Minggu, 10 Februari 2013

Bintang Super Mario: Part 5



Sebelumnya aku minta maaf karena sering ngaret dan gagal post mulu. Akhir-akhir ini emang banyak baget kendala. Maaf maaf banget ya.

Part 5: Kisah Langit

"Sumpah deh Yel. Gue kesel banget sama dia," gerutu Ify kesal sambil melangkah bersama Gabriel pulang sekolah ini.
Sejak tahu tentang masa lalu mereka, keduanya memang jadi makin mendekat. Di kelaspun, tak jarang Gabriel mendatangi Ify. Membuat pipi Ify sering kali terasa memanas. Dan tadi, Gabriel juga menawarkan diri pulang bersama Ify. Melihat kekesalan di wajah Ify, membuat Gabriel bertanya simpatik. Dan ya begitulah, Ify menceritakan segala kekesalannya tentang anak baru itu.
"Anaknya tuh rese banget. Gimana gue bisa duet sama dia? Ih," omel Ify terus mendumel tentang Rio.
"Fy, udahlah. Lo nggak boleh gitu. Benci sama orang itu nggak baik," ucap Gabriel dewasa.
"Tetep aja gue kesel sama dia. Anak baru kok songong banget. Kayaknya tu anak bakal jadi pengganggu hidup gue deh!" kata Ify masih saja sebal.
"Nggak boleh ngomong gitu ah. Nggak baik berburuk sangka sama orang."
Ify terdiam. Ia mengangkat sebelah alis, lalu menoleh pada Gabriel. Gadis itu kemudian tersenyum menahan tawa, membuat Gabriel mengerutkan kening. "itu pasti kata mamamu, kan?" tanya Ify mengingat awal pertemuannya dengan Bintang.
Gabriel tertawa, "masih ingat?"
Ify berdehem pelan, "kata mama aku, nggak baik berburuk sangka sama orang," ucap Ify belaga memeragakan gaya Bintang yang ia ingat dulu.
Gabriel kembali tertawa. Ify juga ikut tertawa, walau diam-diam hatinya melambung tinggi bahagia.
"Oh ya Fy. Nanti malam ada live music jazz di HQ cafe. Lo suka jazz, kan? Nonton yuk!" ajak Gabriel membuat mata Ify melebar, "pas banget kan nanti malam tuh malam Minggu?"
Amarah dan panas yang tadi membakar hati Ify karena mencurahkan hati tentang Rio tiba-tiba langsung melenyap tanpa jejak. Digantikan bunga-bunga bermekaran yang mungkin sedang merayakan tahun baru karena ada kembang api meledak-ledak dalam hati gadis itu. Hatinya melambung tinggi dengan ribuan harapan menyerbu. Dan... ehm. Pas banget malam Minggu? Itu... maksudnya apa ya? Kodekah? Aduhduh. Tanpa sadar pipi Ify sudah memerah panas.
"Eum... oke deh. Jam berapa?" tanya Ify setelah beberapa saat mencoba menguasai diri.
"Jam setengah delapan gue jemput," jawab Gabriel tersenyum menawan.
'Aduhduh... bintang di langit aja kalah kali sama sinar bintang yang ini...' batin Ify menatap senyuman itu. Ify tersenyum tersipu, dan mengangguk.
Gabriel makin tersenyum. Menyadari pipi gadis itu sudah merona. Entahlah. Ada rasa bahagia terpancar dari hati pemuda tampan itu. Seperti dulu.

^^^

- IKLAN SEJENAK -
Semuanya jangan lupa klik www.ceritamu.com terus log in via facebook. Search cerpen 'Thanks, I Love You'. Like dan komen ya. Kalau ga sempet komen, share di twitter aja. Makasih :D

^^^

Alya keluar dari mobil yang mengantarnya pulang. Si pengemudi ikut turun, dan mengantar Alya sampai menuju ke pintu rumahnya. Alya berbalik, dan tersenyum pada pria itu.
"Rohan, makasih ya," kata Alya manis.
"Kamu apa sih. Kok ngomong makasih, kan tiap hari emang begini," jawab pria bernama Rohan itu tersenyum.
"Makasih... buat makan siangnya," jawab Alya malu.
Rohan tersenyum, lalu mengusap-usap rambut panjang Alya halus. "Aku pulang ya," pamitnya.
Alya mengangguk. Rohan tak langsung melepaskan tangannya di atas kepala Alya. Ia menarik lembut kepala itu mendekat, lalu mengecup kening Alya, membuat wanita muda tersebut menunduk sambil tersenyum kecil.
"Bye!" Rohan berbalik, kembali pada Mercy hitamnya.
Alya melambai pada pria itu. Rohan masuk ke dalam mobil, lalu mulai pergi. Senyum kecil di wajah Alya menjadi senyuman lebar bahagia. Ia lalu dengan riang masuk ke dalam rumahnya. Perempuan itu segera masuk kamar, lalu merebahkan diri ke atas ranjang. Merasa lelah sekali seharian mengurusi anak muridnya di SMA Pelita. Apalagi tadi dua anak itu membuat onar. Alyssa dan Mario.
Mario.
Alya tersentak, dan langsung terduduk dari tidurnya. Teringat lagi nama Rio tadi. Ia berani sumpah. Ia pernah mendengar nama itu. Dulu. Dulu sekali. Tapi... kapan?
Alya melepaskan sepatu haknya, lalu berganti baju. Ia terus mencoba mengingat nama itu. Sepertinya dulu ia sering kali menuliskannya. Eh, atau dulu ia sering kali memikirkannya?
"Mungkin umurku sama Rio beda belasan tahun. Jadi... kapan aku ketemu dia?" gumam Alya bertanya, entah pada siapa.
Perempuan itu mondar-mandir di kamarnya sambil mengelus dagu, mencoba mengingat.
"Mario Bintang Haling..." kata Alya pelan, dengan suara mengambang. Bintang...

"Bintang di langit..."
"Aku udah suruh mereka nemenin kamu."
"Namanya Rio itu Mario Bintang... eng... siapa Yo?"
 "Aku nggak akan ninggalin kamu lama-lama kok. Kalau aku pergi, nanti aku juga pasti kembali lagi ke kamu."
"Kamu... akan kembali, kan?"
"... Aku, ataupun kamu nggak tahu kehidupan apa yang terjadi nanti. Kita nggak bisa nebak..."
"Suatu saat nanti..."

Secepat kilat, ribuan bayang kenangan menyerbu otak Alya. Dua anak kecil yang bermain di ayunan taman, lalu pemuda yang memberikan ia segelas es jeruk, dan dirinya yang berseragam SMA dengan buku tulis dan pulpen di pangkuan. Memori itu mendadak muncul, membuat kepala Alya sedikit berdenyut sakit.

"Itu bukan kisah mereka nanti, tapi... kisah novel kamu."

Alya tersentak. Refleks, ia membuang pandangan pada lemari besarnya yang ada di sudut kamar. Perempuan itu seperti kesetanan, segera menuju lemari tersebut. Membukanya dengan tak sabar. Kalap, ia melemparkan semua barang-barang yang ada di dasar lemari begitu saja, mencari suatu benda yang ingin ia ambil. Dan itu dia. Tergeletak pasrah di pojok lemari. Sendirian. Dengan debu yang jadi selimutnya. Alya merasakan hatinya mencelos seketika.
"Adit..." gumamnya bergetar. Ribuan gejolak emosi itu membuatnya jadi terhantam keras. Karena kenangan yang coba ia kubur, kini kembali datang ke permukaan.
Dengan gemetar, Alya menjulurkan tangan. Meraih kotak berwarna emas berukuran 30x30x30 cm. Ada pita putih menghiasi tutupnya, walau kini terlihat sangat lusuh dan berdebu.
Alya beranjak, membawa kotak itu menuju depan ranjangnya. Ia duduk di sana, lalu membersihkan debu tebal di kotak tersebut. Perempuan itu menutup hidung dan mulut saat debu-debu itu berterbangan. Ya Tuhan... sudah berapa tahun ia menyimpan kotak ini tanpa pernah menyentuhnya sedikitpun?
Alya menghela nafas, lalu membuka tutup kotak itu. Hatinya berdenyut tak nyaman. Walau ada luapan rindu yang meledak-ledak menyesaki dadanya.
Benda pertama yang terletak paling atas, sepucuk surat. Surat yang Adit berikan dulu kala keberangkatannya ke Australi. Lalu selanjutnya ada beberapa buku harian, yang berisi kisah manis Alya dan Adit saat SMA dulu. Ada sebuah boneka kelinci kecil berwarna pink yang sudah terlihat lusuh. Lalu...
Sebingkai pigura.
Alya menggigit bibir kuat meraih benda itu. Ia mengusap kaca pigura, menjelaskan poto yang ada di sana. Seorang gadis berwajah manis sedang tersenyum senang di rangkulan seorang pemuda putih yang juga tersenyum. Keduanya mengenakan seragam SMA yang sudah tak bersih dengan coretan-coretan pilox menghiasi setiap sentinya. Hari kelulusan mereka.
Sebulir air mata jatuh, membasahi kaca pigura itu. Membuat Alya tersentak. Ia dengan segera mengusap mata basahnya. Tidak tidak. Ia sudah berjanji pada diri sendiri tak akan lagi meneteskan air mata karena pemuda itu. Atau... yang kini ia sebut pria itu. Bagaimana ia sekarang? Em... apa masih pendek seperti dulu? Dulu tingginya sama seperti Alya, tak seperti teman lelaki lainnya yang melebihi tinggi Alya. Em.. apa ia masih senang bermain drum? Ah drum. Hal yang sering kali membuat Alya cemburu. Dan... apa ia masih senang taman? Dulukan ia sering membawa Alya pergi ke taman. Tak seperti kebanyakan laki-laki pada jaman itu, yang sering membawa gadisnya kencan ke restoran romantis atau bioskop. Adit justru pasti membawa Alya ke sebuah taman.
Alya menggigit bibir kuat, dan tanpa sadar mendekap pigura itu erat. Sebelas tahun itu waktu yang lama, kan? Tapi kenapa tak bisa mengikis perasaan ini?
Alya memang bisa move on. Memacari beberapa orang sampai ia berhenti di lelaki sekarang, Rohan. Tapi... jujur, kecap rasa membahagiakan itu terasa hambar. Tak berasa. Seakan tak ada lagi 'sensasi'nya. Bagi wanita sebaya Alya, mencari pendamping hidup adalah tujuan kala mendapatkan seorang kekasih. Tapi bagi Alya... entahlah. Rohan memang kekasihnya, namun... ia belum ingin Rohan jadi calon pendamping hidupnya.
Ia kagum pada pria itu, ia menyukai pria itu, dan ia bahagia ada di samping pria itu. Rohan memang ada di hatinya, tapi belum bisa masuk ke dalam ruang spesial di sana. Ruang yang masih kosong, karena sebelas tahun telah ditinggalkan.
Ada tiga fase jatuh cinta, kan? Pertama, nafsu. Seperti saat kita mengendarai mobil, tapi kepala kita menoleh ke kanan dan kiri. Kedua, cinta. Saat seseorang terus memikirkan satu orang saja menjadi fokusnya dan ingin memiliki orang tersebut. Dan yang ketiga, ingin hidup bersama. Nafsu, cinta, dan ingin memiliki. Dilanjutkan kita ingin terus bersama orang itu, menikmati hidup dengannya sampai ajal menjemput.
Dan yang Alya rasakan pada Rohan... jujur, masih pada tahap pertama. Ia belum bisa 'mencintai' pria itu. Meski begitu, ada sosok lain yang pernah melewati fase tersebut. Bahkan fase cinta dan ingin hidup bersama juga telah ia lewati. Alya ingin menghabiskan harinya bersama pria itu. Bahkan dulu, Alya berangan hari tuanya akan diwarnai dengan mengurusi anak-anaknya bersama pria tersebut. Adit...
Alya menghela nafas panjang, lalu menaruh bingkai tadi di antara barang-barang yang lain. Ia kembali melongok ke dalam kotak. Tersisa beberapa benda lain. Ada jepit pemberian Adit, kartu ucapan hari Valentine, gantungan kunci dari Adit, dan barang-barang kecil pemberian pria itu. Kecil, namun punya efek besar di memori Alya.
Tapi di antara itu semua, ada sebuah buku catatan tipis. Gadis itu tersenyum pelahan, kemudian meraihnya. Kalau buku-buku yang lain berisikan harian kisahnya bersama Adit, buku ini khusus menuliskan kejadian-kejadian yang ia alami bersama Adit, namun bukan mengenai pria itu.
Alya dulu bercita-cita jadi penulis, jadi ia selalu menyempatkan diri menulis hal-hal menarik yang pernah ia alami. Siapa tahu nanti bisa jadi bahan cerita. Seperti halnya saat Adit membawanya ke sebuah taman yang ada danaunya. Banyak kisah terjadi. Sepasang kekasih lain yang bersikap romantis, penjual jajanan kecil yang ramah, atau anak-anak yang bermain di sana. Kalau diperhatikan lebih jelas, hal-hal itu bisa jadi bahan tulisan.
Alya membuka lembar demi lembar buku itu. Dan akhirnya ia menemukan hal yang ia cari. Hal yang membuatnya langsung teringat pada kotak kenangan bersama Adit. Tertulis jelas sebagai judul halaman.

"Bintang"

Alya membaca tulisan tangannya saat itu. Yang membulat rapi khas anak SMA pada umumnya.  Ia kadang tersenyum sendiri membaca tulisan-tulisan yang dulu ia tulis dengan bahasa remaja yang khas. Atau kadang juga tersenyum miris saat membaca ada nama Adit di sana. Tapi Alya mendadak terdiam, matanya makin melebar membaca kalimat-kalimat pada hari itu.

"Anak perempuan berdagu lancip itu seperti kaget, bersamaan juga dengan temannya -yang... eum.. agak sengak menurutku-. Ternyata anak cowok imut itu namanya Bintang. Namanya sama seperti anak cowok -yang belagu itu- (ya... harus ku akui tingkah sombongnya justru menggemaskan). Kata anak perempuan itu, nama temannya adalah Mario Bintang Haling.  Aku pikir anak cowok sengak itu akan luluh, tapi malah mengusir Bintang. Ckckck. Masih TK aja belagunya minta ampun. Awas saja kalau saat dia besar aku bertemu dengannya lagi dan sikapnya masih sama, pasti akan aku hajar!
Ya, kalau aku bertemu lagi dengan mereka. Aku penasaran bagaimana saat mereka dewasa nanti. Bintang, Ify, dan Rio..."

Masih banyak kata lain sebenarnya. Tapi Alya terdiam di kalimat itu. Tiga nama tersebut. Bintang, Ify, dan Rio.
Alya sudah terkejut bukan main saat sadar Rio adalah anak cowok belagu-tapi-menggemaskan yang ia temui di taman kala itu. Dan ditambah ini. Ia tahu, sebagai guru tentu saja.
Ify adalah nama panggilan Alyssa.
Buku catatan tersebut jatuh begitu saja dari kedua tangan Alya yang melemas. Mulutnya terbuka lebar. Ya Tuhan... inikah yang namanya kisah Langit? Yang memang sudah ditetapkan dan ditentukan sedari dulu, bahkan sebelum manusia itu lahir di dunia ini. Kisah Langit adalah kisah yang memang ditulis Tuhan. Dengan tokoh-tokoh yang sudah Ia pilih berhubungan satu sama lain. Terkadang akal manusia sulit percaya, kebetulan-kebetulan ajaib yang malah jadi berhubungan satu sama lain menjadikan sebuah kisah yang rumit. Yang sulit dijelaskan ternyata bisa terjadi. Kisah ini mungkin... sudah direncanakan.
Kepindahan Rio ke SMA Pelita, membuatnya bertemu lagi dengan sahabat kecilnya, Ify. Jadi... dua orang itu tak saling mengenal lagi? Memangnya apa yang terjadi selama sebelas tahun ini?
Dulu Adit masih sering mengajak Alya ke taman itu. Alya juga sering melihat Ify dan Rio bermain ayunan. Ada Bintang juga yang melengkapi mereka. Saat itu Alya juga penasaran bagaimana Rio kecil yang seperti tak suka dengan Bintang malah memperbolehkan Bintang ada dalam persahabatannya dengan Ify. Alya sering menuliskan tingkah mereka kala memerhatikan dan mencuri dengar ketiga anak kecil itu bermain bersama.
Tapi... apakah mereka berpisah?
Alya tanpa sadar tersenyum. Inikah namanya cosmological coincidence? Atau kebetulan kosmos, yang dirancang oleh alam semesta. Alya kembali bertemu dengan dua sahabat itu. Alya juga tak habis pikir, ternyata gadis kecil yang pernah jadi inpirasinya kini malah jadi murid kesayangannya. Mengapa ia bisa lupa dengan nama Ify? Dan... anak kecil sengak-belagu yang saat itu terlihat menggemaskan, ternyata anak baru yang bandel. Yang sudah buat onar di hari pertamanya. Hahaha. Ternyata Rio tak banyak berubah. Terutama sifatnya. Ia dan Ify juga masih sering bertengkar kecil seperti dulu. Lalu... mana Bintang? Apa dia juga termasuk dalam kisah ini?
Entah mengapa Alya jadi bersemangat. Ia mengambil buku catatan itu, dan membawanya ke meja kerjanya. Sudah lama ia tak lagi menulis -walau kini sudah banyak buku karyanya, fiksi maupun nonfiksi-. Sejak jadi guru di SMA Pelita, ia sudah jarang mengetik seperti dulu. Dan kini, kisah Ify dan Rio sangat menarik kalau dijadikan sebuah cerita novel. Dan ia sangat penasaran, apa ya kelanjutan kisah ini?

*****

Eaaaaa wkwkwk.  Oke, ga usah sewot karena di prolog aku bilang mau jadi si Alya di sini. Wuahaha. Bayangin aja deh siapa kek gitu. Dan Aditnya itu... awawaw. You know who kan? hahaha. Dan Rohan... jujur, aku rada pusing awalnya mau kasih nama siapa. Tapi ya karena sekarang mulai tertarik sama Stanza, khususnya Rohan, jadi deh Rohan masuk. Huahaha.
Em... betewe itu Gabriel ngajakin Ify malam mingguan, atau bahasa kecenya... ngedate. Ya. Ify dan Gabriel. Ngedate. *ngirisnadi*
Kalian emang maunya Ify sama Gabriel atau Ify sama Rio? Terserah deh. Yang penting penulisnya sama Aditya Junas ya :3 *plak *nyambungnyajauh
Part depan.... aduh nyesek banget, terutama bagiku </3 Tapi sih... ada yang buat senyam senyum, karena... bakal ada calon suami saya! *eh. Si 'semut' itu tuh... hihihi. Dan tetep ada si kambing sih ya. Bakal ada yang liat bintang. Dan bakal ada yang nangis sesenggukan(?)
So, wait! And be patient pliiissss pengen amat cepet2 dah. Aku bukan kyak penulis lain yg sekali post langsung 3 sampai 5 part. Aku jga bukan penulis yg dalam satu hari ngepost dua part. Maaf yaaaaa :) Tapi insyaAllah part selanjutnya besok (doakan saja)
next part: "Please, forget him..."

@aleastri ^^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar