Rabu, 03 April 2013

Bintang Super Mario Part 9


Part 9: Gabriel vs Rio? :O

Malamnya, dua keluarga yang sempat terpisah itu menyatu kembali. Hari yang panjang itu sangat menyenangkan.
Saat sore tadi, Rio ikut ke rumah Ify. Bertemu dengan keluarga Ify. Eizel, kakak tunggal Ify, sempat merasa pangling melihat Rio yang kini tingginya sudah sama sepertinya. Khalif, adik semata wayang Ify, mengerutkan kening tak mengenali Rio. Karena Rio pergi saat usianya baru satu tahun. Mama Ify sempat menangis haru memeluk Rio yang dulunya sudah ia anggap anak sendiri. Papa Ify yang kebetulan ada juga menepuk-nepuk bahu Rio, tak menyangka anak itu sudah sebesar ini.
Dan malam ini, Rio memborong keluarganya. Ya... walau hanya Mama dan Papa sih. Mereka saling melebur dengan keluarga Ify. Melepas rindu yang sama-sama terkumpul satu sama lain.
Kini, Ify dan Rio duduk bersama di ayunan panjang di halaman depan rumah Ify. Menatap langit malam Jakarta. Ditemani bulan sabit menyinari malam mereka.
"Sejak kapan suka musik?" tanya Rio membuka percakapan.
"Sejak kamu pergi," jawab Ify tenang, berbeda dengan Rio yang tersentak. "Aku ngerasa nggak punya teman. Dan musik adalah teman yang nggak akan pergi ninggalin kita."
Rio tersenyum tipis, merasa bersalah. "Sorry."
Ify tertawa renyah, "udahlah. Sekarang kita udah ketemu lagi, kan?"
Rio tersenyum, lalu menggerakkan tubuh perlahan. Menyandarkan kepala di pundak Ify. Ify sedikit melirik, entah mengapa merasa berbeda. Dulu Rio kecil sering bersandar di pundaknya. Mereka bahkan pernah tidur bersampingan. Tapi kini... berbeda. Mereka telah dewasa. Telah mengenal rasa itu. Telah tahu getaran itu. Dan kini Ify merasakannya. Ia yang dulunya bisa memeluk Rio dengan santai, kini menjadi sedikit gugup. Apakah menjadi dewasa juga berarti mendewasakan perasaannya?
"Kamu makin galak," kata Rio kembali membuka mulut.
"Kamu makin bandel," balas Ify.
Rio menegakkan tubuh lagi, memandang Ify. "Kamu jadi ngeselin."
"Kamu juga nyebelin."
"Makin jutek."
"Makin tengil."
"Makin bawel."
"Makin jail."
"Makin cantik."
Kali ini debat itu terhenti. Mulut Ify terbuka tanpa suara. Sementara di sampingnya Rio melemparkan senyum. Matanya menatap Ify jenaka.
"Elo cantik sekarang."
Pujian itu terlontar. Apa adanya tanpa basa-basi. Membuat seperti ada yang menusuk hati Ify pelan. Tak sakit. Tapi membuatnya melambung tinggi.
Rio menatap Ify semakin dalam. "Pantes dari awal aku ngerasa pernah kenal kamu. Pantes aku ngerasa pernah dengar nama keluargamu. Pantes aku selalu dapat reaksi aneh seperti ucap namaku di depanmu. Dan pantas kamu suka Super Mario. Karena memang kamu Ify. Ipi si Super Mario." Rio tertawa renyah, lalu mengacak lembut puncak rambut Ify. "Awalnya aku nggak ngenalin kamu. Kamu benar-benar berubah."
"Tapi aku masih nunggu kamu," kata Ify segera, tak terima seakan dituduh begitu.
Rio tertawa, "apa aku juga berubah?"
Ify diam sejenak, lalu tersenyum dan menggeleng. "Kamu tetap bandel, songong, dan nyebelin." Nadanya memang becanda, tapi Ify tak berbohong. Membuat Rio kembali tertawa.
"Em... kalau fisik?" Rio mengerling menggoda.
Ify mencibir, "dikasih makan apa sama Tante Manda sampai kayak tiang listrik begini? Cuma tulang doang juga," komentar Ify mendecak-mendecak kecil memandangi Rio.
"Itu doang?" tanya Rio menunggu dengan kerlipan berharap.
"Kamu makin item," kata Ify masih tak mau mengatakan apa yang Rio inginkan. Ify sebenarnya tahu Rio ingin Ify mengucap apa, tapi entah mengapa kata itu terpendam dalam hatinya saja.
"Terus?"
"Udah," jawab Ify mengedikkan bahu kecil. Lalu memandangi Rio. Hatinya berbisik pelan. Makin keren sih. Makin ganteng juga. Manis. Rupawan. Bersinar. Auranya kuat. Menawan. Tatapannya teduh. Tubuhnya atletis. Seperti most wanted boy. Keren.
"Ehm. Permisi."
Sebuah salam dengan suara serak ngebas membuat Rio dan Ify menoleh. Seorang laki-laki bertubuh jangkung dengan setelan kemeja biru dan celana jins hitam panjang berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Wajahnya tenang. Walau ia berusaha melemparkan senyuman.
Wajah Ify merekah, lalu mengibaskan tangannya menyuruh pemuda itu mendekat. "Gabriel! Sini!"
Rio mengernyit tak suka. Kenapa dia ada di sini?
Gabriel menurut. Ia melirik tatapan sebal Rio, tapi tak memedulikan dan tersenyum pada Ify.
"Yo, gue undang Gabriel gabung malam ini," kata Ify ceria.
"Untuk? Ini acara keluarga kita. Tertutup," sahut Rio sedikit tak tajam. Seakan berarti, 'orang luar tak boleh datang'.
Ify tertawa, "kamu pasti belum tahu ya siapa Gabriel?"
Rio mengangkat sebelah alis, lalu memandang Gabriel. Gabriel melemparkan senyum bersahabat.
"Gue Bintang."
Singkat. Tapi mampu menjelaskan semua.
Rio terkesima. Sedikit tak menyangka. Anak kecil berwajah agak bulat berbadan kecil yang dulu sering menemaninya itu menjadi... sosok laki-laki yang rupawan. Apalagi ia kapten basket. Teman-teman kelas Rio yang perempuan mengidolakannya. Tubuh kecilnya kini jadi tinggi menjulang, sama seperti Rio.
"Kamu kagetkan, Yo? Aku juga! Nggak nyangka banget ternyata aku satu sekolah sama Bintang, yang dulunya sering dorongin kita ayunan! Hahaha," ucap Ify tertawa, tak menyadari perubahan ekspresi yang perlahan mampir di wajah Rio.
"Oh," ucap Rio singkat. "Dia yang nemenin kamu selama ini?"
"Selama kami sekelas. Aku juga baru tahu saat kelas dua ini kok," kata Ify menjelaskan. "Gab, sini duduk!" ajak Ify.
Gabriel tersenyum, lalu memilih duduk di samping Ify. Walau sebenarnya tempat di samping Rio lebih lebar dan kosong. Membuat Rio sedikit mendelik ke arahnya. Gabriel memasang wajah tenang, walau sebenarnya ia ingin sekali membalas delikan sinis Rio itu.
"Pa kabar Yo?" Gabriel mencoba mencairkan suasana.
"Lo liat sendiri, kan?" sahut Rio dingin. Ify sedikit mengernyit melihat itu.
"Selama ini kemana aja?"
"Gue hanya berkelana sebentar. Dan sekarang juga sudah pulang," jawab Rio penuh arti. Pipi Ify sedikit bersemu mendengar itu. 
"Lo ninggalin dia." Suara Gabriel mulai menyamai Rio.
"Gue hanya pergi sebentar."
Ify sedikit merasa jengah. Duduk di antara dua laki-laki yang kini saling menatap dengan tatapan tak terbaca. Apalagi nada suara mereka terdengar datar namun agak tajam.
"Awal ketemu kenapa lo nggak ngenalin dia?" tanya Gabriel masih berusaha mencari kesalahan pemuda itu.
"Gue pangling. Dia aja nggak ngenalin gue," sahut Rio santai memutar mata ke arah Ify. Ify refleks menunduk kikuk.
"Lo berantem sama dia. Jambak rambut dia, bentak dia, bahkan benci dia."
"Karena gue nggak tahu dia Ify gue."
"Ify lo?"
Hening.
Ify melebarkan mata menyadari kalimat itu. Ia memandang ke arah Rio yang terdiam. Rio seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun bingung harus berkata bagaimana. Ify menoleh pada Gabriel. Gabriel melemparkan tatapan dingin meminta penjelasan. Walau sepertinya pemuda itu sudah dapat membaca keadaan ini.
"Sembilan tahun bukan waktu sebentar, Yo. Semua berubah. Mungkin dulu lo ngerasa dia milik lo. Tapi sekarang dia udah dewasa. Punya pilihan sendiri," kata Gabriel datar.
Gabriel memandang Ify, lalu meraih jemari gadis itu dan menariknya lembut mendekat ke arah Gabriel. Ify hanya bisa pasrah menurut.
"She with me now. Not with you," ucap Gabriel singkat. "Elo udah pergi lama ninggalin luka untuk dia. Sekarang adalah tugas gue ngobatin luka itu."
Ify meneguk ludah. Lalu melirik hati-hati ke arah Rio. Garis wajah pemuda itu mengeras. Matanya memancarkan amarah dan menatap tajam jemari Gabriel yang menggenggam tangan Ify.
"A... a.... Aaa! Kita makan malam dulu yuk. Pasti yang lain udah nunggu. Oh ya. Aku udah ngomong mama bakal ada kamu, Yel. Masuk yuk. Kita makan bareng rame-rame. Ayo ayo," kata Ify segera dengan panik. Ia berdiri, tapi tangan Gabriel belum melepaskan jemarinya. Membuatnya terdiam lagi.
"Lepasin tangan lo," kata Rio dingin.
"Kalau gue nggak mau?" tanya Gabriel menantang.
Ify merutuk dalam hati. Ia melengos keras, lalu meraih tangan Rio membuat Rio dan Gabriel terlonjak. "Ayo masuk!" tegas Ify menarik kedua pemuda itu agar berdiri mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Ify menelan ludah dalam hati. Kedua tangannya menggenggam tangan masing-masing dua pemuda itu. Sepertinya persahabatan kecil mereka benar-benar tak akan sama lagi. Dan parahnya, Ify diposisikan berdiri di tengah. Berarti nantinya ia yang akan mendapat banyak tekanan.

^^^

Sekolah gempar. Lagi-lagi karena dua orang itu. Seperti selebriti saja. Membuat sensasi dimana-mana. Kali ini bukan pertengkaran heboh seperti biasa. Namun hal yang sangat aneh. Sangat ajaib mungkin. Apa yang terjadi? Kedua orang itu gagar otak? Amnesia? Otaknya telah dicuci? Atau apa sih?
Dimulai dari kedatangan Ify dengan swift birunya. Ia keluar dari mobil, dan berjalan ke arah pintu utama sekolah. Tapi ternyata di depan parkiran Gabriel telah menunggu. Mereka melangkah bersama. Dan saat sampai di tangga menuju pintu utama, mereka berpapasan dengan Rio.
Para siswa yang melihat itu sontak menghentikan langkah. Tertarik dan penasaran karena mereka yakin pasti akan ada pertengkaran lagi.
Tapi apa nyatanya? Rio malah menyeringai lebar, lalu merangkul pundak Ify. Sementara Ify tertawa dan menarik lengan Gabriel agar mengikutinya menaiki tangga memasuki sekolah.
Mulut para mata memandang terbuka lebar. Tak memercayai permandangan itu. Mereka mengerjap. Mengucek-ngucek mata. Mungkin masih mengantuk karena jam baru menunjuk angka tujuh kurang.
Ify dan Rio seakan tak melihat tatapan-tatapan kaget tak percaya itu. Rio masih merangkul Ify dengan senyuman lebar. Ify juga masih tersenyum. Dengan Gabriel berjalan di samping mereka mencoba melemparkan senyum pada beberapa orang yang menyapa. Walau beberapa orang itu masih menatap Ify dan Rio tak percaya.
Alya baru saja keluar dari koperasi, membeli sarapan. Tapi dirinya terkejut bukan main. Saat ketiga murid itu melewatinya, kompak melemparkan senyum selamat pagi. Alya membeku sesaat, sebelum mencoba balas tersenyum. Walaupun senyumannya terlihat aneh karena keningnya berkerut tak mengerti. Tapi setelah melihat punggung ketiga murid itu, bibir Alya benar-benar tersenyum. Ketiganya sudah menyatu lagi.
Alya geleng-geleng kepala kecil. Ternyata mereka benar-benar terlihat berbeda dengan sebelas tahun lalu. Jelas sekali perbedaannya. Tapi... apakah fisik juga sama seperti hubungan mereka? Apakah perubahan juga terjadi pada persahabatan ketiganya?
Alya diam sejenak. Ia lalu mendongak, menatap langit cerah pagi ini. Biarkanlah. Cerita ini akan mengalir kemana, tak akan ada yang tahu. Ini kisah langit, kan?
Tapi Alya terdiam sendiri. Lalu kembali menatap bayang Ify, Rio, dan Gabriel yang mulai menghilang. Ia menghela nafas. Lalu bagaimana dengan kisahnya sendiri? Akan bermuara ke arah mana? Apalagi dengan pertemuan yang terjadi kemarin. Mungkin Ify masih bisa berhubungan dengan Gabriel ataupun Rio. Tapi Alya? Apa bisa ia bersama pria yang sudah menjadi seorang ayah?
Alya menghela nafas dan memejamkan mata sekilas. Mencoba menata hatinya. Karena ia kembali merasa ada retakan di sana. Yang selalu ada karena nama pria itu.
Adit.

^^^

"Kamu berasa lagi nonton sinetron nggak?" tanya Ozy sambil meraih roti di kotak bekal biru itu.
Acha menopang dagu, memandang Ify yang kini duduk semeja dengan Gabriel dan Rio. Walau Gabriel dan Rio seperti saling menolak satu sama lain, tapi Ify memaksa keduanya untuk tetap berteman seperti dulu.
"Aku malah berasanya nonton drama korea," sahut Acha membuat Ozy tertawa. Acha kini menoleh pada Ozy, mefokuskan pada pemuda itu yang kini melahap roti sandwichnya.
"Enak banget," puji Ozy menjawab pertanyaan yang tak terlontar itu. "Buatnya pakai cinta ya?" goda Ozy mengerling.
Pipi Acha memerah seketika. Ia manyun, dan memukul lengan Ozy pelan. "Kamu bilang di kantin tuh ribet. Istirahat pertama pasti rame. Tapi disuruh bawa bekal malah katanya kayak anak TK. Ya udah aku bawain," jelas Acha malu.
Ozy tertawa renyah. "Nggak nyangka deh dibuatin bekal gini. Pertama kalinya nih dapet bekal dari cewek," akunya jujur.
Pipi Acha makin memanas. "Besok... mau lagi?" tanyanya malu-malu.
Ozy menyeringai, "nggak."
Sontak, wajah Acha berkerut kesal. "Masakan aku nggak enak?" tanyanya memerotes.
Ozy tertawa lagi. "Bukan itu. Besok... nggak usah bawain bekal lagi. Biar kita buat bekal bareng," ucap Ozy diakhiri senyuman manis. "Kamukan bakal repot kalau buatin bekal aku terus. Kita buat berdua aja. Pagi-pagi aku ke rumahmu. Gimana?"
Pipi Acha kembali merona. "Iya deh," jawabnya pelan. Walau dalam hati ingin sekali berteriak senang.
Ozy tersenyum, lalu mengacungkan sandwich itu ke depan mulut Acha. "Makan gih."
Acha menggeleng, "kamu aja. Kan buat kamu," tolak Acha halus menjauhkan tangan Ozy darinya.
"Yah. Makan bareng dong," pinta Ozy memasang raut memelas yang lucu. Membuat Acha tertawa dan tak bisa menolak.
Acha mengangguk. Tapi baru saja tangannya ingin mengambil alih roti itu, Ozy dengan manisnya sudah menyodorkan ke depan mulut Acha. Acha merasakan suhu tubuhnya meningkat. Ia membuka mulut, memakan suapan Ozy. Ozy tersenyum melihatnya. Entah kenapa, hati mereka sangat merasa bahagia kini.

xxxxx

Yang mau cerbung ini tetep lanjut, mention ke aku atau @_ALders ya. Karena kayaknya aku bakal banyak disibukkan kegiatan yang baru-baru ini aku seriusin. Mungkin aku bakal jarang on lagi. Tapi masih usahain post PMB. Nah kalau BSM, mungkin ada rencana mau aku 'break' dulu. Tapi kalau banyak yang mau lanjut, insyaAllah aku tetep terusin kayak biasa. Ngomong aja ke akunya ya :)

@aleastri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar