Minggu, 23 Desember 2012

Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 16


Mereka selalu memohon, saling mengucap nama masing-masing di setiap doa yang mereka panjatkan. Mereka selalu ingin, suatu saat nanti. Entah kapan, dimana, dan bagaimana, mereka akan bertemu lagi.
Kisah manis persahabatan masa kecil membuat mereka saling menyayangi, layaknya saudara kandung. Tapi itu masa kecil, kan? Bagaimana saat mereka dewasa. Saat mereka sudah tahu ada kebencian, amarah, kecewa, dan masalah. Apakah harapan akan-bersahabat-lagi-seperti-dulu akan terwujud? Saat mereka juga menyadari, kenyataan tak pernah semanis kisah dalam novel...

Part 16. Aku = Kamu

Kalau saat dewasa nanti kita bertemu kembali, kamu akan mengenaliku, kan?

Pasti. Kamu juga, benarkan kalau kita tidak akan bertengkar saat dewasa nanti?

Aku harap...

Kenapa bukan pasti?

Aku juga tidak tahu. Tapi aku sangat berharap kita tidak akan bertengkar. Akukan sangat menyayangimu.

Aku juga. Aku senang kamu berkata seperti itu. Aku juga menyayangimu!

***

"Owalah... jadi gitu..." kata Shilla mengerti saat Alvin selesai menjelaskan.
Mereka sedang berada di rumah Alvin. Di meja ruang tengah itu sudah ada Alvin, Shilla, Ozy, dan juga Acha. Sebenarnya tadi Sivia ikut bergabung, tapi ia diajak pergi keluar bersama Oma. Tinggallah dua pasangan itu.
"Benerkan elo nggak bakal kasih tahu siapa-siapa?" tanya Ozy memastikan.
"Iyalah. Elo kira gue seember apa?" sahut Shilla sewot. "Eh, betewe. Kok elo mau sih sama kurcaci stress kayak dia?" tanyanya menoleh pada Acha.
Ozy mendelik, sementara Acha hanya tersenyum saja.
"Vin, kok elo mau sih sama nenek lampir kayak dia?" balas Ozy bertanya pada Alvin. Kini gantian Shilla melotot geram ke arahnya.
"Nggak tahu. Gue aja masih nggak percaya punya cewek kayak gini," jawab Alvin enteng yang langsung dapat cubitan geram Shilla. Ozy dan Acha tertawa melihatnya.
Acha lalu tersenyum setelah tawanya reda. "Akhirnya ada perbedaannya juga," ucap Acha tiba-tiba menatap Alvin dan Shilla.
"Beda apanya?" tanya Ozy mengerutkan kening. Shilla dan Alvin juga menatap Acha bertanya.
Acha tersenyum, "Koko Alvin sama Kak Rio. Dari kecil, mereka berdua kayak kembar. Sifat dan sikapnya selalu sama. Bahkan saat dewasa gini, aku ngerasa Koko Alvin adalah Kak Rio. Banyak banget sikap koko yang ngingatin aku sama Kak Rio."
Alvin tertegun sesaat, tapi lalu tersenyum.
"Terus? Bedanya apa?" tanya Ozy.
"Ternyata, walau punya kepribadian sama, tapi selera mereka nggak. Kayak ini nih. Dalam hal naksir cewek, beda banget!" jelas Acha membuat alis ketiganya terangkat.
"Emang Io naksir siapa?" tanya Alvin penasaran.
"Teman sekelas Acha. Namanya Keke. Berbanding kebalik sama Kak Shilla," jawab Acha.
"Oh... kalau Shilla kayak nenek, dia kayak cucu gitu?" kata Ozy yang langsung dapat jitakan dari Shilla.
Acha tertawa kecil, "kalau Keke itu pendiem, kalem, kutu buku, dan juga suka gugup di depan Kak Rio. Kak Rio sama Keke juga suka salting kalau ketemu. Beda banget sama koko dan Kak Shilla yang berantem kecil kayak tadi."
Shilla dan Alvin terdiam. 
"Iya iya, beda banget. Si Shillakan pecicilan, nggak bisa diam, bawel pula!" ejek Ozy membuat Shilla segera mendelik.
"Elo mau lagi?" tanya Shilla tajam sambil mengacungkan kepalan tangannya.
"Ampun Shil, ampun. Elo mah galaknya emang bisa bikin macan minder," kata Ozy tanpa dosa. Shilla menggeram sebal.
Ozy nyengir, tapi lalu wajahnya jadi serius lagi. "Tapi Shil, elokan sahabatan dekat sama Gabriel. Gue nggak yakin lo nggak cerita hal ini ke Iyel," kata Ozy ragu.
Alvin dan Acha mengangkat alis, lalu menoleh pada Shilla.
"Nggak selamanya kan, semua kisah hidup kita diceritakan ke sahabat kita sendiri?" sahut Shilla enteng, "Lagian gue ngerti kok. Ini masalah serius. Apalagi bisa dibilang Alvin termasuk peran utama. Ya gue nggak boleh gegabah."
"Cieee tau deh punya situ," goda Ozy membuat Shilla mendelik lagi.
Alvin hanya tersenyum, sementara Acha tertawa.
^^^
Sore ini, Alvin sedang duduk sendiri di danau yang berada dekat perumahannya dulu. Ini akhir pekan, menyebabkan danau itu ramai akan pengunjung atau jajanan-jajanan kecil. Sore ini Alvin sendiri. Ia juga tidak tahu mengapa, hari ini Alvin ingin sekali datang kemari. Sebenarnya ia ingin melihat lagi rumahnya dan rumah Io dulu, tapi ada sesuatu yang membuat Alvin langsung berbelok ke danau ini. Tadi, satpam komplek perumahan yang saat itu juga bertemu Alvin kala Alvin menanyai rumah lama Rio, tiba-tiba memberhentikannya. Alvin terkejut, kala satpam itu mengacungkan sepucuk surat.

"Waktu itu mas pernah ke sini lagi, kan? Tepat setelah mas pergi, anak keluarga Haling yang waktu itu mas tanya datang ke sini. Dan saya kasih tahu dia kalau mas cari dia. Dia sempet kaget mas, apalagi waktu saya kasih tahu ciri-ciri mas. Dan tadi dia datang, kasih surat ini. Dan bilang kalau mas datang, disuruh kasih."

Hanya penjelasan singkat itu. Saat Alvin bertanya apakah Rio ada lewat lagi, tapi sang satpam mengatakan ia tidak terlalu memerhatikan. Apalagi tadi ada panggilan dari pos utama.
Alvin lalu memilih datang ke danau ini. Ia duduk di rerumputan bersih yang menghadap ke arah danau. Sedari tadi pemuda itu diam saja. Ia mencoba menyiapkan diri sebelum membuka surat itu.
Setelah beberapa lama, Alvin menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Ia membuka amplop putih itu, dan menarik sepucuk surat keluar. Mata sipit Alvin perlahan mulai membaca tulisan rapi Rio.

Hei!
Aku kaget, karena satpam komplek tiba-tiba memanggilku yang datang ke rumahmu dulu. Kamu sudah datang ya?
Apin, aku kangen kamu. Kita sudah berapa tahun nggak ketemu? Dua belas mungkin?
Sudah berapa lama kamu ada di Jakarta? Kenapa nggak ngomong aku? Tapi... sebenarnya aku sudah melihatmu. Ternyata kamu dewasa lebih keren ya daripada aku. Hehehe. Aku tahu, aku pasti akan mengenalimu saat pertama kali bertemu setelah sekian lama. Akukan nggak akan lupa sama mata sipitmu itu. Hahaha.
Ternyata Apin kecilku dulu sudah berbeda jauh ya. Maaf, kalau sekarang aku belum bisa bertemu denganmu langsung, ataupun sekedar mengobrol. Kamu mungkin nggak kenali aku, tapi aku sudah senang ngeliat kamu baik-baik aja dan nepatin janji untuk kembali.
Apin... eh, mungkin sekarang ku panggil Alvin ya? Sekali lagi, maaf... Aku nggak mungkin bisa jadi sahabatmu seperti dulu. Tapi, aku tetap selalu menganggapmu sahabat terbaikku, kok.

- Io

Ada sebutir bening hangat jatuh, menetesi lembar itu. Membuat Alvin tersadar. Ia segera mengusap pipi basahnya. Dan meremas kertas itu. Dadanya mendadak terasa sesak. Amat sesak. Ditambah ulu hati yang terasa ngilu merintih sakit. Dua kalimat terakhir surat itu, seakan menancap jantungnya tepat.
Ternyata patah hati bukanlah hal utama yang membuat hati terluka, namun juga karena persahabatan.
Apa ini namanya? Persahabatan yang terlarang? Ha. Memangnya ada? Mungkin cinta punya syarat untuk memiliki, tapi persahabatan? Perlukah ketentuan?
Ego manusia itu tinggi sekali ya. Dapat mematahkan segalanya. Bahkan mengenyahkan persahabatan yang sejak dulu ada.
Alvin baru menyadari. Ternyata... masa kecil itu adalah masa paling menyenangkan. Dimana ada persahabatan, keluarga, kebahagiaan, semua menyatu. Dimana kita belum mengenal masalah, amarah, emosi, dan rasa kecewa. Dimana yang kita lakukan hanya bermain dan bermanja-manja dengan orangtua. Dimana yang kita ketahui hanyalah kebahagiaan dan kasih sayang. Dimana saat kita belum memiliki... ego.
Smartphone Alvin tiba-tiba berbunyi, membuatnya sedikit terkejut. Ia menghela nafas pelan, lalu meraihnya dan menerima telpon masuk setelah membaca nama kontak.
"Halo Cha," sapa Alvin lemas.
"..... koko? Kok lemes gitu? Kenapa?" suara khawatir Acha membalas.
"Nggak kok. Nggak papa. Kenapa?" sahut Alvin belum mau menceritakan tentang surat Rio.
"Koko lagi dimana? Si Ozy mau ke rumah koko, katanya mau pinjem soal fisika. Koko di rumah nggak?"
"Dasar kurcaci satu itu. Kok yang nelpon kamu sih? Dia nggak punya pulsa?"
"Hape gue low!" Suara Ozy terdengar menyahut. Sepertinya Acha mespeaker telponnya.
"Rese emang lo nyusahin adek gue!" omel Alvin kesal.
"Udahlah ko. Nggak papa kok. Koko dimana?"
Alvin mendesah pelan, "lagi di danau deket rumah kita dulu. Kamu ke sini aja deh. Ada yang mau koko tunjukin," kata Alvin sudah memutuskan akan memberitahu tentang surat ini.
"Loh Vin? Pr gue?" kata Ozy sebelum Alvin mematikan sambungan.
"Ah sibuk lo. Gue ada urusan dulu sama Acha!" kata Alvin ketus, lalu memutus telpon tanpa memberi kesempatan Ozy untuk berkata lagi. Karena kalau dibiarkan, Ozy tak akan berhenti bicara. Itukan pulsanya Acha, kalau pakai hapenya saja tak apa.
Alvin menghela nafas, lalu memasukkan hape dan surat tadi ke dalam saku celananya. Ia berdiri, ingin mencari tempat strategis agar Acha dan Ozy dapat mudah menemukannya.
Saat melangkah, Alvin mengerutkan kening. Kenapa di setiap langkahnya, jantungnya semakin berdetak cepat? Perasaan itu datang kembali. Perasaan yang mengatakan ada seseorang di sekitar sini. Alvin memandang ke danau di sisi kanannya, melihat ke pinggir danau beberapa orang berkumpul. Tapi ia tak menemukan satu orangpun yang di kenalnya. Alvin terus berjalan dengan kening berkerut.
Tapi tanpa sengaja, seseorang yang berjalan berlawanan dengan Alvin menuburuknya pelan. Tangannya memegang sebuah hape dan matanya fokus ke layar hape, tak memerhatikan jalan. Ia dan Alvin sama-sama terkejut, lalu saling menoleh.
DEG
Mata Alvin membulat, menatap tepat sepasang mata Rio yang juga sedikit membelalak. Keduanya merasakan tubuh mereka melemas seketika dengan jantung yang seperti melompat keluar terkaget.
Dan ini waktunya. Mereka kembali dipertemukan. Oleh takdir...
^^^
Ozy membukakan pintu mobil untuk Acha, Acha berjalan keluar sementara Ozy menutup pintu dan menekan tombol alarm mobil. Acha ingin menuruni tangga yang berada tepat di depan mobil Ozy terpakir. Tapi langkahnya terhenti seketika bersamaan dengan nafasnya yang tersentak. Perlahan tubuhnya membatu, dengan mata melebar.
Tepat di depan tangga, beberapa meter ke depan, berdiri dua orang itu. Dua orang yang sangat Acha sayang. Keduanya saling tatap dan berdiri berhadapan.
"Zy..." desis Acha dengan nafas tertahan.
Ozy yang belum menyadari dan baru saja berdiri di samping Acha mengerutkan kening, "ya?"
"I...itu..." gumam Acha bergetar, sambil menunjuk kecil tempat Alvin dan Rio berdiri.
Ozy terkejut. Tapi ia segera menarik lengan Acha, menuruni anak tangga dan bersembunyi di balik pohon besar terdekat. Keadaan akan makin gawat kalau Acha datang di antara dua orang itu.
Acha masih dapat melihat Rio dan Alvin, dan samar ia mendengar suara dari mereka.
^^^
Hening terus terdengar. Yang ada hanya suara angin berhembus, dan suara samar-samar pengunjung danau. Kedua pasang bola mata itu masih menancap satu sama lain. Tak terkendali, perasaan ingin memeluk penuh rindu makin meraja. Tapi sekuat tenaga keduanya saling menahan.
Rio diam-diam menelan ludah susah payah. Ia memundurkan langkah sedikit, lalu memasang wajah datar menatap Alvin. "Lo anak smanra, kan?"
Alvin tersentak sekilas. Sekuat tenaga ia bersikap biasa, "iya," jawabnya singkat.
"Masih berani lo nabrak gue?" tanya Rio dingin, walau ia sangat berat bersikap seperti ini.
Alvin merasakan hatinya nelangsa, "memangnya kenapa?"
"Gue ketua preman smanhar. Apa lo nggak tahu?" tanya Rio tetap dingin.
"Terus? Gue preman smanra, dan lo ketua preman smanhar. Kenapa? Hanya karena gue nggak sengaja nabrak lo, lo mau ngajak gue berantem kayak waktu itu?" balas Alvin dingin.
Rio menghela nafas pelan dan menatap Alvin datar.
"Atau kamu masih mau main sandiwara di depan aku?" sambung Alvin tak bisa menahan diri.
Ro tersentak dan terdiam. Kini Alvin menatapnya dalam, membuat jiwa Rio terasa terkoyak. Ia menggigit bibir keras, lalu mengalihkan pandangan.
"Maksud lo apa sih?" ucap Rio dingin.
Alvin menghembuskan nafas, "cukup yo... Di sini cuma ada kita. Nggak usah sembunyi. Ini kita, Io dan Apin."
Rio makin tertegun. Jadi... Alvin tahu?
"Aku kecewa sama kamu..." desis Alvin sambil menggeleng-geleng kepala kecil.
Rio menoleh perlahan.
"Begitu pentingnya ya ego, sampai-sampai kamu ngorbanin persahabatan kita?" tanya Alvin datar, membuat jantung Rio seperti ditonjok keras.
Rio mengepalkan tangan kencang, mencoba sekuat tenaga menahan diri untuk tidak segera menarik tubuh Alvin dalam dekapan. Menjelaskan semua secara rinci apa yang sebenarnya menjadi alasan ia seperti ini. Bukan semata karena ego.
"Oh ya. Kamu juga udah janji bakal jada adik kamu, tapi kenapa kamu malah ngekang dia?" sambung Alvin tajam.
Rio meneguk ludah, "maksud lo?!" tanyanya mencoba menaikkan nada suara.
Tatapan Alvin kini jadi benar-benar tajam. "Kamu tahu, Raissa hampir setiap hari nangis karena kamu!"
Rio tersentak lagi, dan membatu.
"Raissa nangis liat kamu yang berubah! Kamu yang jadi keras dan selalu nggak ngerti dia. Kamu udah janji kan nggak akan buat dia nangis?! Nyatanya apa?!" kata Alvin mulai emosi.
Rio terdiam. Tapi tak lama kemudian suara bernada dinginnya terdengar, "kamu tahu apa tentang Raissa?"
"Aku udah ketemu Raissa!"
Mata Rio membulat, "dia nggak pernah ngomong sama aku..."
"Memangnya kapan kamu ada buat dia?" tanya Alvin makin emosi.
"Memangnya kamu tahu apa sih? Aku udah jaga Raissa! Aku selalu ada buat dia!" Rio juga mula tersulut, merasa tersinggung karena Alvin menuduhnya seperti itu.
"Itu menurutmu, kan? Raissa itu sama aja kamu siksa. Kamu terlalu over! Menjaga itu beda sama ngekang."
Rio terdiam sejenak, "Raissa itu adikku. Terserah gimana cara aku jaga dia. Kamu nggak ada hubungan dalam masalah ini."
Alvin menyinggungkan bibirnya sinis, "apa aku masih harus jelaskan apa hubungan aku sama Raissa? Apa aku masih harus jelaskan apa peran Raissa dalam hidupku?" ucapnya makin naik pitam.
"Kamu bukan siapa-siapa dia sekarang. Kamu nggak ada hak ngatur dia," suara es Rio membuat hati Alvin justru makin memanas.
"Aku nggak ngatur dia. Aku cuma mau dia bahagia, itu aja. Dan ingat, dari dulu, sampai sekarang, aku tetap kokonya Raissa," kata Alvin tegas membuat Rio tertegun. "Kamu boleh mentingin ego daripada aku, tapi please... jangan keras kepala untuk Raissa."
Rio makin mengepalkan tangan. Ia membuang muka, memejamkan mata sekilas dan kembali menoleh pada Alvin. "Ini hidupku, bukan hidupmu. Yang memilih aku, nggak usah ikut campur."
Alvin sekuat tenaga menahan kepalan tangannya yang hampir saja ingin ia layangkan ke wajah tampan Rio. Pemuda itu menghela nafas keras, "oh, jadi kamu memang mau persahabatan ini berakhir ya?"
Rio terdiam lagi. Ia saling tatap dengan Alvin beberapa saat. Sebelum Alvin menyambung kalimatnya lagi, kini suaranya mulai terdengar agak lirih.
"Nggak akan bisa Yo. Karena apapun yang terjadi, aku masih Apin. Dan kamu juga masih Io..."
Rio menggigit bibir. "Nggak bakal ada lagi Apin atau Io. Semua cuma masa lalu..." ucapnya mencoba menyembunyikan suara bergetar. Seperti hatinya yang bergetar dahsyat tak nyaman mengucap kalimat itu.
"Jadi kamu mau ngelupain semua? Menggantikan persahabatan dengan nama baik ketua preman?"
Suara bergetar itu membuat Rio dapat merasakan ada ribuan emosi yang terjadi. Mereka memang tak saling pukul, tak saling berteriak. Tapi entah mengapa pembicaraan ini sangat melelahkan keduanya.
Rio terdiam, menatap mata sedikit sipit Alvin yang terus menatapnya dalam. 'Nggak, nggak semudah itu... Andai kamu ngerti...' batin Rio nelangsa.
"Tapi gue bener udah ngelupain semua. Lagian, apa pentingnya sih masa kecil? Cuma kenangan toh? Liat masa sekarang aja. Gue, anak smanhar. Dan elo, anak smanra. Yang nggak akan bisa jadi teman apalagi sahabat."
Alvin terdiam. Hati patah ternyata pelakunya bukan hanya cinta, tapi juga persahabatan. Seperti yang Alvin rasa. Ia merasa dadanya terkoyak pedih, dengan nafas tercekat. Suara dingin Rio meremas nadinya, membuatnya merinding tak nyaman.
"Masa lalu biarin ada di masa lalu. Untuk apa diungkit terus? Kita juga udah pisah lama. Udah banyak waktu yang kita lewatin. Dan tentu aja banyak perubahan yang ada. Semua nggak akan sama," Rio menarik nafas dalam tak kentara, dan menghembuskannya pelan, "persahabatan Io dan Apin cuma masa lalu. Nggak akan ada lagi."
Alvin menggigit bibir kuat. Rio merasakan dadanya makin sesak. Ia lalu memilih berbalik saja, tak ingin beningan hangatnya sampai jatuh di depan Alvin. Pemuda itu memilih pergi dulu, sebelum suara lirih Alvin menghentikannya.
"Jadi ego yang menang ya?" tanya Alvin selirih hembusan angin yang terdengar, dengan ribuan luka dan rasa kecewa. Ia lalu menghela nafas. "Oke. Kalau gitu, jaga Raissa. Jangan buat dia nangis lagi..." pesan Alvin singkat, lalu ikut berbalik ke arah berlawanan, dan segera melangkah pergi.
Rio membatu di tempat. Matanya mulai berkaca-kaca. Dalam hati ia juga bertanya, sebegitu besarkah egonya sampai merelakan sahabat yang dari dulu ia rindukan?
Ini kisah mereka, kan? Dua orang yang saling merindukan dan menyayangi, tak bisa menjalin persahabatan lagi hanya karena... permusuhan dua kubu yang tak pernah usai. Mereka di pihak berlawanan. Itukah alasan mereka tak bisa bersahabat?
Mengapa kisah mereka tak bisa sama seperti kisah persahabatan lain yang berakhir manis? Kata orang, persahabatan itu abadi. Tak akan pernah usai. Tapi untuk mereka? Masih bisakah 'abadi' ada setelah kata 'persahabatan mereka'?
^^^
Acha merasakan tungkainya melemas. Ia terduduk lemah di balik rerumputan tinggi di samping pohon tempatnya bersembunyi sedaritadi. Telapak tangan kanannya menutup mulutnya, dengan bahu yang bergetar hebat seiring tangis pedih yang sudah meledak.
Ozy panik dan segera berjongkok di sebelah Acha.
"Kenapa semua jadi gini?" tanya Acha tersendat dan terisak, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Ozy mendesah pelan, lalu merangkul Acha dan mengelus lembut pundak gadis itu. Hatinya juga ikut pedih. Ia mendongak pelan, menatap langit yang mulai senja. Hatinya berbisik lirih. Tuhan... kalau ini memang kisah mereka, bawalah ke akhir yang selama ini mereka harapkan. Setidaknya, Acha merasa bahagia. Jangan buat air mata itu terus mengalir seperti ini.
Ozy makin mengeratkan rangkulannya. Doa itu setulus hati diucap untuk gadis yang terus terisak di dadanya ini.
Tapi... terkabulkankah? Tuhan pasti telah mendengar. Hanya saja... mungkin jawabannya akan tak sama sesuai harapan. Karena dimulai dari pertemuan ini, kisah mereka makin berjalan ke arah yang jauh dari happy ending. Akan ada banyak air mata yang tumpah, akan ada letupan-letupan emosi yang menyakitkan, dan akan banyak luka yang tertoreh.
Ini kisah mereka. Yang ditentukan oleh takdir...

xxxxx

Em... oke. Nggak tahu harus ngomong apa ya -_- Ini... drama banget nggak sih? Hehe.
Oh ya, untuk keluhan dan kritiknya makasih loh. Aku juga baru nyadar, kayaknya si Rio emang jarang muncul ya? Hehehe. Di sini nggak ada yang jahat atau baik kok. Gabriel atau Rio sama-sama punya sisi baik. Dan terus... apalagi ya? Aku lupa. Ya pokoknya, kalau masih ada yang mau ngeluh atau mungkin... marah-marah dan protes -_- dipersilahkanlah, monggo atuh.
Ada yang minta bocoran next part di setiap akhir part ya? (atau bisa dibilang di setiap 'ocehan penulis') Oke, aku kasih tahu. Part depan masih dengan judul sama, sebenarnya sih... part B dari ini. Mau aku jadiin satu part, tapi kok... kayaknya enaknya 'bersambung'nya tuh di bagian yang ini. So, part depan masih seputar "Aku = Kamu"
Akan ada kembaran kedua saya, Sivia (karena kembaran pertama Ify, you know? ;;) *plak) Ada Keke juga, dan ada Rio Acha Alvin pastinya. So, tunggu ye. Jangan lupa promote loh! :p

@aleastri ^^


3 komentar:

  1. Kak! Adegan sivielnya dooong;) jangan lama-lama, ya:D

    BalasHapus
  2. lanjuttt dong plis secepatnya cerita Sivielbya banyaaaakin dong plis :D

    BalasHapus
  3. hehe iya. siviel part 23 klo ga salah. wait ya :)

    BalasHapus