Jumat, 24 Oktober 2014

Hello Sunset Part 6


Bel istirahat berbunyi. Keke dan Acha sama-sama menaruh peralatan belajar ke dalam tas masing-masing. Acha lalu merogoh sebuah kotak bekal berwarna biru pink ke atas meja.

"Ke! Gue buat sushi loh!" kata Acha bangga. "Mau?"

Keke mengangkat alis, "ya maulah! Eh tapi, makannya di samping perpus yuk. Gue sekalian mau ngembaliin buku. Dan juga, kan biar bisa sekalian beli minum di koperasi," ajak Keke sembari berdiri dan membawa sebuah buku.Acha menurut dan mengikuti.

Mereka melangkah beriringan menuju perpustakaan. Setelah itu mereka membeli minuman botol di koperasi yang ada di samping perpus. Dan lalu duduk di meja taman yang berada di samping perpus. Di samping perpus memang ada taman sekolah yang terdapat beberapa bangku taman dan meja-meja. Ada satu meja yang kosong. Keke dan Acha segera duduk di sana. Acha membuka kotak bekalnya, lalu menyodorkan pada Keke.

"Wih. Enak nih," kata Keke senang.

Tapi baru saja tangannya ingin mengambil satu buah sushi, ada tangan lain yang ikut mengambil tanpa ijin. Membuat Acha dan Keke tersentak.

"Eh, apaan si-" kalimat Acha yang baru saja ingin memerotes segera terhenti. Ia terpana melihat siapa yang berdiri di sampingnya dan kini dengan santai mengunyah sushi miliknya. Pemuda itu mengunyah tenang, lalu menoleh ke arah Acha dan Keke yang melongo.

"Sushi buatan siapa nih? Enak kayaknya."

Keke terkejut, dan menoleh. Mendapati kursi di sampingnya sudah diduduki seorang pemuda. Dan ia baru sadar. Meja mereka sudah dipenuhi empat pemuda pemegang sekolah!

Pemuda yang tadi mengambil santai sushi Acha, mengambil salah satu kursi di meja di dekatnya, lalu dengan tenang menaruh kursi di antara Acha dan Keke, membuat Acha dan Keke terpaksa menjauh. Keke mendelik ke arah pemuda itu, sementara Acha menunduk menahan kesal.

Keke melihat sekelilingnya, lalu mendecak sebal. Di samping kanannya, ada Rio, lalu Cakka, dan setelah itu Alvin. Dan pemuda yang duduk di sisi kirinya, yang tadi memaksa datang, siapa lagi kalau bukan Gabriel.

"Sushinya banyak tuh. Bisa dong bagi?" tanya Cakka mengerling.

Keke dan Acha saling pandang. Acha menghela nafas, tapi lalu mencoba tersenyum dan mendorong kotak bekal itu ke tengah meja. Sontak, keempat preman sekolah itu dengan santai mengambil satu sushi dan melahapnya. Acha tenganga sejenak, tapi lalu mengatupkan mulutnya. Mendadak, ia tak mood makan.

"Ck kak! Aku sama Acha mau makan. Kenapa diganggu sih?" tanya Keke tak bisa menahan kesalnya.

"Oh. Lo mau makan? Nih," Gabriel dengan santai menyodorkan sushi ke mulut Keke, membuat Keke terlonjak dan sontak memundurkan wajah menghindar dan menepis pelan tangan Gabriel.

"Kenapa sewot sih, Ke? Temen lo aja nggak papa kok," kata Alvin santai sambil melahap sushinya.

Keke menggeram sebal, sambil memutar mata ke arah Acha. Terlihat sekali wajah Acha menahan kesal. Gadis itu memang pernah mengaku, kurang menyukai sikap FourG yang sok penguasa. Keke tahu pasti, sekarang di hati Acha, Acha berusaha mati-matian menahan diri untuk tidak melawan.

"Eh, makan kali. Inikan punya lo," ucap Cakka bernada manis sambil menyodorkan kotak bekal ke arah Acha.

Acha tersenyum masam, tapi lalu menurut saja dan mengambil satu sushi, lalu memakannya.Walau perasaannya sedikit tak nyaman. Karena kini banyak sepasang mata memerhatikan meja itu.

"Nih."

Keke terkejut, saat melihat sebuah sushi tersodor ke depannya. Keke menoleh, mendapati Rio sedang memasang wajah tanpa ekspresi dengan sushi di tangannya. Keke mengangkat alis, tapi entah mengapa menerima sushi itu.

Istirahat kali itu, keenam orang tersebut memakan bekal milik Acha bersama. Walau yang bercuap sedaritadi hanyalah Gabriel, Cakka, dan juga Alvin saja. Rio hanya diam saja seperti biasa. Acha dan Keke masih merasa jengah, apalagi kini mereka seperti menjadi tontonan saja. Karena ya... sejak kapan sih FourG mendatangi perempuan? Adanya mereka yang dikelilingi wanita. Lalu kini, ada dua cewek yang duduk semeja dengan mereka, ditambah makan bekal bersama, itu adalah kejadian langka.

"Ke, siapa nama temen lo ini?" tanya Cakka.

"Acha," jawab Keke malas-malasan.

"Oh... Acha..." ucap Cakka dan Alvin serempak, membuat Acha menunduk.

"Teh Jepang," kata Cakka memainkan alis ke arah Alvin.

“Itu Ocha, bego,” kata Alvin geleng-geleng kecil.

“A….. Chalon masa depan aku,” goda Cakka membuat Alvin sontak tertawa ngakak. Keke mendelik, Rio dan Gabriel geleng-geleng saja, sementara Acha yang digoda hanya tersenyum masam sekilas.

Gabriel memutar bola mata ke arah gadis di sisi kirinya itu, lalu diam-diam memerhatikan Acha lekat. Acha yang sadar diperhatikan Gabriel mulai merasa jengah dan salah tingkah. Tapi seakan tak mengerti Acha salah tingkah, Gabriel makin menatap gadis itu. Aneh. Gadis-gadis lain pasti senang dan mendekat, walau ada yang malu-malu atau agresif sekalipun, jika Gabriel berada di dekat mereka. Namun gadis ini berbeda. Gabriel dapat merasakan. Acha menjauhkan kursinya dari Gabriel dan seperti risih dengan keberadaan preman sekolah itu. Acha melirik takut, dan refleks segera menunduk lagi. Gabriel masih memerhatikannya. Gabriel bisa melihat bibir gadis itu mencuat, mungkin ia sedang menggerutu dalam hati.  Kening Gabriel makin berkerut. Padahal biasanya kalau ia memandangi seorang gadis, gadis itu akan merona dan tersipu. Sementara gadis ini jelas-jelas memberikan aura penolakan yang kentara. Membuat Gabriel sedikit tersinggung.

Keke menghela nafas, tak tahan lagi. Ia pun berdiri, membuat semua sedikit tersentak dan menoleh.

"Aku sama Acha mau balik ke kelas. Yuk, Cha!" Keke segera menarik tangan Acha, dan mengambil kotak bekal Acha serta tutupnya.

Acha sempat tersentak, tapi segera menurut mengikuti langkah panjang Keke menjauhi meja itu.

"Yah... dia pergi..." ucap Cakka menatap kepergian Keke. "Ngambek tuh kayaknya."

"Lama-lama dia jadi kayak adek kita ya," kata Rio membuat semua menoleh ke arahnya, tapi lalu mengangguk-angguk setuju.

"Makin lama ketahuan deh aslinya. Awalnya kayaknya pendiem gitu, kalem. Eh tapi, ternyata berani juga, man! Nekat!" komentar Alvin disambut anggukan cepat Cakka.

"Yang buat gue nggak nyangka, dia berani ngelindungi elo!" kata Cakka memandang Gabriel. Gabriel hanya mengangkat alis saja.

Keempat pemuda itu lalu hening. Di pikiran mereka ada satu nama gadis yang sama. Keke. Gadis itu menarik juga. Padahal awal jumpa ia terlihat cengeng, penurut, dan diam. Namun tak lama, tanpa diduga bahkan gadis itu nekat melawan musuh sendiri hanya dengan setongkat kayu di tangannya. Lalu juga ia mulai berani memerotes para pemuda ini. Sebenarnya mungkin dari awal gadis itu memang sudah ingin melawan, tapi tak enak hati karena FourG sudah menawarkan diri untuk melindunginya. Gadis satu itu... menarik.

***

Pak Jo sudah mengemasi barang bawaannya, walau bel pergantian jam belum berbunyi. Ia pamit keluar karena ada suatu kepentingan. Para murid 10B menahan diri untuk tidak bersorak senang karena Pak Jo masih ada di depan kelas.

"Kenasha  Mentari," panggil Pak Jo membuat Keke menoleh. "Tolong kumpulkan PR teman-teman kamu yang kemarin, dan taruh di meja saya," perintah Pak Jo pada Keke.

Keke mengangguk menurut, lalu berdiri. Ia mengumpulkan buku-buku para murid 10B, dan setelah itu mengekori Pak Jo keluar dari kelas.

Saat melewati lapangan olahraga yang berada di tengah sekolah, Keke tanpa sengaja memandang ke arah lapangan yang kini tak kosong itu. Ada beberapa siswa berseragam olahraga bermain bola di sana. Keke mengangkat alis, melihat ada sosok Alvin dan Rio di antara orang-orang itu. Keke mengedarkan pandangan, dan kini melihat sosok Cakka sedang duduk di pinggir lapangan sambil memainkan hapenya. Keke sedikit mengerutkan kening, tak melihat adanya Gabriel.

Sesuai perintah, Keke menaruh tumpukan buku tulis ke meja Pak Jo, lalu pamit dan keluar. Namun gadis itu tak memilih jalan pulang dengan koridor yang sama. Ia berbelok, memilih lewat koridor depan saja, agar tak melewati lapangan olahraga. Karena ingin sekalian ke toilet yang berada di depan lapangan upacara itu.

Tapi saat berbelok, langkah Keke sontak terhenti. Karena sekitar sepuluh meter darinya, duduk seorang pemuda dengan sebuah gitar di pangkuannya. Pemuda itu nampak asik memetik gitar sembari bersenandung pelan. Keke melebarkan mata, namun tak bergerak. Terpaku melihat permandangan itu. Ia mefokuskan pandangan, memandang wajah tegas itu dari samping. Ia baru menyadari. Pantas saja ribuan wanita tak bisa menahan diri untuk tidak meleleh melihat pemuda itu. Pantas saja saat itu Oik memekik histeris menceritakan tentang dirinya. Pantas saja para siswi mengidolakannya. Karena dia... dia sungguh tampan. Apalagi kini matanya sedikit menerawang ke depan, membuatnya makin rupawan. Seakan bersinar, ia memiliki cahaya sendiri.

Keke makin tertegun. Kala mendengar nyanyian pemuda itu. Suara pemuda itu ternyata bagus. Serak seperti vokalis band. Namun juga menggetarkan hati pendengarnya. Berarti tambah lagi kelebihan pemuda itu.

Pemuda itu tiba-tiba menghentikan nyanyian dan permainan gitarnya, membuat Keke tersadar. Keke lalu segera berbalik, mengurungkan niat melewati koridor itu.

"Sini lo."

Langkah Keke terhenti.Tubuhnya membeku.

"Nggak usah kabur. Gue udah liat daritadi."

Keke merutuk diri dalam hati. Lalu dengan enggan ia menoleh. Pemuda itu, Gabriel, masih tak menoleh ke arahnya. Kini ia belaga sibuk dengan gitarnya. Keke menghembuskan nafas dan membalikkan tubuh, tapi diam saja.

Gabriel mendecak pelan, dan akhirnya menoleh, "tadi kan gue bilang sini. Lo nggak denger?" tanya Gabriel ketus, membuat Keke mencuatkan bibir kecil.

Keke akhirnya menurut dan melangkah mendekat. Ia lalu dengan hati-hati duduk di samping Gabriel. Sementara pemuda itu kembali sibuk mengganti-ganti kunci gitar.

"Lain kali, nggak usah ngintip. Datang aja langsung, duduk samping gue," kata Gabriel datar tanpa menoleh.

Keke mendelik sedikit, lalu mengerucutkan bibir. "Ngintipin kakak? Tadi aku nggak sengaja lewat sini kok," sergah Keke.

Gabriel hanya memiringkan bibirnya, tapi tak berkata dan kembali memetik gitar perlahan. Kini Keke memerhatikannya, dan mulai kagum pada sosok Gabriel. Namun tak lama Gabriel tiba-tiba menoleh ke arah Keke, membuat Keke sedikit terkejut. Tatapan mereka beradu beberapa saat, sebelum Gabriel melengos kasar dan membuang muka.

"Muka lo kenapa ngeselin banget sih?" tanya Gabriel ketus, membuat Keke menganga geram.

'Ngaca dong! Yang ngeselin itu siapa?' geram Keke dalam hati. Namun ia berusaha menahan diri.

Gabriel menghembuskan nafas, lalu mendongakkan kepala, menatap langit terik siang itu. "Kadang... gue kesel liat muka lo. Tapi kadang gue juga malah seneng sama muka lo," racau Gabriel membuat kening Keke berkerut keras.

"Maksud kakak?" tanya Keke tak mengerti.

Gabriel mendesah kembali, "muka lo ngingetin gue sama seseorang."

Jawaban dari Gabriel itu membuat alis Keke terangkat tinggi. Tapi lanjutan dari kalimat itu, membuat jantung Keke seakan terhenti seketika.

"Elo mirip sama adek gue..." kata Gabriel menjadi sedikit lirih. Ia lalu mendesah, dan menoleh perlahan ke arah Keke yang tertegun. "Adek gue yang nyebelin, tapi juga sangat gue sayang," sambung Gabriel.

Keke membatu. Mata tajam Gabriel perlahan berubah kelam. Ada kehangatan dari sorot matanya yang tak pernah Keke lihat sebelumnya. Ribuan emosi menyerbu hati Keke. Ada suatu firasat dalam dirinya.

"Kakak... punya adik?" tanya Keke perlahan.

Gabriel mengangguk, lalu kembali mengalihkan pandangan, "mungkin sekarang dia udah segede elo. Dan mungkin karena itu juga, gue mati-matian mau ngelindungin elo."

Keke merasakan tungkainya melemas. Ada yang bergerak dahsyat dalam dadanya. Dan perlahan, sebuah kesimpulan muncul. Kesimpulan yang sebelumnya tak masuk akal bagi Keke. Bukan kesimpulan sih, tepatnya perkiraan. Namun... apa benar firasatnya ini?

***

Semenjak mendengar ucapan Gabriel itu, Keke terus saja tak fokus. Ia mencoba membangun balok-balok perkiraan sebelumnya. Bahwa memang sedari awal ada dua kemungkinan. Gabriel, atau Rio. Dan kini, Gabriel membawakan suatu petunjuk besar. Gabriel memiliki seorang adik. Dan adiknya itu sebaya dengan Keke. Dan yang lebih mengagetkan, wajah adiknya itu mirip dengan Keke!

Padahal tadi Keke ingin bertanya lanjut, namun Gabriel malah kembali seperti Gabriel yang biasa. Gabriel yang kasar dan selalu bernada tak bersahabat. Tatapan hangatnya yang sebelumnya dilihat Kekepun pudar. Ia malah mengomel dan menyuruh Keke tak usah bertanya lagi. Membuat Keke kecewa. Karena... kalau saja Gabriel mengucap satu atau dua petunjuk lagi, mungkin saja... Keke sudah sampai pada titik tujuannya di SMA Bintang ini.

Saat keluar dari kelas karena bel sudah berbunyi, Keke masih saja memikirkan hal itu.

Pantas saja. Kala pertama kali Keke memperlihatkan seluruh wajah di depan Gabriel, tepatnya setelah ia dilindungi dan dibawa ke kelas itu, Gabriel sempat terdiam sesaat. Dan raut wajahnya berubah kala menatap Keke. Namun hanya sejenak. Ternyata saat itu Gabriel teringat pada adiknya.

"Siapa yang suruh elo keluar padahal belum dijemput?"

Sebuah suara bariton membuat Keke sedikit terkejut dan mendongak. Ia melebarkan mata melihat Rio sudah berdiri di depannya.

Rio menghela nafas, tapi lalu berbalik, "ayo," pimpinnya melangkah. Keke hanya diam menurut, karena pikirannya belum juga teralihkan dari sosok Gabriel.

"Hari ini gue yang nganter elo. Yang lain harus duluan ke kafe," kata Rio melangkah menuju parkiran.

Alis Keke berkerut, dan akhirnya pun tak lagi merenungkan tentang Gabriel. "Kafe apa sih kak? Kok kayaknya aku sering denger kalian ngomong itu," tanya Keke mengikuti Rio melangkah menuju sebuah motor besar hitam yang menunggu.

"Loh? Emang lo nggak tahu?" tanya Rio berhenti di depan motor itu, dan berbalik menatap Keke yang mengerutkan kening. "Oh ya. Kita nggak pernah bawa lo kesana ya?" tanya Rio seakan tersadar. Ia lalu meraih helm dan jaket, lalu mengangsurkan pada Keke. Keke menerimanya, masih dengan alis berkerut.

"Besok aja deh gue bawa lo kesana. Sekarang gue harus nganter lo pulang, karena Om Rendy hari ini ada di kafe," kata Rio lalu memakai helm dan jaketnya.

"Om Rendy?" tanya Keke penasaran sambil menatap Rio yang mengeluarkan motornya.

Sebelum menjawab, Rio menyalakan mesin dulu, lalu menyuruh Keke naik. Keke menurut, duduk di belakang Rio. Kalau bersama Gabriel, ia pasti memegang besi pegangan di belakang. Namun kala bersama Rio, entah mengapa tanpa sadar kedua tangan Keke memegangi ujung jaket Rio.

"Om Rendy itu bokapnya Gabriel," kata Rio menjawab pertanyaan Keke tadi.

Keke sontak terkejut setengah mati.Semua perkiraannya tadi langsung meluntur. Mengetahui hal itu. Gabriel ternyata memiliki seorang ayah. Keke diam-diam menelan kecewa. Karena ternyata ia salah menduga.

"Tapi bukan bokap kandungnya sih," lanjut Rio membuat Keke lagi-lagi tersentak.

Hatinya makin gundah. Ketidakpastian ini membuatnya benar-benar gelisah. Keke benar-benar jadi sangat resah.

"Om Rendy juga udah kayak bokap kita berempat. Tapi dia tinggal di Singapur. Kalau dia pulang, dia pasti pengen kita berempat ngumpul di kafe buat nyambut dia gitu. Om Rendy memang suka ngada-ngada," cerita Rio sepanjang jalan.

Keke tertegun sesaat. Menyadari bahwa tadi, adalah kalimat terpanjang Rio yang pertama ia dengar. Keke mulai penasaran. Siapa sih Om Rendy yang dimaksud itu?

"Kakak... deket banget ya sama si Om Rendy itu?" tanya Keke tak bisa menahan diri.

Rio tersenyum, sambil terus menarik gasnya. "Gue udah kenal dari dulu.Dari saat gue masih tinggal di Tangerang."

Keke sontak kembali terkaget. Tangerang? Itukan tempat tinggalnya. Jadi dulu... Rio pernah tinggal di sana?

Tanpa sadar, ternyata mereka sudah sampai. Rio mengerem motornya, lalu menurunkan kaki memberhentikan motor. Keke mengerjap, segera tersadar. Ia lalu turun dari motor, dan lalu mengangsurkan helm dan jaket yang tadi Rio beri.

Tapi kala memberikan helm itu, mata Keke tanpa sengaja tertuju pada gantungan kunci yang menggantung di kunci motor hitam Rio. Ia terpaku. Menatap gantungan kunci berbentuk tali berwarna hijau, kuning, biru, dan merah yang dikepang cantik. Di ujungnya terikat sebuah bandul berbentuk bunga matahari. Mata Keke melebar, tak memercayai pandangannya.

"Ke."

Suara panggilan Rio membuat Keke terkejut dan menoleh. Rio sudah memasukkan jaket milik Gabriel yang tadi di pakai Keke dalam tasnya, dan menaruh helm di pegangan motor.

"Kak!" ucap Keke sebelum Rio membuka mulut ingin pamit. Keke ragu sejenak, tapi lalu akhirnya bertanya. Dengan suara selirih angin. "Kakak... tinggal di Tangerang umur berapa?"

Rio mengangkat alis sejenak, "gue lahir di sana. Dan saat SMP pindah.Kenapa?"

Keke merasakan tubuhnya membeku seketika. Mulutnya sedikit terbuka tak percaya.Ada suatu kenyataan datang, membuat dadanya terhenyak.

Rio... adalah kakaknya?



Rabu, 01 Oktober 2014

Hello Sunset! Part 5

Bel pulang berbunyi.

Keke mengemasi barangnya, lalu menyampirkan ransel ke pundaknya dan berdiri. Acha ikut melangkah di sampingnya menuju pintu kelas. Namun keduanya tersentak, kala melihat seorang pemuda tampan sedang berdiri dan tersenyum ramah di ambang pintu. Para murid yang juga ingin keluar ikut membeku. Apalagi melihat senyuman manis itu, membuat para siswi terdiam melting.

"Yuk!" ajak pemuda itu, Cakka, sambil mengulurkan tangan ke arah Keke.

Keke tenganga sesaat, lalu saling pandang dengan Acha. Acha menggerakkan bola mata ke arah tangan Cakka, menyuruh Keke menurut saja. Keke menghela nafas, tapi lalu akhirnya mengalah dan menyambut tangan Cakka, membuat nafas para siswi tercekat. Oik bahkan dalam hati memekik iri. Tadi sudah dengan Rio, sekarang dengan Cakka!!!

Cakka tersenyum, lalu dengan lembut menggenggam tangan Keke dan menariknya pergi. Keke hanya menunduk dan melangkah pasrah mengikuti Cakka. Sepanjang jalan semua menatap ke arahnya. Keke terus saja menunduk dan menggigit bibir. Tapi beberapa orang tak heran. Karena yang menggandeng adalah Cakka. Si playboy sekolah yang seringkali berganti pasangan. Mungkin gadis itu korban barunya.

Cakka menuntun Keke menuju kantin sekolah. Keke melirik sedikit, dan menunduk lagi kala melihat Gabriel, Alvin, dan Rio sudah menunggu di sana dengan minuman masing-masing.

"Nih bos," kata Cakka berhenti melangkah, lalu melepaskan genggamannya dan duduk di samping Rio.

Keke masih berdiri di samping meja itu sambil menunduk. 'Mati gue', batinnya merutuk.

Gabriel menghela nafas. "Ngapain tadi lo?" tanyanya memulai interogasi.

"Disuruh Pak Deni fotokopi kak. Di koperasi lagi rusak," jawab Keke seadanya, walau sedikit takut-takut.

Gabriel mencibir, lalu berdiri, dan melangkah ke depan Keke yang sedikit mundur takut. "Nggak seharusnya tadi lo ngelindungin gue. Gue bisa ngelawan kok. Elo bahaya banget tadi!" omel Gabriel. Keke mengerti maksudnya, kala tadi ia memukul salah satu anak Pangeran.

"Aku refleks kak..." jawab Keke menunduk dan memain-mainkan jari-jarinya.

Cakka mendecak-decak dan geleng-geleng kepala, "hebat bener deh lo. Andai aja tadi gue liat. Seorang cewek kelas sepuluh SMA, ngelawan preman sekolah dari pihak musuh," kata Cakka kagum lalu menepuk-nepuk tangannya. Entah tulus memuji atau mengejek.

Keke hanya mencuatkan bibir dan terus menunduk.

Gabriel menghela nafas, sambil memasukkan kembali kedua tangan di saku celananya. "Lain kali, elo nggak perlu ngelakuin itu. Harusnya gue yang ngelindungin elo, bukan elo yang ngelindungin gue. Ngerti?" ucap Gabriel dengan nadanya yang biasa. Penguasa sekolah yang memerintah.

Keke sedikit mengembungkan pipinya. Dasar pemuda satu ini. Sudah diselamatkan tapi kok nggak berterima kasih sih? Malah mengomel. Tak tahukah dia tadi Keke harus menjual nyawa dan berbekal kenekatan saja?

"Udah deh, Yel. Elo lama-lama kayak emak-emak tahu nggak sih. Ngomel mulu," ucap Cakka membela, "anter dia pulang gih. Katanya mau ke kafe," ingat Cakka sambil melihat jam tangannya.

Gabriel mendecak, tapi lalu menurut dan mengambil tasnya. Ia lalu melempar asal jaketnya ke arah Keke, membuat Keke terkejut tapi segera sigap menangkapnya.

"Pake tuh!" perintah Gabriel, lalu mulai melangkah memimpin. Alvin dan Cakka segera mengikuti.

Keke melengos, lalu menggeram sebal ke arah punggung Gabriel.

"Udah deh nggak usah ngelawan. Yuk!" ucap Rio tiba-tiba yang sudah menarik tangan Keke, membuat Keke tersadar tapi hanya menurut pasrah.

***

Keke menghela nafas sambil mengubah posisi tidurnya. Tapi tetap saja. Matanya masih terbuka lebar. Ia menghembuskan nafas, lalu duduk di ranjangnya sambil bersandar. Gadis itu gundah sekali. Kejadian yang terjadi dua hari berturut-turut ini benar-benar menghantuinya.

Argh. Benar-benar neraka deh SMA Bintang itu. Pantas saja teman-teman SMP Keke tak ada yang mau masuk kesana. SMA Bintang memang cukup terkenal sering tawuran dengan SMA Pangeran, musuh bebuyutannya. Setengah laki-laki di sekolah itu adalah preman! Mereka sering bertarung melawan musuh, bebal dengan omelan para guru. Dan kini, Keke masuk dalam kehidupan para preman itu! Parahnya, Keke berhubungan langsung dengan sang ketua yang super galak dan tak bersahabat itu, Gabriel! Argh. Bisa gila Keke lama-lama.

Keke menghembuskan nafas keras, lalu memukul-mukul bantalnya dengan kesal. Merasa sebal sekali mengingat perlakuan Gabriel padanya. Katanya mau melindungi, mau menjaga, tapi kalau dibentak terus, dihardik berkali-kali, diperintah ini-itu, apanya yang melindungi?!

Tiba-tiba hape Keke yang berada di atas meja samping ranjangnya berdering, membuat Keke menoleh, lalu meraihnya. Keke mengangkat alis, mendapat sebuah sms dari salah satu sahabatnya di SMP dulu, Ify.


From: Ify
Gimana Ke di sana? Elo gada kabarnya nih skrg :(
lain kali main ke tangerang dong! Hehehe
O ya. Elo udah ketemu yang lo cari?


Awalnya Keke tersenyum membaca pesan singkat Ify itu. Namun kala membaca kalimat terakhir, senyum Keke meluntur perlahan. Ia tiba-tiba tersadar dan teringat. Tujuannya pergi jauh dari rumah dan rela masuk SMA Bintang yang bak neraka itu. Karena ia harus mencari.

Keke mendesah, menyadari ia belum bertemu seseorang yang harus ia cari itu. Yaitu kakaknya. Kakak kandungnya yang telah pergi dari rumah saat ia baru lulus SD dulu.

Mama kandung mereka meninggal saat Keke duduk di kelas dua SD, dan kakaknya itu kelas empat SD. Setelah itu Keke dipindahkan ke rumah neneknya, karena papanya sibuk bekerja sehingga tak ada yang mengurus. Kakak laki-lakinya itu tak mau ikut, entah karena alasan apa ia ingin tetap tinggal di rumahnya dan tetap bersekolah di sekolah yang memang tak jauh dari rumah. Sampai tak lama, saat kakak Keke itu baru saja lulus SD, Papa mereka ingin menikah lagi, dengan Linda, seketarisnya di kantor. Kakak Keke itu tak terima, apalagi saat itu ia sedang sangat labil karena sedang ada dalam masa puber. Setelah bertengkar hebat dengan sang ayah, kakaknya itu kabur dari rumah dan tak pernah kembali. Bahkan sampai sekarang. Sampai Papa Keke sudah menghembuskan nafas terakhirnya.

Keke menarik nafas dalam, menahan agar tak ada setetes beningan hangat meluncur dari matanya. Karena setiap mengenang memori itu, selalu saja ada butiran bening mengalir deras dari sepasang mata bulat Keke. Tapi kali ini Keke tak mau lagi menangis. Sudah terlalu banyak air mata ia tumpahkan. Karena kerinduan amat dalam pada sang kakak.

Saat itu Linda mendapat kabar, kalau ada yang mirip dengan anak tirinya itu di SMA Bintang. Linda bertanya siapa namanya, dan ternyata benar. Itu adalah anak tirinya dari Surya, ayah Keke. Karena itu, saat Keke harus mendaftar SMA, Linda menyuruh Keke masuk ke SMA Bintang, untuk mencari dan membawa pulang sang kakak. Permintaan terakhir mendiang Surya, agar anak tunggalnya itu pulang ke rumah.

Sampai saat ini, tak ada lagi info yang Keke dapat dari kakaknya. Yang ia tahu kakaknya siswa kelas duabelas, di SMA Bintang. Tapi Keke masih tak tahu.

Namun... ada suatu firasat dalam dadanya. Bahwa sebenarnya sang kakak sudah mulai dekat. Apalagi, ada dua orang yang wajahnya hampir sama seperti sang kakak saat SD dulu. Yaitu, Gabriel dan Rio. Gabriel yang kasar dan Rio yang sangat cuek. Keduanya berbeda sekali dengan sosok kakak Keke yang periang dan bertanggung jawab. Kakak Keke yang juga berani dan selalu melindungi Keke. Apa mungkin bentuk dewasanya adalah Gabriel ataupun Rio? Kenapa rasanya... cukup mustahil ya?

Memang, Keke sudah lama sekali berpisah dengan sang kakak. Terakhir bertemu, kala seratus harian kematian mendiang mamanya dulu, saat Keke masih duduk di kelas dua SD. Dan yang Keke tahu, nama kakaknya adalah... Kak Iyel. Karena itu, saat mendengar bahwa dua orang yang ada dalam Mercy hitam kala MOS saat itu, yang membuatnya merasa penasaran dan ada sebuah firasat bahwa kakaknya ada di antara mereka, bernama Gabriel dan Nataniel, Keke tertegun. Walau Nataniel adalah nama belakang Rio, bisa sajakan, saat kecil dulu Rio dipanggil Iyel? 

Walau selama ini Keke kerap kali menemukan Iyel-Iyel  yang lain. Nama panggilan yang sering dijumpai. Namun kali ini berbeda. Baik Gabriel ataupun Rio, Keke dapat merasakan ada sesuatu pada keduanya. Tapi ia masih tak tahu apakah ini nyata atau salah. Bahkan ia masih tak tahu Gabriel atau Rio kah 'Kak Iyel’  yang ia cari.

Keke menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya mantap. Ada suatu keyakinan dalam dirinya. Bahwa mulai besok, ia sudah harus bergerak. Mencari sang kakak yang telah lama hilang. Dimulai dari Gabriel dan Rio.

***

Paginya Keke baru saja keluar dari pintu rumah, dan langsung tepana melihat tiga pemuda itu lagi-lagi ada di depan rumahnya. Kini Alvin membawa Honda Jazz merahnya, sementara dua lain membawa motor besar seperti kemarin. Keke menipiskan bibir sejenak, lalu mendekat dan membuka pagar. Namun ia mengerutkan kening, tak melihat sosok Rio.

"Hari ini lo sama Alvin, biar lebih aman naik mobil," kata Gabriel sambil menaikkan standar motor kembali dan menyalakan mesin.

"Kak Rio mana?" tanya Keke sambil melangkah menuju pintu mobil Alvin.

"Dia ada urusan. Jadi nanti juga datang ke sekolah rada siang gitu," jawab Alvin yang sudah membuka pintu mobil.

Alis Keke terangkat, "urusan apa?"

"Kenapa elo harus kepo?" sahut Gabriel ketus, membuat Keke mendelik kecil. "Udah deh lo masuk, nggak usah banyak tanya soal Rio."

Cakka tertawa kecil melihat Gabriel, "ya elo nggak usah jealous sampe segitunya kali, Yel," ejeknya membuat Gabriel segera melotot tajam.

Keke juga ikut mendelik ke arah Cakka. Cakka segera nyengir dan mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya. Keke hanya mencibir kecil, tapi lalu masuk ke dalam mobil Alvin. Dan dengan iringan dua motor besar, mereka mulai menuju ke SMA Bintang.