Part 9: Gabriel vs
Rio? :O
Malamnya,
dua keluarga yang sempat terpisah itu menyatu kembali. Hari yang panjang itu
sangat menyenangkan.
Saat sore
tadi, Rio ikut ke rumah Ify. Bertemu dengan keluarga Ify. Eizel, kakak tunggal
Ify, sempat merasa pangling melihat Rio yang kini tingginya sudah sama
sepertinya. Khalif, adik semata wayang Ify, mengerutkan kening tak mengenali
Rio. Karena Rio pergi saat usianya baru satu tahun. Mama Ify sempat menangis
haru memeluk Rio yang dulunya sudah ia anggap anak sendiri. Papa Ify yang
kebetulan ada juga menepuk-nepuk bahu Rio, tak menyangka anak itu sudah sebesar
ini.
Dan malam
ini, Rio memborong keluarganya. Ya... walau hanya Mama dan Papa sih. Mereka
saling melebur dengan keluarga Ify. Melepas rindu yang sama-sama terkumpul satu
sama lain.
Kini, Ify
dan Rio duduk bersama di ayunan panjang di halaman depan rumah Ify. Menatap
langit malam Jakarta. Ditemani bulan sabit menyinari malam mereka.
"Sejak
kapan suka musik?" tanya Rio membuka percakapan.
"Sejak
kamu pergi," jawab Ify tenang, berbeda dengan Rio yang tersentak.
"Aku ngerasa nggak punya teman. Dan musik adalah teman yang nggak akan
pergi ninggalin kita."
Rio
tersenyum tipis, merasa bersalah. "Sorry."
Ify tertawa
renyah, "udahlah. Sekarang kita udah ketemu lagi, kan?"
Rio
tersenyum, lalu menggerakkan tubuh perlahan. Menyandarkan kepala di pundak Ify.
Ify sedikit melirik, entah mengapa merasa berbeda. Dulu Rio kecil sering
bersandar di pundaknya. Mereka bahkan pernah tidur bersampingan. Tapi kini...
berbeda. Mereka telah dewasa. Telah mengenal rasa itu. Telah tahu getaran itu.
Dan kini Ify merasakannya. Ia yang dulunya bisa memeluk Rio dengan santai, kini
menjadi sedikit gugup. Apakah menjadi dewasa juga berarti mendewasakan
perasaannya?
"Kamu
makin galak," kata Rio kembali membuka mulut.
"Kamu
makin bandel," balas Ify.
Rio
menegakkan tubuh lagi, memandang Ify. "Kamu jadi ngeselin."
"Kamu
juga nyebelin."
"Makin
jutek."
"Makin
tengil."
"Makin
bawel."
"Makin
jail."
"Makin
cantik."
Kali ini
debat itu terhenti. Mulut Ify terbuka tanpa suara. Sementara di sampingnya Rio
melemparkan senyum. Matanya menatap Ify jenaka.
"Elo
cantik sekarang."
Pujian itu
terlontar. Apa adanya tanpa basa-basi. Membuat seperti ada yang menusuk hati
Ify pelan. Tak sakit. Tapi membuatnya melambung tinggi.
Rio menatap
Ify semakin dalam. "Pantes dari awal aku ngerasa pernah kenal kamu. Pantes
aku ngerasa pernah dengar nama keluargamu. Pantes aku selalu dapat reaksi aneh
seperti ucap namaku di depanmu. Dan pantas kamu suka Super Mario. Karena memang
kamu Ify. Ipi si Super Mario." Rio tertawa renyah, lalu mengacak lembut
puncak rambut Ify. "Awalnya aku nggak ngenalin kamu. Kamu benar-benar berubah."
"Tapi
aku masih nunggu kamu," kata Ify segera, tak terima seakan dituduh begitu.
Rio
tertawa, "apa aku juga berubah?"
Ify diam
sejenak, lalu tersenyum dan menggeleng. "Kamu tetap bandel, songong, dan
nyebelin." Nadanya memang becanda, tapi Ify tak berbohong. Membuat Rio
kembali tertawa.
"Em...
kalau fisik?" Rio mengerling menggoda.
Ify
mencibir, "dikasih makan apa sama Tante Manda sampai kayak tiang listrik
begini? Cuma tulang doang juga," komentar Ify mendecak-mendecak kecil
memandangi Rio.
"Itu
doang?" tanya Rio menunggu dengan kerlipan berharap.
"Kamu
makin item," kata Ify masih tak mau mengatakan apa yang Rio inginkan. Ify
sebenarnya tahu Rio ingin Ify mengucap apa, tapi entah mengapa kata itu
terpendam dalam hatinya saja.
"Terus?"
"Udah,"
jawab Ify mengedikkan bahu kecil. Lalu memandangi Rio. Hatinya berbisik pelan.
Makin keren sih. Makin ganteng juga. Manis. Rupawan. Bersinar. Auranya kuat.
Menawan. Tatapannya teduh. Tubuhnya atletis. Seperti most wanted boy. Keren.
"Ehm.
Permisi."
Sebuah
salam dengan suara serak ngebas membuat Rio dan Ify menoleh. Seorang laki-laki
bertubuh jangkung dengan setelan kemeja biru dan celana jins hitam panjang
berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam
saku celana. Wajahnya tenang. Walau ia berusaha melemparkan senyuman.
Wajah Ify
merekah, lalu mengibaskan tangannya menyuruh pemuda itu mendekat.
"Gabriel! Sini!"
Rio
mengernyit tak suka. Kenapa dia ada di
sini?
Gabriel
menurut. Ia melirik tatapan sebal Rio, tapi tak memedulikan dan tersenyum pada
Ify.
"Yo,
gue undang Gabriel gabung malam ini," kata Ify ceria.
"Untuk?
Ini acara keluarga kita. Tertutup," sahut Rio sedikit tak tajam. Seakan
berarti, 'orang luar tak boleh datang'.
Ify
tertawa, "kamu pasti belum tahu ya siapa Gabriel?"
Rio
mengangkat sebelah alis, lalu memandang Gabriel. Gabriel melemparkan senyum
bersahabat.
"Gue
Bintang."
Singkat.
Tapi mampu menjelaskan semua.
Rio
terkesima. Sedikit tak menyangka. Anak kecil berwajah agak bulat berbadan kecil
yang dulu sering menemaninya itu menjadi... sosok laki-laki yang rupawan.
Apalagi ia kapten basket. Teman-teman kelas Rio yang perempuan mengidolakannya.
Tubuh kecilnya kini jadi tinggi menjulang, sama seperti Rio.
"Kamu
kagetkan, Yo? Aku juga! Nggak nyangka banget ternyata aku satu sekolah sama
Bintang, yang dulunya sering dorongin kita ayunan! Hahaha," ucap Ify
tertawa, tak menyadari perubahan ekspresi yang perlahan mampir di wajah Rio.
"Oh,"
ucap Rio singkat. "Dia yang nemenin kamu selama ini?"
"Selama
kami sekelas. Aku juga baru tahu saat kelas dua ini kok," kata Ify
menjelaskan. "Gab, sini duduk!" ajak Ify.
Gabriel
tersenyum, lalu memilih duduk di samping Ify. Walau sebenarnya tempat di
samping Rio lebih lebar dan kosong. Membuat Rio sedikit mendelik ke arahnya.
Gabriel memasang wajah tenang, walau sebenarnya ia ingin sekali membalas
delikan sinis Rio itu.
"Pa
kabar Yo?" Gabriel mencoba mencairkan suasana.
"Lo
liat sendiri, kan?" sahut Rio dingin. Ify sedikit mengernyit melihat itu.
"Selama
ini kemana aja?"
"Gue
hanya berkelana sebentar. Dan sekarang juga sudah pulang," jawab Rio penuh
arti. Pipi Ify sedikit bersemu mendengar itu.
"Lo
ninggalin dia." Suara Gabriel mulai menyamai Rio.
"Gue
hanya pergi sebentar."
Ify sedikit
merasa jengah. Duduk di antara dua laki-laki yang kini saling menatap dengan
tatapan tak terbaca. Apalagi nada suara mereka terdengar datar namun agak
tajam.
"Awal
ketemu kenapa lo nggak ngenalin dia?" tanya Gabriel masih berusaha mencari
kesalahan pemuda itu.
"Gue
pangling. Dia aja nggak ngenalin gue," sahut Rio santai memutar mata ke
arah Ify. Ify refleks menunduk kikuk.
"Lo
berantem sama dia. Jambak rambut dia, bentak dia, bahkan benci dia."
"Karena
gue nggak tahu dia Ify gue."
"Ify
lo?"
Hening.
Ify
melebarkan mata menyadari kalimat itu. Ia memandang ke arah Rio yang terdiam.
Rio seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun bingung harus berkata bagaimana.
Ify menoleh pada Gabriel. Gabriel melemparkan tatapan dingin meminta
penjelasan. Walau sepertinya pemuda itu sudah dapat membaca keadaan ini.
"Sembilan
tahun bukan waktu sebentar, Yo. Semua berubah. Mungkin dulu lo ngerasa dia
milik lo. Tapi sekarang dia udah dewasa. Punya pilihan sendiri," kata
Gabriel datar.
Gabriel
memandang Ify, lalu meraih jemari gadis itu dan menariknya lembut mendekat ke
arah Gabriel. Ify hanya bisa pasrah menurut.
"She
with me now. Not with you," ucap Gabriel singkat. "Elo udah pergi
lama ninggalin luka untuk dia. Sekarang adalah tugas gue ngobatin luka
itu."
Ify meneguk
ludah. Lalu melirik hati-hati ke arah Rio. Garis wajah pemuda itu mengeras.
Matanya memancarkan amarah dan menatap tajam jemari Gabriel yang menggenggam
tangan Ify.
"A...
a.... Aaa! Kita makan malam dulu yuk. Pasti yang lain udah nunggu. Oh ya. Aku udah
ngomong mama bakal ada kamu, Yel. Masuk yuk. Kita makan bareng rame-rame. Ayo
ayo," kata Ify segera dengan panik. Ia berdiri, tapi tangan Gabriel belum
melepaskan jemarinya. Membuatnya terdiam lagi.
"Lepasin
tangan lo," kata Rio dingin.
"Kalau
gue nggak mau?" tanya Gabriel menantang.
Ify merutuk
dalam hati. Ia melengos keras, lalu meraih tangan Rio membuat Rio dan Gabriel
terlonjak. "Ayo masuk!" tegas Ify menarik kedua pemuda itu agar
berdiri mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Ify menelan
ludah dalam hati. Kedua tangannya menggenggam tangan masing-masing dua pemuda
itu. Sepertinya persahabatan kecil mereka benar-benar tak akan sama lagi. Dan
parahnya, Ify diposisikan berdiri di tengah. Berarti nantinya ia yang akan
mendapat banyak tekanan.
^^^
Sekolah
gempar. Lagi-lagi karena dua orang itu. Seperti selebriti saja. Membuat sensasi
dimana-mana. Kali ini bukan pertengkaran heboh seperti biasa. Namun hal yang
sangat aneh. Sangat ajaib mungkin. Apa yang terjadi? Kedua orang itu gagar
otak? Amnesia? Otaknya telah dicuci? Atau apa sih?
Dimulai
dari kedatangan Ify dengan swift birunya. Ia keluar dari mobil, dan berjalan ke
arah pintu utama sekolah. Tapi ternyata di depan parkiran Gabriel telah
menunggu. Mereka melangkah bersama. Dan saat sampai di tangga menuju pintu
utama, mereka berpapasan dengan Rio.
Para siswa
yang melihat itu sontak menghentikan langkah. Tertarik dan penasaran karena
mereka yakin pasti akan ada pertengkaran lagi.
Tapi apa
nyatanya? Rio malah menyeringai lebar, lalu merangkul pundak Ify. Sementara Ify
tertawa dan menarik lengan Gabriel agar mengikutinya menaiki tangga memasuki
sekolah.
Mulut para
mata memandang terbuka lebar. Tak memercayai permandangan itu. Mereka
mengerjap. Mengucek-ngucek mata. Mungkin masih mengantuk karena jam baru
menunjuk angka tujuh kurang.
Ify dan Rio
seakan tak melihat tatapan-tatapan kaget tak percaya itu. Rio masih merangkul
Ify dengan senyuman lebar. Ify juga masih tersenyum. Dengan Gabriel berjalan di
samping mereka mencoba melemparkan senyum pada beberapa orang yang menyapa.
Walau beberapa orang itu masih menatap Ify dan Rio tak percaya.
Alya baru
saja keluar dari koperasi, membeli sarapan. Tapi dirinya terkejut bukan main.
Saat ketiga murid itu melewatinya, kompak melemparkan senyum selamat pagi. Alya
membeku sesaat, sebelum mencoba balas tersenyum. Walaupun senyumannya terlihat
aneh karena keningnya berkerut tak mengerti. Tapi setelah melihat punggung
ketiga murid itu, bibir Alya benar-benar tersenyum. Ketiganya sudah menyatu
lagi.
Alya
geleng-geleng kepala kecil. Ternyata mereka benar-benar terlihat berbeda dengan
sebelas tahun lalu. Jelas sekali perbedaannya. Tapi... apakah fisik juga sama
seperti hubungan mereka? Apakah perubahan juga terjadi pada persahabatan
ketiganya?
Alya diam
sejenak. Ia lalu mendongak, menatap langit cerah pagi ini. Biarkanlah. Cerita
ini akan mengalir kemana, tak akan ada yang tahu. Ini kisah langit, kan?
Tapi Alya
terdiam sendiri. Lalu kembali menatap bayang Ify, Rio, dan Gabriel yang mulai
menghilang. Ia menghela nafas. Lalu bagaimana dengan kisahnya sendiri? Akan
bermuara ke arah mana? Apalagi dengan pertemuan yang terjadi kemarin. Mungkin
Ify masih bisa berhubungan dengan Gabriel ataupun Rio. Tapi Alya? Apa bisa ia
bersama pria yang sudah menjadi seorang ayah?
Alya menghela
nafas dan memejamkan mata sekilas. Mencoba menata hatinya. Karena ia kembali
merasa ada retakan di sana. Yang selalu ada karena nama pria itu.
Adit.
^^^
"Kamu
berasa lagi nonton sinetron nggak?" tanya Ozy sambil meraih roti di kotak
bekal biru itu.
Acha
menopang dagu, memandang Ify yang kini duduk semeja dengan Gabriel dan Rio.
Walau Gabriel dan Rio seperti saling menolak satu sama lain, tapi Ify memaksa
keduanya untuk tetap berteman seperti dulu.
"Aku
malah berasanya nonton drama korea," sahut Acha membuat Ozy tertawa. Acha
kini menoleh pada Ozy, mefokuskan pada pemuda itu yang kini melahap roti
sandwichnya.
"Enak
banget," puji Ozy menjawab pertanyaan yang tak terlontar itu.
"Buatnya pakai cinta ya?" goda Ozy mengerling.
Pipi Acha
memerah seketika. Ia manyun, dan memukul lengan Ozy pelan. "Kamu bilang di
kantin tuh ribet. Istirahat pertama pasti rame. Tapi disuruh bawa bekal malah
katanya kayak anak TK. Ya udah aku bawain," jelas Acha malu.
Ozy tertawa
renyah. "Nggak nyangka deh dibuatin bekal gini. Pertama kalinya nih dapet
bekal dari cewek," akunya jujur.
Pipi Acha
makin memanas. "Besok... mau lagi?" tanyanya malu-malu.
Ozy
menyeringai, "nggak."
Sontak,
wajah Acha berkerut kesal. "Masakan aku nggak enak?" tanyanya
memerotes.
Ozy tertawa
lagi. "Bukan itu. Besok... nggak usah bawain bekal lagi. Biar kita buat
bekal bareng," ucap Ozy diakhiri senyuman manis. "Kamukan bakal repot
kalau buatin bekal aku terus. Kita buat berdua aja. Pagi-pagi aku ke rumahmu.
Gimana?"
Pipi Acha
kembali merona. "Iya deh," jawabnya pelan. Walau dalam hati ingin
sekali berteriak senang.
Ozy
tersenyum, lalu mengacungkan sandwich itu ke depan mulut Acha. "Makan
gih."
Acha
menggeleng, "kamu aja. Kan buat kamu," tolak Acha halus menjauhkan
tangan Ozy darinya.
"Yah.
Makan bareng dong," pinta Ozy memasang raut memelas yang lucu. Membuat
Acha tertawa dan tak bisa menolak.
Acha
mengangguk. Tapi baru saja tangannya ingin mengambil alih roti itu, Ozy dengan
manisnya sudah menyodorkan ke depan mulut Acha. Acha merasakan suhu tubuhnya
meningkat. Ia membuka mulut, memakan suapan Ozy. Ozy tersenyum melihatnya.
Entah kenapa, hati mereka sangat merasa bahagia kini.
xxxxx
Yang mau
cerbung ini tetep lanjut, mention ke aku atau @_ALders ya. Karena kayaknya aku
bakal banyak disibukkan kegiatan yang baru-baru ini aku seriusin. Mungkin aku
bakal jarang on lagi. Tapi masih usahain post PMB. Nah kalau BSM, mungkin ada
rencana mau aku 'break' dulu. Tapi kalau banyak yang mau lanjut, insyaAllah aku
tetep terusin kayak biasa. Ngomong aja ke akunya ya :)
@aleastri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar