Tittle: Jatuh Cinta
Di Bawah Hujan
Main cast: Angel,
Gilang
Author: Aleastri
Hujan.
Sialan.
Aku
mengumpat super sebal. Oke, apa hari ini adalah hari tersialku? Oh salah.
Mungkin bulan tersialku. Apa memang hidupku akan dipenuhi kesialan dimulai dari
minggu ini? Oh, no.
Apalagi
yang kurang? Aku terdampar di suatu daerah pedalaman yang bahkan aku sama
sekali tak pernah datang kemari apalagi tahu namanya sebelumnya! Kemudian hari
pertamaku di sekolah baru sungguh membosankan, dan warga sekolahnya mempunyai
cara pandang sangat berbeda denganku! Dan lagi, kini aku disuruh ibu membeli
sesuatu di pasar. Tapi di tengah jalan malah turun hujan deras dan aku harus
berteduh sementara di toko tutup yang ada di pinggir jalan.
Lengkap
sudah!
Pedalaman
ini, adakah yang tahu? Ah, aku tak yakin. Ini Batu Sopang, atau kata ibuku
orang-orang lebih menyebutnya Batu Kajang. Orang-orang mana nih bu? Pedalaman
sini? Huft. Ini adalah kota -ops, desa maksudku- tambang di Penajam, Kalimantan
Timur. Aku orang asli Balikpapan, harus pindah ke desa kecil ini karena kerja
ayahku. Kami semua jadi ikut pindah kemari, meninggalkan Balikpapan yang sudah
membesarkanku selama 15 tahun lebih.
Bayangkan.
Balikpapan yang sudah super lengkap, semua tersedia. Aku bahkan tak perlu
repot-repot keluar rumah untuk beli makan. Cukup pesan delivery, semua selesai.
Aku juga tak perlu susah-susah naik motor, hanya naik ke mobil dan dibawa supir
pergi, tak repot. Tapi ini? Uh shit. Apa ayahku sengaja ya agar anak-anaknya
tak usah dimanjakan terus dan ikut merasakan hidup susah begini? Atau malah,
jangan-jangan ayah turun pangkat lagi? OH NO. Jangan alasan terakhir. Jangan.
Tiba-tiba
aku mendengar tawa kecil tak jauh di kiriku. Tubuhku sontak menegang. Dengan
perlahan ku lirik. Samar, aku melihat seorang pemuda jangkung berdiri tak jauh
dari tempatku, menatapku sambil tertawa. Aku mendelik. Kenapa dia?
"Kamu
kenapa geleng-geleng sendiri? Pusing?" tanyanya geli membuatku agak
tersentak.
Aku menoleh
kanan dan kiri. Em, oke. Hanya ada aku dan dia. Jadi dia bicara padaku?
Em... wait.
Apa tadi dia bilang? Geleng-geleng sendiri? Ah Angel bodoh. Apa yang tadi kamu
lakukan? Apa karena lamunan kesal tentang kepindahan itu membuatmu stres? Argh!
"Kesel
ya hujannya belum reda?"
Aku
terkejut. Apalagi saat menoleh dia sudah datang menghampiriku. Aku segera
membuang muka. Aduh. Aku belum tahu watak warga sini. Apa dia orang jahat? Apa
di sini juga ada penculikan, perampokan, atau bahkan... pemerkosaan? KYAAA
jangan yang terakhir Tuhan, jangan.
"Aku
bukan orang jahat," ucapnya kalem, seakan membaca pikiranku.
Ku delikkan
mata ke arahnya. Tapi diam saja.
"Kamu
murid baru di SMA, kan?"
Aku
mengangkat alis. SMA di sini memang hanya satu. Jadi dia tak perlu repot-repot
menyebut SMA mana yang dimaksud. Aku hanya mengangguk pelan menjawab. Sekolah
kecil begitu, ya tentu saja berita tentang anak baru cepat menyebar. Anak baru
dari kota pula!
"Siapa
namamu?"
Suara serak
itu agak mengganggu. Please deh. Nggak usah bersikap sok kenal gitu.
"Angel,"
jawabku singat dan datar.
Dia seperti
manggut-manggut. "Kelas X-2, kan?"
Aku
mengangguk. Ku lihat hujan sepertinya mulai agak mereda. Baguslah. Aku tak suka
berlama-lama mengobrol dengan orang asing tak dikenal. Apalagi orang desa
seperti ini. Selama aku di sekolah baru, tak ada satupun orang ku temui punya
jalan pikiran sama sepertiku. Orang desa dan orang kota memang jauh berbeda.
"Dari
Balikpapan, kan?"
Aku kembali
mengangguk. Bagus, langit gelap mulai terlihat cerah.
"Aku
juga dari sana loh."
Dan kalimat
itu membuatku langsung menoleh seketika. Mataku melebar. Sementara ia tersenyum
dan mengangguk. Baru ku sadari setelah benar-benar memandangnya. Dia manis.
Dengan lesung pipi di kanan. Laki-laki di sini biasanya berkulit gelap karena
berada di daerah panas dengan tambang. Tapi pemuda ini kulitnya putih.
Membuatku jadi tergeitik untuk bertanya.
"Siapa
namamu?"
"Gilang,"
dia menjawab singkat, lalu tak lama menyambung. "Kelasku di sampingmu,
X-3."
Aku
membulatkan bibir.
"Aku
pindah ke sini waktu kelas dua SMP. Mungkin alasan kita sama. Bapakku pindah
tugas ke sini," jelasnya tersenyum.
Awalnya aku
merasa pemuda ini sok akrab. Tapi ternyata senyumannya itu ramah dan
bersahabat. Dia tak seburuk awal pikiranku tentangnya.
"Em,
hujannya udah reda. Aku harus cepet pulang," pamitnya saat sadar hujan
telah berhenti. "Bye Angel!" pamitnya ramah, kemudian berjalan menuju
motornya yang tak jauh berada di samping motorku.
Aku
memandangi kepergian pemuda itu. Sepertinya aku tak benar-benar sial.
***
Aku bingung
kenapa semua orang berlari keluar kelas saat gerimis mulai turun. Tapi aku
tersadar saat teman sebangkuku berkata bahwa mereka mengambil helm di parkiran.
Ya, parkiran sekolahku tak beratap. Aku tersentak dan tersadar bahwa helmku ada
di atas motor. Aku jadi ikut berlari keluar kelas menuju ke parkiran.
Setelah
mengambil helm merahku, gerimis malah mulai deras. Aku berlari lagi. Tapi
karena terburu, tanpa sengaja pundakku terbentur dengan pundak seseorang yang
juga berlari mengambil helm. Tanah parkiran yang becek, membuatku terpeleset.
Tapi refleks si penabrak itu menarik lenganku membuatku pasrah saat tubuhku
tertompang pada tubuhnya. Membuat tubuh kami menempel. Dan kedua pasang mata
kami bertemu.
Gilang...
Ini bukan
adegan sinetron atau film. Sungguh. Ini kisah nyata, dengan saksi gerimis yang
mulai berganti menjadi hujan seutuhnya.
Gilang
tampak tersentak dan menyadari itu. Suara rintik makin ramai. Ia tanpa permisi
-atau mungkin tanpa sadar- menarik pergelangan tanganku dan membawaku berlari.
Aku hanya bisa pasrah sambil melindungi kepala dengan helmku. Ia menuju pos
satpam tak jauh dari tempat kami tadi. Kami berteduh di sana dengan pakaian
yang sudah setengah basah.
Ia nampak
terengah-engah berlari sambil melepaskan genggamannya dan mendecak kecil
melihat banyak bulatan basah di seragamnya.
Aku tanpa
sadar memerhatikan pemuda putih ini. Ini pertemuan kedua kami. Juga karena
hujan. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Jantungku berdebar kini. Rambut basahnya
jatuh mengenai dahinya yang juga basah. Yang entah mengapa membuatnya terlihat
bersinar. Ia mengacak-acak rambutnya, mencoba mengeringkan. Tapi gerakkan itu
malah terlihat keren di mataku.
Oke, ini
memang lebay. Aku bahkan baru pertama kali melihat laki-laki sampai seperti
ini. Tapi kenapa dengan dia... berbeda?
Dia
tiba-tiba menoleh padaku, membuatku agak tergagap dan dengan gugup segera
membuang muka. Ku lirik, ada senyuman kecil di bibirnya.
"Kita
ketemu lagi karena hujan," ucapnya memasukkan tangan di saku celana
abu-abunya.
Aku
mengangguk pelan dan menunduk. Tapi aku baru sadar. Sepatu kets oranye
kesayanganku sudah kotor dengan lumpur menghiasinya. Oh no.
"Iyuh,"
gumamku mengangkat kaki. Oh God... jadi apa sepatuku ini?! Aku seperti pulang
dari sawah.
Ku dengar
Gilang tertawa, membuatku menoleh dan mendelik.
"Ya
ampun, Ngel. Di sini tuh emang udah biasa kali. Makanya, nggak usah pake sepatu
bagus-bagus deh. Kalau hujan ya pasti becek," katanya santai.
Aku
merenggut, lalu mundur dan duduk di bangku yang ada di pos satpam yang kosong
ini -em nanti dulu, aku baru sadar. Memangnya ini pos satpam ya? Bukannya
sekolah ini tak punya satpam? Eng... Ah sudahlah-.
Aku
melepaskan sepatu kananku, dan memasang wajah super jijik melihat sepatu yang
sudah benar-benar tak layak itu. Kalau aku datang ke sekolahku yang ada di
Balikpapan, pasti aku sudah ditendang karena tak pantas memakai sepatu begini.
Iyuh.
"Sepatukan
bisa dicuci, segitu amat sih," komentar Gilang duduk di sampingku.
Aku
melengos kasar, "apalagi nih keburukkan dari tempat ini? Kalau siang super
panas, kalau malam super dingin. Nggak ada mal, nggak ada delivery. Es krim aja
nggak ada! Dan tanah becek, selanjutnya apa?!" protesku panjang lebar,
kesal beribu kesal. Tapi aku juga heran. Kenapa aku bisa mengutarakan kekesalan
pada pemuda ini? Padahal biasanya aku selalu diam seribu bahasa bersama
orang-orang di sini.
Tapi diluar
dugaan, Gilang malah tertawa.
"Awalnya
aku juga kesel sama tempat ini. Sumpek banget. Tapi ya karena adaptasi, aku
nyaman ada di sini," katanya diakhiri senyum.
"Kenapa
kamu bisa betah sih?" tanyaku sambil memakai kembali sepatu zuper -karena
melebihi super, jadi zuper- menjijikan itu.
Dia
tersenyum, sambil bersandar di dinding bangku. "Di sini orang-orangnya
nyenengin, Ngel."
"Apanya?"
selaku tak setuju, "cara berpikir dan bahasanya tuh beda banget!"
Dia
mengangguk, seakan mengerti. "Itu karena kamu sudah nolak keberadaan
orang-orang di sini. Coba deh kamu membuka diri, pasti bakal tahu,"
ucapnya menoleh, kemudian tersenyum lagi. "Mereka itu masih apa adanya.
Nggak kayak orang kota, yang sekarang hampir semuanya cuma pake topeng."
Aku
terdiam.
"Mereka
bilang apa yang mereka rasa, nggak munafik. Mereka juga sederhana, selalu
terima apapun yang mereka dapat. Kalau orang kota, macet dikit aja ngomelnya
udah panjang lebar. Di sini juga orang-orangnya bersahabat dan saling peduli.
Sedangkan di kota, kalau nggak kenal ya udah nggak kenal. Mau orang itu jatoh,
kecopetan atau apapun, ya itu urusan dia. Beda sama orang sini," jelasnya
panjang lebar. "Di sini juga nyenengin kok! Ada bendungan, ada air terjun,
ada puncak! Semuanya lebih alami daripada di kota. Yang alami itukan lebih
asyik. Ya nggak?" tanyanya memainkan alis.
Tanpa sadar
aku tersenyum.
"Dulu
aku juga sama kayak kamu. Diem aja. Tapi karena berbaur dengan mereka, aku ikut
jadi pribadi yang terbuka dan mau bergaul sama siapapun. Mereka juga banyak
ngasih aku pengalaman dan pengetahuan baru, yang nggak pernah aku dapat di
kota!"
Aku
mendekat, menunjukkan aku tertarik dengan pembicaraan ini. Tak peduli pada
hujan yang semakin deras. Ataupun pelajaran yang sedang berlangsung di kelas.
Aku seperti tak mau pergi. Ingin selalu mendengarkan ceritanya.
"Ya
emang sih, tambang buat tempat ini jadi panas. Bahkan banyak yang putih malah
jadi hitam. Kamu hati-hati tuh," tegurnya menggerakkan dagu ke arahku.
Aku tertawa
kecil. Kamu juga hati-hati Gilang, kamukan putih. Batinku dalam hati.
"Tapi
Ngel, kita tuh harus bersyukur sekolah di sini. Karena aku dengar sih, lulusan
sekolah sini bakal lebih diutamakan kalau ngelamar kerja tambang nanti!"
ceritanya antusias, "kerja tambang itukan gajinya lumayan tinggi. Why not
kita kerja di sini aja?"
Kerja di
sini? Dengan tambang? Nggak deh...
"Kamu
mau jadi apa sih nanti?" tanyanya seakan membaca pikiranku lagi.
Aku agak
ragu menjawab, "penulis."
Jawaban
singkat itu membuatnya terlihat agak terkejut, tapi lalu tersenyum. "Bagus
tuh. Gimana kalau kamu tulis tentang kepindahanmu ke sini? Tentang keluhanmu
tentang kota ini."
"Desa
maksudmu?" ucapku meralat. Dia tertawa.
"Iya,
desa Batu Kajang maksudku," katanya membenarkan.
"Em....
oke deh. Kayaknya seru," katanya jadi semangat karena mendapat ide
tulisan. Aku menatapnya, dan mencoba tersenyum manis. "Thanks ya."
"Untuk?"
tanyanya terlihat tak mengerti.
"Udah
kasih aku bahan tulisan," jawabku ringan, "dan juga udah nyadarin aku
bahwa aku harus membuka diri di kehidupan baru ini."
Dia
mengangguk dan tersenyum. Dia memang senang tersenyum. Dan aku suka.
Eh?
Aku...
suka?
Aku terdiam
sendiri. Menatap pemuda manis yang masih tersenyum padaku ini. Aku pernah
berkata pada ibu bahwa aku tak level dekat-dekat dengan lelaki di sini. Tapi
pemuda ini... sepertinya telah bisa membuatku jatuh cinta.
Ternyata
benar ya kata orang. Di balik kesialan itu terkadang ada keberuntungan. Dan
mungkin itu yang ku rasakan sekarang. Tapi hari selanjutnya aku akan mencoba
berbaur di desa tambang ini. Lagipula kita tak pernah tahu kelebihan dan
kekurangan sesuatu saat kita belum benar-benar mengenalnya. Seperti Gilang. Aku
tak pernah tahu bahwa pemuda ini mampu mencuri hatiku hanya dengan dua kali
pertemuan. Dengan hujan sebagai saksinya.
*******
Hahaha.
Maap ye kaga greget. Ini LAGI-LAGI atas request Arief yang minta cerpennya
double. Ya udah aku tambahin ini. Awalnya tokohnya bukan anak IC, tapi jadi ku
ganti karena kalian pasti protes klo tau siapa nama tokoh awalnya. Hihihi.
*liatkanankiri*
semoga ga ada anak sekolahku yg baca ya. wkwkwk. Karena tokoh 'Gilang' di sini
bisa dibilang setengah real (?) Dan tokoh Angel itu emang real. Iya ya ya ya
ya. Awalnya emang sengak songong sombong belagu dan sebagainya. Tapi nggak lama
dia sadar kok kalau dia harus membuka diri di lingkungan baru #inicurcol
Dan cerpen
ini juga ngasih pesan ye! Untuk membuka diri sama lingkungan baru, dan jangan
judge sesuatu sebelum tahu lebih lanjut! Jangan kayak penulisnya nih, yg jadi
sempet dimusuhin satu sekolah gara2 ga mau bergaul (?) tapi ya alhamdulillah
setelah kenaikkan kelas dan bertemu 'Gilang' akhirnya bisa berbaur bahkan kini
punya banyak sahabat dan jadi diri sendiri di sekolah o:)
Cerpen ini
special untuk seorang kakak kelas yang sekarang udah nggak deket lagi sama aku.
Hehehe. Makasih atas nasihatnya saat itu. Lain kali pulang bareng yuk ke
Balikpapan! Hehehe.
Juga untuk
anak2 SMA N 1 Batu Sopang, khususnya XI IPA 1 yang udah buat aku jadi diri
sendiri lagi! Jadi Ale yg gila dan heboh! Bukan Ale yg diem kalem ga banyak
omong kayak awal pindah! Hehehe. Makasih! Muchlove banget karena tanpa kalian
aku pasti udah frustasi terdampar di tempat yg sama sekali ga ku kenal. Terima
kasiiiihhhhhh
Oke, ada
request baru lagi? Oh ya. Yg Badai-Rasha-Gilangel disave dulu ya, aku usahain
buat deh! Kalau selesai nanti aku post. Yg lain mau ikut mesen cerpen? Bisa :p
cheers!
@aleastri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar