Part 16B. Aku = Kamu
Sivia menatap iba dan
prihatin sepupunya itu, yang terlihat sangat frustasi di atas tempat tidurnya.
Ia bersandar di pojok dinding kamar sambil menatap kosong. Air matanya sudah
mengering. Sedari pulang tadi, ia sudah mengamuk tak karuan. Sivia hanya diam mendengarkan.
Karena ia mengerti. Yang harus ia lakukan kini hanyalah mendengarkan dan
menemani.
Setelah beberapa saat
hening, Sivia menghela nafas. "Mungkin belum saatnya kamu sama dia kayak
dulu Vin..." ucap Sivia lembut.
Alvin tak menjawab. Hanya
diam tanpa menoleh ke arah Sivia. Tenaganya sudah habis memikirkan hal ini. Ah.
Sahabat ternyata bisa membuat frustasi juga ya?
"Vin... kalau kamu
sahabatnya, harusnya kamu ngertiin dia," lanjut Sivia.
"Ngertiin? Ngertiin
apa? Egonya dia?" Alvin membuka mulut, dengan suara lirih memandang Sivia
sekilas.
Sivia menghela nafas
panjang. "Vin, apa kamu tahu gimana rasanya jadi seorang ketua? Seorang
pemimpin? Bukan cuma punya kekuasaan, tapi seorang pemimpin juga punya tanggung
jawab," Sivia diam sejenak, "kalau dia sampai minta damai ke sekolah
kamu, bukan cuma dia yang ngerasa kalah. Tapi juga buat nama sekolah dia nggak
sebaik dulu."
Alvin tertegun. Sementara
Sivia menatapnya lembut. Ini memang hal yang tak pernah Alvin mengerti. Ia
hanya melihat dari sisi Rio sebagai penguasa, bukanlah Rio sebagai pemimpin.
Sebagai orang yang disegani, tentu saja Rio harus menjaga nama baik sekolahnya.
Ini tentang kehormatan sekolah, bukan hal pribadi semata.
"Kamu bilang,
harusnya dia ngerti kamu. Tapi kamu juga harus sadar, apa kamu udah ngerti
dia?" lanjut Sivia tanpa ada nada menggurui atau menasehati, "Ini
semua nggak sesimpel yang kamu pikirin. Dia juga mikirin teman-temannya. Dia
juga mikirin julukan sekolahnya nanti kalau dia minta damai. Dia juga pasti
mikir, sekolahnya akan diejek dan diinjak-injak sama sekolah kamu yang dari
dulu emang nggak pernah damai sama mereka."
Alvin makin terdiam. Ia
sepeti merasa ditonjok keras. Disadarkan dengan ucapan itu. Bodoh! Kenapa ia
tidak berpikir seperti itu? Kenapa ia terus menuntut Rio agar mengerti
perasaannya? Inikah yang namanya sahabat? Mementingkan hati sendiri daripada
perasaan sahabatnya?
"Kamu harusnya
mikirin ini semua..." kata Sivia lembut. "Menurutmu, apa benar Rio
sejahat itu?"
Alvin tak menjawab. Hanya
menarik rambutnya frustasi. Sivia menghela nafas lagi, lalu berbalik dan
melangkah keluar kamar Alvin. Di saat seperti ini, sendiri memang hal tepat
untuk memikirkan semua masalah yang terjadi. Dan Sivia mengerti itu.
^^^
"Kak!!!"
panggil Keke khawatir sambil berlari ke arah Rio yang sedang duduk di sofa
ruang tengah. Ia segera duduk di samping pemuda itu.
Rio yang sebelumnya
melamun, terlonjak kaget melihat Keke yang tiba-tiba datang. Tapi belum sempat
berkata, suara Mbok Ipah yang tadi membukakan pintu untuk Keke terdengar.
"Non mau minum
apa?" tawar Mbok Ipah membuat Keke menoleh.
"Nggak usah mbok.
Eng... Acha ada, kan?" tanya Keke membuat Rio tersentak. Karena tadi saat
pulang, Rio langsung berbilas tubuh ingin menyegarkan pikiran. Dan saat malam
seperti ini, ia malah duduk di sofa ruang tengah sambil melamun tak pasti.
"Ada non. Udah
pulang dari tadi, tapi langsung masuk kamar. Mbok tanya, nggak mau jawab.
Kayaknya... em... nangis deh Non," jawab Mbok Ipah melapor sambil sedikit
melirik Rio.
Rio terkejut, dan
menoleh. Tapi tak menyahut.
Keke mendesah pelan,
"ya udah mbok. Mbok udah masak, kan? Nanti Keke aja yang ngajak Acha makan
ya," ucap Keke lembut.
Mbok Ipah tersenyum,
"iya non." Asisten rumah tangga itu mengangguk kecil, lalu pamit
kembali ke dapur.
Keke menghela nafas, lalu
kembali memandang Rio. "Kak, ada apa sih?" tanyanya cemas.
Rio mengerutkan kening
sedikit, tak mengerti. Seakan membaca pikiran Rio, Keke menjelaskan.
"Tadi Acha nelpon
sambil nangis. Dia bilang Kak Rio... tapi dia nggak ngasih tahu apapun. Kak Rio
kenapa?" tanya Keke cemas. Ia benar-benar khawatir. Sampai sudah malam
begini, ia beralasan pada orang tuanya belajar ke rumah teman, padahal untuk
bertemu Rio.
Rio menatap Keke sendu.
Entah mengapa, ribuan emosi yang tadi ia sembunyikan mendadak ingin menampakkan
diri. Di depan gadis ini, Rio tak bisa bersembunyi lagi. Bahwa ia telah
merapuh.
Keke mendekatkan diri ke
samping Rio, merasakan aura sedih dari pemuda itu. Ia makin menatap Rio cemas.
"Ke... gue jahat
ya?" tanya Rio lirih.
Keke mengernyitkan
kening, "kenapa ngomong gitu?"
"Apa gue tiap hari
cuma bisa buat Acha nangis? Apa gue selama ini nggak pernah bisa jadi seorang
kakak yang baik buat Acha?" tanya Rio tanpa menjawab pertanyaan Keke.
Keke menghela nafas.
Karena ia mengerti. Sebenarnya... ia telah berbohong di depan pemuda ini. Tadi
Acha sudah menceritakan semua sambil menangis di telpon. Keke sampi harus
benar-benar menajamkan telinga karena suara Acha tak jelas bercampur isak.
Selama ini Acha memang menceritakan semuanya pada Keke. Tentang Ozy, Alvin, dan
masa kecilnya. Tapi dari awal Acha sudah meminta Keke untuk tidak menceritakan
apa saja yang ia ceritakan pada siapapun, termasuk Rio.
"Apa kakak ngerasa
kayak gitu? Apa selama ini kakak ngelakuin hal yang buat Acha sedih?" ucap
Keke lembut.
"Gue juga nggak
tahu. Gue bersikap over, hanya karena gue sayang sama Acha. Gue mau jaga Acha.
Gue nggak mau Acha kayak gue. Salah bergaul, sampai gue jadi kayak gini. Gue...
cuma terlalu sayang sama dia."
Keke menggigit bibir
kecil, lalu mengelus pundak pemuda itu lembut. "Kak, aku tahu maksud kakak
buat jaga Acha. Tapi... cara kakak itu salah," ucap Keke membuat Rio
mengerutkan kening sedikit, "Acha itu juga nggak mungkin kok berteman
dekat sama orang yang nggak bener. Keke tahu Acha kak. Kalau aja Kak Rio nggak
terlalu ngekang, pasti Acha nggak bakal ngerasa sedih."
Rio tersentak, dan
terdiam. "Ngekang?" gumamnya lirih.
".... Raissa itu sama aja kamu siksa. Kamu terlalu over!
Menjaga itu beda sama ngekang."
Kalimat itu mendadak
menggema dalam otaknya, membuat nafasnya tercekat. Ia tertampar, tersadarkan
bahwa selama ini sikapnya hanya menyiksa Acha.
Melihat raut wajah Rio
yang seperti terluka, membuat Keke menyesali kata-katanya. "Eh... maaf
kak. Aku salah ngomong ya?" kata Keke merasa bersalah.
Rio memandangnya, lalu
mendesah pelan dan tersenyum tipis. "Nggak kok Ke. Kamu bener..." Rio
mengalihkan pandangan, dan mendesah berat. Ia diam sejenak, sebelum akhirnya
kembali menoleh pada Keke.
"Ke... gue... boleh
pinjam pundak lo?"
Keke tersentak, dan
terdiam.
Rio mendesah sekali lagi,
"Ke... sekarang gue udah nggak punya tempat ngadu. Gue nggak tahu cari
kekuatan dimana. Cuma lo... yang bisa buat gue tenang lagi," kata Rio
lirih, "gue... capek Ke," lanjutnya lelah.
Keke meneguk ludah
sedikit. Mengerti maksud kata 'capek' itu. Ia lalu menghembuskan nafas kecil,
dan mengangguk pelan.
Rio dengan lemas
menjatuhkan kepala ke pundak Keke. Lalu memejamkan matanya. Ada rasa nyaman dan
tenang di samping gadis ini. Walau rasa sesak itu masih terasa. Ia benar-benar
'capek'. Selama bunda, orang terdekatnya, harus pergi ke luar kota bersama
ayah, Rio memang merasa sendiri. Tak seperti Acha, yang bisa mengadu kapan
saja. Rio sebagai kakak justru selalu memendam rasa sakit sendiri. Mungkin ia
yang akan terus disalahkan, karena lebih memilih nama-baik-ketua-preman,
seperti yang diucap Alvin. Tapi sebenarnya Rio seperti ini karena ia merupakan
orang disegani di sekolah. Yang ia jaga bukan hanya nama pribadi, tapi juga
nama sekolahnya yang menjadi musuh bebuyutan sekolah Alvin. Andai saja ada yang
mengerti.
"Kakak... yang sabar
ya," bisik Keke lembut. Tangannya merangkul pemuda itu, dan mengelus-elus
pundak Rio lembut.
Rio menghela nafas letih,
hanya mengangguk pelan.
Keke merasa terenyuh. Ia
jadi ikut merasa miris juga. Teringat lagi cerita-cerita Acha. Awal pertemuan
dengan Ozy, Ozy yang membuatnya jadi bertemu Alvin dan mengetahui segalanya,
masa kecil mereka, permusuhan dua sekolah, dan semua. Membuat Keke sadar.
Ternyata benar kata orang. Kebetulan-kebetulan yang terjadi di dunia ini akan
saling bertautan menjadi kisah hidup yang sudah ditentukan. Dan mungkin ini
memang kisah Rio, Acha, dan Alvin. Kebetulan-kebetulan yang mereka alami
menjadikan kisah mereka jadi seperti layaknya cerita dalam novel. Manis, tapi
juga miris.
Keke mendesah pelan.
Kalau memang kisah ini sudah ditentukan, berarti orang-orang yang terlibat juga
telah dipilih? Dan apakah Keke salah satunya? Tapi... itu berarti akan
bertambah lagi konflik yang terjadi. Karena sebenarnya ada sesuatu, yang harus
dilewati Keke kalau tetap ingin bersama Rio ataupun Acha. Sesuatu yang terus ia
sembunyikan dari Acha ataupun Rio.
Tapi kalau memang Tuhan
telah memilihnya ada dalam kisah ini, yang bisa dilakukan hanyalah pasrah.
Mungkin memang ini yang harus terjadi. Sekuat apapun menyangkal, kalau memang
takdir telah ditentukan, manusia sekuat apapun tak bisa melawan.
Keke menghela nafas.
Mungkin akan ada banyak luka kalau memang ia adalah orang yang juga berperan
dalam kisah ini. Karena kisahnya sendiri, sudah penuh luka dan derita. Yang
selama ini hanya gadis itu saja yang merasakannya.
^^^
Acha masih terus menangis di ranjangnya. Sambil memeluk erat boneka beruang
besar pemberian Apin dulu. Saat bundanya baru saja melahirkannya, Mama Apin dan
Apin memberikan boneka ini untuk bayi Raissa. Apin yang memilih sendiri, dan
berkata boneka itu yang akan menemani Raissa nanti kalau Raissa sudah dewasa.
Dulu saja, saat mereka masih kanak-kanak, kalau Io dan Apin sudah sibuk bermain
berdua, Raissa pasti hanya memainkan boneka beruang besar ini layaknya teman
perempuan. Boneka itu masih ada. Walau sudah tak sesempurna dulu. Tapi Acha
selalu menjaganya. Dan kali ini, boneka itu ia pilih untuk menemani tangisnya.
Tangisnya karena pertemuan Rio dan Alvin tadi sore.
Pintu kamar tiba-tiba
dibuka, membuat Acha terlonjak dan menoleh. Rio mendesah pelan, dan berjalan
mendekat. Di belakangnya ada Keke yang tersenyum lembut sambil membawa sebuah
baki berisi piring makanan dan minuman. Rio duduk di kursi meja belajar Acha.
Sementara Keke mendekat ke samping Acha, dan duduk di sisi ranjang.
"Cha... makan dulu
ya," bujuk Keke lembut.
Acha menggeleng pelan
sambil makin memeluk bonekanya erat.
"Udah malam Cha.
Waktunya makan malam," kata Keke terus membujuk. Acha tetap menggeleng.
"Ya udah. Kalau gitu
minum dulu aja ya," ucap Keke masih sabar. Acha masih terisak dan
menggeleng lagi.
Rio menghela nafas
melihat itu, "makan Cha," perintahnya bernada datar.
Acha menunduk dalam, dan
menggeleng lagi.
"Cha," kata Rio
seakan tak bisa menahan sabar seperti Keke.
"Kak...
udahlah," ucap Keke menengahi, "jangan dipaksa," kata Keke
lembut, lalu menaruh baki di meja kecil samping tempat tidur Acha. Ia mendekat
ke arah Acha yang terus terisak, lalu merangkul sahabatnya itu lembut. Karena
Keke mengerti, yang Acha butuhkan saat ini sama seperti Rio. Pundak seseorang.
Acha menaruh lemas kepala
di pundak Keke, dan masih terisak.
"Kenapa kamu
nangis?" tanya Rio tak berekspresi.
Acha sesenggukan, dan
mencoba menjawab. "Tadi... aku liat kakak sama koko di danau,"
jawabnya takut-takut. Keke makin mempererat rangkulannya, mencoba menguatkan
gadis itu.
Rio menghela nafas keras,
"kapan kamu ketemu dia?"
"Sudah cukup
lama..." jawab Acha terisak.
"Kenapa kamu nggak
ngasih tahu kakak?"
"Aku... aku belum
siap kasih tahu kakak..."
"Terus? Kenapa kamu
tahu kakak ada di danau?"
Acha menelan ludah,
"aku... memang mau ketemu koko di sana."
"Kamu mau ketemu
dia? Buat apa lagi sih?" tanya Rio menajam.
Acha mendongak, lalu kini
menegakkan tubuh, "kak! Aku kangen sama koko. Apa aku nggak boleh ketemu
koko?" Acha tiba-tiba tersulut emosinya, karena mengingat ucapan-ucapan
Rio pada Alvin di danau tadi.
"Tapikan sebelumnya
kamu udah ketemu dia, Acha! Dia itu musuh kita!"
"Dia kokonya
Acha!" sergah Acha segera, walau masih bergetar.
Keke menggigit bibir,
menahan diri untuk tidak membuka mulut. Karena ia merasa belum saatnya
mengambil suara.
"Hanya karena dia
murid smanra... Acha nggak boleh ketemu dia?" tanya Acha penuh getaran.
Setetes bening hangat kembali meluncur dari matanya.
Rio menarik nafas dalam
dan menghembuskannya sambil menatap Acha.
"Kak... Please...
jangan lupakan semuanya..." pinta Acha memohon. Keke kembali mengelus
pundaknya, mencoba menenangkan Acha.
Rio membuang muka sambil
menghela nafas, mencoba mereda emosi. "Nggak Cha. Dia itu cuma masa lalu.
Harusnya kamu tahu itu."
"Nggak! Dia bukan
CUMA masa lalu. Seperti yang diucap koko, dari dulu, sampai sekarang, dia
adalah kokonya Raissa," ucap Acha tegas walau masih sesenggukan.
"Itu dulu
Acha!" kata Rio mulai menaikkan nada suara.
"Nggak! Kakak kenapa
egois banget sih?!" balas Acha meradang. Keke mulai merasa panik sambil
terus menenangkan Acha.
"Kamu nggak
ngerti!"
"Apa yang buat aku
nggak ngerti?!" tanya Acha makin tak terkendali, "selama ini kita
cari dia kan, kak? Selama ini kakak juga kangen sama dia! Lalu, setelah ketemu,
apa ini akhirnya? Harapan yang dari dulu ada musnah karena permusuhan kakak
yang nggak penting itu!"
"Acha!" Rio
berdiri dengan murka. Untuk yang pertama kalinya, Acha sampai membentak ia
seperti itu. Membuat hatinya langsung terbakar amarah.
"Kak..." Keke
kini segera mendekat ke arah Rio, gantian menenangkan pemuda itu. "Kak,
jangan ikut emosi. Acha emosinya lagi labil kak..." bisik Keke
menenangkan.
"Udahlah Ke! Ini
urusan aku sama dia!" tukas Rio menoleh sekilas ke arah Keke membuat Keke
terdiam, "sampai saat ini ternyata kamu tuh memang cuma anak kecil. Nggak
pernah bisa ngerti!"
Tangis Acha makin deras.
"Ini bukan hanya
tentang kita, Cha. Ini bukan hanya tentang permusuhan!"
Acha kembali mendongak,
dan membalas dengan suara tak kalah keras, "lalu tentang apa?! Tentang ego
kakak?!"
Mata Rio melotot geram,
"Kamu...."
"Kak!" Keke
segera menahan saat Rio ingin maju, emosi pemuda itu sudah tak terkendali.
Sementara Acha segera menunduk takut dan makin mengeratkan pelukan pada boneka
beruangnya.
"Kak... tenang kak.
Ingat, dia adek kakak," kata Keke menyadarkan.
Rio terdiam, lalu
menghela nafas keras dan membuang muka. Tangis Acha makin deras. Boneka
beruangnya basah sudah karena butiran bening dari sepasang mata gadis itu yang
sudah bengkak dan sembab.
Hening terdengar di kamar
itu. Yang ada hanya suara isak Acha yang tersembunyi dibalik wajahnya yang ia
tempelkan ke boneka beruang dalam pelukannya.
"Kak... kita keluar
dulu aja ya," kata Keke lembut dan hati-hati, sambil meraih lengan Rio.
Rio menghela nafas sekali
lagi, tapi lalu menoleh pada Acha. "Oke. Kakak nggak bakal larang kamu
lagi..."
Acha terlonjak dan
mendongak. Keke juga ikut menoleh dan terkejut.
Rio menatap Acha dalam,
"asal besok, kamu kenalin kakak. Siapa cowok yang akhir-akhir ini ada di
samping kamu. Selain Apin..." kata Rio datar, lalu tak berkata lagi
menarik tangan Keke keluar dari kamar Acha.
Keke yang terpaku
mendengar ucapan itu hanya pasrah saat jemari Rio menggenggam tangannya keluar.
Acha tertegun seketika.
Lebih tepatnya melongo. Apa? Kenalin ke Rio? Ozy.....
xxxxx
Yah. Kenapa jadinya panjang ya? Hahaha.
Awalnya cuma singkat banget loh. Tapi pas revisi malah aku tambahin dialog.
muehehehe.
Yang banyak bertambah itu adegan dan
dialognya Keke sama Rio, karena ada yang nagih mereka belum ada muncul *melirik
seseorang... :p
Mungkin Alvin agak lebay, but... ehm.
Curcol dikit nih ye. Aku juga pernah 'frustasi' gara2 sahabat -_- walau
konfliknya beda sama Rio-Alvin.
Part depan? Udah bisa ditebaklah. Ozy
bakal ketemu Rio. Agak deg-degan ya. Jadi siapin popcorn aja saat baca nanti
(lo sangka nonton bioskop -_-) Reaksi Rio kira-kira gimana ya? Marah, ngamuk,
atau bahkan... luluh? Tapi tenang kok, kan nanti ada bundadari yang datang, si
penulis kece B-) buahahaha.
Oh ya. Aku dapat kabar beberapa readers
ternyata ada yang nggak ICL ya? Wah... welcome ya! Hehehe. Yang ini malah yang
ku suka, jadi ga sibuk sama couple :p
Tunggu part depan. Bakal dipost kalau....
dipromote! Hehehe
Salam kece ;)
@aleastri
Langsung lanjut, dong:D
BalasHapussippp
BalasHapus