Minggu, 30 Desember 2012

Bintang Super Mario Part 1


Part 1. Pangeran itu punya nama Bintang?

Tahun 2012

Gadis cantik berwajah tirus itu berdiri kala namanya dipanggil. Tepuk tangan riuh dari segala penjuru aula mengantarnya menaiki panggung sekolah. Ia tersenyum manis, dan kemudian duduk di belakang grand piano hitam yang berdiri anggun di sudut panggung. Gadis itu menaruh jemarinya di atas tuts piano. Dengan perlahan, musik merdu dan indahnya mulai terdengar. Kelincahan jemarinya menari di atas tuts hitam putih itu mengantarkan para pendengar larut dan terpukau. Musik pianonya yang sudah seperti pianis profesional benar-benar memukau. Sampai para penonton tak menyadari, gadis itu sudah sampai di penghujung aksinya.
Ia tersenyum dan berdiri. Lalu membungkuk, yang segera mendapatkan tepukan ramai memenuhi aula. Kedua orangtuanya yang duduk di barisan depan tersenyum bangga menatap anak gadis mereka dapat memukau semua orang di aula ini.
"Yeee! Alyssa," Si pembawa acara kembali naik ke atas panggung, mendatangi gadis cantik itu. "Keren banget ya?" tanyanya pada penonton yang segera disambut ramai.
"Dengan permainan piano Alyssa tadi, saya juga akan mengumumkan. Bahwa mulai kenaikan kelas ini, Alyssa adalah ketua ekskul musik di SMA Pelita."
Tepuk tangan jadi makin ramai. Sorakan-sorakan para siswa yang juga ada di aula sekolah mereka itu terdengar menyemangati Alyssa, nama gadis itu.
Pembawa acara menjabat tangan Alyssa mengucapkan selamat. Setelah itu ia meminta Alyssa mengucap beberapa kata untuk pensi sekolah kali ini, yang memang diperuntukkan untuk mempromosikan masing-masing ekskul di SMA Pelita. Alyssa berkata singkat saja, lalu mengingatkan adik kelas baru di kelas sepuluh boleh mendaftar padanya jika tertarik dengan ekskul musik. Setelah itu gadis berwajah tirus dengan behel tersebut tersenyum manis sekali lagi, dan menuruni panggung masih diiringi tepukan para penonton.

^^^

Alyssa Saufika Umari      XI IA 1
........
Larissa Safanah Arif         XI IA 1

"Yeaayyy!!!" teriak gadis berkulit putih melompat-lompat gembira sambil memeluk gadis berwajah tirus di sampingnya.
"Fy! Kita sekelas! Aaaa untunglah. Gue udah takut aja kita nggak bakal sekelas. Nanti siapa yang bakal gue pinjam PRnya tanpa ngomel-ngomel lagi? Yang bakal pasrah gue contekin pas ulangan tanpa nolak? Yang... hmpptt..."
Ocehan gadis itu segera berhenti kala Ify, panggilan untuk Alyssa, membekap mulut sahabatnya itu segera.
"Acha please deh. Elo nggak bisa ya sehari aja gitu ngomong satu kalimat aja? Gue capek dengernya woy!" omel Ify sambil melepaskan tangannya dari mulut Larissa, atau biasa dipanggil Acha.
Acha manyun sambil mengusap bibirnya. "Iya iya. Maaf. Ya udah yuk, kita ke kelas sekarang," ajak Acha riang sambil menggandeng lengan Ify dan menariknya pergi.
"Eh eh... kita nggak liat nih siapa aja nama temen sekelas kita nanti?" tanya Ify yang memang tadi hanya melihat namanya saja. Sementara Acha yang mencari satu persatu namanya karena berada di absen bawah.
Acha terdiam sejenak. Ia melirik ke arah Ify, lalu tersenyum. Senyuman yang agak aneh terlihat di mata Ify. "Eng... kita ke kelas aja dulu deh. Yuk!"
Ify mengerutkan kening. Hm... pasti ada sesuatu nih.
Sampai di kelas XI IPA 1, kelas tersebut sudah ramai dan agak penuh. Acha segera menarik Ify ke meja kosong, deretan kedua di samping jendela. Ify hanya pasrah saja. Walau sebenarnya ia senang ada di samping jendela. Karena pasti ia akan bisa melihat langit dari sana. Ah, langit. Temannya sedari dulu.
Acha memulai cerita saat mereka sudah duduk. Gadis itu memang senang sekali berceloteh ria. Sementara Ify, memang mendengarkan. Tapi kepalanya tertuju pada sahabat dekat-namun-jauh si bumi. Langit. Kali ini sinar mentari pagi terlihat cerah, membuat Ify tanpa sadar tersenyum. Ini yang dia suka dari langit. Langit rumahnya matahari. Rumahnya para bintang.
"Ify!"
Ify sedikit terkejut saat Acha tiba-tiba memukulnya. Ia menoleh, melihat wajah bertekuk Acha.
"Ify ih. Gue udah ngomong panjang lebar pasti nggak denger, kan? Lagi liatin langit lagi? Idola lo yang nggak akan lo gapai itu?" sindir Acha mengerling ke arah jendela.
"Yeee salah. Gue liatin matahari tahu," sahut Ify memeletkan lidah.
"Lama-lama mata lo bakal rusak ngeliatin matahari mulu. Mending liatin gue deh, lebih kinclong dari matahari!" kata Acha mengibaskan rambut agak panjangnya. Ify menyoraki sambil menoyor Acha, sementara Acha tertawa.
Tapi tanpa sengaja, mata Ify berhenti pada pintu kelas. Sebenarnya tadi ia lihat sekilas saja, tapi melihat siapa yang baru saja akan memasuki kelas, mata gadis itu langsung berhenti seutuhnya.
Acha yang melihat itu, mengerutkan kening dan ikut melihat ke arah fokus pandangan Ify. Ia mengangkat alis, tak terlalu terkejut karena tadi melihat nama pemuda jangkung itu di daftar absen kelas.
Ify terpaku. Matanya melebar perlahan dengan nafas tercekat. Sementara pemuda yang ditatapnya, dengan santai memilih kursi kosong. Berjarak satu barisan dari meja Ify. Deretan kedua juga. Di samping Cakka, si ganteng idola sekolahnya. Ah tapi. Serupawan apapun Cakka, sinar pemuda itu tetap tak terganti. Pemuda jangkung itu. Pujaan hatinya sedari MOS dulu. Dan kini... sekelas dengannya?! Ya Tuhan... ini mah anugerah banget. Anugerah terindah yang pernah Ify miliki. Kayak lagunya Sheila On 7. Ify ngefans tuh dengan bandnya. Apalagi vokalisnya. Ganteng. Eh tapi, tetep tak bisa gantikan ketampanan pemuda di samping Cakka itu. Andai saja pemuda itu juga jadi vokalis band ya. Pasti fansnya membludak. Dan Ify pasti akan sangat sangat sangaaaat mengidolakannya. Melebihi ia mengidolakan Sheila On 7.
Eh... kok pikiran Ify jadi ngelantur gini sih? Kenapa juga Sheila On 7 dibawa-bawa?
Tanpa sadar, Ify geleng-geleng sendiri, membuat Acha mendelik ngeri ke arahnya.
"Fy! Ify! Sadar woy!" kata Acha sambil mengguncang pelan bahu Ify.
Ify mengerjap dan menoleh.
"Ya ampun Fy... apa lo jadi stres karena terlalu bahagia sekelas sama..." suara Acha memelan dratis, "Gabriel?"
Ify menelan ludah, lalu nyengir. "Kok lo nggak ngomong sih?" bisiknya tercekat.
"Ya... kalau gue ngomong. Nanti elo heboh. Dan gue berani taruhan deh. Pasti tadi lo bakal mampir ke toilet dulu, ngaca sampai capek. Itukan makan waktu banget Fy. Sementara gue nggak mau kehilangan meja dengan posisi terbaik," jelas Acha panjang lebar.
"Posisi terbaik?" tanya Ify mengerutkan kening.
"Iya. Posisi terbaik itu adalah di tengah agak belakang. Yang bisa noleh kanan dan kiri tanpa ketahuan," kata Acha tenang yang disambut tawa Ify, "tapi liat deh. Mejanya udah diambil. Telat, kan? Gimana kalau nanti elo ke toilet? Pasti kita dapat di pojokan depan atau pojokan belakang. Meja pojok deh pokoknya. Di depan itu, depan guru. Sementara di belakang, temenannya sama hantu doang. Nah, syukur-syukur nih kita dapat samping jendela. Lo juga bisa pacaran sama langit dari sini. Ya, kan?"
Ify tersenyum, dan mengangguk-angguk. Ia melihat ekspresi Acha, gadis itu seperti tak merasa lelah walau telah berkata panjang lebar. Ify lalu menggerakkan kepala sedikit, melihat ke arah Gabriel yang kini berbincang bersama Cakka. Ah... tiap hari ia akan terus memandangi wajah tampan itu. TIAP HARI! Selama ini Ify hanya bisa menatapnya saat ia bermain basket saja. Dan kini? Ify tak perlu repot-repot meninggalkan makan siangnya di kantin demi melihat Gabriel. Cukup melolongkan kepala sedikit, pemuda rupawan itu sudah terlihat. Hihihi.
Para siswa yang dengan segera duduk di meja masing-masing membuat Ify dan Acha tersentak. Ternyata wali kelas mereka sudah datang. Ify melebarkan mata, melihat wanita muda dan masih terlihat cantik itu tersenyum ramah memasuki kelas. Ia memakai kemeja putih polos dengan rok denim selutut. Tangannya membawa sebuah map merah dengan tas jinjing putih. Wanita itu, pembinanya di ekskul musik.
"Pagi semua," sapa wanita itu ramah yang disambut para muridnya. "Kalian tahu nama saya, kan? Alya Maharani. Panggil aja Miss Alya. Saya adalah wali kelas kalian, XI IPA 1."
Sontak, para murid bersorak senang. Karena mereka tahu. Miss Alya masih muda, ia sangat mengerti para anak muridnya. Jadi kalau dibujuk sedikit, guru ini pasti luluh. Ah! Jadi kalau murid XI IA 1 mendapat masalah atau apapun, guru ini pasti akan datang membantu sepenuhnya. Senangnya!
"Oke, Miss absen satu-satu ya," kata Alya sambil membuka absen merahnya. Ia menyebutkan nama murid satu persatu. Mereka mengacungkan tangan setiap namanya dipanggil.
"Alyssa Saufika," panggil Alya, lalu mendongak.
Ify mengangkat tangan sambil tersenyum. Gabriel yang duduk sebaris dengannya, menoleh. Alisnya terangkat baru melihat gadis itu ternyata sekelas dengannya.
"Kamu anak kelas Miss? Wah... senangnya," kata Alya gembira karena Ify adalah murid kesayangannya di ekskul musik. Apalagi kini gadis itu terpilih jadi ketus ekskul. Ify balas tersenyum pada Alya.
Alya melanjutkan mengabsen satu persatu. Ify diam-diam memutar mata, melirik ke arah Gabriel. Kini pemuda itu menatap Alya, menunggu namanya disebut. Ify merasakan nafasnya tertahan. Aduh pemuda ini. Tampannya kebangetan banget sih. Dia sedang diam seperti ini saja rupawan. Auranya ituloh! Karismanya itu! Kinclong banget!!!
"Gabriel Bintang Damanik."
"Yes Miss..."
Ify sontak terkejut setengah mati. Ia membelalak, lalu melihat Gabriel yang kini menurunkan tangan kembali. Ify terperangah. Ia merasa ada yang memukul dadanya keras. Ia memang mengagumi Gabriel sedari dulu. Tapi yang ia tahu nama lengkap Gabriel itu Gabriel Damanik. Ia tak pernah tahu. Bahwa... ada nama Bintang di tengah nama pemuda itu.
Bintang...
Ify mendadak merasakan dadanya sesak. Ia mengalihkan wajah, menatap langit cerah dari jendela kelasnya.
"Fy..." sebuah tepukan halus di pundaknya ditambah panggilan pelan dari Acha membuat Ify tersentak dan menoleh. "Lo kenapa? Kok... mukanya serem..." tanya Acha mengerutkan kening.
Ify terdiam. Tapi tak lama ia segera memasang wajah biasa saja. "Ha? Serem apa? Rese ah lo!" sahut Ify mencibir, "Gue... cuma kaget aja denger nama lengkap Gabriel," kata Ify memelankan suara.
"Iya. Gue juga baru tahu loh namanya dia itu ada nama Bintangnya. Yah, dia emang bintang. Bintang di sekolah, dan... bintang di hati lo," ejek Acha menunjuk dada Ify.
"Sssttt!!!" kata Ify dengan pipi merona, takut ada yang mendengar karena kelas hening mendengarkan suara Alya.
Acha tertawa saja, lalu menoleh kembali ke arah Alya, menunggu namanya disebut.

******

Hehe. Ya begitulah part1nya. Eum... agak bingung ya? Hehe. Ha? Kenapa? Ada yang nggak muncul? Em... Rio?  Atau siapa? Bintang? Atau Aditya Junas?(???)
Udah bisa ditebak, kan? Iya. Si Bintang yang di prolog itu Gabriel (aku males main rahasia-rahasiaan atau kode-kodean, jadi kasih tau ajalah -_-)
Itu... Alyanya nongol :3 wkwkwk. Udah bisa ditebak nggak? Hehehe.
Sebenarnya Acha itu awalnya Sivia, tapi karena beberapa hal, aku ganti. Oh ya. Aku nulis waktu Ify liat Gabriel sebenarnya sambil bayangin, bahwa... akulah Ify. Hahaha.
Sorry ya Rio ga nongol. Masih di Manado nih, belum ada jadwal balik ke Jakarta. So, tunggu aja sampai dia ke Jakarta ya :p (walau kabarnya dia udah mau datang)
Part depan judulnya: Nostalgia. Hehe. InsyaAllah ga lama postnya.
Ayo promote cerbung ini yaw ^^

salam kece!
@aleastri

Rabu, 26 Desember 2012

Bintang Super Mario ~Prolog


Tahun 2001

Sore itu, di sebuah taman kota, terdapat dua orang anak berumur lima tahun yang asyik bermain ayunan bersama. Si anak perempuan dengan dagu agak tirus tertawa riang kala si anak laki-laki bersawo matang mendorong ayunannya sampai melambung. Si anak perempuan senang sekali kala dirinya seakan 'terbang' karena dorongan temannya itu.
"Lagi Yo, lagi!" pinta si anak perempuan semangat kala ayunannya berhenti.
Si anak laki-laki menghembuskan nafas sambil memegangi kedua tali ayunan, "capek ah Fy. Gantian dong," rajuknya manyun.
"Ih nggak mau! Ayo kamu dorong lagi," pinta anak perempuan itu manja.
"Ck. Gantian dong," protes anak laki-laki itu makin manyun.
"Nggak mau! Ayo Lio dorong lagi," pinta si anak perempuan itu memelas.
"Lio Lio, nama aku Rio!"
"Hehe. Iya, Rio maksudnya."
"Dasar Ipi."
"Ify. I-ef-ye."
"Ih, kamu udah bisa ngeja nama ya?" nada Rio kini malah jadi riang, agak terkejut dengan kemajuan temannya ini.
"Iya dong. Kan diajarin bu guru," kata Ify sombong, yang memang sudah jadi anak TK beberapa bulan lalu. "Cepet dorong aku lagi!"
Wajah Rio berubah seketika, "nggak!" tegasnya lalu menjulurkan lidah dan pergi.
"Rio!!!" teriak Ify tapi Rio tetap berjalan jauh. "Lio jelek! Aku musuhin!" ancam Ify. Tapi tetap saja Rio terus melangkah cuek, mendatangi mama keduanya yang sedang duduk-duduk di bangku taman.
Ify mencibir sebal. "Huh! Jelek. Awas kalau nanti pinjam game Super Mario aku lagi. Nggak akan aku pinjamin walau sampai nangis, nggak mau kasih pinjam!" dumel gadis cilik itu, lalu memeletkan lidah pada Rio yang duduk di pangkuan mamanya tanpa memedulikan Ify lagi.
"Hahaha."
Ify tersentak, lalu menoleh. Mendapati seorang pemuda cilik tak jauh dari tempatnya dengan pipi agak bulat menertawakan Ify sambil menunjuk kecil Ify yang manyun di atas ayunan.
"Kasihan. Ditinggal temennya ya? Haha," ejek pemuda itu yang sedaritadi memerhatikan Rio dan Ify.
Ify makin merenggut sebal, "apa sih kamu?" tanyanya galak.
Pemuda itu tertawa, tapi mendekat ke arah Ify. "Ya udah sini. Aku aja yang dorongin," ucapnya ramah.
"Ah nggak mau! Nanti kamu malah jatohin aku," tolak Ify curiga.
"Kata mama aku, nggak baik berburuk sangka sama orang," kata pemuda itu belaga dewasa, "aku kasihan aja sama kamu. Daripada nangis."
"He! Aku nggak cengeng ya," sahut Ify ketus, "ya udah. Cepet dorongin!" perintah Ify membuat pemuda itu tertawa.
"Siap-siap ya," kata pemuda itu, lalu mendorong Ify pelan.
"Ih kok pelan sih?" protes Ify yang tak merasakan 'sensasi' apapun.
"Aduh, kamu itu selain galak ternyata bawel ya," ejek pemuda itu membuat Ify melotot. Ia sekali lagi mendorong Ify dengan kuat.
"Wooo," Ify berteriak senang saat dirinya kembali melambung. Rambut sebahunya terbang dihembus angin sore. Ia tertawa riang lagi. Senang sekali rasanya.
"Lagi, lagi!" pinta Ify senang kala ayunan berhenti.
Pemuda itu ikut tersenyum senang, lalu bersiap akan mendorong lagi. Sebelum sebuah suara terdengar.
"Nggak usah!"
Ify dan anak laki-laki itu menoleh. Rio sudah berjalan mendekat dengan wajah bertekuk.
"Kamu kok main sama orang lain sih," omel Rio sebal.
"Yeee, kamukan ninggalin aku. Biar aja aku sama...." kalimat Ify terhenti, lalu menoleh pada pemuda itu, "Eh, nama kamu siapa ya?" tanyanya baru ingat belum mengetahui nama teman barunya ini.
"Bintang," jawab pemuda cilik itu tersenyum ramah. Rio dan Ify tersentak mendengarnya.
"Ih, sama kayak nama Rio! Namanya Rio itu Mario Bintang.... eng... siapa Yo?" Ify menoleh pada Rio mengingat-ngingat.
"Haling! Kamu kok lupa namaku sih," omel Rio makin keki.
"Yeee emang kamu hapal namaku?" sahut Ify.
"Eng... tahunya Ipi doang sih," jawab Rio tanpa dosa.
"IFY Rioooo," kata Ify jadi ikut kesal. Bintang tertawa melihat keduanya.
Rio hanya mencibir, lalu menoleh pada Bintang. "Sana kamu! Aku aja yang dorong Ipi," usir Rio.
"Lio! Jahat banget sih," tegur Ify memasang wajah galak. Rio hanya balas menggeram sebal.
Bintang menghela nafas dan menipiskan bibirnya, "oke deh nggak papa. Udah sore juga. Aku mau pulang aja," kata Bintang menurut. Ia lalu melangkah menjauh, kemudian melambai pada Ify. "Dada Ify!!!" pamitnya ramah.
"Dada!!! Besok main lagi ya," kata Ify senang sambil balas melambai.
Rio mendecak, lalu melangkah ke belakang ayunan Ify. Dan tanpa berkata langsung mendorong gadis itu. Membuat Ify yang belum siap, menjerit kaget dan segera berpegang erat pada dua tali ayunannya.
"Lain kali, jangan main selain sama aku!" kata Rio terus mendorong Ify.
"Bawel! Makanya, jangan pernah ninggalin aku. Waaa," balas Ify sambil bersorak saat ayunan melambung tinggi.
Rio segera menarik kedua tali ayunan, menghentikan paksa gerakkan ayunan. "Aku nggak akan ninggalin kamu lama-lama kok. Kalau aku pergi, nanti aku juga pasti kembali lagi ke kamu," kata Rio serius sambil menatap Ify yang memandangnya.
"Tapi masa aku nggak boleh main sama yang lain selama kamu pergi?" tanya Ify memajukan bibir bawahnya sedikit.
"Nggak boleh!" tegas Rio membuat Ify mendelik.
"Terus nanti yang nemenin aku siapa?"
"Bintang."
"Ya Bintang yang tadi, kan?"
"Bukan. Tapi bintang di langit," kata Rio, Ify terdiam. "Kalau aku nggak ada, kamu liat ke langit. Bakal banyak bintang yang akan gantiin aku kalau aku pergi. Aku udah suruh mereka nemenin kamu."
"Bintangkan adanya cuma malam. Kalau pagi sampai sore, siapa yang nemenin aku?"
"Matahari," jawab Rio enteng. "Kata mama, matahari itu juga bintang. Dia bintang terbesar dan paling terang. Dia bakal nemenin kamu juga."
"Kamu ngomong sama dia?" tanya Ify polos.
Rio mengangguk, "matahari sama bintang adalah teman aku. Dan mereka juga akan jadi teman kamu. Jadi... lain kali nggak usah main sama cowok lain lagi."
"Cowok lain? Berarti sama cewek boleh?" tanya Ify masih saja polos.
"Em..." Rio memutar mata, "Asal mereka nggak gantiin posisi aku, nggak papa."
Ify tertawa mendengarnya, "nggak akan ada yang bisa gantiin Lio jelek kayak kamu," ucapnya mengejek dan memeletkan lidah.
"Huúu!" sahut Rio sambil menepuk pelan poni rata Ify. Ify tertawa. Rio tersenyum melihatnya, lalu kembali mendorong Ify lagi.
Tak jauh dari ayunan itu, seorang perempuan berseragam SMA duduk di sebuah bangku taman sambil tersenyum melihat keduanya. Ia sudah memerhatikan sedari tadi. Gadis cantik itu merogoh pulpen dan buku dari tas ranselnya, lalu mulai menulis. Sampai sebuah tepukan pelan di pundaknya membuat ia terkejut dan menoleh.
"Nih," seorang laki-laki berseragam SMA mengacungkan segelas es jeruk ke arah gadis itu. Gadis berambut panjang itu tersenyum menerimanya. Si laki-laki meloncat duduk ke sampingnya.
"Nulis lagi?" tanya laki-laki itu melihat ke arah buku tulis yang terbuka di pangkuan gadis itu.
Gadis itu tersenyum senang, lalu melihat ke arah Ify dan Rio yang masih bermainan ayunan. "Anak-anak itu buat aku jadi punya ide. Lucu deh kayaknya kalau kisah masa kecil kayak mereka dijadiin cerita novel," cerita gadis itu senang. Ia lalu menceritakan apa saja yang ia lihat tadi. Kedatangan Bintang, serta percakapan Ify dan Rio.
"Aku kayaknya punya feeling deh. Saat mereka dewasa nanti, mereka bertiga bakal terlibat kisah cinta segitiga," kata gadis itu riang.
Si pemuda tertawa, "Alya... Alya... kamu pasti aja bilang 'aku punya feeling' atau 'feelingku bilang' dan apalah. Tahu deh calon penulis. Feelingnya tajam."
Gadis bernama Alya itu mencibir, "Aku serius nih. Nanti, kalau dua anak itu dewasa, ternyata mereka akan saling jatuh cinta. Dan anak laki-laki yang namanya Bintang tadi, bakal ada di antara keduanya."
"Itu bukan kisah mereka nanti, tapi... kisah novel kamu," kata pemuda itu menoyor pelan kepala Alya. 
Alya mencibir, lalu meminum es jeruk tadi. Ia diam sejenak, lalu melepaskan sedotan di mulutnya dan menoleh pada pemuda putih di sampingnya ini. "Adit..."
Pemuda itu bergumam menjawab, dan menatap Alya bertanya.
"Kamu bakal kayak anak cowok itu, kan? Kalau pergi nanti, kamu pasti bakal kembali lagi?"
Adit mengangkat alis, dan tertegun mendengar pertanyaan itu.
Alya tersenyum perlahan menatap bola mata Adit, "kamu... akan kembali, kan?"
Adit terdiam. Menatap mata dan senyuman berharap itu. Ia mengerti maksudnya. Karena setelah lulus nanti, ia akan pergi ke Australi. Pemuda itu mendapat beasiswa di sana.
Adit menghela nafas, dan mengalihkan wajah. Menatap Ify dan Rio yang kini berkelahi kecil kembali. "Mereka masih kecil Al. Janji mereka cuma ucapan polos anak-anak. Mereka belum tahu kehidupan sebenarnya. Aku... nggak bisa jamin..."
Alya menggigit bibir, dan menunduk perlahan.
"Aku nggak mau janji Al. Karena aku nggak mau kamu nunggu aku. Aku, ataupun kamu nggak tahu kehidupan apa yang terjadi nanti. Kita nggak bisa nebak. Aku mungkin bakal berusaha pulang, tapi... kalau Tuhan ternyata nuliskan kisah lain... Gimana?"
Alya menghela nafas berat. Pemuda ini, yang telah menemani hari-harinya selama dua tahun lalu. Yang menuliskan kisah indah di masa putih abu-abunya. Akan... pergi?
"Tapi... tenang. Aku selalu berdoa sama Tuhan. Semoga... kita akan dipersatukan lagi. Suatu saat nanti," kata Adit mencoba menghibur sambil mengelus lembut rambut panjang Alya.
Alya tak menjawab. Hanya menaruh pelan kepala di pundak kekasihnya ini. Semoga saja. Mereka akan dipersatukan lagi.
Suatu saat nanti...

*****

Uhuk. Oke oke. Ini... namanya apa ya? Prolog? Eum... ya... mungkin...(?)
Kemaren aku emang bilang mau post "Anak Ayam Jatuh Cinta" tapi nggak jadi karena beberapa masalah dan kendala. Sama kayak "Anak Ayam Jatuh Cinta" cerbung ini juga PASTI ada Gabriel :3
Ini tokoh utamanya... Rify. Oh bukan bukan. Fyel. Eh, salah lagi. Maksudnya, Rio, Ify, dan Gabriel. Why dibilang gitu? Tunggu aja next part :p
Aku emang bukan RFM, karena lebih suka Fyel, tapi... aku suka banget kalau RFM udah modus-modusan :p so, cerbung ini dibuat deh ^^ Dan juga, ada beberapa yang minta aku buat cerita ttg Rify, karena selama ini pasti buat ttg OKe. Ya... semoga ga ngecewain request ya :p
Aku emang sengaja ngasih nama Bintang. Karena judulnya emang "Bintang Super Mario" atau disingkat BSM. Lalu juga Alya-Adit itu, karena menurut aku anak IC kayaknya nggak ada yang cocok. Karena nanti mereka juga ada waktu Ify Rio gede. Awalnya sih nama Alya itu Ale, tapi kayaknya... terlalu narsis ya wkwk. Dan Adit? Ehm. Itu Aditya Junas Monkey :3 wuahahaha *plak. (karena kali ini Gabriel jadi tokoh utama, so, dia bukan sama aku, hiks)
Next part? Eum... mungkin tiga hari lagi? Atau bisa juga setelah ini. Entahlah. Semakin banyak yg komen dan view, aku pasti bakal semakin cepat ngepost ^^
Dipromote ke yang lain ya :)

@aleastri


Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 16b


Part 16B. Aku = Kamu

Sivia menatap iba dan prihatin sepupunya itu, yang terlihat sangat frustasi di atas tempat tidurnya. Ia bersandar di pojok dinding kamar sambil menatap kosong. Air matanya sudah mengering. Sedari pulang tadi, ia sudah mengamuk tak karuan. Sivia hanya diam mendengarkan. Karena ia mengerti. Yang harus ia lakukan kini hanyalah mendengarkan dan menemani.
Setelah beberapa saat hening, Sivia menghela nafas. "Mungkin belum saatnya kamu sama dia kayak dulu Vin..." ucap Sivia lembut.
Alvin tak menjawab. Hanya diam tanpa menoleh ke arah Sivia. Tenaganya sudah habis memikirkan hal ini. Ah. Sahabat ternyata bisa membuat frustasi juga ya?
"Vin... kalau kamu sahabatnya, harusnya kamu ngertiin dia," lanjut Sivia.
"Ngertiin? Ngertiin apa? Egonya dia?" Alvin membuka mulut, dengan suara lirih memandang Sivia sekilas.
Sivia menghela nafas panjang. "Vin, apa kamu tahu gimana rasanya jadi seorang ketua? Seorang pemimpin? Bukan cuma punya kekuasaan, tapi seorang pemimpin juga punya tanggung jawab," Sivia diam sejenak, "kalau dia sampai minta damai ke sekolah kamu, bukan cuma dia yang ngerasa kalah. Tapi juga buat nama sekolah dia nggak sebaik dulu."
Alvin tertegun. Sementara Sivia menatapnya lembut. Ini memang hal yang tak pernah Alvin mengerti. Ia hanya melihat dari sisi Rio sebagai penguasa, bukanlah Rio sebagai pemimpin. Sebagai orang yang disegani, tentu saja Rio harus menjaga nama baik sekolahnya. Ini tentang kehormatan sekolah, bukan hal pribadi semata.
"Kamu bilang, harusnya dia ngerti kamu. Tapi kamu juga harus sadar, apa kamu udah ngerti dia?" lanjut Sivia tanpa ada nada menggurui atau menasehati, "Ini semua nggak sesimpel yang kamu pikirin. Dia juga mikirin teman-temannya. Dia juga mikirin julukan sekolahnya nanti kalau dia minta damai. Dia juga pasti mikir, sekolahnya akan diejek dan diinjak-injak sama sekolah kamu yang dari dulu emang nggak pernah damai sama mereka."
Alvin makin terdiam. Ia sepeti merasa ditonjok keras. Disadarkan dengan ucapan itu. Bodoh! Kenapa ia tidak berpikir seperti itu? Kenapa ia terus menuntut Rio agar mengerti perasaannya? Inikah yang namanya sahabat? Mementingkan hati sendiri daripada perasaan sahabatnya?
"Kamu harusnya mikirin ini semua..." kata Sivia lembut. "Menurutmu, apa benar Rio sejahat itu?"
Alvin tak menjawab. Hanya menarik rambutnya frustasi. Sivia menghela nafas lagi, lalu berbalik dan melangkah keluar kamar Alvin. Di saat seperti ini, sendiri memang hal tepat untuk memikirkan semua masalah yang terjadi. Dan Sivia mengerti itu.
^^^
"Kak!!!" panggil Keke khawatir sambil berlari ke arah Rio yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Ia segera duduk di samping pemuda itu.
Rio yang sebelumnya melamun, terlonjak kaget melihat Keke yang tiba-tiba datang. Tapi belum sempat berkata, suara Mbok Ipah yang tadi membukakan pintu untuk Keke terdengar.
"Non mau minum apa?" tawar Mbok Ipah membuat Keke menoleh.
"Nggak usah mbok. Eng... Acha ada, kan?" tanya Keke membuat Rio tersentak. Karena tadi saat pulang, Rio langsung berbilas tubuh ingin menyegarkan pikiran. Dan saat malam seperti ini, ia malah duduk di sofa ruang tengah sambil melamun tak pasti.
"Ada non. Udah pulang dari tadi, tapi langsung masuk kamar. Mbok tanya, nggak mau jawab. Kayaknya... em... nangis deh Non," jawab Mbok Ipah melapor sambil sedikit melirik Rio.
Rio terkejut, dan menoleh. Tapi tak menyahut.
Keke mendesah pelan, "ya udah mbok. Mbok udah masak, kan? Nanti Keke aja yang ngajak Acha makan ya," ucap Keke lembut.
Mbok Ipah tersenyum, "iya non." Asisten rumah tangga itu mengangguk kecil, lalu pamit kembali ke dapur.
Keke menghela nafas, lalu kembali memandang Rio. "Kak, ada apa sih?" tanyanya cemas.
Rio mengerutkan kening sedikit, tak mengerti. Seakan membaca pikiran Rio, Keke menjelaskan.
"Tadi Acha nelpon sambil nangis. Dia bilang Kak Rio... tapi dia nggak ngasih tahu apapun. Kak Rio kenapa?" tanya Keke cemas. Ia benar-benar khawatir. Sampai sudah malam begini, ia beralasan pada orang tuanya belajar ke rumah teman, padahal untuk bertemu Rio.
Rio menatap Keke sendu. Entah mengapa, ribuan emosi yang tadi ia sembunyikan mendadak ingin menampakkan diri. Di depan gadis ini, Rio tak bisa bersembunyi lagi. Bahwa ia telah merapuh.
Keke mendekatkan diri ke samping Rio, merasakan aura sedih dari pemuda itu. Ia makin menatap Rio cemas.
"Ke... gue jahat ya?" tanya Rio lirih.
Keke mengernyitkan kening, "kenapa ngomong gitu?"
"Apa gue tiap hari cuma bisa buat Acha nangis? Apa gue selama ini nggak pernah bisa jadi seorang kakak yang baik buat Acha?" tanya Rio tanpa menjawab pertanyaan Keke.
Keke menghela nafas. Karena ia mengerti. Sebenarnya... ia telah berbohong di depan pemuda ini. Tadi Acha sudah menceritakan semua sambil menangis di telpon. Keke sampi harus benar-benar menajamkan telinga karena suara Acha tak jelas bercampur isak. Selama ini Acha memang menceritakan semuanya pada Keke. Tentang Ozy, Alvin, dan masa kecilnya. Tapi dari awal Acha sudah meminta Keke untuk tidak menceritakan apa saja yang ia ceritakan pada siapapun, termasuk Rio.
"Apa kakak ngerasa kayak gitu? Apa selama ini kakak ngelakuin hal yang buat Acha sedih?" ucap Keke lembut.
"Gue juga nggak tahu. Gue bersikap over, hanya karena gue sayang sama Acha. Gue mau jaga Acha. Gue nggak mau Acha kayak gue. Salah bergaul, sampai gue jadi kayak gini. Gue... cuma terlalu sayang sama dia."
Keke menggigit bibir kecil, lalu mengelus pundak pemuda itu lembut. "Kak, aku tahu maksud kakak buat jaga Acha. Tapi... cara kakak itu salah," ucap Keke membuat Rio mengerutkan kening sedikit, "Acha itu juga nggak mungkin kok berteman dekat sama orang yang nggak bener. Keke tahu Acha kak. Kalau aja Kak Rio nggak terlalu ngekang, pasti Acha nggak bakal ngerasa sedih."
Rio tersentak, dan terdiam. "Ngekang?" gumamnya lirih.
".... Raissa itu sama aja kamu siksa. Kamu terlalu over! Menjaga itu beda sama ngekang."
Kalimat itu mendadak menggema dalam otaknya, membuat nafasnya tercekat. Ia tertampar, tersadarkan bahwa selama ini sikapnya hanya menyiksa Acha.
Melihat raut wajah Rio yang seperti terluka, membuat Keke menyesali kata-katanya. "Eh... maaf kak. Aku salah ngomong ya?" kata Keke merasa bersalah.
Rio memandangnya, lalu mendesah pelan dan tersenyum tipis. "Nggak kok Ke. Kamu bener..." Rio mengalihkan pandangan, dan mendesah berat. Ia diam sejenak, sebelum akhirnya kembali menoleh pada Keke.
"Ke... gue... boleh pinjam pundak lo?"
Keke tersentak, dan terdiam.
Rio mendesah sekali lagi, "Ke... sekarang gue udah nggak punya tempat ngadu. Gue nggak tahu cari kekuatan dimana. Cuma lo... yang bisa buat gue tenang lagi," kata Rio lirih, "gue... capek Ke," lanjutnya lelah.
Keke meneguk ludah sedikit. Mengerti maksud kata 'capek' itu. Ia lalu menghembuskan nafas kecil, dan mengangguk pelan.
Rio dengan lemas menjatuhkan kepala ke pundak Keke. Lalu memejamkan matanya. Ada rasa nyaman dan tenang di samping gadis ini. Walau rasa sesak itu masih terasa. Ia benar-benar 'capek'. Selama bunda, orang terdekatnya, harus pergi ke luar kota bersama ayah, Rio memang merasa sendiri. Tak seperti Acha, yang bisa mengadu kapan saja. Rio sebagai kakak justru selalu memendam rasa sakit sendiri. Mungkin ia yang akan terus disalahkan, karena lebih memilih nama-baik-ketua-preman, seperti yang diucap Alvin. Tapi sebenarnya Rio seperti ini karena ia merupakan orang disegani di sekolah. Yang ia jaga bukan hanya nama pribadi, tapi juga nama sekolahnya yang menjadi musuh bebuyutan sekolah Alvin. Andai saja ada yang mengerti.
"Kakak... yang sabar ya," bisik Keke lembut. Tangannya merangkul pemuda itu, dan mengelus-elus pundak Rio lembut.
Rio menghela nafas letih, hanya mengangguk pelan.
Keke merasa terenyuh. Ia jadi ikut merasa miris juga. Teringat lagi cerita-cerita Acha. Awal pertemuan dengan Ozy, Ozy yang membuatnya jadi bertemu Alvin dan mengetahui segalanya, masa kecil mereka, permusuhan dua sekolah, dan semua. Membuat Keke sadar. Ternyata benar kata orang. Kebetulan-kebetulan yang terjadi di dunia ini akan saling bertautan menjadi kisah hidup yang sudah ditentukan. Dan mungkin ini memang kisah Rio, Acha, dan Alvin. Kebetulan-kebetulan yang mereka alami menjadikan kisah mereka jadi seperti layaknya cerita dalam novel. Manis, tapi juga miris.
Keke mendesah pelan. Kalau memang kisah ini sudah ditentukan, berarti orang-orang yang terlibat juga telah dipilih? Dan apakah Keke salah satunya? Tapi... itu berarti akan bertambah lagi konflik yang terjadi. Karena sebenarnya ada sesuatu, yang harus dilewati Keke kalau tetap ingin bersama Rio ataupun Acha. Sesuatu yang terus ia sembunyikan dari Acha ataupun Rio.
Tapi kalau memang Tuhan telah memilihnya ada dalam kisah ini, yang bisa dilakukan hanyalah pasrah. Mungkin memang ini yang harus terjadi. Sekuat apapun menyangkal, kalau memang takdir telah ditentukan, manusia sekuat apapun tak bisa melawan.
Keke menghela nafas. Mungkin akan ada banyak luka kalau memang ia adalah orang yang juga berperan dalam kisah ini. Karena kisahnya sendiri, sudah penuh luka dan derita. Yang selama ini hanya gadis itu saja yang merasakannya.
^^^ Acha masih terus menangis di ranjangnya. Sambil memeluk erat boneka beruang besar pemberian Apin dulu. Saat bundanya baru saja melahirkannya, Mama Apin dan Apin memberikan boneka ini untuk bayi Raissa. Apin yang memilih sendiri, dan berkata boneka itu yang akan menemani Raissa nanti kalau Raissa sudah dewasa. Dulu saja, saat mereka masih kanak-kanak, kalau Io dan Apin sudah sibuk bermain berdua, Raissa pasti hanya memainkan boneka beruang besar ini layaknya teman perempuan. Boneka itu masih ada. Walau sudah tak sesempurna dulu. Tapi Acha selalu menjaganya. Dan kali ini, boneka itu ia pilih untuk menemani tangisnya. Tangisnya karena pertemuan Rio dan Alvin tadi sore.
Pintu kamar tiba-tiba dibuka, membuat Acha terlonjak dan menoleh. Rio mendesah pelan, dan berjalan mendekat. Di belakangnya ada Keke yang tersenyum lembut sambil membawa sebuah baki berisi piring makanan dan minuman. Rio duduk di kursi meja belajar Acha. Sementara Keke mendekat ke samping Acha, dan duduk di sisi ranjang.
"Cha... makan dulu ya," bujuk Keke lembut.
Acha menggeleng pelan sambil makin memeluk bonekanya erat.
"Udah malam Cha. Waktunya makan malam," kata Keke terus membujuk. Acha tetap menggeleng.
"Ya udah. Kalau gitu minum dulu aja ya," ucap Keke masih sabar. Acha masih terisak dan menggeleng lagi.
Rio menghela nafas melihat itu, "makan Cha," perintahnya bernada datar.
Acha menunduk dalam, dan menggeleng lagi.
"Cha," kata Rio seakan tak bisa menahan sabar seperti Keke.
"Kak... udahlah," ucap Keke menengahi, "jangan dipaksa," kata Keke lembut, lalu menaruh baki di meja kecil samping tempat tidur Acha. Ia mendekat ke arah Acha yang terus terisak, lalu merangkul sahabatnya itu lembut. Karena Keke mengerti, yang Acha butuhkan saat ini sama seperti Rio. Pundak seseorang.
Acha menaruh lemas kepala di pundak Keke, dan masih terisak.
"Kenapa kamu nangis?" tanya Rio tak berekspresi.
Acha sesenggukan, dan mencoba menjawab. "Tadi... aku liat kakak sama koko di danau," jawabnya takut-takut. Keke makin mempererat rangkulannya, mencoba menguatkan gadis itu.
Rio menghela nafas keras, "kapan kamu ketemu dia?"
"Sudah cukup lama..." jawab Acha terisak.
"Kenapa kamu nggak ngasih tahu kakak?"
"Aku... aku belum siap kasih tahu kakak..."
"Terus? Kenapa kamu tahu kakak ada di danau?"
Acha menelan ludah, "aku... memang mau ketemu koko di sana."
"Kamu mau ketemu dia? Buat apa lagi sih?" tanya Rio menajam.
Acha mendongak, lalu kini menegakkan tubuh, "kak! Aku kangen sama koko. Apa aku nggak boleh ketemu koko?" Acha tiba-tiba tersulut emosinya, karena mengingat ucapan-ucapan Rio pada Alvin di danau tadi.
"Tapikan sebelumnya kamu udah ketemu dia, Acha! Dia itu musuh kita!"
"Dia kokonya Acha!" sergah Acha segera, walau masih bergetar.
Keke menggigit bibir, menahan diri untuk tidak membuka mulut. Karena ia merasa belum saatnya mengambil suara.
"Hanya karena dia murid smanra... Acha nggak boleh ketemu dia?" tanya Acha penuh getaran. Setetes bening hangat kembali meluncur dari matanya.
Rio menarik nafas dalam dan menghembuskannya sambil menatap Acha.
"Kak... Please... jangan lupakan semuanya..." pinta Acha memohon. Keke kembali mengelus pundaknya, mencoba menenangkan Acha.
Rio membuang muka sambil menghela nafas, mencoba mereda emosi. "Nggak Cha. Dia itu cuma masa lalu. Harusnya kamu tahu itu."
"Nggak! Dia bukan CUMA masa lalu. Seperti yang diucap koko, dari dulu, sampai sekarang, dia adalah kokonya Raissa," ucap Acha tegas walau masih sesenggukan.
"Itu dulu Acha!" kata Rio mulai menaikkan nada suara.
"Nggak! Kakak kenapa egois banget sih?!" balas Acha meradang. Keke mulai merasa panik sambil terus menenangkan Acha.
"Kamu nggak ngerti!"
"Apa yang buat aku nggak ngerti?!" tanya Acha makin tak terkendali, "selama ini kita cari dia kan, kak? Selama ini kakak juga kangen sama dia! Lalu, setelah ketemu, apa ini akhirnya? Harapan yang dari dulu ada musnah karena permusuhan kakak yang nggak penting itu!"
"Acha!" Rio berdiri dengan murka. Untuk yang pertama kalinya, Acha sampai membentak ia seperti itu. Membuat hatinya langsung terbakar amarah.
"Kak..." Keke kini segera mendekat ke arah Rio, gantian menenangkan pemuda itu. "Kak, jangan ikut emosi. Acha emosinya lagi labil kak..." bisik Keke menenangkan.
"Udahlah Ke! Ini urusan aku sama dia!" tukas Rio menoleh sekilas ke arah Keke membuat Keke terdiam, "sampai saat ini ternyata kamu tuh memang cuma anak kecil. Nggak pernah bisa ngerti!"
Tangis Acha makin deras.
"Ini bukan hanya tentang kita, Cha. Ini bukan hanya tentang permusuhan!"
Acha kembali mendongak, dan membalas dengan suara tak kalah keras, "lalu tentang apa?! Tentang ego kakak?!"
Mata Rio melotot geram, "Kamu...."
"Kak!" Keke segera menahan saat Rio ingin maju, emosi pemuda itu sudah tak terkendali. Sementara Acha segera menunduk takut dan makin mengeratkan pelukan pada boneka beruangnya. 
"Kak... tenang kak. Ingat, dia adek kakak," kata Keke menyadarkan.
Rio terdiam, lalu menghela nafas keras dan membuang muka. Tangis Acha makin deras. Boneka beruangnya basah sudah karena butiran bening dari sepasang mata gadis itu yang sudah bengkak dan sembab.
Hening terdengar di kamar itu. Yang ada hanya suara isak Acha yang tersembunyi dibalik wajahnya yang ia tempelkan ke boneka beruang dalam pelukannya.
"Kak... kita keluar dulu aja ya," kata Keke lembut dan hati-hati, sambil meraih lengan Rio.
Rio menghela nafas sekali lagi, tapi lalu menoleh pada Acha. "Oke. Kakak nggak bakal larang kamu lagi..."
Acha terlonjak dan mendongak. Keke juga ikut menoleh dan terkejut.
Rio menatap Acha dalam, "asal besok, kamu kenalin kakak. Siapa cowok yang akhir-akhir ini ada di samping kamu. Selain Apin..." kata Rio datar, lalu tak berkata lagi menarik tangan Keke keluar dari kamar Acha.
Keke yang terpaku mendengar ucapan itu hanya pasrah saat jemari Rio menggenggam tangannya keluar.
Acha tertegun seketika. Lebih tepatnya melongo. Apa? Kenalin ke Rio? Ozy.....

xxxxx

Yah. Kenapa jadinya panjang ya? Hahaha. Awalnya cuma singkat banget loh. Tapi pas revisi malah aku tambahin dialog. muehehehe.
Yang banyak bertambah itu adegan dan dialognya Keke sama Rio, karena ada yang nagih mereka belum ada muncul *melirik seseorang... :p
Mungkin Alvin agak lebay, but... ehm. Curcol dikit nih ye. Aku juga pernah 'frustasi' gara2 sahabat -_- walau konfliknya beda sama Rio-Alvin.
Part depan? Udah bisa ditebaklah. Ozy bakal ketemu Rio. Agak deg-degan ya. Jadi siapin popcorn aja saat baca nanti (lo sangka nonton bioskop -_-) Reaksi Rio kira-kira gimana ya? Marah, ngamuk, atau bahkan... luluh? Tapi tenang kok, kan nanti ada bundadari yang datang, si penulis kece B-) buahahaha.
Oh ya. Aku dapat kabar beberapa readers ternyata ada yang nggak ICL ya? Wah... welcome ya! Hehehe. Yang ini malah yang ku suka, jadi ga sibuk sama couple :p
Tunggu part depan. Bakal dipost kalau.... dipromote! Hehehe

Salam kece ;)
@aleastri