Keke melangkah menjauhi gerbang sekolah, karena bel pulang sebentar lagi
berbunyi. Kelas Keke memang keluar lebih awal karena Bu Romi sudah keluar lebih
dulu. Gerbang sudah mulai ramai karena bel berbunyi sekitar tiga menit lagi.
Hari ini Keke tidak dijemput tantenya, karena memang sejak masuk SMA ia sudah
pergi dan pulang sendiri. Kini gadis itu melangkah menuju supermarket terdekat.
Karena ia ingin membeli cemilan saat di rumah nanti.
Namun sial.
Keke mengerutkan kening kala tiba-tiba dari arah berlawanan segerombol
laki-laki dengan suara teriakan dan alat di tangan masing-masing berlari menuju
SMA Bintang, tepat ketika bel pulang berbunyi nyaring. Keke melotot, menyadari
itu pasukan SMA Pangeran, musuh dari sekolahnya. Mereka pasti datang menyerang.
Tanpa pikir panjang, Keke segera berbalik. Para murid sekolahnya juga segera
berlari masuk kembali ke sekolah, sementara para siswa mulai maju, dan
mencari-cari batu di sekitar mereka sebagai senjata.
Tapi Keke sudah terlalu jauh dari sekolah. Tak ada pilihan. Ia segera
bersembunyi di balik bak sampah besar di dekatnya. Tak pedulilah bau tak sedap
yang langsung hinggap di hidungnya. Gadis itu meringkuk ke belakang bak sampah
dengan sangat gemetaran. Para pasukan SMA Pangeran itu berlari melintasinya.
Keke terus berdoa agar ia tak terlihat. Kedua tangannya sudah keringat dingin.
Pasukan dari sekolahnya maju, saling baku hantam dengan SMA Pangeran.
Memang sudah rahasia umum, bahwa dua sekolah itu sering bertarung.
Keke mengedarkan pandangan, mencari jalan keluar. Ada sebuah gang kecil
menuju samping sekolahnya. Gadis itu melongok kecil, pasukan SMA Pangeran sudah
melintasinya dan tak ada lagi. Gadis itu segera mengambil kesempatan. Ia
berlari secepat yang ia bisa menuju gang itu, dimana kini jaraknya hanya
sepuluh meter dari area pertarungan.
"He! Elo anak SMA Bintang?" hardik seseorang membuat Keke
menoleh. Keke melotot, melihat dua orang dari pihak musuhnya mendapati dia.
Keke memekik, lalu segera berlari kembali. Kini dua orang itu mengejarnya.
Memang sering, kalau cewek dari SMA Bintang ditangkap, akan dijadikan sandera
untuk memancing SMA Bintang. Keke terus berlari panik dengan jantung yang
bertalu-talu dahsyat.
Keke berhenti di dinding samping sekolahnya. Tak ada jalan lagi. Ia
berbalik, merasa tersudut. Sementara dua musuh itu tersenyum kemenangan, dan
mendekat perlahan. Keke merasakan lututnya melemas. Ia memejamkan mata, lalu
berteriak sekencang mungkin.
"TOLONGGGG!!!"
BUK
Gadis itu terlonjak kaget. Ia membuka mata, dan tercengang saat mendapati
sudah ada dua siswa dari sekolahnya menghantam dua orang itu, yang segera
mereka balas. Keke makin terpana saat tahu wajah kedua orang itu. Gabriel dan
Rio!
"Yo, elo urus dulu tuh cewek! Cepet!" perintah Gabriel sambil
menahan satu tinjuan lawannya, lalu menendang satu orang lain.
Rio segera menurut, dan berlari ke arah Keke yang membeku. "Ayo ikut
gue!" kata Rio menarik pergelangan tangan Keke.
Namun karena terkaget dan belum siap, Keke terjatuh, membuat Rio menoleh
dengan gemas. Keke merintih kesakitan. Rio memandang sesaat Gabriel yang masih
melawan kedua orang itu. Rio mendecak, lalu tanpa pikir lagi ia mengangkut
tubuh Keke, membuat Keke memekik namun tak bisa melawan. Dengan Keke di
gendongannya, Rio berlari. Keke memejamkan mata takut dan membenamkan wajah ke
dada Rio, tak mau melihat apa yang terjadi.
Rio tak kembali ke sekolah, karena sama saja mengantar nyawa. Peperangan
masih ada di sana. Dengan seorang perempuan di gendongan, Rio sangat tidak
mungkin membawa Keke ke sana. Pemuda itu berlari berlawanan dengan arah
sekolah. Ia lalu membawa Keke ke arah belokan di persimpangan depan. Rio masuk
ke dalam sebuah pos polisi yang sedang kosong. Pos di persimpangan jalan itu
memang sudah tak terpakai.
Rio segera menunduk, sementara Keke yang masih gemetaran kini ikut
berjongkok di sampingnya.
Rio melongokkan kepala, dan terkejut setengah mati kala gerombolan SMA
Pangeran ternyata sudah kembali. Mereka berlarian melintasi pos polisi tempat
Rio dan Keke bersembunyi. Kedua tangan Rio segera menyembunyikan Keke, membuat
gadis itu meringkuk dalam dan menunduk sedalam mungkin ke dalam dekapan Rio.
Rio juga meringkuk, walau masih waspada kalau-kalau ia ketahuan.
Suara keramaian itu samar mulai menghilang perlahan. Dan tak lama pun
kembali hening. Menandakan SMA Pangeran sudah benar-benar pergi.
Rio mendesah lega, lalu membuka rengkuhannya, membuat Keke mendongak
kembali. Rio menghela nafas, lalu bersandar di dinding pos satpam. Ia mendecak
kecil memegangi pipinya yang sempat terkena pukulan tadi.
"Hiks... hiks..."
Rio terkejut, dan menoleh. Keke sudah menangis tersedu di sampingnya.
Wajahnya pucat dan masih tegang. Bahunya bergetar seiring isakannya.
Rio mendecak, "aduh... elo jangan nangis dong," ucapnya sedikit
tak suka. Karena bagaimanapun, Rio laki-laki sejati, yang tak suka melihat
perempuan menangis.
"Aku... hiks... aku... takut kak..." jawab Keke tersendat dengan
isakan, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Rio sedikit tersentak melihat lengan kiri Keke terluka, mungkin karena
jatuh tadi. Pemuda itu mendesah kecil, "udah lo tenang. Elo aman sekarang.
Oke?" tanya Rio menenangkan sambil memegang kedua pundak Keke. Tapi Keke
masih menangis dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
Rio merogoh kantong seragamnya. Lalu tak lama menyodorkan sebungkus permen
ke arah Keke. "Hei," panggil Rio membuat Keke membuka tangan dan
mendongak.
Keke agak tertegun, melihat sebungkus permen disodorkan Rio padanya.
"Elo jangan nangis," kata Rio mengusap puncak kepala Keke sesaat,
lalu menaruh permen itu di genggaman Keke.
Keke hanya diam menerimanya walau masih sesenggukkan.
Hape Rio berdering, membuat perhatian Rio tertuju padanya. Ia lalu merogoh
hape, dan setelah membaca nama kontak, ia menekan tombol hijau dan mendekatkan
hape ke telinga.
"Ya?" jawab Rio pada telpon. "Iya masih sama gue..... Oh,
oke."
Setelah itu Rio mematikan sambungan, lalu memasukkan kembali hape ke saku
seragamnya. Dan menoleh pada Keke.
"Kita harus kembali ke sekolah sekarang. Tenang, ada gue di samping
elo," kata Rio membuat Keke tertegun sejenak.
Rio berdiri, lalu menuntun Keke ikut berdiri. Keke sedikit merintih karena
tadi kakinya terluka saat jatuh. Lengan kirinya juga ikut terluka.
"Elo bisa jalan nggak?" tanya Rio memastikan.
Keke menunduk, lalu mengangguk pelan sambil mengusap pipinya yang basah. Ia
mulai melangkah, walau sedikit pincang karena kaki kirinya terkilir dan masih
terasa sakit.
Rio mendecak melihat itu, "mau gue gendong lagi?"
Mendengar tawaran itu Keke segera mendongak, lalu menggeleng cepat.
"Nggak usah kak," tolaknya segera.
Rio melengos, tapi lalu mengambil tangan Keke, dan melingkarkannya di
pundak Rio. Keke terkejut sejenak, tapi hanya diam menelan ludah. Rio mulai
menuntun Keke yang masih tertatih menuju gerbang sekolahnya.
Keke menatap wajah pemuda itu dari samping. Entah kenapa, rasanya hati
ringan sekali sekarang.
***
Keke menunduk dalam kala Rio membawanya ke salah satu kelas yang sudah
kosong. Di dalamnya sudah ada Gabriel, Cakka, serta Alvin yang menunggu. Keke
tak berani mendongak. Entahlah. Ia masih merasa ketar-ketir karena kini berada
di antara empat preman sekolah. Bukannya merasa aman, justru Keke merasa ada
dalam bahaya. Rio masih menuntunnya pelan memasuki kelas.
Melihat kedatangan Rio, Gabriel dan yang lain segera menegakkan tubuh dan
memandangi gadis yang dibawa Rio itu. Rio mendudukkan Keke di salah satu
bangku. Keke masih menunduk dalam, sambil menggenggam erat permen yang tadi
diberi Rio dan belum juga dibukanya.
"Nih," sebuah tangan terulur dengan segelas air mineral membuat
Keke melirik sejenak. Cakka sedang tersenyum menawarkan minum untuk Keke.
"Elo minum dulu. Pasti masih panik ya? Muka lo pucet banget,"
kata Cakka lembut, "tenang. Nggak ada apa-apa kok isinya. Nih," Cakka
makin menyodorkan air mineral itu.
Keke meneguk ludah, tapi hanya menurut. Mengambil gelas itu dengan sedikit
gemetar. Ia meneguk sedikit, lalu menaruh gelas itu ke atas meja di depannya.
Gabriel menghela nafas, lalu mendekat. Ia menggeser gelas tadi, lalu
menaruh kedua tangan di meja di depan Keke, membuat Keke menunduk takut.
Gabriel melihat badge di seragam Keke. Ia lalu mendengus kecil.
"Pantes. Masih kelas sepuluh toh," kata Gabriel membuat Keke
sedikit takut, "he! Elo tadi mau cari mati ya? Nggak tahu apa kalau
Pangeran emang mau nyerang kita di Minggu ini? Semua itu udah waspada sepanjang
Minggu ini. Jangan keluar sekolah kalau keadaan belum ramai. Tadi gerbang masih
sepi elo udah ngeluyur jauh aja. Ke arah sekolah mereka pula. Elo-"
"Yel," Cakka segera memotong omelan panjang Gabriel, "elo
ngomong alus dikit nggak bisa? Dia tuh cewek. Mukanya masih pucet tuh.
Perasaannya yang masih kacau, makin kacau dengar omelan lo."
Gabriel melengos, lalu kembali memandang ke arah Keke yang masih menunduk.
Terlihat sekali ketegangan dari bahasa tubuh Keke. Bahkan kedua kaki gadis itu
gemetar pelan.
Rio hanya diam berdiri bersandar di salah satu meja dengan kedua tangan
dimasukkan ke dalam saku celana abu-abunya. Sementara Alvin duduk di samping
Rio memandangi Keke terus.
Cakka menepuk pundak Keke, membuat Keke sedikit terkejut dan melirik
sedikit namun tak berani mendongak. Cakka mengelus pundak Keke lembut,
"elo tenangin diri aja dulu. Kita cuma ngingetin aja, lain kali jangan
gegabah. Sekarang Pangeran lagi mau balas dendam sama kita. So, elo harus
hati-hati," nasihat Cakka lembut, berbeda sekali dengan Gabriel tadi.
"Kayaknya sekarang harus super hati-hati deh," Alvin tiba-tiba
besua, membuat Gabriel, Rio, dan Cakka menoleh ke arahnya dengan kening
berkerut. Alvin mendesah, lalu sedikit mengubah posisi duduknya. "Tadi ada
dua murid dari Pangeran ngejar ni cewek. Dan secara kebetulan Rio liat, dan
ngejar sama elo Yel. Kalian berdua ini mukanya paling dihapal di Bintang. Dan
kalian ngelindungin seorang cewek kelas satu dari Bintang juga. Besar
kemungkinan, mereka pasti ngira cewek ini ada sesuatu sama kalian," jelas
Alvin panjang lebar.
"Maksud lo?" tanya Gabriel kurang mengerti.
"Maksud gue, mereka bakal berpikir kalau cewek ini ada hubungan sama
kalian. Makanya, kalian ngelindungin cewek ini. Kalian berdua sekaligus. Bisa
jadi, cewek ini malah jadi incaran mereka untuk ngebalas kita nanti,"
jawab Alvin menjelaskan, membuat Keke tercengang.
Tubuh Keke kaku kembali. Wajahnya sudah menggambarkan ia menahan tangis.
Jari-jarinya mengerat makin kencang. Rio yang melihat itu, mulai merasa tak
enak. Karena telah membawa gadis yang sebenarnya sama sekali tak bersalah,
bahkan tak tahu apapun ke dalam peperangan ini.
"Bener tuh," kata Cakka setuju, "kalau Rio aja yang
ngelindungin, atau cuma elo aja, mungkin itu biasa. Tapi kalau kalian berdua,
yang udah jelas pentolannya ni sekolah, sama-sama ngelindungin satu cewek yang
sama, itu berarti ada sesuatu dari cewek ini."
Gabriel mendecak, lalu melengos panjang, "terus kita harus apa? Muka
ni cewek pasti udah dihapal!"
Keke makin menunduk dalam. Ia menggigit bibir kuat. Sangat merasa
ketakutan. Ia seperti masuk ke dalam kandang buaya kalau begini caranya.
Rasanya ingin menangis saja.
Rio menghela nafas, "ya cuma ada satu cara. Kita harus ngelindungin ni
cewek."
Keke membelalakan mata, lalu mendongak. Rio menoleh, menatapnya. Keke
meneguk ludah, tapi lalu menunduk kembali.
Gabriel menghela nafas, lalu kembali menatap gadis yang terus menunduk di
depannya ini. Gabriel memajukan badan, membuat Keke mundur dan sudah
menempelkan punggung pada kursi yang ia duduki.
"Siapa nama lo?" tanya Gabriel.
Keke menggigit bibir sejenak, "Keke..." jawabnya bergetar.
"Ha? Siapa?" tanya Gabriel makin maju.
"Keke... kak..." jawab Keke kini sedikit lantang, walau masih
bergetar.
"Keke, Yel," kata Alvin yang mendengar ucapan itu.
Gabriel manggut-manggut. Walau sebenarnya ia memang sudah mendengar nama
gadis ini. Tapi karena gadis ini yang masih terlihat ketakutan, ia sengaja
mendekatkan tubuhnya.
Gabriel menegakkan tubuh kembali, walau kedua tangan masih ditaruh di atas
meja. "Dongak lo. Gue mau liat muka lo," kata Gabriel datar. Ia tadi
memang sempat melihat wajah gadis ini, tapi hanya sekilas.
Keke diam-diam menghembuskan nafas. Lalu dengan perlahan ia mendongak. Dan
saat matanya bertemu dengan sepasang mata Gabriel, entah mengapa tatapan itu
jadi terkunci.
Gabriel tertegun kala sepasang mata bulat Keke menatapnya. Matanya melebar
perlahan. Ia lalu meneliti garis wajah itu benar-benar, lalu tanpa sadar
memajukan muka, membuat Keke refleks menarik wajah dengan nafas tercekat. Alis
Gabriel sedikit berkerut. Tiba-tiba raut wajahnya berubah. Tapi hanya sejenak
saja. Karena ia lalu menipiskan bibir dan mendesah.
"Nama lo Keke. Kelas berapa?" tanya Gabriel datar.
Keke meneguk ludah lagi, "Sepuluh B," jawabnya takut-takut.
Gabriel mengangguk-angguk kecil, lalu menegakkan tubuh kembali. Ia lalu
menoleh ke ketiga sahabatnya, "Gue
ke kantor dulu, ngurus anak-anak yang ketangkep guru. Siapa yang mau nganter ni
anak?"
Mendengar ucapan itu Keke sedikit melebarkan mata, tapi hanya diam.
"Gue bisa!" kata Cakka sambil nyengir.
"Ah jangan, Yel. Ni anak kalau cewek bukannya diajak pulang, malah
dibawa lari pasti!" sahut Alvin segera, membuat Cakka mencibir sebal.
"Gue aja," ucap Rio menegakkan tubuh.
"Tapi elokan lagi nggak bawa motor, Yo," kata Cakka.
"Bawa punya gue," ucap Gabriel lalu merogoh saku celananya, dan
melemparkan benda logam ke arah Rio, dengan sigap Rio menangkapnya. "Bawa
sampai rumah. Nanti elo balik ke sini. Awas kalau sampai lecet!"
"Lecet apanya? Mobil lo atau ni cewek?" tanya Cakka memastikan
sambil menggoda.
Gabriel mendengus, "ya ceweknya!" sahutnya sedikit sebal, membuat
Cakka terkekeh kecil.
Keke yang mendengar itu hanya diam menunduk. Walau perasaannya masih tak
tenang. Wajahnya juga masih pucat pasi. Rio lalu beranjak, mendekat ke arah
Keke.
"Kaki lo masih sakit?" tanya Rio memandang kaki Keke. Keke hanya
menggeleng pelan.
"Elo masih takut ya?" tanya Cakka geli, "tenang aja kali.
Kita nggak makan orang kok. Nyantai aja," hibur Cakka menenangkan.
Keke menghela nafas dalam, dan mengangguk, "iya kak..." jawabnya
pelan.
"Ya udah yuk," ajak Rio yang sudah berdiri menunggu.
Keke menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya samar. Ia lalu membenarkan
letak ranselnya, dan berdiri. Rio mulai melangkah, dan Keke mengekori di
belakang.
"Hati-hati ya!" pesan Cakka sebelum mereka keluar dari kelas.
Gabriel hanya diam memandangi kepergian Keke. Walau ada sebuah pikiran
menggelayut dalam benaknya.
Sementara Rio terus melangkah santai di koridor yang sepi menuju parkiran.
Keke terus menunduk, dengan jarak dua langkah di belakang Rio. Kejadian yang
barusan ia alami seperti mimpi saja. Sekolah sudah sepi. Hanya ada beberapa
kendaraan terpakir. Mungkin itu milik siswa yang tadi kedapatan guru sedang
bertarung. Mereka masih diinterogasi di kantor. Keke berjalan seakan setengah
sadar. Jemari kirinya masih menggenggam sebungkus permen pemberian Rio tadi.
Yang dapat dirasakannya jelas. Yang menegaskan, ini nyata. Dan Keke benar-benar
mengalami kejadian aneh dan abstrak itu sekitar dari sejam yang lalu.
Rio melangkah menuju Mercy hitam Gabriel. Ia mematikan alarm mobil, lalu
melangkah menuju pintu pengemudi dan membukanya. Keke sedikit tersentak saat
sudah sampai. Ia lalu mematung di samping Mercy itu, merasa ragu.
Rio yang melihat Keke belum juga bergerak, mendecak tak sabar. "Ayo
masuk. Gue masih harus balik ke sini lagi."
Keke menggigit bibir, tapi lalu menurut. Ia membuka pintu mobil, dan masuk
ke dalamnya. Rio juga masuk ke dalam kursi pengemudi, dan menutup pintu. Ia
menyalakan mesin, dan mulai menuntun Mercy Gabriel keluar dari SMA Bintang.
Setelah mendengar alamat rumah Keke, Rio mengarahkan mobil ke tempat yang
dimaksud.
Sepanjang jalan mobil itu hanya hening. Keke yang tadi sangat ketakutan,
sudah mulai tenang. Ia bersandar di kursi mobil, dan menatap jalanan di
depannya dengan tatapan menerawang.
Diam-diam Rio melirik dari sudut matanya, memandangi gadis yang sedang
larut dalam dunianya sendiri itu. Ia mendesah dalam hati. Kasihan sekali gadis
ini. Padahal belum sampai satu bulan menjadi murid SMA Bintang, tapi sudah
masuk dalam masalah. Masalah besar pula. Hidupnya pasti akan tak tenang untuk
masa putih abu-abunya nanti.
Tak lama, Keke menyuruh Rio berhenti karena mereka sudah sampai. Rio
menurut, menginjak rem dan memandangi rumah berwarna merah marun melalui kaca
jendela.
"Makasih ya kak," ucap Keke sambil membuka pintu, lalu keluar.
Rio membuka kaca jendela, "he!" panggilnya membuat Keke yang baru
saja berbalik, mengurungkan niat dan menoleh dengan kening berkerut.
"Besok, jam setengah tujuh elo udah harus siap," ucap Rio
memerintah.
"Untuk?" tanya Keke bingung.
"Kita bakal jemput lo," jawab Rio tenang.
Keke tenganga. Tapi belum juga memerotes, Rio sudah menginjak gas kembali
dan pergi. Keke melongo di tempat.
What?! Jemput?! Pergi ke sekolah dengan preman itu?! Dan... tadi Rio bilang
KITA. Itu berarti... KEEMPATNYA?!
Kak Ale Ale!!!! cerita ini bikin geregetan!!! Iri jadi Keke diantar sama 4 pangeran! empat!! spoiler, dong, Acha bakal ada sesuatu nggak sama Iyel? di part sebelumnya kayaknya dia bakal kena batunya. Wkwk.. Btw, mau bikin action? Fantasi, please...
BalasHapus