Sebelumnya
aku minta maaf karena sering ngaret dan gagal post mulu. Akhir-akhir ini emang
banyak baget kendala. Maaf maaf banget ya.
Part 5: Kisah
Langit
"Sumpah
deh Yel. Gue kesel banget sama dia," gerutu Ify kesal sambil melangkah
bersama Gabriel pulang sekolah ini.
Sejak tahu
tentang masa lalu mereka, keduanya memang jadi makin mendekat. Di kelaspun, tak
jarang Gabriel mendatangi Ify. Membuat pipi Ify sering kali terasa memanas. Dan
tadi, Gabriel juga menawarkan diri pulang bersama Ify. Melihat kekesalan di
wajah Ify, membuat Gabriel bertanya simpatik. Dan ya begitulah, Ify
menceritakan segala kekesalannya tentang anak baru itu.
"Anaknya
tuh rese banget. Gimana gue bisa duet sama dia? Ih," omel Ify terus
mendumel tentang Rio.
"Fy,
udahlah. Lo nggak boleh gitu. Benci sama orang itu nggak baik," ucap
Gabriel dewasa.
"Tetep
aja gue kesel sama dia. Anak baru kok songong banget. Kayaknya tu anak bakal
jadi pengganggu hidup gue deh!" kata Ify masih saja sebal.
"Nggak
boleh ngomong gitu ah. Nggak baik berburuk sangka sama orang."
Ify
terdiam. Ia mengangkat sebelah alis, lalu menoleh pada Gabriel. Gadis itu
kemudian tersenyum menahan tawa, membuat Gabriel mengerutkan kening. "itu
pasti kata mamamu, kan?" tanya Ify mengingat awal pertemuannya dengan
Bintang.
Gabriel
tertawa, "masih ingat?"
Ify
berdehem pelan, "kata mama aku, nggak baik berburuk sangka sama
orang," ucap Ify belaga memeragakan gaya Bintang yang ia ingat dulu.
Gabriel
kembali tertawa. Ify juga ikut tertawa, walau diam-diam hatinya melambung
tinggi bahagia.
"Oh ya
Fy. Nanti malam ada live music jazz di HQ cafe. Lo suka jazz, kan? Nonton
yuk!" ajak Gabriel membuat mata Ify melebar, "pas banget kan nanti malam
tuh malam Minggu?"
Amarah dan
panas yang tadi membakar hati Ify karena mencurahkan hati tentang Rio tiba-tiba
langsung melenyap tanpa jejak. Digantikan bunga-bunga bermekaran yang mungkin
sedang merayakan tahun baru karena ada kembang api meledak-ledak dalam hati
gadis itu. Hatinya melambung tinggi dengan ribuan harapan menyerbu. Dan... ehm.
Pas banget malam Minggu? Itu... maksudnya apa ya? Kodekah? Aduhduh. Tanpa sadar
pipi Ify sudah memerah panas.
"Eum...
oke deh. Jam berapa?" tanya Ify setelah beberapa saat mencoba menguasai
diri.
"Jam
setengah delapan gue jemput," jawab Gabriel tersenyum menawan.
'Aduhduh...
bintang di langit aja kalah kali sama sinar bintang yang ini...' batin Ify
menatap senyuman itu. Ify tersenyum tersipu, dan mengangguk.
Gabriel
makin tersenyum. Menyadari pipi gadis itu sudah merona. Entahlah. Ada rasa
bahagia terpancar dari hati pemuda tampan itu. Seperti dulu.
^^^
- IKLAN SEJENAK -
Semuanya jangan
lupa klik www.ceritamu.com terus log in via facebook. Search cerpen 'Thanks, I Love You'. Like
dan komen ya. Kalau ga sempet komen, share di twitter aja. Makasih :D
^^^
Alya keluar
dari mobil yang mengantarnya pulang. Si pengemudi ikut turun, dan mengantar
Alya sampai menuju ke pintu rumahnya. Alya berbalik, dan tersenyum pada pria
itu.
"Rohan,
makasih ya," kata Alya manis.
"Kamu
apa sih. Kok ngomong makasih, kan tiap hari emang begini," jawab pria
bernama Rohan itu tersenyum.
"Makasih...
buat makan siangnya," jawab Alya malu.
Rohan
tersenyum, lalu mengusap-usap rambut panjang Alya halus. "Aku pulang
ya," pamitnya.
Alya
mengangguk. Rohan tak langsung melepaskan tangannya di atas kepala Alya. Ia
menarik lembut kepala itu mendekat, lalu mengecup kening Alya, membuat wanita
muda tersebut menunduk sambil tersenyum kecil.
"Bye!"
Rohan berbalik, kembali pada Mercy hitamnya.
Alya
melambai pada pria itu. Rohan masuk ke dalam mobil, lalu mulai pergi. Senyum
kecil di wajah Alya menjadi senyuman lebar bahagia. Ia lalu dengan riang masuk
ke dalam rumahnya. Perempuan itu segera masuk kamar, lalu merebahkan diri ke
atas ranjang. Merasa lelah sekali seharian mengurusi anak muridnya di SMA
Pelita. Apalagi tadi dua anak itu membuat onar. Alyssa dan Mario.
Mario.
Alya
tersentak, dan langsung terduduk dari tidurnya. Teringat lagi nama Rio tadi. Ia
berani sumpah. Ia pernah mendengar nama itu. Dulu. Dulu sekali. Tapi... kapan?
Alya
melepaskan sepatu haknya, lalu berganti baju. Ia terus mencoba mengingat nama
itu. Sepertinya dulu ia sering kali menuliskannya. Eh, atau dulu ia sering kali
memikirkannya?
"Mungkin
umurku sama Rio beda belasan tahun. Jadi... kapan aku ketemu dia?" gumam
Alya bertanya, entah pada siapa.
Perempuan
itu mondar-mandir di kamarnya sambil mengelus dagu, mencoba mengingat.
"Mario
Bintang Haling..." kata Alya pelan, dengan suara mengambang. Bintang...
"Bintang di
langit..."
"Aku udah
suruh mereka nemenin kamu."
"Namanya Rio
itu Mario Bintang... eng... siapa Yo?"
"Aku nggak akan ninggalin kamu lama-lama
kok. Kalau aku pergi, nanti aku juga pasti kembali lagi ke kamu."
"Kamu...
akan kembali, kan?"
"...
Aku, ataupun kamu nggak tahu kehidupan apa yang terjadi nanti. Kita nggak bisa
nebak..."
"Suatu
saat nanti..."
Secepat kilat, ribuan bayang kenangan menyerbu
otak Alya. Dua anak kecil yang bermain di ayunan taman, lalu pemuda yang
memberikan ia segelas es jeruk, dan dirinya yang berseragam SMA dengan buku
tulis dan pulpen di pangkuan. Memori itu mendadak muncul, membuat kepala Alya
sedikit berdenyut sakit.
"Itu bukan
kisah mereka nanti, tapi... kisah novel kamu."
Alya
tersentak. Refleks, ia membuang pandangan pada lemari besarnya yang ada di
sudut kamar. Perempuan itu seperti kesetanan, segera menuju lemari tersebut.
Membukanya dengan tak sabar. Kalap, ia melemparkan semua barang-barang yang ada
di dasar lemari begitu saja, mencari suatu benda yang ingin ia ambil. Dan itu
dia. Tergeletak pasrah di pojok lemari. Sendirian. Dengan debu yang jadi
selimutnya. Alya merasakan hatinya mencelos seketika.
"Adit..."
gumamnya bergetar. Ribuan gejolak emosi itu membuatnya jadi terhantam keras.
Karena kenangan yang coba ia kubur, kini kembali datang ke permukaan.
Dengan
gemetar, Alya menjulurkan tangan. Meraih kotak berwarna emas berukuran 30x30x30
cm. Ada pita putih menghiasi tutupnya, walau kini terlihat sangat lusuh dan
berdebu.
Alya beranjak, membawa kotak itu menuju depan
ranjangnya. Ia duduk di sana, lalu membersihkan debu tebal di kotak tersebut.
Perempuan itu menutup hidung dan mulut saat debu-debu itu berterbangan. Ya
Tuhan... sudah berapa tahun ia menyimpan kotak ini tanpa pernah menyentuhnya
sedikitpun?
Alya menghela nafas, lalu membuka tutup kotak
itu. Hatinya berdenyut tak nyaman. Walau ada luapan rindu yang meledak-ledak
menyesaki dadanya.
Benda
pertama yang terletak paling atas, sepucuk surat. Surat yang Adit berikan dulu
kala keberangkatannya ke Australi. Lalu selanjutnya ada beberapa buku harian, yang
berisi kisah manis Alya dan Adit saat SMA dulu. Ada sebuah boneka kelinci kecil
berwarna pink yang sudah terlihat lusuh. Lalu...
Sebingkai
pigura.
Alya
menggigit bibir kuat meraih benda itu. Ia mengusap kaca pigura, menjelaskan
poto yang ada di sana. Seorang gadis berwajah manis sedang tersenyum senang di
rangkulan seorang pemuda putih yang juga tersenyum. Keduanya mengenakan seragam
SMA yang sudah tak bersih dengan coretan-coretan pilox menghiasi setiap
sentinya. Hari kelulusan mereka.
Sebulir air
mata jatuh, membasahi kaca pigura itu. Membuat Alya tersentak. Ia dengan segera
mengusap mata basahnya. Tidak tidak. Ia sudah berjanji pada diri sendiri tak
akan lagi meneteskan air mata karena pemuda
itu. Atau... yang kini ia sebut pria itu.
Bagaimana ia sekarang? Em... apa masih pendek seperti dulu? Dulu tingginya sama
seperti Alya, tak seperti teman lelaki lainnya yang melebihi tinggi Alya. Em..
apa ia masih senang bermain drum? Ah drum. Hal yang sering kali membuat Alya
cemburu. Dan... apa ia masih senang taman? Dulukan ia sering membawa Alya pergi
ke taman. Tak seperti kebanyakan laki-laki pada jaman itu, yang sering membawa
gadisnya kencan ke restoran romantis atau bioskop. Adit justru pasti membawa
Alya ke sebuah taman.
Alya
menggigit bibir kuat, dan tanpa sadar mendekap pigura itu erat. Sebelas tahun
itu waktu yang lama, kan? Tapi kenapa tak bisa mengikis perasaan ini?
Alya memang
bisa move on. Memacari beberapa orang sampai ia berhenti di lelaki sekarang,
Rohan. Tapi... jujur, kecap rasa membahagiakan itu terasa hambar. Tak berasa.
Seakan tak ada lagi 'sensasi'nya. Bagi wanita sebaya Alya, mencari pendamping
hidup adalah tujuan kala mendapatkan seorang kekasih. Tapi bagi Alya...
entahlah. Rohan memang kekasihnya, namun... ia belum ingin Rohan jadi calon
pendamping hidupnya.
Ia kagum
pada pria itu, ia menyukai pria itu, dan ia bahagia ada di samping pria itu.
Rohan memang ada di hatinya, tapi belum bisa masuk ke dalam ruang spesial di
sana. Ruang yang masih kosong, karena sebelas tahun telah ditinggalkan.
Ada tiga
fase jatuh cinta, kan? Pertama, nafsu. Seperti saat kita mengendarai mobil,
tapi kepala kita menoleh ke kanan dan kiri. Kedua, cinta. Saat seseorang terus
memikirkan satu orang saja menjadi fokusnya dan ingin memiliki orang tersebut.
Dan yang ketiga, ingin hidup bersama. Nafsu, cinta, dan ingin memiliki.
Dilanjutkan kita ingin terus bersama orang itu, menikmati hidup dengannya
sampai ajal menjemput.
Dan yang
Alya rasakan pada Rohan... jujur, masih pada tahap pertama. Ia belum bisa
'mencintai' pria itu. Meski begitu, ada sosok lain yang pernah melewati fase
tersebut. Bahkan fase cinta dan ingin hidup bersama juga telah ia lewati. Alya
ingin menghabiskan harinya bersama pria itu. Bahkan dulu, Alya berangan hari
tuanya akan diwarnai dengan mengurusi anak-anaknya bersama pria tersebut.
Adit...
Alya
menghela nafas panjang, lalu menaruh bingkai tadi di antara barang-barang yang
lain. Ia kembali melongok ke dalam kotak. Tersisa beberapa benda lain. Ada
jepit pemberian Adit, kartu ucapan hari Valentine, gantungan kunci dari Adit,
dan barang-barang kecil pemberian pria itu. Kecil, namun punya efek besar di
memori Alya.
Tapi di
antara itu semua, ada sebuah buku catatan tipis. Gadis itu tersenyum pelahan,
kemudian meraihnya. Kalau buku-buku yang lain berisikan harian kisahnya bersama
Adit, buku ini khusus menuliskan kejadian-kejadian yang ia alami bersama Adit,
namun bukan mengenai pria itu.
Alya dulu
bercita-cita jadi penulis, jadi ia selalu menyempatkan diri menulis hal-hal
menarik yang pernah ia alami. Siapa tahu nanti bisa jadi bahan cerita. Seperti
halnya saat Adit membawanya ke sebuah taman yang ada danaunya. Banyak kisah
terjadi. Sepasang kekasih lain yang bersikap romantis, penjual jajanan kecil
yang ramah, atau anak-anak yang bermain di sana. Kalau diperhatikan lebih
jelas, hal-hal itu bisa jadi bahan tulisan.
Alya
membuka lembar demi lembar buku itu. Dan akhirnya ia menemukan hal yang ia
cari. Hal yang membuatnya langsung teringat pada kotak kenangan bersama Adit.
Tertulis jelas sebagai judul halaman.
"Bintang"
Alya
membaca tulisan tangannya saat itu. Yang membulat rapi khas anak SMA pada
umumnya. Ia kadang tersenyum sendiri
membaca tulisan-tulisan yang dulu ia tulis dengan bahasa remaja yang khas. Atau
kadang juga tersenyum miris saat membaca ada nama Adit di sana. Tapi Alya
mendadak terdiam, matanya makin melebar membaca kalimat-kalimat pada hari itu.
"Anak
perempuan berdagu lancip itu seperti kaget, bersamaan juga dengan temannya
-yang... eum.. agak sengak menurutku-. Ternyata anak cowok imut itu namanya
Bintang. Namanya sama seperti anak cowok -yang belagu itu- (ya... harus ku akui
tingkah sombongnya justru menggemaskan). Kata anak perempuan itu, nama temannya
adalah Mario Bintang Haling. Aku pikir
anak cowok sengak itu akan luluh, tapi malah mengusir Bintang. Ckckck. Masih TK
aja belagunya minta ampun. Awas saja kalau saat dia besar aku bertemu dengannya
lagi dan sikapnya masih sama, pasti akan aku hajar!
Ya, kalau
aku bertemu lagi dengan mereka. Aku penasaran bagaimana saat mereka dewasa
nanti. Bintang, Ify, dan Rio..."
Masih
banyak kata lain sebenarnya. Tapi Alya terdiam di kalimat itu. Tiga nama
tersebut. Bintang, Ify, dan Rio.
Alya sudah
terkejut bukan main saat sadar Rio adalah anak cowok belagu-tapi-menggemaskan
yang ia temui di taman kala itu. Dan ditambah ini. Ia tahu, sebagai guru tentu
saja.
Ify adalah
nama panggilan Alyssa.
Buku
catatan tersebut jatuh begitu saja dari kedua tangan Alya yang melemas.
Mulutnya terbuka lebar. Ya Tuhan... inikah yang namanya kisah Langit? Yang
memang sudah ditetapkan dan ditentukan sedari dulu, bahkan sebelum manusia itu
lahir di dunia ini. Kisah Langit adalah kisah yang memang ditulis Tuhan. Dengan
tokoh-tokoh yang sudah Ia pilih berhubungan satu sama lain. Terkadang akal
manusia sulit percaya, kebetulan-kebetulan ajaib yang malah jadi berhubungan
satu sama lain menjadikan sebuah kisah yang rumit. Yang sulit dijelaskan
ternyata bisa terjadi. Kisah ini mungkin... sudah direncanakan.
Kepindahan
Rio ke SMA Pelita, membuatnya bertemu lagi dengan sahabat kecilnya, Ify.
Jadi... dua orang itu tak saling mengenal lagi? Memangnya apa yang terjadi
selama sebelas tahun ini?
Dulu Adit
masih sering mengajak Alya ke taman itu. Alya juga sering melihat Ify dan Rio
bermain ayunan. Ada Bintang juga yang melengkapi mereka. Saat itu Alya juga
penasaran bagaimana Rio kecil yang seperti tak suka dengan Bintang malah
memperbolehkan Bintang ada dalam persahabatannya dengan Ify. Alya sering
menuliskan tingkah mereka kala memerhatikan dan mencuri dengar ketiga anak
kecil itu bermain bersama.
Tapi...
apakah mereka berpisah?
Alya tanpa
sadar tersenyum. Inikah namanya cosmological
coincidence? Atau kebetulan kosmos, yang dirancang oleh alam semesta. Alya
kembali bertemu dengan dua sahabat itu. Alya juga tak habis pikir, ternyata
gadis kecil yang pernah jadi inpirasinya kini malah jadi murid kesayangannya.
Mengapa ia bisa lupa dengan nama Ify? Dan... anak kecil sengak-belagu yang saat
itu terlihat menggemaskan, ternyata anak baru yang bandel. Yang sudah buat onar
di hari pertamanya. Hahaha. Ternyata Rio tak banyak berubah. Terutama sifatnya.
Ia dan Ify juga masih sering bertengkar kecil seperti dulu. Lalu... mana
Bintang? Apa dia juga termasuk dalam kisah ini?
Entah
mengapa Alya jadi bersemangat. Ia mengambil buku catatan itu, dan membawanya ke
meja kerjanya. Sudah lama ia tak lagi menulis -walau kini sudah banyak buku
karyanya, fiksi maupun nonfiksi-. Sejak jadi guru di SMA Pelita, ia sudah
jarang mengetik seperti dulu. Dan kini, kisah Ify dan Rio sangat menarik kalau
dijadikan sebuah cerita novel. Dan ia sangat penasaran, apa ya kelanjutan kisah
ini?
*****
Eaaaaa
wkwkwk. Oke, ga usah sewot karena di
prolog aku bilang mau jadi si Alya di sini. Wuahaha. Bayangin aja deh siapa kek
gitu. Dan Aditnya itu... awawaw. You know who kan? hahaha. Dan Rohan... jujur,
aku rada pusing awalnya mau kasih nama siapa. Tapi ya karena sekarang mulai
tertarik sama Stanza, khususnya Rohan, jadi deh Rohan masuk. Huahaha.
Em...
betewe itu Gabriel ngajakin Ify malam mingguan, atau bahasa kecenya... ngedate.
Ya. Ify dan Gabriel. Ngedate. *ngirisnadi*
Kalian
emang maunya Ify sama Gabriel atau Ify sama Rio? Terserah deh. Yang penting
penulisnya sama Aditya Junas ya :3 *plak *nyambungnyajauh
Part
depan.... aduh nyesek banget, terutama bagiku </3 Tapi sih... ada yang buat
senyam senyum, karena... bakal ada calon suami saya! *eh. Si 'semut' itu tuh...
hihihi. Dan tetep ada si kambing sih ya. Bakal ada yang liat bintang. Dan bakal
ada yang nangis sesenggukan(?)
So, wait!
And be patient pliiissss pengen amat cepet2 dah. Aku bukan kyak penulis lain yg
sekali post langsung 3 sampai 5 part. Aku jga bukan penulis yg dalam satu hari
ngepost dua part. Maaf yaaaaa :) Tapi insyaAllah part selanjutnya besok (doakan
saja)
next part:
"Please, forget him..."
@aleastri
^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar