Rabu, 26 Desember 2012

Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 16b


Part 16B. Aku = Kamu

Sivia menatap iba dan prihatin sepupunya itu, yang terlihat sangat frustasi di atas tempat tidurnya. Ia bersandar di pojok dinding kamar sambil menatap kosong. Air matanya sudah mengering. Sedari pulang tadi, ia sudah mengamuk tak karuan. Sivia hanya diam mendengarkan. Karena ia mengerti. Yang harus ia lakukan kini hanyalah mendengarkan dan menemani.
Setelah beberapa saat hening, Sivia menghela nafas. "Mungkin belum saatnya kamu sama dia kayak dulu Vin..." ucap Sivia lembut.
Alvin tak menjawab. Hanya diam tanpa menoleh ke arah Sivia. Tenaganya sudah habis memikirkan hal ini. Ah. Sahabat ternyata bisa membuat frustasi juga ya?
"Vin... kalau kamu sahabatnya, harusnya kamu ngertiin dia," lanjut Sivia.
"Ngertiin? Ngertiin apa? Egonya dia?" Alvin membuka mulut, dengan suara lirih memandang Sivia sekilas.
Sivia menghela nafas panjang. "Vin, apa kamu tahu gimana rasanya jadi seorang ketua? Seorang pemimpin? Bukan cuma punya kekuasaan, tapi seorang pemimpin juga punya tanggung jawab," Sivia diam sejenak, "kalau dia sampai minta damai ke sekolah kamu, bukan cuma dia yang ngerasa kalah. Tapi juga buat nama sekolah dia nggak sebaik dulu."
Alvin tertegun. Sementara Sivia menatapnya lembut. Ini memang hal yang tak pernah Alvin mengerti. Ia hanya melihat dari sisi Rio sebagai penguasa, bukanlah Rio sebagai pemimpin. Sebagai orang yang disegani, tentu saja Rio harus menjaga nama baik sekolahnya. Ini tentang kehormatan sekolah, bukan hal pribadi semata.
"Kamu bilang, harusnya dia ngerti kamu. Tapi kamu juga harus sadar, apa kamu udah ngerti dia?" lanjut Sivia tanpa ada nada menggurui atau menasehati, "Ini semua nggak sesimpel yang kamu pikirin. Dia juga mikirin teman-temannya. Dia juga mikirin julukan sekolahnya nanti kalau dia minta damai. Dia juga pasti mikir, sekolahnya akan diejek dan diinjak-injak sama sekolah kamu yang dari dulu emang nggak pernah damai sama mereka."
Alvin makin terdiam. Ia sepeti merasa ditonjok keras. Disadarkan dengan ucapan itu. Bodoh! Kenapa ia tidak berpikir seperti itu? Kenapa ia terus menuntut Rio agar mengerti perasaannya? Inikah yang namanya sahabat? Mementingkan hati sendiri daripada perasaan sahabatnya?
"Kamu harusnya mikirin ini semua..." kata Sivia lembut. "Menurutmu, apa benar Rio sejahat itu?"
Alvin tak menjawab. Hanya menarik rambutnya frustasi. Sivia menghela nafas lagi, lalu berbalik dan melangkah keluar kamar Alvin. Di saat seperti ini, sendiri memang hal tepat untuk memikirkan semua masalah yang terjadi. Dan Sivia mengerti itu.
^^^
"Kak!!!" panggil Keke khawatir sambil berlari ke arah Rio yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Ia segera duduk di samping pemuda itu.
Rio yang sebelumnya melamun, terlonjak kaget melihat Keke yang tiba-tiba datang. Tapi belum sempat berkata, suara Mbok Ipah yang tadi membukakan pintu untuk Keke terdengar.
"Non mau minum apa?" tawar Mbok Ipah membuat Keke menoleh.
"Nggak usah mbok. Eng... Acha ada, kan?" tanya Keke membuat Rio tersentak. Karena tadi saat pulang, Rio langsung berbilas tubuh ingin menyegarkan pikiran. Dan saat malam seperti ini, ia malah duduk di sofa ruang tengah sambil melamun tak pasti.
"Ada non. Udah pulang dari tadi, tapi langsung masuk kamar. Mbok tanya, nggak mau jawab. Kayaknya... em... nangis deh Non," jawab Mbok Ipah melapor sambil sedikit melirik Rio.
Rio terkejut, dan menoleh. Tapi tak menyahut.
Keke mendesah pelan, "ya udah mbok. Mbok udah masak, kan? Nanti Keke aja yang ngajak Acha makan ya," ucap Keke lembut.
Mbok Ipah tersenyum, "iya non." Asisten rumah tangga itu mengangguk kecil, lalu pamit kembali ke dapur.
Keke menghela nafas, lalu kembali memandang Rio. "Kak, ada apa sih?" tanyanya cemas.
Rio mengerutkan kening sedikit, tak mengerti. Seakan membaca pikiran Rio, Keke menjelaskan.
"Tadi Acha nelpon sambil nangis. Dia bilang Kak Rio... tapi dia nggak ngasih tahu apapun. Kak Rio kenapa?" tanya Keke cemas. Ia benar-benar khawatir. Sampai sudah malam begini, ia beralasan pada orang tuanya belajar ke rumah teman, padahal untuk bertemu Rio.
Rio menatap Keke sendu. Entah mengapa, ribuan emosi yang tadi ia sembunyikan mendadak ingin menampakkan diri. Di depan gadis ini, Rio tak bisa bersembunyi lagi. Bahwa ia telah merapuh.
Keke mendekatkan diri ke samping Rio, merasakan aura sedih dari pemuda itu. Ia makin menatap Rio cemas.
"Ke... gue jahat ya?" tanya Rio lirih.
Keke mengernyitkan kening, "kenapa ngomong gitu?"
"Apa gue tiap hari cuma bisa buat Acha nangis? Apa gue selama ini nggak pernah bisa jadi seorang kakak yang baik buat Acha?" tanya Rio tanpa menjawab pertanyaan Keke.
Keke menghela nafas. Karena ia mengerti. Sebenarnya... ia telah berbohong di depan pemuda ini. Tadi Acha sudah menceritakan semua sambil menangis di telpon. Keke sampi harus benar-benar menajamkan telinga karena suara Acha tak jelas bercampur isak. Selama ini Acha memang menceritakan semuanya pada Keke. Tentang Ozy, Alvin, dan masa kecilnya. Tapi dari awal Acha sudah meminta Keke untuk tidak menceritakan apa saja yang ia ceritakan pada siapapun, termasuk Rio.
"Apa kakak ngerasa kayak gitu? Apa selama ini kakak ngelakuin hal yang buat Acha sedih?" ucap Keke lembut.
"Gue juga nggak tahu. Gue bersikap over, hanya karena gue sayang sama Acha. Gue mau jaga Acha. Gue nggak mau Acha kayak gue. Salah bergaul, sampai gue jadi kayak gini. Gue... cuma terlalu sayang sama dia."
Keke menggigit bibir kecil, lalu mengelus pundak pemuda itu lembut. "Kak, aku tahu maksud kakak buat jaga Acha. Tapi... cara kakak itu salah," ucap Keke membuat Rio mengerutkan kening sedikit, "Acha itu juga nggak mungkin kok berteman dekat sama orang yang nggak bener. Keke tahu Acha kak. Kalau aja Kak Rio nggak terlalu ngekang, pasti Acha nggak bakal ngerasa sedih."
Rio tersentak, dan terdiam. "Ngekang?" gumamnya lirih.
".... Raissa itu sama aja kamu siksa. Kamu terlalu over! Menjaga itu beda sama ngekang."
Kalimat itu mendadak menggema dalam otaknya, membuat nafasnya tercekat. Ia tertampar, tersadarkan bahwa selama ini sikapnya hanya menyiksa Acha.
Melihat raut wajah Rio yang seperti terluka, membuat Keke menyesali kata-katanya. "Eh... maaf kak. Aku salah ngomong ya?" kata Keke merasa bersalah.
Rio memandangnya, lalu mendesah pelan dan tersenyum tipis. "Nggak kok Ke. Kamu bener..." Rio mengalihkan pandangan, dan mendesah berat. Ia diam sejenak, sebelum akhirnya kembali menoleh pada Keke.
"Ke... gue... boleh pinjam pundak lo?"
Keke tersentak, dan terdiam.
Rio mendesah sekali lagi, "Ke... sekarang gue udah nggak punya tempat ngadu. Gue nggak tahu cari kekuatan dimana. Cuma lo... yang bisa buat gue tenang lagi," kata Rio lirih, "gue... capek Ke," lanjutnya lelah.
Keke meneguk ludah sedikit. Mengerti maksud kata 'capek' itu. Ia lalu menghembuskan nafas kecil, dan mengangguk pelan.
Rio dengan lemas menjatuhkan kepala ke pundak Keke. Lalu memejamkan matanya. Ada rasa nyaman dan tenang di samping gadis ini. Walau rasa sesak itu masih terasa. Ia benar-benar 'capek'. Selama bunda, orang terdekatnya, harus pergi ke luar kota bersama ayah, Rio memang merasa sendiri. Tak seperti Acha, yang bisa mengadu kapan saja. Rio sebagai kakak justru selalu memendam rasa sakit sendiri. Mungkin ia yang akan terus disalahkan, karena lebih memilih nama-baik-ketua-preman, seperti yang diucap Alvin. Tapi sebenarnya Rio seperti ini karena ia merupakan orang disegani di sekolah. Yang ia jaga bukan hanya nama pribadi, tapi juga nama sekolahnya yang menjadi musuh bebuyutan sekolah Alvin. Andai saja ada yang mengerti.
"Kakak... yang sabar ya," bisik Keke lembut. Tangannya merangkul pemuda itu, dan mengelus-elus pundak Rio lembut.
Rio menghela nafas letih, hanya mengangguk pelan.
Keke merasa terenyuh. Ia jadi ikut merasa miris juga. Teringat lagi cerita-cerita Acha. Awal pertemuan dengan Ozy, Ozy yang membuatnya jadi bertemu Alvin dan mengetahui segalanya, masa kecil mereka, permusuhan dua sekolah, dan semua. Membuat Keke sadar. Ternyata benar kata orang. Kebetulan-kebetulan yang terjadi di dunia ini akan saling bertautan menjadi kisah hidup yang sudah ditentukan. Dan mungkin ini memang kisah Rio, Acha, dan Alvin. Kebetulan-kebetulan yang mereka alami menjadikan kisah mereka jadi seperti layaknya cerita dalam novel. Manis, tapi juga miris.
Keke mendesah pelan. Kalau memang kisah ini sudah ditentukan, berarti orang-orang yang terlibat juga telah dipilih? Dan apakah Keke salah satunya? Tapi... itu berarti akan bertambah lagi konflik yang terjadi. Karena sebenarnya ada sesuatu, yang harus dilewati Keke kalau tetap ingin bersama Rio ataupun Acha. Sesuatu yang terus ia sembunyikan dari Acha ataupun Rio.
Tapi kalau memang Tuhan telah memilihnya ada dalam kisah ini, yang bisa dilakukan hanyalah pasrah. Mungkin memang ini yang harus terjadi. Sekuat apapun menyangkal, kalau memang takdir telah ditentukan, manusia sekuat apapun tak bisa melawan.
Keke menghela nafas. Mungkin akan ada banyak luka kalau memang ia adalah orang yang juga berperan dalam kisah ini. Karena kisahnya sendiri, sudah penuh luka dan derita. Yang selama ini hanya gadis itu saja yang merasakannya.
^^^ Acha masih terus menangis di ranjangnya. Sambil memeluk erat boneka beruang besar pemberian Apin dulu. Saat bundanya baru saja melahirkannya, Mama Apin dan Apin memberikan boneka ini untuk bayi Raissa. Apin yang memilih sendiri, dan berkata boneka itu yang akan menemani Raissa nanti kalau Raissa sudah dewasa. Dulu saja, saat mereka masih kanak-kanak, kalau Io dan Apin sudah sibuk bermain berdua, Raissa pasti hanya memainkan boneka beruang besar ini layaknya teman perempuan. Boneka itu masih ada. Walau sudah tak sesempurna dulu. Tapi Acha selalu menjaganya. Dan kali ini, boneka itu ia pilih untuk menemani tangisnya. Tangisnya karena pertemuan Rio dan Alvin tadi sore.
Pintu kamar tiba-tiba dibuka, membuat Acha terlonjak dan menoleh. Rio mendesah pelan, dan berjalan mendekat. Di belakangnya ada Keke yang tersenyum lembut sambil membawa sebuah baki berisi piring makanan dan minuman. Rio duduk di kursi meja belajar Acha. Sementara Keke mendekat ke samping Acha, dan duduk di sisi ranjang.
"Cha... makan dulu ya," bujuk Keke lembut.
Acha menggeleng pelan sambil makin memeluk bonekanya erat.
"Udah malam Cha. Waktunya makan malam," kata Keke terus membujuk. Acha tetap menggeleng.
"Ya udah. Kalau gitu minum dulu aja ya," ucap Keke masih sabar. Acha masih terisak dan menggeleng lagi.
Rio menghela nafas melihat itu, "makan Cha," perintahnya bernada datar.
Acha menunduk dalam, dan menggeleng lagi.
"Cha," kata Rio seakan tak bisa menahan sabar seperti Keke.
"Kak... udahlah," ucap Keke menengahi, "jangan dipaksa," kata Keke lembut, lalu menaruh baki di meja kecil samping tempat tidur Acha. Ia mendekat ke arah Acha yang terus terisak, lalu merangkul sahabatnya itu lembut. Karena Keke mengerti, yang Acha butuhkan saat ini sama seperti Rio. Pundak seseorang.
Acha menaruh lemas kepala di pundak Keke, dan masih terisak.
"Kenapa kamu nangis?" tanya Rio tak berekspresi.
Acha sesenggukan, dan mencoba menjawab. "Tadi... aku liat kakak sama koko di danau," jawabnya takut-takut. Keke makin mempererat rangkulannya, mencoba menguatkan gadis itu.
Rio menghela nafas keras, "kapan kamu ketemu dia?"
"Sudah cukup lama..." jawab Acha terisak.
"Kenapa kamu nggak ngasih tahu kakak?"
"Aku... aku belum siap kasih tahu kakak..."
"Terus? Kenapa kamu tahu kakak ada di danau?"
Acha menelan ludah, "aku... memang mau ketemu koko di sana."
"Kamu mau ketemu dia? Buat apa lagi sih?" tanya Rio menajam.
Acha mendongak, lalu kini menegakkan tubuh, "kak! Aku kangen sama koko. Apa aku nggak boleh ketemu koko?" Acha tiba-tiba tersulut emosinya, karena mengingat ucapan-ucapan Rio pada Alvin di danau tadi.
"Tapikan sebelumnya kamu udah ketemu dia, Acha! Dia itu musuh kita!"
"Dia kokonya Acha!" sergah Acha segera, walau masih bergetar.
Keke menggigit bibir, menahan diri untuk tidak membuka mulut. Karena ia merasa belum saatnya mengambil suara.
"Hanya karena dia murid smanra... Acha nggak boleh ketemu dia?" tanya Acha penuh getaran. Setetes bening hangat kembali meluncur dari matanya.
Rio menarik nafas dalam dan menghembuskannya sambil menatap Acha.
"Kak... Please... jangan lupakan semuanya..." pinta Acha memohon. Keke kembali mengelus pundaknya, mencoba menenangkan Acha.
Rio membuang muka sambil menghela nafas, mencoba mereda emosi. "Nggak Cha. Dia itu cuma masa lalu. Harusnya kamu tahu itu."
"Nggak! Dia bukan CUMA masa lalu. Seperti yang diucap koko, dari dulu, sampai sekarang, dia adalah kokonya Raissa," ucap Acha tegas walau masih sesenggukan.
"Itu dulu Acha!" kata Rio mulai menaikkan nada suara.
"Nggak! Kakak kenapa egois banget sih?!" balas Acha meradang. Keke mulai merasa panik sambil terus menenangkan Acha.
"Kamu nggak ngerti!"
"Apa yang buat aku nggak ngerti?!" tanya Acha makin tak terkendali, "selama ini kita cari dia kan, kak? Selama ini kakak juga kangen sama dia! Lalu, setelah ketemu, apa ini akhirnya? Harapan yang dari dulu ada musnah karena permusuhan kakak yang nggak penting itu!"
"Acha!" Rio berdiri dengan murka. Untuk yang pertama kalinya, Acha sampai membentak ia seperti itu. Membuat hatinya langsung terbakar amarah.
"Kak..." Keke kini segera mendekat ke arah Rio, gantian menenangkan pemuda itu. "Kak, jangan ikut emosi. Acha emosinya lagi labil kak..." bisik Keke menenangkan.
"Udahlah Ke! Ini urusan aku sama dia!" tukas Rio menoleh sekilas ke arah Keke membuat Keke terdiam, "sampai saat ini ternyata kamu tuh memang cuma anak kecil. Nggak pernah bisa ngerti!"
Tangis Acha makin deras.
"Ini bukan hanya tentang kita, Cha. Ini bukan hanya tentang permusuhan!"
Acha kembali mendongak, dan membalas dengan suara tak kalah keras, "lalu tentang apa?! Tentang ego kakak?!"
Mata Rio melotot geram, "Kamu...."
"Kak!" Keke segera menahan saat Rio ingin maju, emosi pemuda itu sudah tak terkendali. Sementara Acha segera menunduk takut dan makin mengeratkan pelukan pada boneka beruangnya. 
"Kak... tenang kak. Ingat, dia adek kakak," kata Keke menyadarkan.
Rio terdiam, lalu menghela nafas keras dan membuang muka. Tangis Acha makin deras. Boneka beruangnya basah sudah karena butiran bening dari sepasang mata gadis itu yang sudah bengkak dan sembab.
Hening terdengar di kamar itu. Yang ada hanya suara isak Acha yang tersembunyi dibalik wajahnya yang ia tempelkan ke boneka beruang dalam pelukannya.
"Kak... kita keluar dulu aja ya," kata Keke lembut dan hati-hati, sambil meraih lengan Rio.
Rio menghela nafas sekali lagi, tapi lalu menoleh pada Acha. "Oke. Kakak nggak bakal larang kamu lagi..."
Acha terlonjak dan mendongak. Keke juga ikut menoleh dan terkejut.
Rio menatap Acha dalam, "asal besok, kamu kenalin kakak. Siapa cowok yang akhir-akhir ini ada di samping kamu. Selain Apin..." kata Rio datar, lalu tak berkata lagi menarik tangan Keke keluar dari kamar Acha.
Keke yang terpaku mendengar ucapan itu hanya pasrah saat jemari Rio menggenggam tangannya keluar.
Acha tertegun seketika. Lebih tepatnya melongo. Apa? Kenalin ke Rio? Ozy.....

xxxxx

Yah. Kenapa jadinya panjang ya? Hahaha. Awalnya cuma singkat banget loh. Tapi pas revisi malah aku tambahin dialog. muehehehe.
Yang banyak bertambah itu adegan dan dialognya Keke sama Rio, karena ada yang nagih mereka belum ada muncul *melirik seseorang... :p
Mungkin Alvin agak lebay, but... ehm. Curcol dikit nih ye. Aku juga pernah 'frustasi' gara2 sahabat -_- walau konfliknya beda sama Rio-Alvin.
Part depan? Udah bisa ditebaklah. Ozy bakal ketemu Rio. Agak deg-degan ya. Jadi siapin popcorn aja saat baca nanti (lo sangka nonton bioskop -_-) Reaksi Rio kira-kira gimana ya? Marah, ngamuk, atau bahkan... luluh? Tapi tenang kok, kan nanti ada bundadari yang datang, si penulis kece B-) buahahaha.
Oh ya. Aku dapat kabar beberapa readers ternyata ada yang nggak ICL ya? Wah... welcome ya! Hehehe. Yang ini malah yang ku suka, jadi ga sibuk sama couple :p
Tunggu part depan. Bakal dipost kalau.... dipromote! Hehehe

Salam kece ;)
@aleastri

2 komentar: