Jumat, 03 Mei 2013

CERPEN: Jatuh Cinta Di bawah Hujan



Tittle: Jatuh Cinta Di Bawah Hujan
Main cast: Angel, Gilang
Author: Aleastri

Hujan. Sialan.
Aku mengumpat super sebal. Oke, apa hari ini adalah hari tersialku? Oh salah. Mungkin bulan tersialku. Apa memang hidupku akan dipenuhi kesialan dimulai dari minggu ini? Oh, no.
Apalagi yang kurang? Aku terdampar di suatu daerah pedalaman yang bahkan aku sama sekali tak pernah datang kemari apalagi tahu namanya sebelumnya! Kemudian hari pertamaku di sekolah baru sungguh membosankan, dan warga sekolahnya mempunyai cara pandang sangat berbeda denganku! Dan lagi, kini aku disuruh ibu membeli sesuatu di pasar. Tapi di tengah jalan malah turun hujan deras dan aku harus berteduh sementara di toko tutup yang ada di pinggir jalan.
Lengkap sudah!
Pedalaman ini, adakah yang tahu? Ah, aku tak yakin. Ini Batu Sopang, atau kata ibuku orang-orang lebih menyebutnya Batu Kajang. Orang-orang mana nih bu? Pedalaman sini? Huft. Ini adalah kota -ops, desa maksudku- tambang di Penajam, Kalimantan Timur. Aku orang asli Balikpapan, harus pindah ke desa kecil ini karena kerja ayahku. Kami semua jadi ikut pindah kemari, meninggalkan Balikpapan yang sudah membesarkanku selama 15 tahun lebih.
Bayangkan. Balikpapan yang sudah super lengkap, semua tersedia. Aku bahkan tak perlu repot-repot keluar rumah untuk beli makan. Cukup pesan delivery, semua selesai. Aku juga tak perlu susah-susah naik motor, hanya naik ke mobil dan dibawa supir pergi, tak repot. Tapi ini? Uh shit. Apa ayahku sengaja ya agar anak-anaknya tak usah dimanjakan terus dan ikut merasakan hidup susah begini? Atau malah, jangan-jangan ayah turun pangkat lagi? OH NO. Jangan alasan terakhir. Jangan.
Tiba-tiba aku mendengar tawa kecil tak jauh di kiriku. Tubuhku sontak menegang. Dengan perlahan ku lirik. Samar, aku melihat seorang pemuda jangkung berdiri tak jauh dari tempatku, menatapku sambil tertawa. Aku mendelik. Kenapa dia?
"Kamu kenapa geleng-geleng sendiri? Pusing?" tanyanya geli membuatku agak tersentak.
Aku menoleh kanan dan kiri. Em, oke. Hanya ada aku dan dia. Jadi dia bicara padaku?
Em... wait. Apa tadi dia bilang? Geleng-geleng sendiri? Ah Angel bodoh. Apa yang tadi kamu lakukan? Apa karena lamunan kesal tentang kepindahan itu membuatmu stres? Argh!
"Kesel ya hujannya belum reda?"
Aku terkejut. Apalagi saat menoleh dia sudah datang menghampiriku. Aku segera membuang muka. Aduh. Aku belum tahu watak warga sini. Apa dia orang jahat? Apa di sini juga ada penculikan, perampokan, atau bahkan... pemerkosaan? KYAAA jangan yang terakhir Tuhan, jangan.
"Aku bukan orang jahat," ucapnya kalem, seakan membaca pikiranku.
Ku delikkan mata ke arahnya. Tapi diam saja.
"Kamu murid baru di SMA, kan?"
Aku mengangkat alis. SMA di sini memang hanya satu. Jadi dia tak perlu repot-repot menyebut SMA mana yang dimaksud. Aku hanya mengangguk pelan menjawab. Sekolah kecil begitu, ya tentu saja berita tentang anak baru cepat menyebar. Anak baru dari kota pula!
"Siapa namamu?"
Suara serak itu agak mengganggu. Please deh. Nggak usah bersikap sok kenal gitu.
"Angel," jawabku singat dan datar.
Dia seperti manggut-manggut. "Kelas X-2, kan?"
Aku mengangguk. Ku lihat hujan sepertinya mulai agak mereda. Baguslah. Aku tak suka berlama-lama mengobrol dengan orang asing tak dikenal. Apalagi orang desa seperti ini. Selama aku di sekolah baru, tak ada satupun orang ku temui punya jalan pikiran sama sepertiku. Orang desa dan orang kota memang jauh berbeda.
"Dari Balikpapan, kan?"
Aku kembali mengangguk. Bagus, langit gelap mulai terlihat cerah.
"Aku juga dari sana loh."
Dan kalimat itu membuatku langsung menoleh seketika. Mataku melebar. Sementara ia tersenyum dan mengangguk. Baru ku sadari setelah benar-benar memandangnya. Dia manis. Dengan lesung pipi di kanan. Laki-laki di sini biasanya berkulit gelap karena berada di daerah panas dengan tambang. Tapi pemuda ini kulitnya putih. Membuatku jadi tergeitik untuk bertanya.
"Siapa namamu?"
"Gilang," dia menjawab singkat, lalu tak lama menyambung. "Kelasku di sampingmu, X-3."
Aku membulatkan bibir.
"Aku pindah ke sini waktu kelas dua SMP. Mungkin alasan kita sama. Bapakku pindah tugas ke sini," jelasnya tersenyum.
Awalnya aku merasa pemuda ini sok akrab. Tapi ternyata senyumannya itu ramah dan bersahabat. Dia tak seburuk awal pikiranku tentangnya.
"Em, hujannya udah reda. Aku harus cepet pulang," pamitnya saat sadar hujan telah berhenti. "Bye Angel!" pamitnya ramah, kemudian berjalan menuju motornya yang tak jauh berada di samping motorku.
Aku memandangi kepergian pemuda itu. Sepertinya aku tak benar-benar sial.

***

Aku bingung kenapa semua orang berlari keluar kelas saat gerimis mulai turun. Tapi aku tersadar saat teman sebangkuku berkata bahwa mereka mengambil helm di parkiran. Ya, parkiran sekolahku tak beratap. Aku tersentak dan tersadar bahwa helmku ada di atas motor. Aku jadi ikut berlari keluar kelas menuju ke parkiran.
Setelah mengambil helm merahku, gerimis malah mulai deras. Aku berlari lagi. Tapi karena terburu, tanpa sengaja pundakku terbentur dengan pundak seseorang yang juga berlari mengambil helm. Tanah parkiran yang becek, membuatku terpeleset. Tapi refleks si penabrak itu menarik lenganku membuatku pasrah saat tubuhku tertompang pada tubuhnya. Membuat tubuh kami menempel. Dan kedua pasang mata kami bertemu.
Gilang...
Ini bukan adegan sinetron atau film. Sungguh. Ini kisah nyata, dengan saksi gerimis yang mulai berganti menjadi hujan seutuhnya.
Gilang tampak tersentak dan menyadari itu. Suara rintik makin ramai. Ia tanpa permisi -atau mungkin tanpa sadar- menarik pergelangan tanganku dan membawaku berlari. Aku hanya bisa pasrah sambil melindungi kepala dengan helmku. Ia menuju pos satpam tak jauh dari tempat kami tadi. Kami berteduh di sana dengan pakaian yang sudah setengah basah.
Ia nampak terengah-engah berlari sambil melepaskan genggamannya dan mendecak kecil melihat banyak bulatan basah di seragamnya.
Aku tanpa sadar memerhatikan pemuda putih ini. Ini pertemuan kedua kami. Juga karena hujan. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Jantungku berdebar kini. Rambut basahnya jatuh mengenai dahinya yang juga basah. Yang entah mengapa membuatnya terlihat bersinar. Ia mengacak-acak rambutnya, mencoba mengeringkan. Tapi gerakkan itu malah terlihat keren di mataku.
Oke, ini memang lebay. Aku bahkan baru pertama kali melihat laki-laki sampai seperti ini. Tapi kenapa dengan dia... berbeda?
Dia tiba-tiba menoleh padaku, membuatku agak tergagap dan dengan gugup segera membuang muka. Ku lirik, ada senyuman kecil di bibirnya.
"Kita ketemu lagi karena hujan," ucapnya memasukkan tangan di saku celana abu-abunya.
Aku mengangguk pelan dan menunduk. Tapi aku baru sadar. Sepatu kets oranye kesayanganku sudah kotor dengan lumpur menghiasinya. Oh no.
"Iyuh," gumamku mengangkat kaki. Oh God... jadi apa sepatuku ini?! Aku seperti pulang dari sawah.
Ku dengar Gilang tertawa, membuatku menoleh dan mendelik.
"Ya ampun, Ngel. Di sini tuh emang udah biasa kali. Makanya, nggak usah pake sepatu bagus-bagus deh. Kalau hujan ya pasti becek," katanya santai.
Aku merenggut, lalu mundur dan duduk di bangku yang ada di pos satpam yang kosong ini -em nanti dulu, aku baru sadar. Memangnya ini pos satpam ya? Bukannya sekolah ini tak punya satpam? Eng... Ah sudahlah-.
Aku melepaskan sepatu kananku, dan memasang wajah super jijik melihat sepatu yang sudah benar-benar tak layak itu. Kalau aku datang ke sekolahku yang ada di Balikpapan, pasti aku sudah ditendang karena tak pantas memakai sepatu begini. Iyuh.
"Sepatukan bisa dicuci, segitu amat sih," komentar Gilang duduk di sampingku.
Aku melengos kasar, "apalagi nih keburukkan dari tempat ini? Kalau siang super panas, kalau malam super dingin. Nggak ada mal, nggak ada delivery. Es krim aja nggak ada! Dan tanah becek, selanjutnya apa?!" protesku panjang lebar, kesal beribu kesal. Tapi aku juga heran. Kenapa aku bisa mengutarakan kekesalan pada pemuda ini? Padahal biasanya aku selalu diam seribu bahasa bersama orang-orang di sini.
Tapi diluar dugaan, Gilang malah tertawa.
"Awalnya aku juga kesel sama tempat ini. Sumpek banget. Tapi ya karena adaptasi, aku nyaman ada di sini," katanya diakhiri senyum.
"Kenapa kamu bisa betah sih?" tanyaku sambil memakai kembali sepatu zuper -karena melebihi super, jadi zuper- menjijikan itu.
Dia tersenyum, sambil bersandar di dinding bangku. "Di sini orang-orangnya nyenengin, Ngel."
"Apanya?" selaku tak setuju, "cara berpikir dan bahasanya tuh beda banget!"
Dia mengangguk, seakan mengerti. "Itu karena kamu sudah nolak keberadaan orang-orang di sini. Coba deh kamu membuka diri, pasti bakal tahu," ucapnya menoleh, kemudian tersenyum lagi. "Mereka itu masih apa adanya. Nggak kayak orang kota, yang sekarang hampir semuanya cuma pake topeng."
Aku terdiam.
"Mereka bilang apa yang mereka rasa, nggak munafik. Mereka juga sederhana, selalu terima apapun yang mereka dapat. Kalau orang kota, macet dikit aja ngomelnya udah panjang lebar. Di sini juga orang-orangnya bersahabat dan saling peduli. Sedangkan di kota, kalau nggak kenal ya udah nggak kenal. Mau orang itu jatoh, kecopetan atau apapun, ya itu urusan dia. Beda sama orang sini," jelasnya panjang lebar. "Di sini juga nyenengin kok! Ada bendungan, ada air terjun, ada puncak! Semuanya lebih alami daripada di kota. Yang alami itukan lebih asyik. Ya nggak?" tanyanya memainkan alis.
Tanpa sadar aku tersenyum.
"Dulu aku juga sama kayak kamu. Diem aja. Tapi karena berbaur dengan mereka, aku ikut jadi pribadi yang terbuka dan mau bergaul sama siapapun. Mereka juga banyak ngasih aku pengalaman dan pengetahuan baru, yang nggak pernah aku dapat di kota!"
Aku mendekat, menunjukkan aku tertarik dengan pembicaraan ini. Tak peduli pada hujan yang semakin deras. Ataupun pelajaran yang sedang berlangsung di kelas. Aku seperti tak mau pergi. Ingin selalu mendengarkan ceritanya.
"Ya emang sih, tambang buat tempat ini jadi panas. Bahkan banyak yang putih malah jadi hitam. Kamu hati-hati tuh," tegurnya menggerakkan dagu ke arahku.
Aku tertawa kecil. Kamu juga hati-hati Gilang, kamukan putih. Batinku dalam hati.
"Tapi Ngel, kita tuh harus bersyukur sekolah di sini. Karena aku dengar sih, lulusan sekolah sini bakal lebih diutamakan kalau ngelamar kerja tambang nanti!" ceritanya antusias, "kerja tambang itukan gajinya lumayan tinggi. Why not kita kerja di sini aja?"
Kerja di sini? Dengan tambang? Nggak deh...
"Kamu mau jadi apa sih nanti?" tanyanya seakan membaca pikiranku lagi.
Aku agak ragu menjawab, "penulis."
Jawaban singkat itu membuatnya terlihat agak terkejut, tapi lalu tersenyum. "Bagus tuh. Gimana kalau kamu tulis tentang kepindahanmu ke sini? Tentang keluhanmu tentang kota ini."
"Desa maksudmu?" ucapku meralat. Dia tertawa.
"Iya, desa Batu Kajang maksudku," katanya membenarkan.
"Em.... oke deh. Kayaknya seru," katanya jadi semangat karena mendapat ide tulisan. Aku menatapnya, dan mencoba tersenyum manis. "Thanks ya."
"Untuk?" tanyanya terlihat tak mengerti.
"Udah kasih aku bahan tulisan," jawabku ringan, "dan juga udah nyadarin aku bahwa aku harus membuka diri di kehidupan baru ini."
Dia mengangguk dan tersenyum. Dia memang senang tersenyum. Dan aku suka.
Eh?
Aku... suka?
Aku terdiam sendiri. Menatap pemuda manis yang masih tersenyum padaku ini. Aku pernah berkata pada ibu bahwa aku tak level dekat-dekat dengan lelaki di sini. Tapi pemuda ini... sepertinya telah bisa membuatku jatuh cinta.
Ternyata benar ya kata orang. Di balik kesialan itu terkadang ada keberuntungan. Dan mungkin itu yang ku rasakan sekarang. Tapi hari selanjutnya aku akan mencoba berbaur di desa tambang ini. Lagipula kita tak pernah tahu kelebihan dan kekurangan sesuatu saat kita belum benar-benar mengenalnya. Seperti Gilang. Aku tak pernah tahu bahwa pemuda ini mampu mencuri hatiku hanya dengan dua kali pertemuan. Dengan hujan sebagai saksinya.

*******

Hahaha. Maap ye kaga greget. Ini LAGI-LAGI atas request Arief yang minta cerpennya double. Ya udah aku tambahin ini. Awalnya tokohnya bukan anak IC, tapi jadi ku ganti karena kalian pasti protes klo tau siapa nama tokoh awalnya. Hihihi.
*liatkanankiri* semoga ga ada anak sekolahku yg baca ya. wkwkwk. Karena tokoh 'Gilang' di sini bisa dibilang setengah real (?) Dan tokoh Angel itu emang real. Iya ya ya ya ya. Awalnya emang sengak songong sombong belagu dan sebagainya. Tapi nggak lama dia sadar kok kalau dia harus membuka diri di lingkungan baru #inicurcol
Dan cerpen ini juga ngasih pesan ye! Untuk membuka diri sama lingkungan baru, dan jangan judge sesuatu sebelum tahu lebih lanjut! Jangan kayak penulisnya nih, yg jadi sempet dimusuhin satu sekolah gara2 ga mau bergaul (?) tapi ya alhamdulillah setelah kenaikkan kelas dan bertemu 'Gilang' akhirnya bisa berbaur bahkan kini punya banyak sahabat dan jadi diri sendiri di sekolah o:)
Cerpen ini special untuk seorang kakak kelas yang sekarang udah nggak deket lagi sama aku. Hehehe. Makasih atas nasihatnya saat itu. Lain kali pulang bareng yuk ke Balikpapan! Hehehe.
Juga untuk anak2 SMA N 1 Batu Sopang, khususnya XI IPA 1 yang udah buat aku jadi diri sendiri lagi! Jadi Ale yg gila dan heboh! Bukan Ale yg diem kalem ga banyak omong kayak awal pindah! Hehehe. Makasih! Muchlove banget karena tanpa kalian aku pasti udah frustasi terdampar di tempat yg sama sekali ga ku kenal. Terima kasiiiihhhhhh
Oke, ada request baru lagi? Oh ya. Yg Badai-Rasha-Gilangel disave dulu ya, aku usahain buat deh! Kalau selesai nanti aku post. Yg lain mau ikut mesen cerpen? Bisa :p

cheers!
@aleastri


Tidak ada komentar:

Posting Komentar