Jumat, 24 Oktober 2014

Hello Sunset Part 6


Bel istirahat berbunyi. Keke dan Acha sama-sama menaruh peralatan belajar ke dalam tas masing-masing. Acha lalu merogoh sebuah kotak bekal berwarna biru pink ke atas meja.

"Ke! Gue buat sushi loh!" kata Acha bangga. "Mau?"

Keke mengangkat alis, "ya maulah! Eh tapi, makannya di samping perpus yuk. Gue sekalian mau ngembaliin buku. Dan juga, kan biar bisa sekalian beli minum di koperasi," ajak Keke sembari berdiri dan membawa sebuah buku.Acha menurut dan mengikuti.

Mereka melangkah beriringan menuju perpustakaan. Setelah itu mereka membeli minuman botol di koperasi yang ada di samping perpus. Dan lalu duduk di meja taman yang berada di samping perpus. Di samping perpus memang ada taman sekolah yang terdapat beberapa bangku taman dan meja-meja. Ada satu meja yang kosong. Keke dan Acha segera duduk di sana. Acha membuka kotak bekalnya, lalu menyodorkan pada Keke.

"Wih. Enak nih," kata Keke senang.

Tapi baru saja tangannya ingin mengambil satu buah sushi, ada tangan lain yang ikut mengambil tanpa ijin. Membuat Acha dan Keke tersentak.

"Eh, apaan si-" kalimat Acha yang baru saja ingin memerotes segera terhenti. Ia terpana melihat siapa yang berdiri di sampingnya dan kini dengan santai mengunyah sushi miliknya. Pemuda itu mengunyah tenang, lalu menoleh ke arah Acha dan Keke yang melongo.

"Sushi buatan siapa nih? Enak kayaknya."

Keke terkejut, dan menoleh. Mendapati kursi di sampingnya sudah diduduki seorang pemuda. Dan ia baru sadar. Meja mereka sudah dipenuhi empat pemuda pemegang sekolah!

Pemuda yang tadi mengambil santai sushi Acha, mengambil salah satu kursi di meja di dekatnya, lalu dengan tenang menaruh kursi di antara Acha dan Keke, membuat Acha dan Keke terpaksa menjauh. Keke mendelik ke arah pemuda itu, sementara Acha menunduk menahan kesal.

Keke melihat sekelilingnya, lalu mendecak sebal. Di samping kanannya, ada Rio, lalu Cakka, dan setelah itu Alvin. Dan pemuda yang duduk di sisi kirinya, yang tadi memaksa datang, siapa lagi kalau bukan Gabriel.

"Sushinya banyak tuh. Bisa dong bagi?" tanya Cakka mengerling.

Keke dan Acha saling pandang. Acha menghela nafas, tapi lalu mencoba tersenyum dan mendorong kotak bekal itu ke tengah meja. Sontak, keempat preman sekolah itu dengan santai mengambil satu sushi dan melahapnya. Acha tenganga sejenak, tapi lalu mengatupkan mulutnya. Mendadak, ia tak mood makan.

"Ck kak! Aku sama Acha mau makan. Kenapa diganggu sih?" tanya Keke tak bisa menahan kesalnya.

"Oh. Lo mau makan? Nih," Gabriel dengan santai menyodorkan sushi ke mulut Keke, membuat Keke terlonjak dan sontak memundurkan wajah menghindar dan menepis pelan tangan Gabriel.

"Kenapa sewot sih, Ke? Temen lo aja nggak papa kok," kata Alvin santai sambil melahap sushinya.

Keke menggeram sebal, sambil memutar mata ke arah Acha. Terlihat sekali wajah Acha menahan kesal. Gadis itu memang pernah mengaku, kurang menyukai sikap FourG yang sok penguasa. Keke tahu pasti, sekarang di hati Acha, Acha berusaha mati-matian menahan diri untuk tidak melawan.

"Eh, makan kali. Inikan punya lo," ucap Cakka bernada manis sambil menyodorkan kotak bekal ke arah Acha.

Acha tersenyum masam, tapi lalu menurut saja dan mengambil satu sushi, lalu memakannya.Walau perasaannya sedikit tak nyaman. Karena kini banyak sepasang mata memerhatikan meja itu.

"Nih."

Keke terkejut, saat melihat sebuah sushi tersodor ke depannya. Keke menoleh, mendapati Rio sedang memasang wajah tanpa ekspresi dengan sushi di tangannya. Keke mengangkat alis, tapi entah mengapa menerima sushi itu.

Istirahat kali itu, keenam orang tersebut memakan bekal milik Acha bersama. Walau yang bercuap sedaritadi hanyalah Gabriel, Cakka, dan juga Alvin saja. Rio hanya diam saja seperti biasa. Acha dan Keke masih merasa jengah, apalagi kini mereka seperti menjadi tontonan saja. Karena ya... sejak kapan sih FourG mendatangi perempuan? Adanya mereka yang dikelilingi wanita. Lalu kini, ada dua cewek yang duduk semeja dengan mereka, ditambah makan bekal bersama, itu adalah kejadian langka.

"Ke, siapa nama temen lo ini?" tanya Cakka.

"Acha," jawab Keke malas-malasan.

"Oh... Acha..." ucap Cakka dan Alvin serempak, membuat Acha menunduk.

"Teh Jepang," kata Cakka memainkan alis ke arah Alvin.

“Itu Ocha, bego,” kata Alvin geleng-geleng kecil.

“A….. Chalon masa depan aku,” goda Cakka membuat Alvin sontak tertawa ngakak. Keke mendelik, Rio dan Gabriel geleng-geleng saja, sementara Acha yang digoda hanya tersenyum masam sekilas.

Gabriel memutar bola mata ke arah gadis di sisi kirinya itu, lalu diam-diam memerhatikan Acha lekat. Acha yang sadar diperhatikan Gabriel mulai merasa jengah dan salah tingkah. Tapi seakan tak mengerti Acha salah tingkah, Gabriel makin menatap gadis itu. Aneh. Gadis-gadis lain pasti senang dan mendekat, walau ada yang malu-malu atau agresif sekalipun, jika Gabriel berada di dekat mereka. Namun gadis ini berbeda. Gabriel dapat merasakan. Acha menjauhkan kursinya dari Gabriel dan seperti risih dengan keberadaan preman sekolah itu. Acha melirik takut, dan refleks segera menunduk lagi. Gabriel masih memerhatikannya. Gabriel bisa melihat bibir gadis itu mencuat, mungkin ia sedang menggerutu dalam hati.  Kening Gabriel makin berkerut. Padahal biasanya kalau ia memandangi seorang gadis, gadis itu akan merona dan tersipu. Sementara gadis ini jelas-jelas memberikan aura penolakan yang kentara. Membuat Gabriel sedikit tersinggung.

Keke menghela nafas, tak tahan lagi. Ia pun berdiri, membuat semua sedikit tersentak dan menoleh.

"Aku sama Acha mau balik ke kelas. Yuk, Cha!" Keke segera menarik tangan Acha, dan mengambil kotak bekal Acha serta tutupnya.

Acha sempat tersentak, tapi segera menurut mengikuti langkah panjang Keke menjauhi meja itu.

"Yah... dia pergi..." ucap Cakka menatap kepergian Keke. "Ngambek tuh kayaknya."

"Lama-lama dia jadi kayak adek kita ya," kata Rio membuat semua menoleh ke arahnya, tapi lalu mengangguk-angguk setuju.

"Makin lama ketahuan deh aslinya. Awalnya kayaknya pendiem gitu, kalem. Eh tapi, ternyata berani juga, man! Nekat!" komentar Alvin disambut anggukan cepat Cakka.

"Yang buat gue nggak nyangka, dia berani ngelindungi elo!" kata Cakka memandang Gabriel. Gabriel hanya mengangkat alis saja.

Keempat pemuda itu lalu hening. Di pikiran mereka ada satu nama gadis yang sama. Keke. Gadis itu menarik juga. Padahal awal jumpa ia terlihat cengeng, penurut, dan diam. Namun tak lama, tanpa diduga bahkan gadis itu nekat melawan musuh sendiri hanya dengan setongkat kayu di tangannya. Lalu juga ia mulai berani memerotes para pemuda ini. Sebenarnya mungkin dari awal gadis itu memang sudah ingin melawan, tapi tak enak hati karena FourG sudah menawarkan diri untuk melindunginya. Gadis satu itu... menarik.

***

Pak Jo sudah mengemasi barang bawaannya, walau bel pergantian jam belum berbunyi. Ia pamit keluar karena ada suatu kepentingan. Para murid 10B menahan diri untuk tidak bersorak senang karena Pak Jo masih ada di depan kelas.

"Kenasha  Mentari," panggil Pak Jo membuat Keke menoleh. "Tolong kumpulkan PR teman-teman kamu yang kemarin, dan taruh di meja saya," perintah Pak Jo pada Keke.

Keke mengangguk menurut, lalu berdiri. Ia mengumpulkan buku-buku para murid 10B, dan setelah itu mengekori Pak Jo keluar dari kelas.

Saat melewati lapangan olahraga yang berada di tengah sekolah, Keke tanpa sengaja memandang ke arah lapangan yang kini tak kosong itu. Ada beberapa siswa berseragam olahraga bermain bola di sana. Keke mengangkat alis, melihat ada sosok Alvin dan Rio di antara orang-orang itu. Keke mengedarkan pandangan, dan kini melihat sosok Cakka sedang duduk di pinggir lapangan sambil memainkan hapenya. Keke sedikit mengerutkan kening, tak melihat adanya Gabriel.

Sesuai perintah, Keke menaruh tumpukan buku tulis ke meja Pak Jo, lalu pamit dan keluar. Namun gadis itu tak memilih jalan pulang dengan koridor yang sama. Ia berbelok, memilih lewat koridor depan saja, agar tak melewati lapangan olahraga. Karena ingin sekalian ke toilet yang berada di depan lapangan upacara itu.

Tapi saat berbelok, langkah Keke sontak terhenti. Karena sekitar sepuluh meter darinya, duduk seorang pemuda dengan sebuah gitar di pangkuannya. Pemuda itu nampak asik memetik gitar sembari bersenandung pelan. Keke melebarkan mata, namun tak bergerak. Terpaku melihat permandangan itu. Ia mefokuskan pandangan, memandang wajah tegas itu dari samping. Ia baru menyadari. Pantas saja ribuan wanita tak bisa menahan diri untuk tidak meleleh melihat pemuda itu. Pantas saja saat itu Oik memekik histeris menceritakan tentang dirinya. Pantas saja para siswi mengidolakannya. Karena dia... dia sungguh tampan. Apalagi kini matanya sedikit menerawang ke depan, membuatnya makin rupawan. Seakan bersinar, ia memiliki cahaya sendiri.

Keke makin tertegun. Kala mendengar nyanyian pemuda itu. Suara pemuda itu ternyata bagus. Serak seperti vokalis band. Namun juga menggetarkan hati pendengarnya. Berarti tambah lagi kelebihan pemuda itu.

Pemuda itu tiba-tiba menghentikan nyanyian dan permainan gitarnya, membuat Keke tersadar. Keke lalu segera berbalik, mengurungkan niat melewati koridor itu.

"Sini lo."

Langkah Keke terhenti.Tubuhnya membeku.

"Nggak usah kabur. Gue udah liat daritadi."

Keke merutuk diri dalam hati. Lalu dengan enggan ia menoleh. Pemuda itu, Gabriel, masih tak menoleh ke arahnya. Kini ia belaga sibuk dengan gitarnya. Keke menghembuskan nafas dan membalikkan tubuh, tapi diam saja.

Gabriel mendecak pelan, dan akhirnya menoleh, "tadi kan gue bilang sini. Lo nggak denger?" tanya Gabriel ketus, membuat Keke mencuatkan bibir kecil.

Keke akhirnya menurut dan melangkah mendekat. Ia lalu dengan hati-hati duduk di samping Gabriel. Sementara pemuda itu kembali sibuk mengganti-ganti kunci gitar.

"Lain kali, nggak usah ngintip. Datang aja langsung, duduk samping gue," kata Gabriel datar tanpa menoleh.

Keke mendelik sedikit, lalu mengerucutkan bibir. "Ngintipin kakak? Tadi aku nggak sengaja lewat sini kok," sergah Keke.

Gabriel hanya memiringkan bibirnya, tapi tak berkata dan kembali memetik gitar perlahan. Kini Keke memerhatikannya, dan mulai kagum pada sosok Gabriel. Namun tak lama Gabriel tiba-tiba menoleh ke arah Keke, membuat Keke sedikit terkejut. Tatapan mereka beradu beberapa saat, sebelum Gabriel melengos kasar dan membuang muka.

"Muka lo kenapa ngeselin banget sih?" tanya Gabriel ketus, membuat Keke menganga geram.

'Ngaca dong! Yang ngeselin itu siapa?' geram Keke dalam hati. Namun ia berusaha menahan diri.

Gabriel menghembuskan nafas, lalu mendongakkan kepala, menatap langit terik siang itu. "Kadang... gue kesel liat muka lo. Tapi kadang gue juga malah seneng sama muka lo," racau Gabriel membuat kening Keke berkerut keras.

"Maksud kakak?" tanya Keke tak mengerti.

Gabriel mendesah kembali, "muka lo ngingetin gue sama seseorang."

Jawaban dari Gabriel itu membuat alis Keke terangkat tinggi. Tapi lanjutan dari kalimat itu, membuat jantung Keke seakan terhenti seketika.

"Elo mirip sama adek gue..." kata Gabriel menjadi sedikit lirih. Ia lalu mendesah, dan menoleh perlahan ke arah Keke yang tertegun. "Adek gue yang nyebelin, tapi juga sangat gue sayang," sambung Gabriel.

Keke membatu. Mata tajam Gabriel perlahan berubah kelam. Ada kehangatan dari sorot matanya yang tak pernah Keke lihat sebelumnya. Ribuan emosi menyerbu hati Keke. Ada suatu firasat dalam dirinya.

"Kakak... punya adik?" tanya Keke perlahan.

Gabriel mengangguk, lalu kembali mengalihkan pandangan, "mungkin sekarang dia udah segede elo. Dan mungkin karena itu juga, gue mati-matian mau ngelindungin elo."

Keke merasakan tungkainya melemas. Ada yang bergerak dahsyat dalam dadanya. Dan perlahan, sebuah kesimpulan muncul. Kesimpulan yang sebelumnya tak masuk akal bagi Keke. Bukan kesimpulan sih, tepatnya perkiraan. Namun... apa benar firasatnya ini?

***

Semenjak mendengar ucapan Gabriel itu, Keke terus saja tak fokus. Ia mencoba membangun balok-balok perkiraan sebelumnya. Bahwa memang sedari awal ada dua kemungkinan. Gabriel, atau Rio. Dan kini, Gabriel membawakan suatu petunjuk besar. Gabriel memiliki seorang adik. Dan adiknya itu sebaya dengan Keke. Dan yang lebih mengagetkan, wajah adiknya itu mirip dengan Keke!

Padahal tadi Keke ingin bertanya lanjut, namun Gabriel malah kembali seperti Gabriel yang biasa. Gabriel yang kasar dan selalu bernada tak bersahabat. Tatapan hangatnya yang sebelumnya dilihat Kekepun pudar. Ia malah mengomel dan menyuruh Keke tak usah bertanya lagi. Membuat Keke kecewa. Karena... kalau saja Gabriel mengucap satu atau dua petunjuk lagi, mungkin saja... Keke sudah sampai pada titik tujuannya di SMA Bintang ini.

Saat keluar dari kelas karena bel sudah berbunyi, Keke masih saja memikirkan hal itu.

Pantas saja. Kala pertama kali Keke memperlihatkan seluruh wajah di depan Gabriel, tepatnya setelah ia dilindungi dan dibawa ke kelas itu, Gabriel sempat terdiam sesaat. Dan raut wajahnya berubah kala menatap Keke. Namun hanya sejenak. Ternyata saat itu Gabriel teringat pada adiknya.

"Siapa yang suruh elo keluar padahal belum dijemput?"

Sebuah suara bariton membuat Keke sedikit terkejut dan mendongak. Ia melebarkan mata melihat Rio sudah berdiri di depannya.

Rio menghela nafas, tapi lalu berbalik, "ayo," pimpinnya melangkah. Keke hanya diam menurut, karena pikirannya belum juga teralihkan dari sosok Gabriel.

"Hari ini gue yang nganter elo. Yang lain harus duluan ke kafe," kata Rio melangkah menuju parkiran.

Alis Keke berkerut, dan akhirnya pun tak lagi merenungkan tentang Gabriel. "Kafe apa sih kak? Kok kayaknya aku sering denger kalian ngomong itu," tanya Keke mengikuti Rio melangkah menuju sebuah motor besar hitam yang menunggu.

"Loh? Emang lo nggak tahu?" tanya Rio berhenti di depan motor itu, dan berbalik menatap Keke yang mengerutkan kening. "Oh ya. Kita nggak pernah bawa lo kesana ya?" tanya Rio seakan tersadar. Ia lalu meraih helm dan jaket, lalu mengangsurkan pada Keke. Keke menerimanya, masih dengan alis berkerut.

"Besok aja deh gue bawa lo kesana. Sekarang gue harus nganter lo pulang, karena Om Rendy hari ini ada di kafe," kata Rio lalu memakai helm dan jaketnya.

"Om Rendy?" tanya Keke penasaran sambil menatap Rio yang mengeluarkan motornya.

Sebelum menjawab, Rio menyalakan mesin dulu, lalu menyuruh Keke naik. Keke menurut, duduk di belakang Rio. Kalau bersama Gabriel, ia pasti memegang besi pegangan di belakang. Namun kala bersama Rio, entah mengapa tanpa sadar kedua tangan Keke memegangi ujung jaket Rio.

"Om Rendy itu bokapnya Gabriel," kata Rio menjawab pertanyaan Keke tadi.

Keke sontak terkejut setengah mati.Semua perkiraannya tadi langsung meluntur. Mengetahui hal itu. Gabriel ternyata memiliki seorang ayah. Keke diam-diam menelan kecewa. Karena ternyata ia salah menduga.

"Tapi bukan bokap kandungnya sih," lanjut Rio membuat Keke lagi-lagi tersentak.

Hatinya makin gundah. Ketidakpastian ini membuatnya benar-benar gelisah. Keke benar-benar jadi sangat resah.

"Om Rendy juga udah kayak bokap kita berempat. Tapi dia tinggal di Singapur. Kalau dia pulang, dia pasti pengen kita berempat ngumpul di kafe buat nyambut dia gitu. Om Rendy memang suka ngada-ngada," cerita Rio sepanjang jalan.

Keke tertegun sesaat. Menyadari bahwa tadi, adalah kalimat terpanjang Rio yang pertama ia dengar. Keke mulai penasaran. Siapa sih Om Rendy yang dimaksud itu?

"Kakak... deket banget ya sama si Om Rendy itu?" tanya Keke tak bisa menahan diri.

Rio tersenyum, sambil terus menarik gasnya. "Gue udah kenal dari dulu.Dari saat gue masih tinggal di Tangerang."

Keke sontak kembali terkaget. Tangerang? Itukan tempat tinggalnya. Jadi dulu... Rio pernah tinggal di sana?

Tanpa sadar, ternyata mereka sudah sampai. Rio mengerem motornya, lalu menurunkan kaki memberhentikan motor. Keke mengerjap, segera tersadar. Ia lalu turun dari motor, dan lalu mengangsurkan helm dan jaket yang tadi Rio beri.

Tapi kala memberikan helm itu, mata Keke tanpa sengaja tertuju pada gantungan kunci yang menggantung di kunci motor hitam Rio. Ia terpaku. Menatap gantungan kunci berbentuk tali berwarna hijau, kuning, biru, dan merah yang dikepang cantik. Di ujungnya terikat sebuah bandul berbentuk bunga matahari. Mata Keke melebar, tak memercayai pandangannya.

"Ke."

Suara panggilan Rio membuat Keke terkejut dan menoleh. Rio sudah memasukkan jaket milik Gabriel yang tadi di pakai Keke dalam tasnya, dan menaruh helm di pegangan motor.

"Kak!" ucap Keke sebelum Rio membuka mulut ingin pamit. Keke ragu sejenak, tapi lalu akhirnya bertanya. Dengan suara selirih angin. "Kakak... tinggal di Tangerang umur berapa?"

Rio mengangkat alis sejenak, "gue lahir di sana. Dan saat SMP pindah.Kenapa?"

Keke merasakan tubuhnya membeku seketika. Mulutnya sedikit terbuka tak percaya.Ada suatu kenyataan datang, membuat dadanya terhenyak.

Rio... adalah kakaknya?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar