Selasa, 18 Desember 2012

Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 15A


Alvin dan Acha sudah sama-sama tahu pada semua. Acha adalah Raissa, dan Alvin adalah Apin. Sivia menasihati sebaiknya mereka jangan memberitahu siapapun, dan mencoba membantu mencari jalan keluar. Tapi Alvin berkata, ia ingin memberitahukan hal ini pada satu orang lagi.
Siapa dia?

Part 15. Air Mata Cinta

Hei! Kamu tahu tidak? Tadi aku mendapat sebuah kalimat lagi dari tv!

Apa?

Orang yang mencintai kita, adalah orang yang selalu ada di samping kita. Saat menangis maupun tersenyum. Dan ia akan menerima kita apa adanya.

Apakah dia juga akan menghibur kita kalau sedih?

Pasti!

***

Alvin duduk termenung di atas rerumputan. Ia memandang ke arah danau yang airnya berwarna hijau kebiruan di depannya. Sisi tempatnya duduk berada agak tersembunyi di sisi belakang taman. Meskipun demikian, rumput-rumput hijau di sekitar tempat itu terlihat tidak berantakan. Mungkin petugas kebersihan yang sempat Alvin lihat di depan taman tadi masih sempat membenahi taman ini sampai di sebelah sini. Yang pasti, tempat ini terasa nyaman. Teduh oleh gerombolan pohon yang daun-daunnya memayungi tempat Alvin berada. Danau tempatnya berada sedang sepi, karena ini bukan akhir pekan. Hanya ada beberapa orang di sekitar taman dan beberapa duduk di bangku-bangku taman yang berada di sekitar danau.
Tempat yang tepat untuk merenung. Tempat yang baik juga untuk mengeluarkan semua keluh kesah pada seseorang.
Seperti Alvin. Ia sedang menunggu seseorang. Seseorang yang memang, terkadang menyebalkan. Tapi entah mengapa, kehadiran sosok itu membuat Alvin tenang. Bahkan hanya melihat senyumnya, ataupun omelannya saja, sudah membuat beban Alvin merasa ringan. Dan kini Alvin membutuhkannya. Sejak tahu bahwa memang Rio adalah orang yang ia cari, membuat ulu hati Alvin pedih. Menyadari ia malah tak bisa memeluk erat Rio di saat puncak kerinduan itu sudah terjawab.
"Alvin?"
Sebuah suara membuat Alvin menoleh. Seorang gadis cantik berambut panjang tergerai dengan dress biru berbahan ringan melangkah mendekat.
"Daritadi gue cariin, ternyata di sini. Yang jelas dong kalau ngasih tahu tempat!" omel Shilla sembari mendekat.
Alvin tersenyum kecil, lalu menepuk rerumputan di sampingnya. "Sini, duduk samping gue."
Shilla mengangkat alis. Menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Alvin. Ia diam sejenak, sebelum mendekat dan menurut.
"Tenang, rumputnya bersih kok," kata Alvin melihat Shilla sedikit ragu duduk di sampingnya.
Shilla hanya diam sambil duduk di samping Alvin. Ia memandangi wajah Alvin, dan membaca ada raut sendu di matanya. "Kenapa Vin?" tanya Shilla peduli.
Alvin tersenyum tipis, "temenin gue di sini," jawabnya sambil kembali menatap ke depan. Memandangi permukaan danau yang tak jauh di hadapannya.
Shilla membisu. Menatap Alvin khawatir. Walau ada debaran membahagiakan di dadanya. Menyadari kini ia hanya duduk berdua bersama Alvin. Di bawah dedaunan pohon teduh dan di taman yang terdapat sebuah danau. Andai saja ya, Alvin menyatakan cinta di sini. Pasti sangat membahagiakan.
Shilla tersentak sendiri dengan pikirannya. Ia lalu menunduk perlahan, dan tersenyum miris. Lagi-lagi ia berharap yang berlebihan. Ah Shilla. Sudahlah. Jangan berkhayal yang macam-macam. Nanti kalau tak terjadi, malah jadinya kecewa. Selama ini Shilla memang sudah menunggu, Shilla juga sudah memberi 'kode-kode' pada Alvin. Tapi tetap, Alvin masih saja belum menanyakan sebuah pertanyaan yang di idamkan Shilla sejak dulu. Terkadang Shilla merasa, Alvin seperti membalas perasaannya. Namun juga kadang, Shilla sadar. Bahwa Alvin yang masa bodoh dan cuek begini sepertinya tidak akan menoleh pada perasaan yang Shilla berikan.
"Shil..."
Shilla sedikit terkejut, dan menoleh. Ia mengangkat alis sambil melipat kedua lututnya dan memeluknya, lalu menaruh kepala di atas lutut yang di tekuk itu dan memandang Alvin.
"Elo... punya sahabat, kan?"
Shilla sedikit mengerutkan kening, tapi lalu mengangguk. "Punyalah. Zahra, Angel, Iyel, dan tiga preman stress itu juga gue anggap sahabat."
"Kalau sahabat kecil?"
Shilla terdiam sejenak, "ada. Tetangga gue. Temen TK gue juga ada yang jadi sahabat gue," jawab Shilla seadanya.
"Sampai sekarang masih sahabatan sama lo?"
"Iya," jawab Shilla belum mengerti, "tapi temen TK gue itu sekarang udah nggak ada kabarnya."
Alvin menoleh, lalu mengangkat alis, "kapan dia pergi?"
Shilla bergumam sejenak, "kalau nggak salah sih waktu gue kelas dua SD. Dia pamit mau pindah ke Semarang," jawab Shilla sedikit lirih, mengingat kenangan masa kecilnya dulu.
"Selama ini elo nunggu dia kembali nggak sih?"
"Iyalah!" sahut Shilla yakin, "dia janji sama gue, katanya kalau udah dewasa nanti, dia bakal balik ke Jakarta dan ketemu gue. Makanya, sampai sekarang gue nggak mau pindah rumah karena biar dia nggak susah nyari gue."
Alvin mengangkat alis, sedikit kecewa kenapa Rio tak melakukan hal itu.
"Dia itu yang nemenin gue waktu pertama kali masuk TK. Dia temen main gue di sekolah. Pokoknya anaknya seru. Walaupun cewek, tapi dia itu tomboy dan aktif. Gue sayang dan kangen banget sama dia," cerita Shilla mencoba mempertahankan senyumnya, walau ia sedikit pedih menyadari sudah berapa tahun ia berpisah dengan sahabatnya itu. "Tapi nyokap gue masih berhubungan baik sama orangtuanya dia. Jadi gue nggak terlalu kesulitan kalau mau ketemu dia. Hehe," kini senyuman Shilla menjadi bahagia, mengingat juga setelah pulang ke rumah, ia bisa saja meminta nomor hape sahabatnya itu pada sang mama.
Alvin diam sejenak, "kalau dia udah kembali, tapi nggak sesuai harapan elo? Apa lo masih mau sahabatan sama dia?"
Shilla mengangkat alis, dan mengerutkan kening menatap Alvin, "maksud lo?"
"Apa perasaan lo, kalau tahu ternyata sahabat lo itu adalah musuh bebuyutan elo sendiri?"
Shilla tersentak, "kok kayak di film-film ya?"
Alvin tertawa hambar, lalu kembali menoleh ke depan. "Dua sahabat cowok yang tumbuh sama-sama. Lahirnyapun hampir barengan. Udah deket kayak kembaran. Tapi... mereka malah harus pisah," kata Alvin memulai cerita, "dan setelah pisah dua belas tahun, mereka ketemu. Tapi... ternyata sekolah mereka adalah musuh besar yang nggak pernah damai."
Shilla tertegun. Mulai mengerti arah pembicaraan ini. Teringat lagi. Kala pertandingan basket persahabat melawan SMA Harapan saat itu. Saat Shilla dapat melihat ada tatapan lain antar Alvin dan si kapten basket lawan, Rio. Awalnya Shilla memang penasaran. Namun karena kejadian itu sudah berlalu berminggu-minggu yang lalu, Shilla tak lagi peduli. Tapi sekarang, mendengar curhatan Alvin, membuat Shilla mengerti.
"Jadi... dia sahabat kecil lo?" tanya Shilla mendekatkan diri pada Alvin.
Alvin tersentak dan menoleh, lalu mengerutkan kening.
"Vin, waktu pertandingan itu ada gue. Gue liat kok kayak apa reaksi lo waktu kapten smanhar di pukul Sion. Yang elo maksud sahabat kecil, adalah kapten basket sekaligus pemimpinnya smanhar, kan? Rio..."
Alvin tersentak kembali. Ia menggigit bibir, dan menunduk perlahan.
"Elo kangen sama dia?" tanya Shilla lembut.
Alvin tersenyum pahit. "Iyalah. Tapi dia lebih mentingin ego daripada gue. Dia lebih milih tetap bermusuhan sama kita, daripada meluk sahabatnya sendiri," ucap Alvin miris.
Shilla terdiam sejenak, lalu mengelus pundak Alvin lembut. "Nggak boleh gitu, Vin. Pasti dia punya alasan kuat kenapa harus ngelakin itu. Ingat Vin, dia itu ketua preman. Dia yang mimpin smanhar. Kalau sampai martabatnya jatoh karena minta maaf ke kita, itu sama aja dia jatohin nama smanhar."
Alvin makin menggigit bibir, "tapi aku nggak tahan Shil! Aku pengen meluk dia! Aku pengen ketawa lagi sama dia! Dua belas tahun itu bukan waktu singkat. Tapi di saat ketemu... malah kayak gini," ucap Alvin bercampur emosi, matanya mulai menghangat dan berkaca-kaca.
"Vin, dia juga punya pikiran sama kayak kamu. Dia juga kangen sama kamu. Dia juga nunggu hari dimana kalian ketemu. Tapi mau gimana? Dari dulu, smanhar sama smanra nggak pernah damai, Vin..." kata Shilla menenangkan. Entah mengapa hatinya ikut terkoyak melihat kondisi Alvin seperti ini.
Alvin menghembuskan nafas dan menunduk. Ia menjambak rambutnya frustasi. Emosi itu meluap seketika. Akan kecewanya pada sikap Rio. Pertahanannya roboh. Beningan hangat yang selalu ia tahan dan sembunyikan, tak bisa di bendung lagi.
"Vin," kata Shilla lembut sambil merangkul pundak Alvin, dan membiarkan kepala Alvin jatuh pelan di pundaknya. Shilla mengusap pundak Alvin, "luapin semua perasaan kamu. Aku siap kok ada di samping kamu."
Shilla membiarkan bahu Alvin bergetar dengan kepala yang di sandarkan di pundaknya. Shilla menyeka kelopak matanya yang basah. Melihat Alvin seperti ini, membuat dadanya ikut sesak. Selama ini Alvin selalu terlihat gagah dan keren, tapi ternyata pertahanannya bisa roboh karena Rio. Membuktikan betapa besarnya rasa sayang Alvin pada Rio.
Tiba-tiba Alvin tersadar. Ia menangis! Di depan Shilla! Seorang cowok mengeluarkan air mata di depan cewek, dan parahnya lagi menangis di pundak cewek! Bukankah keadaan ini terbalik? Alvin segera menegakkan tubuhnya, membuat Shilla sedikit terkejut.
Alvin menyeka pipi dan matanya yang basah, lalu berdehem malu, "sorry..."
"Nggak papa kok kalau itu bisa buat kamu tenang," sahut Shilla lembut.
"Udahlah Shil, gue mau sendiri aja," kata Alvin memalingkan muka.
Shilla mengangkat alis, "nggak papa kali, Vin. Aku nemenin kamu di sini..."
"Nggak usah!" sela Alvin cepat, "gue mau sendiri! Elo pergi aja!"
Shilla terdiam, "kok... elo ngusir gue sih?" tanya Shilla merasa tersinggung, "kan elo yang nyuruh gue datang ke sini. Tapi setelah gue datang, elo malah nyuruh gue pergi."
Alvin mendecak, "udahlah Shil. Elo pergi aja! Gue udah bilang gue mau sendiri," tegas Alvin membuat Shilla menggigit bibir.
"Vin..."
"Shilla! Gue udah nyuruh elo pergi! Apalagi sih?! Nggak usah ganggu gue lagi! Gue pengen sendiri!!!" bentak Alvin tanpa sadar, membuat Shilla makin terkejut.
Hidung Shilla sudah memerah, dengan mata berkaca-kaca. Melihat itu, Alvin tersadar dan merasa menyesal.
"Eh, sorry Shil. Gue nggak maksud..."
Belum juga kalimat Alvin selesai, Shilla sudah berdiri dan berlari pergi dengan butiran bening yang sudah berlarian keluar dari kedua mata beningnya. Alvin merutuk diri. Padahal ia sudah di peringatkan Gabriel, Shilla tidak bisa di bentak!
Dengan cepat, Alvin segera mengejar Shilla. Shilla berjalan cepat menjauh sambil menyeka air matanya. Dadanya seperti terhantam keras. Ia tahu, Alvin kalau emosi memang di luar kendali ucapannya. Tapikan Shilla berusaha untuk menenangkan. Kenapa sih? Alvin merasa malu karena sudah menangis di depan Shilla? Shilla tidak memasalahkan kok. Kenapa Alvin harus emosi sih?
Alvin segera menarik lengan Shilla saat Shilla sudah dekat. Shilla berhenti melangkah dan menunduk sambil terisak.
"Sorry, aku cuma emosi," kata Alvin meminta maaf.
Shilla menunduk sambil terisak. Ia mengusap pipinya yang basah, tapi butiran bening lain terus menyusul keluar.
"Shil... maafin gue. Tadi gue bener cuma emosi," ucap Alvin meminta maaf dan memelas.
Shilla menepis tangan Alvin yang masih menggenggam lengannya, "akukan cuma ganggu kamu. Aku harusnya nggak ada di sini."
"Eh, itu..." Alvin makin merasa bersalah.
"Aku emang cuma pengganggu dalam hidup kamu, kan? Padahal kamu nggak pernah ngarepin kehadiranku, tapi akunya selalu aja ngotot mau ada di samping kamu!" kata Shilla bergetar bercampur emosi.
Alvin mendesah dan memegangi kedua pundak Shilla dan menatap gadis itu, "Shil, gue nggak pernah berpikir kayak gitu."
Shilla membuang muka sambil menggigit bibir. Butiran bening itu terus menetes jatuh. Bersamaan dengan harapannya yang jatuh begitu saja. Mungkin memang benar. Selama ini Shilla saja yang terlalu berharap. Selama ini Shilla mungkin hanya di anggap pengganggu oleh Alvin. Dari awal Shilla memang bodoh. Padahal sudah tahu Alvin tak pernah peduli, tapi terus saja menyimpan rasa lebih. Bahkan membiarkan perasaan itu terus berkembang. Mendiamkan luapan harapan yang meledak-ledak kala Alvin seperti memberi 'kode' balasan.
"Shil, gue tadi cuma emosi. Maaf," kata Alvin memelas. "Gue nggak pernah ngerasa elo adalah pengganggu bagi gue."
Shilla masih sesenggukan. Ia mengusap hidung bangirnya yang sudah merah. Lalu perlahan menoleh ke arah Alvin, menatap pemuda itu dengan mata sembab. "Kalau bukan pengganggu, kamu anggap aku sebagai apa?" tanya Shilla bergetar.
Alvin terdiam. Perlahan kedua tangannya yang bertengger di pundak Shilla terlepas. Ia membalas tatapan Shilla yang seakan terluka. Alvin mengatupkan mulut dan sedikit meneguk ludah. Ia membisu, tak bisa menjawab. Dan dirinya sedikit mengerutkan kening melihat kedua bola mata kecewa Shilla.
Shilla menggigit bibir sejenak. Sudah jelas. Alvin tak menjawab. Ia memang tak pernah menganggap Shilla sebagai seseorang yang berarti. Hanya teman kelas biasa.
Shilla mendesis pelan dan membuang muka, "bego ya aku," ucapnya lirih, membuat Alvin tersentak dan mengerutkan kening. "Aku bego udah ngarepin kamu balas perasaanku. Aku bego selalu sayang sama kamu, padahal kamu selalu nggak pernah peduli sama aku."
Alvin tertegun. Sayang?
"Aku tahu kok. Aku cuma salah satu cewek dari sekian ribu cewek lain yang suka sama kamu. Cewek-cewek yang nggak pernah kamu peduliin. Aku bego, kenapa aku nggak sadar kalau aku masuk dalam cewek-cewek itu?" Tangis Shilla makin deras. Ia sudah tak peduli lagi. Di nyatakanlah semua perasaannya selama ini. Tak peduli lagi apa reaksi Alvin. Setidaknya rasa sesak di dadanya sedikit berkurang karena ia sudah mengungkapkannya.
"Aku tuh sayang sama kamu Vin. Aku suka sama kamu," ungkap Shilla bergetar. Ia lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan kembali terisak.
Alvin terdiam. Menatap Shilla tak percaya. Shilla... menyatakan perasaannya?
Alvin ragu sejenak, menatap bahu Shilla yang naik turun seiring isaknya. Tapi hati kecil Alvin berteriak, mendorongnya untuk segera mendekap gadis itu. Alvin menghela nafas pelan, lalu menarik tubuh Shilla ke dalam pelukannya. Shilla masih terus terisak.
"Shil... ngomong apa sih lo? Kalau gue nggak peduli sama lo, kenapa gue harus ngejar lo tadi?" bisik Alvin lembut. "Gue yang bego, Shil. Nggak pernah berani ngomong duluan sama lo. Gue... juga ngerasa hal yang sama kayak lo."
Shilla masih sesenggukan, walau tertegun mendengar kalimat itu. Alvin mempererat pelukannya. Dan berbisik lembut di telinga Shilla.
"Aku juga sayang sama kamu Shilla..."
Tangis Shilla makin deras. Walau kini dengan alasan berbeda. Kali ini ia membalas pelukan Alvin, dan menumpahkan air matanya di dada Alvin. Alvin memejamkan mata, merasakan hangatnya pelukan Shilla. Alvin merutuk diri. Kenapa sih ia begitu pengecut sampai Shilla yang menyatakan duluan?
Shilla melepaskan dekapannya perlahan sambil mereda bulir-bulir air matanya. Alvin menatap wajah basah gadis itu, lalu mengusap lembut kedua pipi Shilla.
Alvin terkekeh geli, "kok jadi kamu yang nangis ya? Kan tadi aku yang curhat."
Shilla tertawa kecil juga, lalu memajukan bibir bawahnya, "inikan juga gara-gara kamu!" gerutunya membuat Alvin tersenyum.
"Eum... terus?" tanya Shilla, dalam hati sangat berharap.
Alvin mengangkat alis dan terdiam. Tadi Shilla yang menyatakan duluan, berarti kali ini Alvin yang harus menanyakan pertanyaan 'itu' lebih dulu.
"Kamu mau jadi pacarku?"
Alvin dan Shilla sama-sama tersentak. Kalimat itu di ucap mereka kompak di detik yang sama. Shilla dan Alvin saling tatap dengan mata melebar, tapi lalu sama-sama tertawa.
Alvin mengambil tangan Shilla dan menggenggamnya, "mau."
Shilla tersenyum dengan pipi yang mulai membara, "aku juga mau."

4 komentar:

  1. Duuuh!! Suka banget sama part ini!! Sampe netes air mata waktu shillz nangis! Lanjutannya please..

    BalasHapus
  2. Suka pake banget!!! haaaa jangan lama-lama yang lanjutannya:)

    BalasHapus
  3. Kak pesen ceritanya ya! Buruan nggak pake lama;p

    BalasHapus
  4. haha tengkyu ya semua! iya lanjut kok tenang aja :D

    BalasHapus