Part 6:
"Please, forget him..."
Perkembangan
hubungan Gabriel dan Ify berjalan pesat. Setelah menghabiskan malam Minggu
berdua saja dengan menonton pertunjukan musik dan makan bersama, esoknya Gabriel kembali
bertemu dengan Ify. Kali ini rumah Ify yang jadi latarnya.
Ify
tersenyum sambil melangkah keluar dari rumahnya dengan sebuah baki di kedua
tangannya. Ada dua gelas es jeruk dan sepiring brownies potong. Gabriel yang
awalnya duduk melamun di ayunan halaman rumah Ify, terkejut dan menoleh.
"Malam-malam
ngelamun, nanti kesambet," tegur Ify sambil menaruh baki di meja kecil
yang tadi ia tarik dari terasnya, di samping ayunan itu.
Gabriel
tersenyum, "dari dulu lo nggak bisa lepas dari ayunan ya?" tanya
Gabriel setengah mengejek.
Ify
tertawa, lalu duduk di samping Gabriel, di ayunan panjang itu. "Gue seneng
aja sama ayunan. Tapi ayunan begini nggak terlalu asyik. Sukanya yang bisa
bikin ngelambung gitu!" kata Ify ceria.
Gabriel
tertawa. Bayang Ify kecil muncul dalam benaknya. Keceriaan gadis itu, yang
membuatnya selalu kagum.
"Ayunan
itu ya, bisa buat gue bahagia. Apalagi saat ngelambung tinggi, gue kayak nyatu
sama langit. Hehe, iya. Langit. Gue suka banget sama langit," lanjut Ify
menatap langit malam yang gelap. Tapi lalu bibirnya mendecak dengan raut wajah
kecewa, "tapi gue kesel banget kalau malam gini. Nggak ada bintang.
Padahal gue suka langit karena langit tu tempatnya bintang."
Gabriel
mengangkat alis, "ya iyalah nggak ada bintang. Kan bintangnya lagi ada di
samping gue."
Ify
tersentak, lalu menoleh. Gabriel tersenyum ke arahnya, membuat pipi gadis itu
kembali membara.
"Apaan
sih lo," kata Ify memukul pelan lengan pemuda itu, membuat Gabriel
tertawa. "Yang punya nama Bintang kan elo, ya elo bintangnya."
Tawa
Gabriel berubah jadi senyum, "em... bintang dimana?" tanyanya dengan
nada menggoda.
'Di hati
gue...' batin Ify sambil menggigit bibir, takut kata itu langsung terceplos
begitu saja. "Ya... dimana kek gitu. Keluarga lo, sekolah, atau lapangan
basket mungkin?" jawab Ify asal.
"Em...
kalau di hati lo?" tanya Gabriel mengerling.
"Ih
Gabriel apaan sih," sekali lagi, Ify memukul pemuda itu sambil bersungut.
Walau diam-diam merasa melayang. Ternyata pemuda pujaan hatinya sedari dulu ini
punya sifat seperti ini. Menyenangkan.
Gabriel
tertawa, lalu bersandar di ayunan membuat ayunan itu bergoyang pelan. Ia
mendongak menatap langit. Ify mengangkat alis melihat itu, tapi lalu mengikuti.
"Lo
sering liat langit ya?" tanya Gabriel, mengingat saat itu Acha juga
berkata seperti itu.
Ify
tersenyum. "Sering banget Gab. Tapi... gue sering bete. Langit Jakarta tuh
ngeselin kalau malam. Nggak ada bintang. Namanya... em... light... polusi...
eh, light..." Ify mencoba
mengingat-ingat, Gabriel tertawa melihat ekspresi gadis itu.
"Light
pollution?" ucap Gabriel membenarkan.
"Eh,
iya itu maksud gue!" kata Ify nyengir. Agak merasa malu. "Ibukota
kebanyakan gedung tinggi, lampu jalanan, dan kendaraan dimana-mana. Lampu-lampu
dari mereka itu yang buat langit jadi terlalu
terang, jadi sinar bintangnya nggak keliatan deh."
Gabriel
mengangguk-angguk, "sama kayak hidup ya?"
"Hm?"
Ify menoleh dengan kening berkerut.
Gabriel
tersenyum, "kadang banyak hal-hal yang
terlihat indah yang nutupin
hal indah sebenarnya. Yang buat manusia sering kali terbuai, dan salah langkah
untuk milih."
Ify diam
sejenak, lalu mengangguk setuju. Ia kembali menatap langit malam, dan
menerawang. "Kayak seorang pengagum rahasia yang punya cinta tulus,
tertutupi sama para pengagum lainnya. Sehingga pujaan hatinya nggak bisa liat
dia," kata Ify terdengar lirih, bahkan seakan ia sedang bicara sendiri.
Gabriel
tersentak. Ify sendiri juga ikut tersadar dengan ucapannya, lalu merutuk diri
dengan bodoh.
"Elo
curhat Fy?" ejek Gabriel bercanda sambil tertawa.
Ify makin
merutuk, merasakan pipinya makin membara.
"Bukan
sama gue, kan? Hahaha," kata Gabriel asal sambil tertawa.
"Eeeee
ya bukanlah. Masa sama lo, haha, bukan. Geer lo. Haha, emang siapa yang curhat?
Sok tahu deh. Haha, apaan sih, haha," racau Ify tak jelas. 'Mampus gue
mampus....' batin Ify ingin sekali memukulkan kepalanya ke tembok. Salah
tingkah membuatnya tertawa gugup dengan racauan tak karuan.
Gabriel
meredakan tawanya. "Sinar yang terlalu terang emang bisa nutupin sinar
lain. Karena itu, kita sebagai manusia harus punya ciri khas sendiri. Biar kita
juga bisa bersinar terang daripada yang lain."
Ify
mengangguk, sambil menoleh ke segala arah. Berusaha agak merah di pipinya tak
terlihat dan segera menghilang.
Gabriel
memerhatikan raut wajah gadis itu. Yang entah mengapa membuat lagi-lagi,
hatinya berdesir. Ah gadis ini. Bintang paling terang dalam hidupnya. Beruntung
Gabriel kembali dipertemukan dengan gadis ini. Karena... tanpa gadis ini hidup
pemuda itu akan semakin gelap. Bersamaan dengan luka yang terus menganga. Kala
pertemuan awalnya dengan Ify, senyuman gadis itu mengobati lukanya. Ganti
menggoreskan senyum dan bahagia. Tapi saat pemuda ini harus pergi, ia harus
rela meninggalkan bintang itu. Tapi mungkin Tuhan sangat mencintainya. Doa
Gabriel didengar. Gadis itu kembali padanya. Awalnya Gabriel memang senang
memerhatikan Ify dari jauh setiap Ify menontonnya bermain basket. Perasaan
Gabriel sudah berkata bahwa dialah orang yang pergi selama ini. Dan benar saja.
Sejak mereka sekelas -atau tepatnya sejak ke ruang musik berdua itu- mereka
jadi dekat karena tahu kisah kecil masing-masing. Tak bohong kalau Gabriel
senang melihat pipi gadis itu sering merona di sampingnya. Mungkin Gabriel
terlihat cuek tak peduli, padahal diam-diam hatinya ikut melambung melihat itu.
Membuat suatu firasat muncul dalam dadanya. Mungkin saja... gadis ini juga
memiliki rasa yang sama.
Dan...
apakah ini waktunya? Karena posisi Gabriel seperti terancam. Sejak kedatangan
murid baru itu, entah mengapa Gabriel merasa dialah Rionya Ify. Selama ini
firasat Gabriel jarang ada yang salah. Karena itu, Gabriel takut. Kalau-kalau
kisah mereka remaja ini akan sama seperti kisah saat mereka masih kanak-kanak.
Dimana Rio selalu dominan mendekati Ify, Ify yang selalu menurut walau mengomel
dulu, dan Bintang yang hanya bisa melihat mereka tertawa bersama. Tidak.
Gabriel tidak ingin seperti itu lagi. Ia yang kali ini bersama Ify, bukan Rio.
Ya. Mungkin ini memang waktunya.
Gabriel
menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya. Kemudian ia berdehem pelan,
"em... Fy," panggilnya membuat Ify menoleh. "Apa sampai saat ini
gue tetap jadi bintang paling bersinar buat lo?" tanya Gabriel,
mengingatkan ucapan Ify dulu saat mereka masih kecil.
Ify
terkejut setengah mati, dan melebarkan mata menatap Gabriel.
"Dulu
lo pernah bilang. Bintang di langit nggak akan bisa nyamain dua bintang yang
jadi sahabat lo di bumi. Sampai saat ini... apa masih begitu?" tanya
Gabriel serius.
Ify meneguk
ludah. Andai saja Gabriel tahu. Gabriel telah jadi bintang terindah di hati Ify.
Bukan di tempat persahabatan, tapi di tempat lain yang lebih spesial. Akhirnya
Ify hanya tersenyum dan mengangguk. Tak bohong, kan?
"Eum...
sekarangkan, kita udah nggak tahu Rio ada dimana," ucap Gabriel perlahan,
Ify mengerutkan kening. "Jadi... apa... gue bisa jadi satu-satunya bintang
yang bersinar buat lo?"
Mata Ify
melebar, dan tertegun. Tatapan teduh Gabriel membuatnya makin membeku.
"Ma...
maksud lo?" tanya Ify mencoba bersua walau tercekat.
Gabriel
menghela nafas, lalu mendekatkan diri. "Gue mau jadi bintang lo. Bintang
milik lo."
Mulut Ify
terbuka sedikit. Tak memercayai pendengarannya. Siapapun, tolong segera tampar
pipinya sekarang. Karena ia tak yakin ini nyata atau mimpi. Atau khayalan?
Halusinasi? Apapunlah. Ify mengerti maksud itu. Apalagi kata 'milik lo'. Eh,
atau ia yang salah menafsirkan? Ataukah karena harapan itu sudah terlalu banyak
hingga ia mengartikan maksud Gabriel seperti apa yang ia inginkan selama ini?
Namun... tatapan menenggelamkan itu membuatnya yakin sekali ini kenyataan.
"Gue
nggak bisa diam lagi. Selama ini gue selalu merhatiin lo diam-diam. Karena itu,
saat tahu kita sekelas gue langsung deketin lo. Dan saat tahu ternyata lo
adalah Ify kecil gue, gue makin ingin selalu sama-sama lo," aku Gabriel
membuat lutut Ify melemas seketika. Gabriel menarik nafas perlahan,
"gue... sayang sama lo."
Mata Ify
melebar dengan mulut terbuka sedikit, tak menduga dengan apa yang Gabriel
ucapkan. Em... oke oke. Ify memang selalu mengkhayal dan berharap suatu saat
nanti Gabriel akan menyatakan cinta padanya. Tapi ternyata, saat hal itu jadi
nyata Ify hanya bisa jadi batu yang tak bergerak sedikitpun. Benar-benar
membeku.
Tapi ucapan
Gabriel selanjutnya, membuat Ify tersentak lagi.
"Gue
mau jadi satu-satunya bintang buat lo. Bukan yang lain," kata Gabriel
serius.
Ify diam
sejenak, "mak...sud lo... satu-satunya bintang?" ucap Ify tersendat.
Sepertinya ia mengerti maksud kalimat itu.
Gabriel
meneguk ludah sedikit, lalu mendesah pelan. Ia kemudian meraih kedua tangan Ify
dan menggenggamnya hangat. "Lupain Rio."
Ify
tenganga, tapi refleks melepaskan genggaman Gabriel membuat Gabriel terkejut.
"Maksud lo, lo mau gantiin posisi Rio gitu?" ucapnya mulai menajam,
agak tersinggung.
Gabriel
menggigit bibir, sudah pernah menduga dengan reaksi seperti ini. "Bukannya
lo bilang lo benci dia? Dan lo mau lupain dia, kan?"
"Ya
tapi bukan berarti tempatnya bisa digantikan," sahut Ify segera.
"Sampai kapanpun, lo, atau siapapun di dunia ini, nggak akan ada yang bisa
gantiin Rio," tegas Ify membuat tusukan dalam dada Gabriel.
"Bahkan
sampai dia nggak pernah kembali?" tanya Gabriel tak bernada, seakan tenang
dengan pembicaraan mereka. Walau hatinya mulai retak perlahan.
Ify
mendadak terdiam. Sementara Gabriel menatapnya dalam.
"Apa
sampai nanti, sampai lo punya kehidupan sendiri, lo tetap akan terus mikirin
dia?" tanya Gabriel dengan nada menuntut, datar namun mendesak. "Dan
Fy, apa lo yakin di sana Rio sedang mikirin lo juga? Apa Rio masih ingat sama
sahabat kecil yang dia tinggal? Apa Rio sampai saat ini nggak pernah gantiin
posisi lo? Apa lo tahu?"
Mulut Ify
terbuka, tapi tak tahu kata apa yang harus ia ucap. Ia jadi gagu, dengan nafas
yang tercekat.
"Dia
udah buat luka untuk lo. Dan di sini, gue bersedia ngobatin luka itu,"
ucap Gabriel kini menjadi bernada lembut, "karena gue sayang sama
lo."
Ify meneguk
ludah menatap bola mata teduh Gabriel. Hatinya bergerak perlahan. Mulai merasa
luluh. Namun hati kecil gadis itu masih tak bisa menerima, memerotes dan yakin
bahwa Rio pasti akan kembali. Karena laki-laki itu sudah mengatakan
berkali-kali. Kemanapun ia melangkah, pasti nanti akan kembali lagi pada Ify.
Dan Ify memercayainya. Seperti Ify percaya bahwa memang sampai kapanpun ia
takkan bisa menggantikan posisi Rio. Memang, ia sering berkata ia sudah
melupakan Rio, membenci pemuda itu yang sudah ingkar janji. Namun sebenarnya di
lubuk hati Ify terdalam, Ify masih sangat mengharapkan Rio. Oke, ia memang
menyukai Gabriel. Gabriel punya posisi berbeda di hati Ify dengan Rio. Tapi
ucapan Gabriel itu, yang seakan menyuruhnya memberikan seluruh tempat di hati
hanya untuk Gabriel. Tanpa ada lagi nama Rio di sana. Sanggupkah Ify
melakukannya?
"Gimana
Fy?"
Ify
tersentak. Ia lalu menghela nafas dan mengalihkan pandangan. Punggungnya
ditempelkan ke senderan ayunan dengan mata menerawang langit malam. "Gue
nggak tahu," jawabnya singkat membuat Gabriel tersentak. "Gue nggak
bisa jawab Gab. Em... iya, gue juga suka sama lo. Tapi... gue nggak tahu apa
gue bisa gantiin Rio atau nggak."
Gabriel
mendesah pelan, "terus? Gue harus nunggu jawabannya?"
Ify
mengedikkan bahu, "terserah lo. Gue nggak nyuruh atau maksa."
Gabriel
diam. Ia menggigit bibir sambil ikut menatap langit malam. Pemuda itu menghela
nafas panjang. "Oke, gue tunggu."
Ify meremas
jemarinya. Ada perasaan senang bahagia memancar dalam dadanya. Tapi sebagian
juga ada rasa ragu yang menyelinap. Gadis itu makin menatap langit, dan
berbisik lirih.
'Rio...
kamu akan kembali, kan?'
^^^
"Aku
pasti kembali!" sahut Rio kesal, karena berkali-kali diteriaki hal yang
sama. "Besokkan sekolah Ma, aku pasti pulang."
Mama Rio
sudah memasang wajah marah karena anak tunggalnya itu selalu seenak jidat
keluar masuk rumah sesukanya. Sejak jadi anak ibukota, Rio memang sering kali
keluar. Ya sebagai orangtua, wajar saja Mama Rio merasa khawatir. Ia tak ingin
pergaulan ibukota yang jelek merasuk ke anaknya -yang memang sudah bandel-.
"Aku
ke tempat Ozy aja kok! Ya? Bye!" pamit Rio tanpa menunggu jawaban ijin
dari bunda tersayang. Ia langsung ngeluyur keluar rumah begitu saja.
Cukup
melewati satu rumah, Rio sudah sampai di pagar rumah Ozy. Ia masuk seenaknya,
dan melangkah ke teras rumah Ozy, lalu melangkah masuk dengan santai.
"Ozy!"
panggil Rio sambil melangkah melewati ruang tamu begitu saja.
"Di
kamar, masuk aja."
Sebuah
suara berat dari ruang tengah yang baru ia masuki membuat Rio menoleh. Rio
refleks tersenyum lebar, melihat Om Ozy sedang duduk di sofa ruang tengah
sambil mengetik di laptopnya.
"Woi
Om!" sapa Rio sambil duduk di sofa, "aku mau ngomong sama Om."
Om Ozy itu
mengerutkan kening, dan mendongak.
"Mau
bantu aku nggak?" tanya Rio nyengir.
Pria putih
yang duduk membentuk sudut dengan Rio itu mendesah, lalu kembali memandang
layar laptop. "Apalagi? Ngerjain Ozy lagi?" tanyanya yang memang
sering mendapat ide jail dari Rio untuk mengerjai keponakan pertamanya itu.
Rio
tertawa, "Om Adit ah! Emang aku sebejat itu apa?" tanyanya tanpa
dosa. Pria yang mendengarnya tertawa.
Rio merogoh
sesuatu dari kantong celananya. Ia lalu menaruh di atas keyboard laptop Adit.
Adit tersentak. Sepucuk surat. Kening pria itu berkerut, lalu menoleh pada Rio.
Rio
menyeringai, "aku disuruh guru panggil orangtua buat besok."
Kening Adit
makin mengerut, "buat apa? Ck. Kamu pasti buat masalah ya?"
"Nggak
Om," elak Rio segera, "kata gurunya itu, dia mau ketemu waliku. Biar
lebih tahu aku karena akukan murid baru."
"Terus
kenapa kasih Om? Kenapa bukan orangtuamu?" tanya Adit telak, membuat Rio
bungkam. "Pasti kamu buat onar ya di hari pertama?"
"Iya
Om!" sebuah suara yang baru datang membuat Adit dan Rio menoleh. Ozy
dengan kaos putih oblong dan celana biru pendeknya mendekat, lalu melemparkan
tubuh ke samping Rio. "Dia berantem sama anak kesayangannya guru, ya wajar
aja dipanggil."
Rio
mencibir, mengingat sosok gadis yang jadi alasan adanya surat itu. Sementara
Adit mendesah.
"Panteslah
dipanggil. Anak baru tapi hari pertama udah berantem. Mau tahu lebih dekat itu
maksudnya pengen tahu kamu dulu di sekolah lama gimana," kata Adit sambil
mengambil surat itu, membukanya, membaca sekilas tanpa melihat tanda tangan
atau nama guru yang memanggil Rio, lalu melipatnya kembali dan memasukkannya
lagi.
Rio
mendesah, "Om, datang ya? Please.... Mama udah ngamuk nih sama aku,
apalagi kalau ditambah surat itu."
Adit
mendecak pelan, "jam berapa?"
"Sembilan,
dan ditunggu sampai jam sebelas," jawab Rio.
"Aku
masih kerja tuh. Jam sebelas memang istirahat, tapikan harus jemput
Dinda," ucap Adit membuat Rio langsung kecewa.
"Yah
Om, jadi gimana?" tanya Rio mulai panik.
"SDnya
Dindakan deket sama sekolah. Emang nggak bisa mampir Om?" tanya Ozy membantu
Rio.
Adit diam,
menimang. Ia memutar mata, melirik Rio yang menatapnya super memelas dan
berharap.
"Datang
ya Om. Yang manggil tuh guru tercantik di sekolah loh! Idolanya Ozy!"
bujuk Rio membuat Ozy mendelik. "Dia guru bahasa Inggris yang juga jadi
pembina musik. Ozy ngefans banget sama dia!"
Ozy dengan
kesal menempeleng kepala Rio, membuat Adit tertawa kecil.
Rio
bersungut dan menoleh, "elo sendiri yang ngaku kalau ngefans sama tu
guru."
Ozy
mencibir sebal, lalu melirik ke arah Adit, "ya elo juga nggak usah ngomong
di depan Om Adit kali," bisik Ozy kesal.
"Loh?
Memang kenapa Om nggak boleh tahu?" tanya Adit mendengar, membuat Ozy
membelalak sedikit karena bisikkannya ternyata tak pelan.
"Emang
nih Ozy. Dia takut kali Om ngerebut pujaan hatinya," ucap Rio seenaknya.
Ozy
menggeram sebal, "Om! Besok nggak usah datang aja! Lagian sekarang aku mau
ngasih tahu Tante Manda kok, biar Tante Manda yang datang!" kata Ozy tegas
sambil berdiri, membuat Rio melotot dan segera menariknya mendekat.
"Iya
Zy, iya. Ampun ampun. Damai deh damai," kata Rio langsung panik. Ancaman
Ozy untuk memberi tahu mamanya membuat Rio langsung ciut.
Adit
geleng-geleng kepala melhat tingkah dua sahabat ini, "ya sudah. Besok Om
datang," putusnya membuat senyuman lebar langsung tengiang di wajah Rio.
Sementara Ozy hanya mengerucutkan bibirnya.
*****
Hm...
bingung ya? Karena part kemarin aku bilang bakal nyesek dan ada yang nangis
sesenggukan. Ya... sebenarnya itu si penulis, yang nyesek ngetik adegan Gabriel
nembak Ify *hiks. (Maaf, penulis emang random)
Eeeehhhh
ada yang muncul. Ihiy. Si semut (senyum imut) hihihi. Adit di sini baek gitu
ya. Mau ngebantu dan masih berjiwa muda gitu. Huahaha.
Cieee Ozy
kayaknya beneran suka sama Miss Alya. Tapi... Omnya kan padahal mantan gurunya
itu ya. Kalau dia tau gimana? Em~
Part depan,
entah muncul atau nggak(?). Karena aku pengen kalian promote dulu dong. Pake'
hastag kek sekalian. Em... hastagnya #BintangSuperMario aja gimana?
Tapi
ngomong-ngomong part depan sih.... termasuk yang aku suka ya. Karena para peran
utama muncul di satu part yang sama. Mulai menuju klimaks juga ;)
see you
next part ya!
@aleastri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar