Rabu, 13 Februari 2013

Bintang Super Mario: Part 6



Part 6: "Please, forget him..."

Perkembangan hubungan Gabriel dan Ify berjalan pesat. Setelah menghabiskan malam Minggu berdua saja dengan menonton pertunjukan musik dan  makan bersama, esoknya Gabriel kembali bertemu dengan Ify. Kali ini rumah Ify yang jadi latarnya.
Ify tersenyum sambil melangkah keluar dari rumahnya dengan sebuah baki di kedua tangannya. Ada dua gelas es jeruk dan sepiring brownies potong. Gabriel yang awalnya duduk melamun di ayunan halaman rumah Ify, terkejut dan menoleh.
"Malam-malam ngelamun, nanti kesambet," tegur Ify sambil menaruh baki di meja kecil yang tadi ia tarik dari terasnya, di samping ayunan itu.
Gabriel tersenyum, "dari dulu lo nggak bisa lepas dari ayunan ya?" tanya Gabriel setengah mengejek.
Ify tertawa, lalu duduk di samping Gabriel, di ayunan panjang itu. "Gue seneng aja sama ayunan. Tapi ayunan begini nggak terlalu asyik. Sukanya yang bisa bikin ngelambung gitu!" kata Ify ceria.
Gabriel tertawa. Bayang Ify kecil muncul dalam benaknya. Keceriaan gadis itu, yang membuatnya selalu kagum.
"Ayunan itu ya, bisa buat gue bahagia. Apalagi saat ngelambung tinggi, gue kayak nyatu sama langit. Hehe, iya. Langit. Gue suka banget sama langit," lanjut Ify menatap langit malam yang gelap. Tapi lalu bibirnya mendecak dengan raut wajah kecewa, "tapi gue kesel banget kalau malam gini. Nggak ada bintang. Padahal gue suka langit karena langit tu tempatnya bintang."
Gabriel mengangkat alis, "ya iyalah nggak ada bintang. Kan bintangnya lagi ada di samping gue."
Ify tersentak, lalu menoleh. Gabriel tersenyum ke arahnya, membuat pipi gadis itu kembali membara.
"Apaan sih lo," kata Ify memukul pelan lengan pemuda itu, membuat Gabriel tertawa. "Yang punya nama Bintang kan elo, ya elo bintangnya."
Tawa Gabriel berubah jadi senyum, "em... bintang dimana?" tanyanya dengan nada menggoda.
'Di hati gue...' batin Ify sambil menggigit bibir, takut kata itu langsung terceplos begitu saja. "Ya... dimana kek gitu. Keluarga lo, sekolah, atau lapangan basket mungkin?" jawab Ify asal.
"Em... kalau di hati lo?" tanya Gabriel mengerling.
"Ih Gabriel apaan sih," sekali lagi, Ify memukul pemuda itu sambil bersungut. Walau diam-diam merasa melayang. Ternyata pemuda pujaan hatinya sedari dulu ini punya sifat seperti ini. Menyenangkan.
Gabriel tertawa, lalu bersandar di ayunan membuat ayunan itu bergoyang pelan. Ia mendongak menatap langit. Ify mengangkat alis melihat itu, tapi lalu mengikuti.
"Lo sering liat langit ya?" tanya Gabriel, mengingat saat itu Acha juga berkata seperti itu.
Ify tersenyum. "Sering banget Gab. Tapi... gue sering bete. Langit Jakarta tuh ngeselin kalau malam. Nggak ada bintang. Namanya... em... light... polusi... eh,  light..." Ify mencoba mengingat-ingat, Gabriel tertawa melihat ekspresi gadis itu.
"Light pollution?" ucap Gabriel membenarkan.
"Eh, iya itu maksud gue!" kata Ify nyengir. Agak merasa malu. "Ibukota kebanyakan gedung tinggi, lampu jalanan, dan kendaraan dimana-mana. Lampu-lampu dari mereka itu yang buat langit jadi terlalu  terang, jadi sinar bintangnya nggak keliatan deh."
Gabriel mengangguk-angguk, "sama kayak hidup ya?"
"Hm?" Ify menoleh dengan kening berkerut.
Gabriel tersenyum, "kadang banyak hal-hal yang  terlihat indah yang nutupin hal indah sebenarnya. Yang buat manusia sering kali terbuai, dan salah langkah untuk milih."
Ify diam sejenak, lalu mengangguk setuju. Ia kembali menatap langit malam, dan menerawang. "Kayak seorang pengagum rahasia yang punya cinta tulus, tertutupi sama para pengagum lainnya. Sehingga pujaan hatinya nggak bisa liat dia," kata Ify terdengar lirih, bahkan seakan ia sedang bicara sendiri.
Gabriel tersentak. Ify sendiri juga ikut tersadar dengan ucapannya, lalu merutuk diri dengan bodoh.
"Elo curhat Fy?" ejek Gabriel bercanda sambil tertawa.
Ify makin merutuk, merasakan pipinya makin membara.
"Bukan sama gue, kan? Hahaha," kata Gabriel asal sambil tertawa.
"Eeeee ya bukanlah. Masa sama lo, haha, bukan. Geer lo. Haha, emang siapa yang curhat? Sok tahu deh. Haha, apaan sih, haha," racau Ify tak jelas. 'Mampus gue mampus....' batin Ify ingin sekali memukulkan kepalanya ke tembok. Salah tingkah membuatnya tertawa gugup dengan racauan tak karuan.
Gabriel meredakan tawanya. "Sinar yang terlalu terang emang bisa nutupin sinar lain. Karena itu, kita sebagai manusia harus punya ciri khas sendiri. Biar kita juga bisa bersinar terang daripada yang lain."
Ify mengangguk, sambil menoleh ke segala arah. Berusaha agak merah di pipinya tak terlihat dan segera menghilang.
Gabriel memerhatikan raut wajah gadis itu. Yang entah mengapa membuat lagi-lagi, hatinya berdesir. Ah gadis ini. Bintang paling terang dalam hidupnya. Beruntung Gabriel kembali dipertemukan dengan gadis ini. Karena... tanpa gadis ini hidup pemuda itu akan semakin gelap. Bersamaan dengan luka yang terus menganga. Kala pertemuan awalnya dengan Ify, senyuman gadis itu mengobati lukanya. Ganti menggoreskan senyum dan bahagia. Tapi saat pemuda ini harus pergi, ia harus rela meninggalkan bintang itu. Tapi mungkin Tuhan sangat mencintainya. Doa Gabriel didengar. Gadis itu kembali padanya. Awalnya Gabriel memang senang memerhatikan Ify dari jauh setiap Ify menontonnya bermain basket. Perasaan Gabriel sudah berkata bahwa dialah orang yang pergi selama ini. Dan benar saja. Sejak mereka sekelas -atau tepatnya sejak ke ruang musik berdua itu- mereka jadi dekat karena tahu kisah kecil masing-masing. Tak bohong kalau Gabriel senang melihat pipi gadis itu sering merona di sampingnya. Mungkin Gabriel terlihat cuek tak peduli, padahal diam-diam hatinya ikut melambung melihat itu. Membuat suatu firasat muncul dalam dadanya. Mungkin saja... gadis ini juga memiliki rasa yang sama.
Dan... apakah ini waktunya? Karena posisi Gabriel seperti terancam. Sejak kedatangan murid baru itu, entah mengapa Gabriel merasa dialah Rionya Ify. Selama ini firasat Gabriel jarang ada yang salah. Karena itu, Gabriel takut. Kalau-kalau kisah mereka remaja ini akan sama seperti kisah saat mereka masih kanak-kanak. Dimana Rio selalu dominan mendekati Ify, Ify yang selalu menurut walau mengomel dulu, dan Bintang yang hanya bisa melihat mereka tertawa bersama. Tidak. Gabriel tidak ingin seperti itu lagi. Ia yang kali ini bersama Ify, bukan Rio. Ya. Mungkin ini memang waktunya.
Gabriel menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya. Kemudian ia berdehem pelan, "em... Fy," panggilnya membuat Ify menoleh. "Apa sampai saat ini gue tetap jadi bintang paling bersinar buat lo?" tanya Gabriel, mengingatkan ucapan Ify dulu saat mereka masih kecil.
Ify terkejut setengah mati, dan melebarkan mata menatap Gabriel.
"Dulu lo pernah bilang. Bintang di langit nggak akan bisa nyamain dua bintang yang jadi sahabat lo di bumi. Sampai saat ini... apa masih begitu?" tanya Gabriel serius.
Ify meneguk ludah. Andai saja Gabriel tahu. Gabriel telah jadi bintang terindah di hati Ify. Bukan di tempat persahabatan, tapi di tempat lain yang lebih spesial. Akhirnya Ify hanya tersenyum dan mengangguk. Tak bohong, kan?
"Eum... sekarangkan, kita udah nggak tahu Rio ada dimana," ucap Gabriel perlahan, Ify mengerutkan kening. "Jadi... apa... gue bisa jadi satu-satunya bintang yang bersinar buat lo?"
Mata Ify melebar, dan tertegun. Tatapan teduh Gabriel membuatnya makin membeku.
"Ma... maksud lo?" tanya Ify mencoba bersua walau tercekat.
Gabriel menghela nafas, lalu mendekatkan diri. "Gue mau jadi bintang lo. Bintang milik lo."
Mulut Ify terbuka sedikit. Tak memercayai pendengarannya. Siapapun, tolong segera tampar pipinya sekarang. Karena ia tak yakin ini nyata atau mimpi. Atau khayalan? Halusinasi? Apapunlah. Ify mengerti maksud itu. Apalagi kata 'milik lo'. Eh, atau ia yang salah menafsirkan? Ataukah karena harapan itu sudah terlalu banyak hingga ia mengartikan maksud Gabriel seperti apa yang ia inginkan selama ini? Namun... tatapan menenggelamkan itu membuatnya yakin sekali ini kenyataan.
"Gue nggak bisa diam lagi. Selama ini gue selalu merhatiin lo diam-diam. Karena itu, saat tahu kita sekelas gue langsung deketin lo. Dan saat tahu ternyata lo adalah Ify kecil gue, gue makin ingin selalu sama-sama lo," aku Gabriel membuat lutut Ify melemas seketika. Gabriel menarik nafas perlahan, "gue... sayang sama lo."
Mata Ify melebar dengan mulut terbuka sedikit, tak menduga dengan apa yang Gabriel ucapkan. Em... oke oke. Ify memang selalu mengkhayal dan berharap suatu saat nanti Gabriel akan menyatakan cinta padanya. Tapi ternyata, saat hal itu jadi nyata Ify hanya bisa jadi batu yang tak bergerak sedikitpun. Benar-benar membeku.
Tapi ucapan Gabriel selanjutnya, membuat Ify tersentak lagi.
"Gue mau jadi satu-satunya bintang buat lo. Bukan yang lain," kata Gabriel serius.
Ify diam sejenak, "mak...sud lo... satu-satunya bintang?" ucap Ify tersendat. Sepertinya ia mengerti maksud kalimat itu.
Gabriel meneguk ludah sedikit, lalu mendesah pelan. Ia kemudian meraih kedua tangan Ify dan menggenggamnya hangat. "Lupain Rio."
Ify tenganga, tapi refleks melepaskan genggaman Gabriel membuat Gabriel terkejut. "Maksud lo, lo mau gantiin posisi Rio gitu?" ucapnya mulai menajam, agak tersinggung.
Gabriel menggigit bibir, sudah pernah menduga dengan reaksi seperti ini. "Bukannya lo bilang lo benci dia? Dan lo mau lupain dia, kan?"
"Ya tapi bukan berarti tempatnya bisa digantikan," sahut Ify segera. "Sampai kapanpun, lo, atau siapapun di dunia ini, nggak akan ada yang bisa gantiin Rio," tegas Ify membuat tusukan dalam dada Gabriel.
"Bahkan sampai dia nggak pernah kembali?" tanya Gabriel tak bernada, seakan tenang dengan pembicaraan mereka. Walau hatinya mulai retak perlahan.
Ify mendadak terdiam. Sementara Gabriel menatapnya dalam.
"Apa sampai nanti, sampai lo punya kehidupan sendiri, lo tetap akan terus mikirin dia?" tanya Gabriel dengan nada menuntut, datar namun mendesak. "Dan Fy, apa lo yakin di sana Rio sedang mikirin lo juga? Apa Rio masih ingat sama sahabat kecil yang dia tinggal? Apa Rio sampai saat ini nggak pernah gantiin posisi lo? Apa lo tahu?"
Mulut Ify terbuka, tapi tak tahu kata apa yang harus ia ucap. Ia jadi gagu, dengan nafas yang tercekat.
"Dia udah buat luka untuk lo. Dan di sini, gue bersedia ngobatin luka itu," ucap Gabriel kini menjadi bernada lembut, "karena gue sayang sama lo."
Ify meneguk ludah menatap bola mata teduh Gabriel. Hatinya bergerak perlahan. Mulai merasa luluh. Namun hati kecil gadis itu masih tak bisa menerima, memerotes dan yakin bahwa Rio pasti akan kembali. Karena laki-laki itu sudah mengatakan berkali-kali. Kemanapun ia melangkah, pasti nanti akan kembali lagi pada Ify. Dan Ify memercayainya. Seperti Ify percaya bahwa memang sampai kapanpun ia takkan bisa menggantikan posisi Rio. Memang, ia sering berkata ia sudah melupakan Rio, membenci pemuda itu yang sudah ingkar janji. Namun sebenarnya di lubuk hati Ify terdalam, Ify masih sangat mengharapkan Rio. Oke, ia memang menyukai Gabriel. Gabriel punya posisi berbeda di hati Ify dengan Rio. Tapi ucapan Gabriel itu, yang seakan menyuruhnya memberikan seluruh tempat di hati hanya untuk Gabriel. Tanpa ada lagi nama Rio di sana. Sanggupkah Ify melakukannya?
"Gimana Fy?"
Ify tersentak. Ia lalu menghela nafas dan mengalihkan pandangan. Punggungnya ditempelkan ke senderan ayunan dengan mata menerawang langit malam. "Gue nggak tahu," jawabnya singkat membuat Gabriel tersentak. "Gue nggak bisa jawab Gab. Em... iya, gue juga suka sama lo. Tapi... gue nggak tahu apa gue bisa gantiin Rio atau nggak."
Gabriel mendesah pelan, "terus? Gue harus nunggu jawabannya?"
Ify mengedikkan bahu, "terserah lo. Gue nggak nyuruh atau maksa."
Gabriel diam. Ia menggigit bibir sambil ikut menatap langit malam. Pemuda itu menghela nafas panjang. "Oke, gue tunggu."
Ify meremas jemarinya. Ada perasaan senang bahagia memancar dalam dadanya. Tapi sebagian juga ada rasa ragu yang menyelinap. Gadis itu makin menatap langit, dan berbisik lirih.
'Rio... kamu akan kembali, kan?'

^^^

"Aku pasti kembali!" sahut Rio kesal, karena berkali-kali diteriaki hal yang sama. "Besokkan sekolah Ma, aku pasti pulang."
Mama Rio sudah memasang wajah marah karena anak tunggalnya itu selalu seenak jidat keluar masuk rumah sesukanya. Sejak jadi anak ibukota, Rio memang sering kali keluar. Ya sebagai orangtua, wajar saja Mama Rio merasa khawatir. Ia tak ingin pergaulan ibukota yang jelek merasuk ke anaknya -yang memang sudah bandel-.
"Aku ke tempat Ozy aja kok! Ya? Bye!" pamit Rio tanpa menunggu jawaban ijin dari bunda tersayang. Ia langsung ngeluyur keluar rumah begitu saja.
Cukup melewati satu rumah, Rio sudah sampai di pagar rumah Ozy. Ia masuk seenaknya, dan melangkah ke teras rumah Ozy, lalu melangkah masuk dengan santai.
"Ozy!" panggil Rio sambil melangkah melewati ruang tamu begitu saja.
"Di kamar, masuk aja."
Sebuah suara berat dari ruang tengah yang baru ia masuki membuat Rio menoleh. Rio refleks tersenyum lebar, melihat Om Ozy sedang duduk di sofa ruang tengah sambil mengetik di laptopnya.
"Woi Om!" sapa Rio sambil duduk di sofa, "aku mau ngomong sama Om."
Om Ozy itu mengerutkan kening, dan mendongak.
"Mau bantu aku nggak?" tanya Rio nyengir.
Pria putih yang duduk membentuk sudut dengan Rio itu mendesah, lalu kembali memandang layar laptop. "Apalagi? Ngerjain Ozy lagi?" tanyanya yang memang sering mendapat ide jail dari Rio untuk mengerjai keponakan pertamanya itu.
Rio tertawa, "Om Adit ah! Emang aku sebejat itu apa?" tanyanya tanpa dosa. Pria yang mendengarnya tertawa.
Rio merogoh sesuatu dari kantong celananya. Ia lalu menaruh di atas keyboard laptop Adit. Adit tersentak. Sepucuk surat. Kening pria itu berkerut, lalu menoleh pada Rio.
Rio menyeringai, "aku disuruh guru panggil orangtua buat besok."
Kening Adit makin mengerut, "buat apa? Ck. Kamu pasti buat masalah ya?"
"Nggak Om," elak Rio segera, "kata gurunya itu, dia mau ketemu waliku. Biar lebih tahu aku karena akukan murid baru."
"Terus kenapa kasih Om? Kenapa bukan orangtuamu?" tanya Adit telak, membuat Rio bungkam. "Pasti kamu buat onar ya di hari pertama?"
"Iya Om!" sebuah suara yang baru datang membuat Adit dan Rio menoleh. Ozy dengan kaos putih oblong dan celana biru pendeknya mendekat, lalu melemparkan tubuh ke samping Rio. "Dia berantem sama anak kesayangannya guru, ya wajar aja dipanggil."
Rio mencibir, mengingat sosok gadis yang jadi alasan adanya surat itu. Sementara Adit mendesah.
"Panteslah dipanggil. Anak baru tapi hari pertama udah berantem. Mau tahu lebih dekat itu maksudnya pengen tahu kamu dulu di sekolah lama gimana," kata Adit sambil mengambil surat itu, membukanya, membaca sekilas tanpa melihat tanda tangan atau nama guru yang memanggil Rio, lalu melipatnya kembali dan memasukkannya lagi.
Rio mendesah, "Om, datang ya? Please.... Mama udah ngamuk nih sama aku, apalagi kalau ditambah surat itu."
Adit mendecak pelan, "jam berapa?"
"Sembilan, dan ditunggu sampai jam sebelas," jawab Rio.
"Aku masih kerja tuh. Jam sebelas memang istirahat, tapikan harus jemput Dinda," ucap Adit membuat Rio langsung kecewa.
"Yah Om, jadi gimana?" tanya Rio mulai panik.
"SDnya Dindakan deket sama sekolah. Emang nggak bisa mampir Om?" tanya Ozy membantu Rio.
Adit diam, menimang. Ia memutar mata, melirik Rio yang menatapnya super memelas dan berharap.
"Datang ya Om. Yang manggil tuh guru tercantik di sekolah loh! Idolanya Ozy!" bujuk Rio membuat Ozy mendelik. "Dia guru bahasa Inggris yang juga jadi pembina musik. Ozy ngefans banget sama dia!"
Ozy dengan kesal menempeleng kepala Rio, membuat Adit tertawa kecil.
Rio bersungut dan menoleh, "elo sendiri yang ngaku kalau ngefans sama tu guru."
Ozy mencibir sebal, lalu melirik ke arah Adit, "ya elo juga nggak usah ngomong di depan Om Adit kali," bisik Ozy kesal.
"Loh? Memang kenapa Om nggak boleh tahu?" tanya Adit mendengar, membuat Ozy membelalak sedikit karena bisikkannya ternyata tak pelan.
"Emang nih Ozy. Dia takut kali Om ngerebut pujaan hatinya," ucap Rio seenaknya.
Ozy menggeram sebal, "Om! Besok nggak usah datang aja! Lagian sekarang aku mau ngasih tahu Tante Manda kok, biar Tante Manda yang datang!" kata Ozy tegas sambil berdiri, membuat Rio melotot dan segera menariknya mendekat.
"Iya Zy, iya. Ampun ampun. Damai deh damai," kata Rio langsung panik. Ancaman Ozy untuk memberi tahu mamanya membuat Rio langsung ciut.
Adit geleng-geleng kepala melhat tingkah dua sahabat ini, "ya sudah. Besok Om datang," putusnya membuat senyuman lebar langsung tengiang di wajah Rio. Sementara Ozy hanya mengerucutkan bibirnya.

*****

Hm... bingung ya? Karena part kemarin aku bilang bakal nyesek dan ada yang nangis sesenggukan. Ya... sebenarnya itu si penulis, yang nyesek ngetik adegan Gabriel nembak Ify *hiks. (Maaf, penulis emang random)
Eeeehhhh ada yang muncul. Ihiy. Si semut (senyum imut) hihihi. Adit di sini baek gitu ya. Mau ngebantu dan masih berjiwa muda gitu. Huahaha.
Cieee Ozy kayaknya beneran suka sama Miss Alya. Tapi... Omnya kan padahal mantan gurunya itu ya. Kalau dia tau gimana? Em~
Part depan, entah muncul atau nggak(?). Karena aku pengen kalian promote dulu dong. Pake' hastag kek sekalian. Em... hastagnya #BintangSuperMario aja gimana?
Tapi ngomong-ngomong part depan sih.... termasuk yang aku suka ya. Karena para peran utama muncul di satu part yang sama. Mulai menuju klimaks juga ;)

see you next part ya!
@aleastri






Tidak ada komentar:

Posting Komentar