saja. Sekolah sudah sepi. Hanya ada beberapa kendaraan terpakir. Mungkin itu milik siswa yang tadi kedapatan guru sedang bertarung. Mereka masih diinterogasi di kantor. Keke berjalan seakan setengah sadar. Jemari kirinya masih menggenggam sebungkus permen pemberian Rio tadi. Yang dapat dirasakannya jelas. Yang menegaskan, ini nyata. Dan Keke benar-benar mengalami kejadian aneh dan abstrak itu sekitar dari sejam yang lalu.

Rio melangkah menuju Mercy hitam Gabriel. Ia mematikan alarm mobil, lalu melangkah menuju pintu pengemudi dan membukanya. Keke sedikit tersentak saat sudah sampai. Ia lalu mematung di samping Mercy itu, merasa ragu.

Rio yang melihat Keke belum juga bergerak, mendecak tak sabar. "Ayo masuk. Gue masih harus balik ke sini lagi."

Keke menggigit bibir, tapi lalu menurut. Ia membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya. Rio juga masuk ke dalam kursi pengemudi, dan menutup pintu. Ia menyalakan mesin, dan mulai menuntun Mercy Gabriel keluar dari SMA Bintang. Setelah mendengar alamat rumah Keke, Rio mengarahkan mobil ke tempat yang dimaksud.

Sepanjang jalan mobil itu hanya hening. Keke yang tadi sangat ketakutan, sudah mulai tenang. Ia bersandar di kursi mobil, dan menatap jalanan di depannya dengan tatapan menerawang.

Diam-diam Rio melirik dari sudut matanya, memandangi gadis yang sedang larut dalam dunianya sendiri itu. Ia mendesah dalam hati. Kasihan sekali gadis ini. Padahal belum sampai satu bulan menjadi murid SMA Bintang, tapi sudah masuk dalam masalah. Masalah besar pula. Hidupnya pasti akan tak tenang untuk masa putih abu-abunya nanti.

Tak lama, Keke menyuruh Rio berhenti karena mereka sudah sampai. Rio menurut, menginjak rem dan memandangi rumah berwarna merah marun melalui kaca jendela.

"Makasih ya kak," ucap Keke sambil membuka pintu, lalu keluar.

Rio membuka kaca jendela, "he!" panggilnya membuat Keke yang baru saja berbalik, mengurungkan niat dan menoleh dengan kening berkerut.

"Besok, jam setengah tujuh elo udah harus siap," ucap Rio memerintah.

"Untuk?" tanya Keke bingung.

"Kita bakal jemput lo," jawab Rio tenang.

Keke tenganga. Tapi belum juga memerotes, Rio sudah menginjak gas kembali dan pergi. Keke melongo di tempat.

What?! Jemput?! Pergi ke sekolah dengan preman itu?! Dan... tadi Rio bilang KITA. Itu berarti... KEEMPATNYA?!