Alvin dan Acha sudah sama-sama tahu pada
semua. Acha adalah Raissa, dan Alvin adalah Apin. Sivia menasihati sebaiknya
mereka jangan memberitahu siapapun, dan mencoba membantu mencari jalan keluar.
Tapi Alvin berkata, ia ingin memberitahukan hal ini pada satu orang lagi.
Siapa dia?
Part 15. Air Mata Cinta
Hei! Kamu tahu tidak? Tadi aku mendapat
sebuah kalimat lagi dari tv!
Apa?
Orang yang mencintai kita, adalah orang
yang selalu ada di samping kita. Saat menangis maupun tersenyum. Dan ia akan
menerima kita apa adanya.
Apakah dia juga akan menghibur kita kalau sedih?
Pasti!
***
Alvin duduk termenung di atas rerumputan.
Ia memandang ke arah danau yang airnya berwarna hijau kebiruan di depannya.
Sisi tempatnya duduk berada agak tersembunyi di sisi belakang taman. Meskipun
demikian, rumput-rumput hijau di sekitar tempat itu terlihat tidak berantakan.
Mungkin petugas kebersihan yang sempat Alvin lihat di depan taman tadi masih
sempat membenahi taman ini sampai di sebelah sini. Yang pasti, tempat ini terasa
nyaman. Teduh oleh gerombolan pohon yang daun-daunnya memayungi tempat Alvin
berada. Danau tempatnya berada sedang sepi, karena ini bukan akhir pekan. Hanya
ada beberapa orang di sekitar taman dan beberapa duduk di bangku-bangku taman
yang berada di sekitar danau.
Tempat yang tepat untuk merenung. Tempat
yang baik juga untuk mengeluarkan semua keluh kesah pada seseorang.
Seperti Alvin. Ia sedang menunggu
seseorang. Seseorang yang memang, terkadang menyebalkan. Tapi entah mengapa,
kehadiran sosok itu membuat Alvin tenang. Bahkan hanya melihat senyumnya,
ataupun omelannya saja, sudah membuat beban Alvin merasa ringan. Dan kini Alvin
membutuhkannya. Sejak tahu bahwa memang Rio adalah orang yang ia cari, membuat
ulu hati Alvin pedih. Menyadari ia malah tak bisa memeluk erat Rio di saat
puncak kerinduan itu sudah terjawab.
"Alvin?"
Sebuah suara membuat Alvin menoleh.
Seorang gadis cantik berambut panjang tergerai dengan dress biru berbahan
ringan melangkah mendekat.
"Daritadi gue cariin, ternyata di
sini. Yang jelas dong kalau ngasih tahu tempat!" omel Shilla sembari
mendekat.
Alvin tersenyum kecil, lalu menepuk
rerumputan di sampingnya. "Sini, duduk samping gue."
Shilla mengangkat alis. Menyadari ada
sesuatu yang berbeda dari Alvin. Ia diam sejenak, sebelum mendekat dan menurut.
"Tenang, rumputnya bersih kok,"
kata Alvin melihat Shilla sedikit ragu duduk di sampingnya.
Shilla hanya diam sambil duduk di samping
Alvin. Ia memandangi wajah Alvin, dan membaca ada raut sendu di matanya.
"Kenapa Vin?" tanya Shilla peduli.
Alvin tersenyum tipis, "temenin gue
di sini," jawabnya sambil kembali menatap ke depan. Memandangi permukaan
danau yang tak jauh di hadapannya.
Shilla membisu. Menatap Alvin khawatir.
Walau ada debaran membahagiakan di dadanya. Menyadari kini ia hanya duduk
berdua bersama Alvin. Di bawah dedaunan pohon teduh dan di taman yang terdapat
sebuah danau. Andai saja ya, Alvin menyatakan cinta di sini. Pasti sangat
membahagiakan.
Shilla tersentak sendiri dengan
pikirannya. Ia lalu menunduk perlahan, dan tersenyum miris. Lagi-lagi ia
berharap yang berlebihan. Ah Shilla. Sudahlah. Jangan berkhayal yang
macam-macam. Nanti kalau tak terjadi, malah jadinya kecewa. Selama ini Shilla
memang sudah menunggu, Shilla juga sudah memberi 'kode-kode' pada Alvin. Tapi
tetap, Alvin masih saja belum menanyakan sebuah pertanyaan yang di idamkan
Shilla sejak dulu. Terkadang Shilla merasa, Alvin seperti membalas perasaannya.
Namun juga kadang, Shilla sadar. Bahwa Alvin yang masa bodoh dan cuek begini
sepertinya tidak akan menoleh pada perasaan yang Shilla berikan.
"Shil..."
Shilla sedikit terkejut, dan menoleh. Ia
mengangkat alis sambil melipat kedua lututnya dan memeluknya, lalu menaruh
kepala di atas lutut yang di tekuk itu dan memandang Alvin.
"Elo... punya sahabat, kan?"
Shilla sedikit mengerutkan kening, tapi
lalu mengangguk. "Punyalah. Zahra, Angel, Iyel, dan tiga preman stress itu
juga gue anggap sahabat."
"Kalau sahabat kecil?"
Shilla terdiam sejenak, "ada.
Tetangga gue. Temen TK gue juga ada yang jadi sahabat gue," jawab Shilla
seadanya.
"Sampai sekarang masih sahabatan
sama lo?"
"Iya," jawab Shilla belum
mengerti, "tapi temen TK gue itu sekarang udah nggak ada kabarnya."
Alvin menoleh, lalu mengangkat alis,
"kapan dia pergi?"
Shilla bergumam sejenak, "kalau
nggak salah sih waktu gue kelas dua SD. Dia pamit mau pindah ke Semarang,"
jawab Shilla sedikit lirih, mengingat kenangan masa kecilnya dulu.
"Selama ini elo nunggu dia kembali
nggak sih?"
"Iyalah!" sahut Shilla yakin,
"dia janji sama gue, katanya kalau udah dewasa nanti, dia bakal balik ke
Jakarta dan ketemu gue. Makanya, sampai sekarang gue nggak mau pindah rumah
karena biar dia nggak susah nyari gue."
Alvin mengangkat alis, sedikit kecewa
kenapa Rio tak melakukan hal itu.
"Dia itu yang nemenin gue waktu
pertama kali masuk TK. Dia temen main gue di sekolah. Pokoknya anaknya seru.
Walaupun cewek, tapi dia itu tomboy dan aktif. Gue sayang dan kangen banget
sama dia," cerita Shilla mencoba mempertahankan senyumnya, walau ia
sedikit pedih menyadari sudah berapa tahun ia berpisah dengan sahabatnya itu.
"Tapi nyokap gue masih berhubungan baik sama orangtuanya dia. Jadi gue
nggak terlalu kesulitan kalau mau ketemu dia. Hehe," kini senyuman Shilla
menjadi bahagia, mengingat juga setelah pulang ke rumah, ia bisa saja meminta
nomor hape sahabatnya itu pada sang mama.
Alvin diam sejenak, "kalau dia udah
kembali, tapi nggak sesuai harapan elo? Apa lo masih mau sahabatan sama
dia?"
Shilla mengangkat alis, dan mengerutkan
kening menatap Alvin, "maksud lo?"
"Apa perasaan lo, kalau tahu
ternyata sahabat lo itu adalah musuh bebuyutan elo sendiri?"
Shilla tersentak, "kok kayak di
film-film ya?"
Alvin tertawa hambar, lalu kembali
menoleh ke depan. "Dua sahabat cowok yang tumbuh sama-sama. Lahirnyapun
hampir barengan. Udah deket kayak kembaran. Tapi... mereka malah harus
pisah," kata Alvin memulai cerita, "dan setelah pisah dua belas
tahun, mereka ketemu. Tapi... ternyata sekolah mereka adalah musuh besar yang
nggak pernah damai."
Shilla tertegun. Mulai mengerti arah
pembicaraan ini. Teringat lagi. Kala pertandingan basket persahabat melawan SMA
Harapan saat itu. Saat Shilla dapat melihat ada tatapan lain antar Alvin dan si
kapten basket lawan, Rio. Awalnya Shilla memang penasaran. Namun karena
kejadian itu sudah berlalu berminggu-minggu yang lalu, Shilla tak lagi peduli.
Tapi sekarang, mendengar curhatan Alvin, membuat Shilla mengerti.
"Jadi... dia sahabat kecil lo?"
tanya Shilla mendekatkan diri pada Alvin.
Alvin tersentak dan menoleh, lalu
mengerutkan kening.
"Vin, waktu pertandingan itu ada
gue. Gue liat kok kayak apa reaksi lo waktu kapten smanhar di pukul Sion. Yang
elo maksud sahabat kecil, adalah kapten basket sekaligus pemimpinnya smanhar,
kan? Rio..."
Alvin tersentak kembali. Ia menggigit
bibir, dan menunduk perlahan.
"Elo kangen sama dia?" tanya
Shilla lembut.
Alvin tersenyum pahit. "Iyalah. Tapi
dia lebih mentingin ego daripada gue. Dia lebih milih tetap bermusuhan sama
kita, daripada meluk sahabatnya sendiri," ucap Alvin miris.
Shilla terdiam sejenak, lalu mengelus
pundak Alvin lembut. "Nggak boleh gitu, Vin. Pasti dia punya alasan kuat
kenapa harus ngelakin itu. Ingat Vin, dia itu ketua preman. Dia yang mimpin
smanhar. Kalau sampai martabatnya jatoh karena minta maaf ke kita, itu sama aja
dia jatohin nama smanhar."
Alvin makin menggigit bibir, "tapi
aku nggak tahan Shil! Aku pengen meluk dia! Aku pengen ketawa lagi sama dia!
Dua belas tahun itu bukan waktu singkat. Tapi di saat ketemu... malah kayak
gini," ucap Alvin bercampur emosi, matanya mulai menghangat dan berkaca-kaca.
"Vin, dia juga punya pikiran sama
kayak kamu. Dia juga kangen sama kamu. Dia juga nunggu hari dimana kalian
ketemu. Tapi mau gimana? Dari dulu, smanhar sama smanra nggak pernah damai,
Vin..." kata Shilla menenangkan. Entah mengapa hatinya ikut terkoyak
melihat kondisi Alvin seperti ini.
Alvin menghembuskan nafas dan menunduk.
Ia menjambak rambutnya frustasi. Emosi itu meluap seketika. Akan kecewanya pada
sikap Rio. Pertahanannya roboh. Beningan hangat yang selalu ia tahan dan
sembunyikan, tak bisa di bendung lagi.
"Vin," kata Shilla lembut
sambil merangkul pundak Alvin, dan membiarkan kepala Alvin jatuh pelan di
pundaknya. Shilla mengusap pundak Alvin, "luapin semua perasaan kamu. Aku
siap kok ada di samping kamu."
Shilla membiarkan bahu Alvin bergetar
dengan kepala yang di sandarkan di pundaknya. Shilla menyeka kelopak matanya
yang basah. Melihat Alvin seperti ini, membuat dadanya ikut sesak. Selama ini
Alvin selalu terlihat gagah dan keren, tapi ternyata pertahanannya bisa roboh
karena Rio. Membuktikan betapa besarnya rasa sayang Alvin pada Rio.
Tiba-tiba Alvin tersadar. Ia menangis! Di
depan Shilla! Seorang cowok mengeluarkan air mata di depan cewek, dan parahnya
lagi menangis di pundak cewek! Bukankah keadaan ini terbalik? Alvin segera
menegakkan tubuhnya, membuat Shilla sedikit terkejut.
Alvin menyeka pipi dan matanya yang
basah, lalu berdehem malu, "sorry..."
"Nggak papa kok kalau itu bisa buat
kamu tenang," sahut Shilla lembut.
"Udahlah Shil, gue mau sendiri
aja," kata Alvin memalingkan muka.
Shilla mengangkat alis, "nggak papa
kali, Vin. Aku nemenin kamu di sini..."
"Nggak usah!" sela Alvin cepat,
"gue mau sendiri! Elo pergi aja!"
Shilla terdiam, "kok... elo ngusir
gue sih?" tanya Shilla merasa tersinggung, "kan elo yang nyuruh gue
datang ke sini. Tapi setelah gue datang, elo malah nyuruh gue pergi."
Alvin mendecak, "udahlah Shil. Elo
pergi aja! Gue udah bilang gue mau sendiri," tegas Alvin membuat Shilla
menggigit bibir.
"Vin..."
"Shilla! Gue udah nyuruh elo pergi!
Apalagi sih?! Nggak usah ganggu gue lagi! Gue pengen sendiri!!!" bentak
Alvin tanpa sadar, membuat Shilla makin terkejut.
Hidung Shilla sudah memerah, dengan mata
berkaca-kaca. Melihat itu, Alvin tersadar dan merasa menyesal.
"Eh, sorry Shil. Gue nggak
maksud..."
Belum juga kalimat Alvin selesai, Shilla
sudah berdiri dan berlari pergi dengan butiran bening yang sudah berlarian
keluar dari kedua mata beningnya. Alvin merutuk diri. Padahal ia sudah di
peringatkan Gabriel, Shilla tidak bisa di bentak!
Dengan cepat, Alvin segera mengejar
Shilla. Shilla berjalan cepat menjauh sambil menyeka air matanya. Dadanya
seperti terhantam keras. Ia tahu, Alvin kalau emosi memang di luar kendali
ucapannya. Tapikan Shilla berusaha untuk menenangkan. Kenapa sih? Alvin merasa
malu karena sudah menangis di depan Shilla? Shilla tidak memasalahkan kok.
Kenapa Alvin harus emosi sih?
Alvin segera menarik lengan Shilla saat
Shilla sudah dekat. Shilla berhenti melangkah dan menunduk sambil terisak.
"Sorry, aku cuma emosi," kata
Alvin meminta maaf.
Shilla menunduk sambil terisak. Ia
mengusap pipinya yang basah, tapi butiran bening lain terus menyusul keluar.
"Shil... maafin gue. Tadi gue bener
cuma emosi," ucap Alvin meminta maaf dan memelas.
Shilla menepis tangan Alvin yang masih
menggenggam lengannya, "akukan cuma ganggu kamu. Aku harusnya nggak ada di
sini."
"Eh, itu..." Alvin makin merasa
bersalah.
"Aku emang cuma pengganggu dalam
hidup kamu, kan? Padahal kamu nggak pernah ngarepin kehadiranku, tapi akunya
selalu aja ngotot mau ada di samping kamu!" kata Shilla bergetar bercampur
emosi.
Alvin mendesah dan memegangi kedua pundak
Shilla dan menatap gadis itu, "Shil, gue nggak pernah berpikir kayak
gitu."
Shilla membuang muka sambil menggigit
bibir. Butiran bening itu terus menetes jatuh. Bersamaan dengan harapannya yang
jatuh begitu saja. Mungkin memang benar. Selama ini Shilla saja yang terlalu
berharap. Selama ini Shilla mungkin hanya di anggap pengganggu oleh Alvin. Dari
awal Shilla memang bodoh. Padahal sudah tahu Alvin tak pernah peduli, tapi
terus saja menyimpan rasa lebih. Bahkan membiarkan perasaan itu terus
berkembang. Mendiamkan luapan harapan yang meledak-ledak kala Alvin seperti
memberi 'kode' balasan.
"Shil, gue tadi cuma emosi.
Maaf," kata Alvin memelas. "Gue nggak pernah ngerasa elo adalah
pengganggu bagi gue."
Shilla masih sesenggukan. Ia mengusap
hidung bangirnya yang sudah merah. Lalu perlahan menoleh ke arah Alvin, menatap
pemuda itu dengan mata sembab. "Kalau bukan pengganggu, kamu anggap aku
sebagai apa?" tanya Shilla bergetar.
Alvin terdiam. Perlahan kedua tangannya
yang bertengger di pundak Shilla terlepas. Ia membalas tatapan Shilla yang
seakan terluka. Alvin mengatupkan mulut dan sedikit meneguk ludah. Ia membisu,
tak bisa menjawab. Dan dirinya sedikit mengerutkan kening melihat kedua bola
mata kecewa Shilla.
Shilla menggigit bibir sejenak. Sudah
jelas. Alvin tak menjawab. Ia memang tak pernah menganggap Shilla sebagai
seseorang yang berarti. Hanya teman kelas biasa.
Shilla mendesis pelan dan membuang muka,
"bego ya aku," ucapnya lirih, membuat Alvin tersentak dan mengerutkan
kening. "Aku bego udah ngarepin kamu balas perasaanku. Aku bego selalu
sayang sama kamu, padahal kamu selalu nggak pernah peduli sama aku."
Alvin tertegun. Sayang?
"Aku tahu kok. Aku cuma salah satu
cewek dari sekian ribu cewek lain yang suka sama kamu. Cewek-cewek yang nggak
pernah kamu peduliin. Aku bego, kenapa aku nggak sadar kalau aku masuk dalam
cewek-cewek itu?" Tangis Shilla makin deras. Ia sudah tak peduli lagi. Di
nyatakanlah semua perasaannya selama ini. Tak peduli lagi apa reaksi Alvin.
Setidaknya rasa sesak di dadanya sedikit berkurang karena ia sudah
mengungkapkannya.
"Aku tuh sayang sama kamu Vin. Aku
suka sama kamu," ungkap Shilla bergetar. Ia lalu menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangan dan kembali terisak.
Alvin terdiam. Menatap Shilla tak
percaya. Shilla... menyatakan perasaannya?
Alvin ragu sejenak, menatap bahu Shilla
yang naik turun seiring isaknya. Tapi hati kecil Alvin berteriak, mendorongnya
untuk segera mendekap gadis itu. Alvin menghela nafas pelan, lalu menarik tubuh
Shilla ke dalam pelukannya. Shilla masih terus terisak.
"Shil... ngomong apa sih lo? Kalau
gue nggak peduli sama lo, kenapa gue harus ngejar lo tadi?" bisik Alvin
lembut. "Gue yang bego, Shil. Nggak pernah berani ngomong duluan sama lo.
Gue... juga ngerasa hal yang sama kayak lo."
Shilla masih sesenggukan, walau tertegun
mendengar kalimat itu. Alvin mempererat pelukannya. Dan berbisik lembut di
telinga Shilla.
"Aku juga sayang sama kamu
Shilla..."
Tangis Shilla makin deras. Walau kini
dengan alasan berbeda. Kali ini ia membalas pelukan Alvin, dan menumpahkan air
matanya di dada Alvin. Alvin memejamkan mata, merasakan hangatnya pelukan
Shilla. Alvin merutuk diri. Kenapa sih ia begitu pengecut sampai Shilla yang
menyatakan duluan?
Shilla melepaskan dekapannya perlahan
sambil mereda bulir-bulir air matanya. Alvin menatap wajah basah gadis itu,
lalu mengusap lembut kedua pipi Shilla.
Alvin terkekeh geli, "kok jadi kamu
yang nangis ya? Kan tadi aku yang curhat."
Shilla tertawa kecil juga, lalu memajukan
bibir bawahnya, "inikan juga gara-gara kamu!" gerutunya membuat Alvin
tersenyum.
"Eum... terus?" tanya Shilla,
dalam hati sangat berharap.
Alvin mengangkat alis dan terdiam. Tadi
Shilla yang menyatakan duluan, berarti kali ini Alvin yang harus menanyakan
pertanyaan 'itu' lebih dulu.
"Kamu mau jadi pacarku?"
Alvin dan Shilla sama-sama tersentak.
Kalimat itu di ucap mereka kompak di detik yang sama. Shilla dan Alvin saling
tatap dengan mata melebar, tapi lalu sama-sama tertawa.
Alvin mengambil tangan Shilla dan
menggenggamnya, "mau."
Shilla tersenyum dengan pipi yang mulai
membara, "aku juga mau."
Duuuh!! Suka banget sama part ini!! Sampe netes air mata waktu shillz nangis! Lanjutannya please..
BalasHapusSuka pake banget!!! haaaa jangan lama-lama yang lanjutannya:)
BalasHapusKak pesen ceritanya ya! Buruan nggak pake lama;p
BalasHapushaha tengkyu ya semua! iya lanjut kok tenang aja :D
BalasHapus