Jumat, 19 September 2014

Hello Sunset! Part 2



Keke melangkah menjauhi gerbang sekolah, karena bel pulang sebentar lagi berbunyi. Kelas Keke memang keluar lebih awal karena Bu Romi sudah keluar lebih dulu. Gerbang sudah mulai ramai karena bel berbunyi sekitar tiga menit lagi. Hari ini Keke tidak dijemput tantenya, karena memang sejak masuk SMA ia sudah pergi dan pulang sendiri. Kini gadis itu melangkah menuju supermarket terdekat. Karena ia ingin membeli cemilan saat di rumah nanti.

Namun sial.

Keke mengerutkan kening kala tiba-tiba dari arah berlawanan segerombol laki-laki dengan suara teriakan dan alat di tangan masing-masing berlari menuju SMA Bintang, tepat ketika bel pulang berbunyi nyaring. Keke melotot, menyadari itu pasukan SMA Pangeran, musuh dari sekolahnya. Mereka pasti datang menyerang. Tanpa pikir panjang, Keke segera berbalik. Para murid sekolahnya juga segera berlari masuk kembali ke sekolah, sementara para siswa mulai maju, dan mencari-cari batu di sekitar mereka sebagai senjata.

Tapi Keke sudah terlalu jauh dari sekolah. Tak ada pilihan. Ia segera bersembunyi di balik bak sampah besar di dekatnya. Tak pedulilah bau tak sedap yang langsung hinggap di hidungnya. Gadis itu meringkuk ke belakang bak sampah dengan sangat gemetaran. Para pasukan SMA Pangeran itu berlari melintasinya. Keke terus berdoa agar ia tak terlihat. Kedua tangannya sudah keringat dingin.

Pasukan dari sekolahnya maju, saling baku hantam dengan SMA Pangeran. Memang sudah rahasia umum, bahwa dua sekolah itu sering bertarung.

Keke mengedarkan pandangan, mencari jalan keluar. Ada sebuah gang kecil menuju samping sekolahnya. Gadis itu melongok kecil, pasukan SMA Pangeran sudah melintasinya dan tak ada lagi. Gadis itu segera mengambil kesempatan. Ia berlari secepat yang ia bisa menuju gang itu, dimana kini jaraknya hanya sepuluh meter dari area pertarungan.

"He! Elo anak SMA Bintang?" hardik seseorang membuat Keke menoleh. Keke melotot, melihat dua orang dari pihak musuhnya mendapati dia.

Keke memekik, lalu segera berlari kembali. Kini dua orang itu mengejarnya. Memang sering, kalau cewek dari SMA Bintang ditangkap, akan dijadikan sandera untuk memancing SMA Bintang. Keke terus berlari panik dengan jantung yang bertalu-talu dahsyat.

Keke berhenti di dinding samping sekolahnya. Tak ada jalan lagi. Ia berbalik, merasa tersudut. Sementara dua musuh itu tersenyum kemenangan, dan mendekat perlahan. Keke merasakan lututnya melemas. Ia memejamkan mata, lalu berteriak sekencang mungkin.

"TOLONGGGG!!!"

BUK

Gadis itu terlonjak kaget. Ia membuka mata, dan tercengang saat mendapati sudah ada dua siswa dari sekolahnya menghantam dua orang itu, yang segera mereka balas. Keke makin terpana saat tahu wajah kedua orang itu. Gabriel dan Rio!

"Yo, elo urus dulu tuh cewek! Cepet!" perintah Gabriel sambil menahan satu tinjuan lawannya, lalu menendang satu orang lain.

Rio segera menurut, dan berlari ke arah Keke yang membeku. "Ayo ikut gue!" kata Rio menarik pergelangan tangan Keke.

Namun karena terkaget dan belum siap, Keke terjatuh, membuat Rio menoleh dengan gemas. Keke merintih kesakitan. Rio memandang sesaat Gabriel yang masih melawan kedua orang itu. Rio mendecak, lalu tanpa pikir lagi ia mengangkut tubuh Keke, membuat Keke memekik namun tak bisa melawan. Dengan Keke di gendongannya, Rio berlari. Keke memejamkan mata takut dan membenamkan wajah ke dada Rio, tak mau melihat apa yang terjadi.

Rio tak kembali ke sekolah, karena sama saja mengantar nyawa. Peperangan masih ada di sana. Dengan seorang perempuan di gendongan, Rio sangat tidak mungkin membawa Keke ke sana. Pemuda itu berlari berlawanan dengan arah sekolah. Ia lalu membawa Keke ke arah belokan di persimpangan depan. Rio masuk ke dalam sebuah pos polisi yang sedang kosong. Pos di persimpangan jalan itu memang sudah tak terpakai.

Rio segera menunduk, sementara Keke yang masih gemetaran kini ikut berjongkok di sampingnya.

Rio melongokkan kepala, dan terkejut setengah mati kala gerombolan SMA Pangeran ternyata sudah kembali. Mereka berlarian melintasi pos polisi tempat Rio dan Keke bersembunyi. Kedua tangan Rio segera menyembunyikan Keke, membuat gadis itu meringkuk dalam dan menunduk sedalam mungkin ke dalam dekapan Rio. Rio juga meringkuk, walau masih waspada kalau-kalau ia ketahuan.

Suara keramaian itu samar mulai menghilang perlahan. Dan tak lama pun kembali hening. Menandakan SMA Pangeran sudah benar-benar pergi.

Rio mendesah lega, lalu membuka rengkuhannya, membuat Keke mendongak kembali. Rio menghela nafas, lalu bersandar di dinding pos satpam. Ia mendecak kecil memegangi pipinya yang sempat terkena pukulan tadi.

"Hiks... hiks..."

Rio terkejut, dan menoleh. Keke sudah menangis tersedu di sampingnya. Wajahnya pucat dan masih tegang. Bahunya bergetar seiring isakannya.

Rio mendecak, "aduh... elo jangan nangis dong," ucapnya sedikit tak suka. Karena bagaimanapun, Rio laki-laki sejati, yang tak suka melihat perempuan menangis.

"Aku... hiks... aku... takut kak..." jawab Keke tersendat dengan isakan, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Rio sedikit tersentak melihat lengan kiri Keke terluka, mungkin karena jatuh tadi. Pemuda itu mendesah kecil, "udah lo tenang. Elo aman sekarang. Oke?" tanya Rio menenangkan sambil memegang kedua pundak Keke. Tapi Keke masih menangis dengan kedua tangan menutupi wajahnya.

Rio merogoh kantong seragamnya. Lalu tak lama menyodorkan sebungkus permen ke arah Keke. "Hei," panggil Rio membuat Keke membuka tangan dan mendongak.

Keke agak tertegun, melihat sebungkus permen disodorkan Rio padanya.

"Elo jangan nangis," kata Rio mengusap puncak kepala Keke sesaat, lalu menaruh permen itu di genggaman Keke.

Keke hanya diam menerimanya walau masih sesenggukkan.

Hape Rio berdering, membuat perhatian Rio tertuju padanya. Ia lalu merogoh hape, dan setelah membaca nama kontak, ia menekan tombol hijau dan mendekatkan hape ke telinga.

"Ya?" jawab Rio pada telpon. "Iya masih sama gue..... Oh, oke."

Setelah itu Rio mematikan sambungan, lalu memasukkan kembali hape ke saku seragamnya. Dan menoleh pada Keke.

"Kita harus kembali ke sekolah sekarang. Tenang, ada gue di samping elo," kata Rio membuat Keke tertegun sejenak.

Rio berdiri, lalu menuntun Keke ikut berdiri. Keke sedikit merintih karena tadi kakinya terluka saat jatuh. Lengan kirinya juga ikut terluka.

"Elo bisa jalan nggak?" tanya Rio memastikan.

Keke menunduk, lalu mengangguk pelan sambil mengusap pipinya yang basah. Ia mulai melangkah, walau sedikit pincang karena kaki kirinya terkilir dan masih terasa sakit.

Rio mendecak melihat itu, "mau gue gendong lagi?"

Mendengar tawaran itu Keke segera mendongak, lalu menggeleng cepat. "Nggak usah kak," tolaknya segera.

Rio melengos, tapi lalu mengambil tangan Keke, dan melingkarkannya di pundak Rio. Keke terkejut sejenak, tapi hanya diam menelan ludah. Rio mulai menuntun Keke yang masih tertatih menuju gerbang sekolahnya.

Keke menatap wajah pemuda itu dari samping. Entah kenapa, rasanya hati ringan sekali sekarang.


***
Keke menunduk dalam kala Rio membawanya ke salah satu kelas yang sudah kosong. Di dalamnya sudah ada Gabriel, Cakka, serta Alvin yang menunggu. Keke tak berani mendongak. Entahlah. Ia masih merasa ketar-ketir karena kini berada di antara empat preman sekolah. Bukannya merasa aman, justru Keke merasa ada dalam bahaya. Rio masih menuntunnya pelan memasuki kelas.

Melihat kedatangan Rio, Gabriel dan yang lain segera menegakkan tubuh dan memandangi gadis yang dibawa Rio itu. Rio mendudukkan Keke di salah satu bangku. Keke masih menunduk dalam, sambil menggenggam erat permen yang tadi diberi Rio dan belum juga dibukanya.

"Nih," sebuah tangan terulur dengan segelas air mineral membuat Keke melirik sejenak. Cakka sedang tersenyum menawarkan minum untuk Keke.

"Elo minum dulu. Pasti masih panik ya? Muka lo pucet banget," kata Cakka lembut, "tenang. Nggak ada apa-apa kok isinya. Nih," Cakka makin menyodorkan air mineral itu.

Keke meneguk ludah, tapi hanya menurut. Mengambil gelas itu dengan sedikit gemetar. Ia meneguk sedikit, lalu menaruh gelas itu ke atas meja di depannya.

Gabriel menghela nafas, lalu mendekat. Ia menggeser gelas tadi, lalu menaruh kedua tangan di meja di depan Keke, membuat Keke menunduk takut. Gabriel melihat badge di seragam Keke. Ia lalu mendengus kecil.

"Pantes. Masih kelas sepuluh toh," kata Gabriel membuat Keke sedikit takut, "he! Elo tadi mau cari mati ya? Nggak tahu apa kalau Pangeran emang mau nyerang kita di Minggu ini? Semua itu udah waspada sepanjang Minggu ini. Jangan keluar sekolah kalau keadaan belum ramai. Tadi gerbang masih sepi elo udah ngeluyur jauh aja. Ke arah sekolah mereka pula. Elo-"

"Yel," Cakka segera memotong omelan panjang Gabriel, "elo ngomong alus dikit nggak bisa? Dia tuh cewek. Mukanya masih pucet tuh. Perasaannya yang masih kacau, makin kacau dengar omelan lo."

Gabriel melengos, lalu kembali memandang ke arah Keke yang masih menunduk. Terlihat sekali ketegangan dari bahasa tubuh Keke. Bahkan kedua kaki gadis itu gemetar pelan.

Rio hanya diam berdiri bersandar di salah satu meja dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana abu-abunya. Sementara Alvin duduk di samping Rio memandangi Keke terus.

Cakka menepuk pundak Keke, membuat Keke sedikit terkejut dan melirik sedikit namun tak berani mendongak. Cakka mengelus pundak Keke lembut, "elo tenangin diri aja dulu. Kita cuma ngingetin aja, lain kali jangan gegabah. Sekarang Pangeran lagi mau balas dendam sama kita. So, elo harus hati-hati," nasihat Cakka lembut, berbeda sekali dengan Gabriel tadi.

"Kayaknya sekarang harus super hati-hati deh," Alvin tiba-tiba besua, membuat Gabriel, Rio, dan Cakka menoleh ke arahnya dengan kening berkerut. Alvin mendesah, lalu sedikit mengubah posisi duduknya. "Tadi ada dua murid dari Pangeran ngejar ni cewek. Dan secara kebetulan Rio liat, dan ngejar sama elo Yel. Kalian berdua ini mukanya paling dihapal di Bintang. Dan kalian ngelindungin seorang cewek kelas satu dari Bintang juga. Besar kemungkinan, mereka pasti ngira cewek ini ada sesuatu sama kalian," jelas Alvin panjang lebar.

"Maksud lo?" tanya Gabriel kurang mengerti.

"Maksud gue, mereka bakal berpikir kalau cewek ini ada hubungan sama kalian. Makanya, kalian ngelindungin cewek ini. Kalian berdua sekaligus. Bisa jadi, cewek ini malah jadi incaran mereka untuk ngebalas kita nanti," jawab Alvin menjelaskan, membuat Keke tercengang.

Tubuh Keke kaku kembali. Wajahnya sudah menggambarkan ia menahan tangis. Jari-jarinya mengerat makin kencang. Rio yang melihat itu, mulai merasa tak enak. Karena telah membawa gadis yang sebenarnya sama sekali tak bersalah, bahkan tak tahu apapun ke dalam peperangan ini.

"Bener tuh," kata Cakka setuju, "kalau Rio aja yang ngelindungin, atau cuma elo aja, mungkin itu biasa. Tapi kalau kalian berdua, yang udah jelas pentolannya ni sekolah, sama-sama ngelindungin satu cewek yang sama, itu berarti ada sesuatu dari cewek ini."

Gabriel mendecak, lalu melengos panjang, "terus kita harus apa? Muka ni cewek pasti udah dihapal!"

Keke makin menunduk dalam. Ia menggigit bibir kuat. Sangat merasa ketakutan. Ia seperti masuk ke dalam kandang buaya kalau begini caranya. Rasanya ingin menangis saja.

Rio menghela nafas, "ya cuma ada satu cara. Kita harus ngelindungin ni cewek."

Keke membelalakan mata, lalu mendongak. Rio menoleh, menatapnya. Keke meneguk ludah, tapi lalu menunduk kembali.

Gabriel menghela nafas, lalu kembali menatap gadis yang terus menunduk di depannya ini. Gabriel memajukan badan, membuat Keke mundur dan sudah menempelkan punggung pada kursi yang ia duduki.

"Siapa nama lo?" tanya Gabriel.

Keke menggigit bibir sejenak, "Keke..." jawabnya bergetar.

"Ha? Siapa?" tanya Gabriel makin maju.

"Keke... kak..." jawab Keke kini sedikit lantang, walau masih bergetar.

"Keke, Yel," kata Alvin yang mendengar ucapan itu.

Gabriel manggut-manggut. Walau sebenarnya ia memang sudah mendengar nama gadis ini. Tapi karena gadis ini yang masih terlihat ketakutan, ia sengaja mendekatkan tubuhnya.

Gabriel menegakkan tubuh kembali, walau kedua tangan masih ditaruh di atas meja. "Dongak lo. Gue mau liat muka lo," kata Gabriel datar. Ia tadi memang sempat melihat wajah gadis ini, tapi hanya sekilas.

Keke diam-diam menghembuskan nafas. Lalu dengan perlahan ia mendongak. Dan saat matanya bertemu dengan sepasang mata Gabriel, entah mengapa tatapan itu jadi terkunci.

Gabriel tertegun kala sepasang mata bulat Keke menatapnya. Matanya melebar perlahan. Ia lalu meneliti garis wajah itu benar-benar, lalu tanpa sadar memajukan muka, membuat Keke refleks menarik wajah dengan nafas tercekat. Alis Gabriel sedikit berkerut. Tiba-tiba raut wajahnya berubah. Tapi hanya sejenak saja. Karena ia lalu menipiskan bibir dan mendesah.

"Nama lo Keke. Kelas berapa?" tanya Gabriel datar.

Keke meneguk ludah lagi, "Sepuluh B," jawabnya takut-takut.

Gabriel mengangguk-angguk kecil, lalu menegakkan tubuh kembali. Ia lalu menoleh ke ketiga sahabatnya,  "Gue ke kantor dulu, ngurus anak-anak yang ketangkep guru. Siapa yang mau nganter ni anak?"

Mendengar ucapan itu Keke sedikit melebarkan mata, tapi hanya diam.

"Gue bisa!" kata Cakka sambil nyengir.

"Ah jangan, Yel. Ni anak kalau cewek bukannya diajak pulang, malah dibawa lari pasti!" sahut Alvin segera, membuat Cakka mencibir sebal.

"Gue aja," ucap Rio menegakkan tubuh.

"Tapi elokan lagi nggak bawa motor, Yo," kata Cakka.

"Bawa punya gue," ucap Gabriel lalu merogoh saku celananya, dan melemparkan benda logam ke arah Rio, dengan sigap Rio menangkapnya. "Bawa sampai rumah. Nanti elo balik ke sini. Awas kalau sampai lecet!"

"Lecet apanya? Mobil lo atau ni cewek?" tanya Cakka memastikan sambil menggoda.

Gabriel mendengus, "ya ceweknya!" sahutnya sedikit sebal, membuat Cakka terkekeh kecil.

Keke yang mendengar itu hanya diam menunduk. Walau perasaannya masih tak tenang. Wajahnya juga masih pucat pasi. Rio lalu beranjak, mendekat ke arah Keke.

"Kaki lo masih sakit?" tanya Rio memandang kaki Keke. Keke hanya menggeleng pelan.

"Elo masih takut ya?" tanya Cakka geli, "tenang aja kali. Kita nggak makan orang kok. Nyantai aja," hibur Cakka menenangkan.

Keke menghela nafas dalam, dan mengangguk, "iya kak..." jawabnya pelan.

"Ya udah yuk," ajak Rio yang sudah berdiri menunggu.

Keke menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya samar. Ia lalu membenarkan letak ranselnya, dan berdiri. Rio mulai melangkah, dan Keke mengekori di belakang.

"Hati-hati ya!" pesan Cakka sebelum mereka keluar dari kelas.

Gabriel hanya diam memandangi kepergian Keke. Walau ada sebuah pikiran menggelayut dalam benaknya.

Sementara Rio terus melangkah santai di koridor yang sepi menuju parkiran. Keke terus menunduk, dengan jarak dua langkah di belakang Rio. Kejadian yang barusan ia alami seperti mimpi saja. Sekolah sudah sepi. Hanya ada beberapa kendaraan terpakir. Mungkin itu milik siswa yang tadi kedapatan guru sedang bertarung. Mereka masih diinterogasi di kantor. Keke berjalan seakan setengah sadar. Jemari kirinya masih menggenggam sebungkus permen pemberian Rio tadi. Yang dapat dirasakannya jelas. Yang menegaskan, ini nyata. Dan Keke benar-benar mengalami kejadian aneh dan abstrak itu sekitar dari sejam yang lalu.

Rio melangkah menuju Mercy hitam Gabriel. Ia mematikan alarm mobil, lalu melangkah menuju pintu pengemudi dan membukanya. Keke sedikit tersentak saat sudah sampai. Ia lalu mematung di samping Mercy itu, merasa ragu.

Rio yang melihat Keke belum juga bergerak, mendecak tak sabar. "Ayo masuk. Gue masih harus balik ke sini lagi."

Keke menggigit bibir, tapi lalu menurut. Ia membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya. Rio juga masuk ke dalam kursi pengemudi, dan menutup pintu. Ia menyalakan mesin, dan mulai menuntun Mercy Gabriel keluar dari SMA Bintang. Setelah mendengar alamat rumah Keke, Rio mengarahkan mobil ke tempat yang dimaksud.

Sepanjang jalan mobil itu hanya hening. Keke yang tadi sangat ketakutan, sudah mulai tenang. Ia bersandar di kursi mobil, dan menatap jalanan di depannya dengan tatapan menerawang.

Diam-diam Rio melirik dari sudut matanya, memandangi gadis yang sedang larut dalam dunianya sendiri itu. Ia mendesah dalam hati. Kasihan sekali gadis ini. Padahal belum sampai satu bulan menjadi murid SMA Bintang, tapi sudah masuk dalam masalah. Masalah besar pula. Hidupnya pasti akan tak tenang untuk masa putih abu-abunya nanti.

Tak lama, Keke menyuruh Rio berhenti karena mereka sudah sampai. Rio menurut, menginjak rem dan memandangi rumah berwarna merah marun melalui kaca jendela.

"Makasih ya kak," ucap Keke sambil membuka pintu, lalu keluar.

Rio membuka kaca jendela, "he!" panggilnya membuat Keke yang baru saja berbalik, mengurungkan niat dan menoleh dengan kening berkerut.

"Besok, jam setengah tujuh elo udah harus siap," ucap Rio memerintah.

"Untuk?" tanya Keke bingung.

"Kita bakal jemput lo," jawab Rio tenang.

Keke tenganga. Tapi belum juga memerotes, Rio sudah menginjak gas kembali dan pergi. Keke melongo di tempat.

What?! Jemput?! Pergi ke sekolah dengan preman itu?! Dan... tadi Rio bilang KITA. Itu berarti... KEEMPATNYA?!

1 komentar:

  1. Kak Ale Ale!!!! cerita ini bikin geregetan!!! Iri jadi Keke diantar sama 4 pangeran! empat!! spoiler, dong, Acha bakal ada sesuatu nggak sama Iyel? di part sebelumnya kayaknya dia bakal kena batunya. Wkwk.. Btw, mau bikin action? Fantasi, please...

    BalasHapus