Alvin sedang berdiri di
depan pintu belakang mal tersebut. Ya, belakang mal tersebut adalah tempat
dimana Acha dan Ozy jadian dulu. Tempat ini sedang sepi. Hanya ada Alvin
seorang diri dan beberapa orang yang baru keluar dari mal tersebut. Alvin
berdiri sambil menunggu Acha dan Ozy yang masih di dalam. Entah mereka sedang
apa.
Alvin mengambil sesuatu
dari dalam saku celananya. Sebuah kalung. Entah mengapa hari ini Alvin ingin
sekali membawanya. Kalung bermatakan gembok kecil dengan tulisan 'AR' pemberian
Bunda dulu. Alvin menatap kalung kenangan itu. Mengingatkannya pada kehidupan
dulu. Pada Bunda, Io, dan juga... Raissa.
Raissa adalah Acha. Acha
adalah Raissa.
Kalimat itu terus
menggema di benak Alvin. Alvin mencoba mengenyahkannya. Tapi tak bisa. Kalimat
itu terus mengeras, makin nyaring dalam telinga Alvin. Walaupun ia masih tak
mengerti. Kenapa semua jadi seperti kisah dalam novel saja?
Tanpa sengaja, seseorang
menabrak Alvin dari belakang. Membuat Alvin yang masih melamun tersentak dan
melepaskan kalung yang ada di tangannya sampai terjatuh.
"Eh, maaf,"
kata orang itu sambil menoleh.
Alvin diam sejenak, lalu
menipiskan bibir, "kalau jalan liat-liat," ucapnya datar.
"Maaf, nggak
sengaja," kata orang itu meminta maaf sambil mengatupkan kedua tangan di
depan dada.
"Hm. Nggak papa
kok," sahut Alvin. Orang yang menabraknya itu meminta maaf sekali lagi,
lalu berjalan pergi.
Alvin mendecak pelan, dan
menyadari kalungnya terjatuh. Ia lalu berbalik ingin mengambil kalungnya. Namun
dirinya terkejut.
Acha sudah berdiri di
belakangnya, dengan tangan menggenggam kalung itu. Acha menutup mulutnya dengan
salah satu tangannya yang tak menggenggam kalung itu. Perlahan, air matanya
mulai mengalir, menatap tak percaya kalung bergembok itu.
"Acha," kata
Alvin kaget melihat Acha yang sudah menangis.
Acha perlahan mendongak,
menatap Alvin dengan mata nanar. "Jadi... benar? Jadi feeling aku emang
benar. Padahal... kamu juga ngerasa hal yang sama, kan? Tapi kenapa cuma
diam?" tanya Acha bergetar.
Alvin terdiam dan
tertegun.
"Kita udah nunggu
kamu lama... Dan saat kembali, kenapa kamu nggak ngabarin kita? Kita kangen
sama kamu," lanjut Acha terisak. Hidungnya memerah dengan beningan hangat
terus meluncur dari matanya. "Kenapa kamu belaga nggak kenal sama aku?
Kenapa?!" tanya Acha bergetar bercampur emosi.
Alvin terperangah. Ia
ingin mengucapkan sesuatu, tapi entah mengapa tenggorokkannya tercekat. Semua
sudah jelas. Mereka telah dipertemukan. Penantian duabelas tahun itu terjawab.
Firasatnya benar.
Jantung Alvin seakan
berhenti berdetak. Masih sedikit tak percaya bahwa memang itulah kenyataan.
Tapi kalimat yang di ucap Acha dengan getaran dahsyat dan ribuan emosi,
membuatnya makin tercekat.
"Raissa kangen sama
Koko Apin..."
Alvin makin tak mampu
bersua. Matanya mulai ikut menghangat.
"Raissa
kangen..." Acha kembali menutup mulut dengan telapak tangan, kini dengan
bahu yang bergetar heboh seiring isaknya.
Alvin terpaku. Tapi tak
lama ia maju, menarik lembut Acha dalam dekapannya. "Koko juga
kangen..." bisiknya tercekat, sambil mengeratkan pelukannya. Acha membalas
pelukan Alvin, sambil terus menangis dalam dekapan Alvin.
"He!" panggil
seseorang sambil menepuk punggung Alvin.
Alvin melepaskan
pelukannya, dan menoleh.
BUK
Tinjuan Ozy sukses
membuat Alvin langsung tersungkur ke bawah. Acha terkejut dan melotot kaget.
"Ozy!" ucap
Acha tertahan tak percaya.
"Gue udah percaya
sama lo Vin! Tapi lo malah nusuk gue dari belakang!" marah Ozy meradang,
"maksud lo apa sih meluk-meluk Acha?!"
Alvin menghela nafas
pelan, sambil mengusap bibirnya yang mulai memar. Tapi ia tak menyahut dan diam
saja.
"Zy, kamu tuh salah
paham," kata Acha masih sesenggukkan, mencoba menjelaskan.
Ozy menoleh ke arah Acha,
dan tersentak. Baru menyadari wajah kuyuh dan basah Acha, menandakan ia
menangis. Ozy kembali menoleh dan menatap tajam Alvin, "elo apain Acha
sampai Acha nangis kayak gini!?" bentak Ozy makin emosi.
Acha mendecak sebal pada
tingkah Ozy. Ia menoleh pada Alvin yang masih terduduk diam. Acha melangkah
mendekat, dan membantu Alvin berdiri, membuat Ozy terkejut.
"Acha! Kok
kamu..." geram Ozy menggantung. Kesal bercampur heran tak mengerti.
Acha menghela nafas dan
sedikit merenggut, "makanya, dengerin dulu! Nggak usah asal mukul
dong!" omel Acha gantian marah, membuat Ozy mengerutkan kening tak
mengerti.
Alvin malah tersenyum
sambil merangkul pundak Acha, membuat Ozy ingin menonjoknya lagi lebih keras.
"Zy, ini toh sikap
lo sama calon kakak ipar?" tanya Alvin santai saat Ozy ingin membentaknya.
Ozy terdiam. Raut
wajahnya berubah seketika. Sementara Acha menyenggol pinggang Alvin sambil
menunduk malu. Alvin malah tertawa kecil.
"Ca...lon kakak
ipar?" tanya Ozy terbata tak mengerti.
Alvin mengangguk tenang.
"Kalau tadi elo kenalin Acha sebagai cewek elo, kenalin, ini Acha. Adek
gue."
Ozy melotot kaget dengan
mulut menganga. Ia lalu menoleh ke arah Acha meminta penjelasan. Tanpa
dimintapun, Acha sudah menjelaskan semua dengan singkat. Membuat mulut Ozy
makin lama makin terbuka tak percaya.
"Jadi ya gitu.
Ngerti, kan?" kata Acha menutup ceritanya.
Ozy masih menganga parah
dan tak menjawab. Masih mencoba menyusun logika atas kejadian ini semua.
"Sa, duduk yuk.
Capek nih berdiri mulu," ajak Alvin mengeluh, lalu menarik Acha ke bangku
yang berada di dekat mereka. Acha tersenyum menurut, meninggalkan Ozy yang
masih bengong.
Setelah sadar, Ozy segera
menyusul Acha dan Alvin, lalu ingin duduk di samping Acha.
"Ngapain lo?"
tanya Alvin ketus sebelum Ozy benar-benar duduk.
"Mau duduk,"
jawab Ozy seadanya.
"Nggak boleh di
situ! Sini, samping gue!" perintah Alvin.
"Yah Vin... diakan
cewek gue. Masa nggak boleh?" tanya Ozy memelas.
"Nggak! Sebagai
balasan atas tonjokan lo tadi," jawab Alvin kesal.
Ozy menipiskan bibir,
lalu mendengus dan melangkah ke samping Alvin, "kalau bukan dianggap kakak
sama Acha, nggak bakal gue nurut," gumam Ozy pelan.
"Apa?!" tanya
Alvin galak, mendengar suara Ozy. Ozy sempat tersentak. Tapi lalu nyengir dan
duduk di samping Alvin. Acha tertawa kecil.
"Awas aja lo Zy,
kalau sampai gue tahu elo buat Raissa nangis," ancam Alvin.
"Raissa?" tanya
Ozy mengernyitkan kening.
"Nama kecilku,"
jawab Acha, membuat Ozy manggut-manggut.
"Iye ye Vin. Kan gue
udah janji," jawab Ozy menoleh pada Alvin lagi.
"Ko, panggil Acha
aja deh. Udah kebiasaan dipanggil Acha semenjak SD," kata Acha pada Alvin.
"Ko? Apalagi
itu?" tanya Ozy heran.
"Koko Apin! Nama
kecilnya koko," jelas Acha lagi, Ozy kembali manggut-manggut.
"Kamu juga
panggilnya Koko Alvin aja ya," pinta Alvin. Acha mengangguk dan tersenyum.
"Oh ya. Gimana kabar Bunda sama Ayah?"
"Ha? Bunda
Ayah?" tanya Ozy lagi.
"Elo bisa diam dulu
nggak sih Zy! Bunda ayah itu panggilan orangtua Acha," jawab Alvin sebal.
"Oh... elo juga
manggil gitu?"
Alvin hanya mengangguk
sambil menoleh kembali pada Acha.
"Baik aja ko. Mereka
lagi ada di Manado. Ada kerjaan di sana," jawab Acha.
"Kalau... Io?"
tanya Alvin perlahan, sambil segera membungkam mulut Ozy yang mau bertanya lagi.
Acha diam sejenak, lalu
tersenyum tipis, "berubah..."
Alvin mengangkat alis,
dan terdiam.
"Ya... koko liat
sendiri, kan? Kalian sudah ketemu, kan?"
Alvin menghela nafas
sambil memandang ke depan, lalu mengangguk pelan.
"Oh ya. Waktu smanra
sama smanhar berantem, koko nggak dipukul Kak Rio, kan?" tanya Acha
mengingat kala selesai tanding itu smanra memang taruhan dengan smanhar di luar
stadion.
Alvin tersenyum tipis,
"hampir aja Cha. Tapi kayaknya waktu itu Io sadar kalau koko itu Apin. Dia
hampir mukul koko, tapi dia langsung hentikan pertarungan."
Ozy mengangkat alis
mendengar itu. Teringat lagi pada perkelahian mereka dengan smanhar. Pantas
saja, saat itu Rio langsung berteriak berhenti, dan ada Alvin di depannya.
Ternyata Rio sudah menyadari.
"Kak Rio pasti udah
tahu kalau itu koko. Tapi Kak Rio nggak mau ngenalin koko," ucap Acha
lirih, Alvin mendesah pelan. "Kak Rio itu memang selalu mentingin ego. Kak
Rio nggak mau damai sama smanra hanya karena nggak mau kalah dari Gabriel,
musuh Kak Rio dari dulu. Ya karena itu, Kak Rio nggak bisa lepas kangen sama
koko ataupun ngobrol sama koko. Karena kalau Gabriel ataupun smanra tahu, Kak
Rio pasti dianggap kalah."
Alvin menggigit bibir,
dan lalu menghela nafas berat. "Apa sebegitu pentingnya ego dibanding sahabatnya
sendiri?" tanya Alvin lirih.
Acha terdiam. Menatap
Alvin yang memandang jauh ke depan dan menerawang. Sebenarnya ia juga lelah.
Karena kakak kandungnya itu selalu saja tak pernah mau kalah. Selalu saja tak
mau terlihat lemah di depan orang lain. Permusuhannya dengan Gabriel saja
berlangsung sudah lebih dari tiga tahun. Mereka tak pernah berdamai sampai SMA
seperti ini. Dan kebetulan sekali, Rio menjadi pentolan di sekolahnya, dan
Gabrielpun juga menjadi orang yang disegani di sekolah. Mereka sama-sama ketua
preman. Andai saja Rio mau berdamai, pasti kini mereka akan berkumpul lagi.
Alvin, Rio, dan Acha.
Acha menghela nafas, lalu
menyenderkan kepalanya di bahu Alvin. Alvin tersenyum tipis, lalu merangkul
Acha lembut dan mengusap-usap pundak Acha, walau sebenarnya ia juga perlu
usapan pundak seseorang. Karena mereka mengalami perasaan yang sama.
"EHEM!" Ozy
membersihkan tenggorokkannya dan berbatuk keras, agar dua orang itu sadar bahwa
daritadi di samping mereka masih ada seorang manusia bernama Ozy! Dan tolong ya
diingat, Ozy itu berstatus sebagai PACAR ACHA.
Alvin dan Acha mengangkat
alis, dan melirik.
"Batuk? Beli obat
sono," kata Alvin tak peduli. Sementara Acha tertawa kecil dan menegakkan
tubuhnya kembali.
Ozy merenggut, "Vin!
Cowoknya itu gue! Kok jadi elo yang mesra-mesraan gitu sih!" keluh Ozy
memerotes. Alvin dan Acha tertawa.
"Masih mending gue,
ngerestuin elo. Daripada Rio? Udah kena tonjok, nggak bakal dapat ijin ketemu
Acha juga!" ucap Alvin membuat Ozy terdiam.
Ozy lalu menyeringai
lebar, "iya ding. Ampun koko..."
Acha tertawa kecil.
"Eh, tapi elo bener
nggak ngasih tahu siapapun, kan?" tanya Ozy memastikan.
"Gue juga sama kayak
elo. Harus sembunyi-sembunyi kalau mau ketemu Acha. Dan sekarang, gue belum
bisa kasih tahu Rio ataupun Gabriel. Berarti kita berdua senasib. Ngapain gue
kasih tahu yang lain?"
Ozy nyengir, "asik
deh. Jadi kalau dijulukin penghianat, ada temennya!"
Alvin menoyor kepala Ozy
geram. Ozy tertawa.
^^^
Alvin, Acha, serta Ozy
melangkah masuk ke dalam rumah putih bertingkat dua itu. Alvin menyuruh
keduanya duduk dan menunggu di ruang tamu, dan lalu ia melangkah masuk ke
dalam.
Ozy dan Acha duduk
menunggu di sofa ruang tamu Alvin. Mereka mengedarkan pandangan, memandangi
ruang tamu luas Alvin itu. Tak lama, seorang perempuan melangkah keluar dengan
membawa sebuah baki yang berisikan dua gelas es sirup, membuat Ozy dan Acha
menoleh.
Mata Ozy membelalak,
melihat Sivia sedang melemparkan senyum ramah dan menaruh dua gelas itu di atas
meja.
"Hei, aku Sivia.
Sepupu Alvin," kata Sivia ramah sambil menjulurkan tangan ke depan Acha,
"Raissa, kan?"
Acha mengangkat alis
sejenak, tapi lalu tersenyum dan membalas uluran tangan Sivia. "Panggil
Acha aja," ucap Acha sambil melepaskan jabatannya, "kok tahu namaku
Raissa?"
Sivia tersenyum kembali,
"Alvin udah sering cerita kok. Dan tadi dia bilang, Raissa ada di depan,
dan aku disuruh buatin minum," jelas Sivia, "oh ya. Gimana kamu udah
tahu kalau Alvin itu Apin?" tanya Sivia tertarik sambil duduk di sofa
membentuk sudut dengan Acha dan Ozy.
"Aku nggak sengaja
liat kalungnya Koko Alvin. Kalung yang sepasang sama Kak Rio dan dikasih
Bunda," jelas Acha membuat Sivia manggut-manggut.
Sivia lalu tanpa sengaja
menoleh pada Ozy yang nampak menyembunyikan wajah. Sivia mengerutkan kening,
dan mencoba melihat wajah Ozy.
"Ini temennya Koko
Alvin yang juga tahu tentang masalah ini. Namanya Ozy," kata Acha
memperkenalkan Ozy.
Ozy diam-diam merutuk,
kenapa Acha harus memperkenalkannya? Ozy meneguk ludah, lalu perlahan
melihatkan wajahnya pada Sivia sambil mencoba tersenyum.
Sivia diam sejenak, dan
lalu tak lama melotot. "Kamu!?"
Acha dan Ozy tersentak.
Acha mengerutkan kening tak mengerti sambil menoleh pada Ozy. Sementara Ozy
nyengir gugup.
"Kamu yang temennya
si cowok kurang ajar itu, kan? Kamu adakan waktu itu?" tanya Sivia mulai
tersulut lagi emosinya karena teringat akan kejadian saat Gabriel ingin
menciumnya kala itu.
Ozy meringis, "iya.
Tapi... kan bukan gue yang waktu itu bermasalah sama elo. Elo jangan marah sama
gue juga dong," kata Ozy dengan wajah memelas, karena seram sekali kalau
teringat saat Sivia mengamuk marah.
Sivia masih memasang
wajah marah, tapi lalu tak lama menghembuskan nafas. "Oh. Jadi kamu yang
namanya Ozy?"
Ozy mengangguk.
"Oh," kata
Sivia mengerti sambil melirik Acha. Alvin memang juga menceritakan bahwa Ozy
menyukai orang yang ia anggap Raissa. Mungkin kini kedua orang itu sudah
menjalin kasih.
"Kamu nggak sama kan
kayak cowok kurang ajar itu?" tanya Sivia memastikan dengan wajah galak,
membuat Ozy sedikit ciut.
Sementara Acha
mengerutkan kening lagi. 'Cowok kurang ajar' siapa sih?
"Ya nggaklah. Walau
dia ketua gue, tapi gue nggak sama kok sama dia," ucap Ozy menenangkan.
"Ha? Ketua? Cowok
begitu jadi ketua?" tanya Sivia sinis, "nggak salah?"
Ozy nyengir, lalu
menggeleng. Sementara Acha menyikut pelan Ozy, meminta penjelasan. Tapi belum
juga Ozy menjawab, Alvin sudah menunjukkan diri. Tak sendiri, ada Pak Anton di
sampingya. Melihat itu, Acha segera berdiri menyambut.
"Raissa?" tanya
Pak Anton dengan wajah berbinar.
Wajah Acha merekah. Ia
lalu mendekat, dan memeluk hangat Pak Anton. "Apa kabar Om?" tanya
Acha sambil melepaskan pelukannya.
"Baik," jawab
Pak Anton senang, lalu mengelus rambut gelombang Acha, "kamu udah dewasa
ya. Cantik banget."
"Iya dong. Cowoknya
aja ganteng," ceplos Ozy. Mungkin karena sudah bawaan narsis, jadi kalimat
itu spontan keluar, membuat semua tersentak.
Sivia dan Alvin
membelalakkan mata, dan mendelik ke arah Ozy yang kini jadi nyengir. Pak Anton
mengangkat alis melihat Ozy, dan melirik Acha. Acha menunduk malu.
"Oh... ini pacarnya
Raissa? Temennya Alvin, kan?" tanya Pak Anton yang memang pernah melihat
Ozy bersama Alvin.
Ozy tersenyum, lalu
mengangguk. "Iya Om. Nama saya Ozy."
Pak Anton memerhatikan
Ozy dari atas ke bawah. Senyum Ozy yang bersahabat itu membuatnya terlihat
sebagai laki-laki yang baik. Pak Anton tersenyum sekilas, lalu menoleh lagi
pada Raissa.
"Om mau tanya-tanya
sama kamu. Yuk ke dalam," kata Pak Anton senang sambil menuntun Acha lebih
masuk ke dalam rumah.
Saat Pak Anton dan Acha
sudah tak ada, Ozy mendecak pelan.
"Vin! Kok gue nggak
di ajak sih?" protes Ozy sebal.
Alvin menoleh,
"bokap gue kan juga kangen sama Acha. Salah kalau dia mau bareng
Acha?"
Ozy terdiam, lalu
mengerucutkan bibir dan duduk kembali. Ia meminum es sirup yang tadi dibawa
Sivia, sementara Alvin duduk di tempat Acha tadi.
"Kalian bakal
rahasiain ini?" tanya Sivia tiba-tiba, membuat Alvin dan Ozy menoleh.
"Sampai kapan?"
Alvin dan Ozy terdiam.
Lalu mereka saling pandang. Mengerti maksud pertanyaan itu.
Ozy mendecak samar, dan
menghela nafas, "jujur. Sebenarnya gue nggak suka pacaran gaya begini. Gue
mau juga ngenalin ke Ray, Cakka, Gabriel, dan semua. Kalau gue udah punya pacar!"
Alvin mendelik, "elo
mau mamerin Acha gitu? Elo pikir Acha apaan?"
"Bukan gitu
Vin," ucap Ozy segera, "Acha itu cewek pertama yang buat gue bertekuk
lutut. Gue cuma mau ngenalin dia ke sahabat-sahabat gue. Kalau... ini nih,
cewek spesial pemilik hati gue! Mereka sahabat gue Vin, udah gue anggap sodara.
Gue mau Acha juga kenal saudara-saudara gue."
Sivia dan Alvin
mengangkat alis, tertegun. Alvin sedikit tak percaya. Tapi ia makin yakin,
bahwa Ozy bisa menjaga Acha.
"Gue juga mau ketemu
Rio. Ketemu keluarga Acha. Gue mau nunjukin kalau gue bakal jaga Acha sepenuh
hati. Gue mau buktiin, kalau gue serius sama Acha," lanjut Ozy
bersungguh-sungguh.
Sivia tersenyum kecil,
"So sweet banget sih."
Ozy mengangkat alis dan
menoleh, "oh iya dong," raut wajahnya langsung berubah sambil
mengelus rambutnya dan tersenyum lebar, membuat Sivia langsung menyesal
mengucap kalimat itu.
"Tapi Zy, kalau ada
yang tahu tentang ini, semua bakal berantakan. Posisi elo sebagai anggota
gengstar sekolah, dan Acha sebagai adek dari musuh elo, bener-bener nggak
ngedukung," kata Alvin yang dibantu anggukan Sivia. "Kalau Rio atau
anak smanra tahu ini, mereka pasti bakal marah dan nentang abis-abisan hubungan
elo. Dan mereka pasti nggak bakal biarin elo bisa ketemu Acha. Terutama
Rio," lanjut Alvin membuat garis wajah Ozy mengendor.
Sivia mendesah pelan,
"kalian sabar aja dulu. Aku yakin kok, pasti ada cara buat nyelesein
semua," kata Sivia menenangkan. "Menurut aku, sekarang jangan kasih
tahu siapapun dulu. Kalau kalian masih mau ketemu Acha."
Alvin dan Ozy terdiam.
Mereka lalu menghela nafas panjang dan tak berkomentar. Sivia menatap keduanya,
dan mulai memikirkan cara apa yang bisa membuat masalah ini usai. Sebenarnya
kedatangan Sivia ke Jakarta ya ini. Ia ingin membantu Alvin bertemu dengan Io.
Sivia sudah tahu dari awal Alvin cerita tentang Rio, si kapten basket smanhar
itu. Sivia sudah tahu bahwa memang Rio adalah orang yang selama ini Alvin cari.
Tapi karena mendengar keadaan yang sama sekali jauh dari harapan, Sivia ingin
membantu Alvin. Bagaimanapun juga, Alvin adalah sepupu terdekatnya yang sudah
ia anggap kakak sendiri. Melihat Alvin sedih, tentu membuat hatinya ikut miris.
"Em... kita
ngerahasiain ini dari semua murid smanra?" tiba-tiba Alvin besua lagi,
membuat Ozy dan Sivia menoleh.
Ozy mendesah, dan
mengangguk pelan. "Mau nggak mau Vin."
Alvin diam sejenak, dan
berujar pelan. "Tapi... kayaknya bakal ada satu orang lagi yang
tahu."
"Siapa?" tanya
Sivia dan Ozy hampir berbarengan.
Alvin tersenyum samar,
"nanti kalian juga bakal tahu," jawabnya misterius.
xxxxx
Panjang nggak sih? Part
ini banyak aku tambahin dialog loh. Maaf ye kalau kepanjangan dan jadinya malah
ngebosenin ._.
Kalau boleh jujur,
sebenarnya.... saya mau punya pacar kayak Ozy :3 gentle dan tulus banget
>.<
Alvin sok misterius
banget nggak mau nyebut nama orang yang bakal dia kasih tahu. Alah. Padahal semua juga tahu kan nanti Alvin
mau cerita ke siapa? Yap! Ke penulis yang kece ini B-) *plak
Part depan? Salah satu
part kesukaan saya :D Semoga masih nunggu ya. Komennya juga di tungguin terus
loh sama saya ;)
makasih udah baca :)
twitter.com/aleastri |
facebook.com/mrz.mikas
lanjut dongg..
BalasHapusKak Ale, cerbungnya dilanjut ya;) Salam kenal, kak!
BalasHapusiya udah lanjut :) hehe salam kenal juga ;D
BalasHapus