Keke
melangkahkan kaki menuju sekolahnya, karena tadi baru saja dari toko fotokopi.
Ia mendapat tugas dari Pak Deni untuk memfotokopi kumpulan soal yang memang
disiapkan. Tapi mesin fotokopi di koperasi sekolah sedang rusak, dan Keke
disuruh menuju toko yang tak jauh dari sekolahnya. Tadi Keke melangkah dari
kamar mandi sendiri, dan tak sengaja bertemu Pak Deni. Pak Deni yang memang
akan mengajar di kelas Keke, menyuruh Keke tanpa ditemani siapapun. Keke hanya
bisa menurut, walau sebenarnya sedikit mengeluh karena biasanya ia pergi
bersama Acha.
Tiba-tiba
terdengar suara gemuruh orang-orang berlari. Keke sontak balik badan, dan
terpana. Segerombolan besar siswa SMA Pangeran kembali datang menyerang.
Beberapa membawa tongkat kayu, dan beberapa membawa plastik hitam yang sudah
pasti isinya batu.
Oh no.
Jangan lagi.
Keke segera
bersembunyi di pohon peneduh jalan yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Bersamaan dengan itu dari dalam sekolahnya segerombol siswa mulai maju,
menyadari kedatangan lawan satu jam sebelum bel pulang sekolah berbunyi.
Mungkin mereka memang sudah saling menentukan waktu.
Keke
mengedarkan pandangan, mulai panik. Musuh sekolanya sudah mulai dekat,
sementara para murid sekolahnya sudah menyebar ke barisan depan. Keke
menerka-nerka. Kalau ia kabur sekarang dan berlari memasuki sekolah,
kemungkinan ia akan selamat.
Kekepun tak
mau kehilangan kesempatan itu. Ia keluar dari persembunyian. Namun sial beribu
sial. Saat ia sudah mulai berlari, lengannya tiba-tiba dicekal seseorang.
Dengan nafas tercekat Keke menoleh, dan membelalak melihat seorang siswa dengan
seragam SMA Pangeran dan sebuah kayu di tangan kanannya tersenyum miring
menakutkan.
"Elo
cewek yang kemarin, kan? Yang diselamatin Rio sama Gabriel?" tanya siswa
itu, membuat tubuh Keke kaku seketika.
BUK
Satu
tinjuan itu, bersamaan dengan lengan Keke satu lagi yang ditarik segera,
membuat Keke terkejut. Gabriel tiba-tiba sudah berdiri di depannya, melindungi
gadis itu. Siswa Pangeran yang tadi terkena tinjuan Gabriel segera membalas.
Tapi Gabriel segera menendang pemuda itu, membuat pemuda itu tersungkur.
Gabriel lalu segera berbalik, menatap Keke yang gemetaran.
"Lo
emang bandel ya! Ngapain lagi sih elo!?" marah Gabriel membuat Keke
bergidik takut.
Keke
melotot kala melihat seseorang dari pihak musuhnya berdiri tak jauh di belakang
Gabriel, dengan mengacungkan tongkat kayu tinggi-tinggi.
"Kak,
awas!" pekik Keke mendorong tubuh Gabriel menjauh sampai Gabriel terjatuh.
Keke lalu menunduk, menghindari pukulan dari siswa itu yang melesat. Keke lalu
dengan sekuat tenaga menendang perut pemuda itu, membuatnya terkaget dan
melepaskan tongkatnya. Dengan segera Keke mengambil tongkat kayu itu, lalu
tanpa segan memukulkan tongkat itu keras-keras ke arah pemuda tadi. Keke sudah
tak peduli dan membuang jauh-jauh rasa teganya. Dengan membabi buta ia memukul
musuh sekolahnya itu dengan kasar, membuat pemuda itu tersungkur dan merintih
sakit.
Keke belum
mau berhenti, sampai sebuah tangan menahan lengannya, lalu menarik tangan Keke
turun kembali. Keke menoleh dan terdiam.
"Elo
gila ya?! Ngapain elo ikut berantem?!" bentak Gabriel, lalu mengambil alih
tongkat di tangan Keke.
Beberapa
siswa dari musuhnya datang menghampiri Gabriel saat tahu pentolan sekolah
lawannya sudah berada di area pertarungan. Gabriel segera berdiri di depan
Keke, lalu seperti kerasukan, ia memukuli para lawannya itu dengan tongkat di
tangannya dan juga beberapa tendangan. Keke sempat memekik berkali-kali dan
sering menunduk takut, menghindari serangan yang bisa saja mengenainya. Sampai
sebuah tangan tiba-tiba menarik Keke, membuat Keke berteriak histeris dan
Gabriel segera menoleh.
"Dia
sama gue!" teriak orang itu, Rio, lalu segera menarik tangan Keke berlari
menjauh. Gabriel tak peduli lanjut, ia kembali melawani para musuhnya itu.
Rio terus
berlari sambil menggandeng tangan Keke, dan juga berusaha melindungi Keke dari
lemparan batuan yang datang dari segala arah itu. Keke seakan-akan terbang,
karena kecepatan lari Rio yang sudah sangat cepat.
Saat
melihat satu batu sedikit besar melayang menuju arahnya, Rio sontak memeluk
Keke, membuat Keke memekik. Rio lalu melindungi gadis itu, membuat punggungnya
terkena lemparan batu tersebut. Rio sempat merintih, tapi lalu tak terlalu
memikirkan dan kembali menarik Keke karena gerbang sekolah sudah dekat. Keke
menurut, walau ia menatap Rio cemas.
Mereka
segera masuk ke dalam sekolah yang sudah ramai para siswa dari kelas sepuluh
sampai dua belas, ikut membela sekolah mereka.
Rio membawa
Keke masuk ke koridor sekolah. Ia lalu mulai memelankah langkahnya. Kekepun
juga ikut memelankan langkah sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah.
Tangan mereka masih saling menggenggam satu sama lain.
"Kak,
kakak nggak papa?" tanya Keke cemas dan panik, memandang Rio yang nafasnya
masih ngos-ngosan.
"Nggak
papa kok," jawab Rio segera. Ia lalu membawa Keke ke kelasnya. "Elo,
tetep di kelas lo. Jangan kemana-mana, gue bakal pergi lagi," pesan Rio
menegaskan dalam-dalam ucapannya.
"Kakak
mau kemana lagi?" tanya Keke cemas.
"Ya
mau ngelawan merekalah! Lo pikir gue bakal diam aja sedangkan teman-teman gue
lagi bertarung?" tanya Rio sarkatis, membuat Keke terdiam. Mereka sudah
sampai di ambang kelas Keke.
Kelas yang
semula ribut karena kecemasan tentang sekolah mereka, mendadak hening. Pak Deni
yang harusnya mengajar tidak hadir di tempat. Mungkin juga memikirkan taruhan
siswanya itu. Walaupun para guru tak pernah bisa bertindak lanjut.
Para mata
langsung tersorot pada dua tokoh di pintu itu. Dan mereka membelalak kala
melihat tangan Rio yang menggenggam jemari Keke.
"Ingat
ya, elo jangan kemana-mana," pesan Rio membuat Keke menoleh.
Keke
mengangguk, "hati-hati ya kak," ucapnya. Rio hanya tersenyum tipis,
lalu beranjak dan berlari pergi menuju gerbang sekolah kembali.
Keke
menghela nafas pelan. Melafalkan doa dalam hati semoga Gabriel dan Rio
baik-baik saja.
"Ke!"
Keke
menoleh, lalu dengan gusar melangkah mendekat. Para murid di dalam kelasnya
mulai mendekati Keke.
"Kenapa
Ke?" tanya Acha cemas.
Keke
menghela nafas sambil duduk di kursinya. Ia hanya menjawab dengan ekspresi
lelah dan masih sedikit shock.
"Ke!
Gimana rasanya?" tanya Oik duduk di depan Keke.
Keke
mengangkat alis tinggi, "maksudnya?"
"Gimana
rasanya digandeng sama Rio? Kyaaa bahagia banget ya, Ke?" tanya Oik
menggebu-gebu, membuat semua menganga.
"Oik!
Keke tuh tadi lagi terancam! Kok malah nanya itu sih," protes Acha sebal.
Oik hanya nyengir kuda. Acha kembali menoleh pada Keke. "Elo nggak
kenapa-kenapa kan, Ke? Tadi kedapetan anak Pangeran?" tanyanya khawatir.
Keke
menarik nafas, lalu mengangguk sambil menghembuskannya. Membuat semua
membelalak dan mulai prihatin.
"Terus
gimana?" tanya Patton penasaran.
"Tadi
untung aja ada Kak Gabriel. Dan tadi, gue ditarik Kak Rio ngejauh dari
sana," cerita Keke yang disambut mulut 'o' lebar dari teman-temannya.
"Wih...
beruntung banget elo, Ke," ucap Oik dengan nada envy.
"Oik!!!"
kini bukan hanya Acha. Nova, Nadya, dan beberapa teman lain juga ikut gemas
melihat Oik yang masih saja memikirkan cowok-cowok ganteng itu.
Oik
menyeringai, "ya kan hampir semua cewek tuh berangan untuk bisa deket sama
FourG! Makanya.... em... Keke beruntung.... Hihihi."
Acha
menggeram dan melemparkan tinju kecil ke arah Oik, lalu menoleh lagi ke arah
Keke. Kini wajahnya serius. "Ke, elo harus hati-hati. Ini udah yang kedua
kalinya. Mulai sekarang, jangan jauh-jauh dari sekolah ini ataupun FourG, kalau
elo masih pakai seragam sekolah ini. Ngerti lo?"
Keke
mengangkat alis, tapi lalu mengangguk menurut. Walau heran juga. Tumben sekali
Acha cerdas. Biasanya gadis satu ini selalu bertingkah ceroboh dan telmi.
"Eh,
oh ya Ke. Mana tugas dari Pak Deni? Tadi kita disuruh ngerjain itu, karena Pak
Deni harus ke kantor," kata Lintar, selaku ketua kelas, mengingatkan.
Keke
melebarkan mata, lalu menepuk keningnya sendiri. "Astaga! Kayaknya tadi
jatuh atau ketinggalan gitu deh. Gue panik sih! Tadi gue juga mukul anak
Pangeran."
"HA?!"
Keke
menarik diri sejenak, mendengar pekikan dari teman-temannya itu.
"Apa
Ke? Elo... mukul anak Pangeran?" tanya Nova tak percaya dengan mata
melotot.
Keke
meneguk ludah, "ya habis... tadi Kak Gabriel itu hampir dipukul dari
belakang! Gue nggak bisa diam aja dong! Ya makanya... gue... eum... ya...
gitu," jelas Keke terpotong-potong sambil memain-mainkan jari-jarinya.
"Gila
lo, Ke! Elo cari mati apa ya?" tanya Nadya tak percaya. Keke menipiskan
bibirnya dan menunduk.
"Ckckck.
Demi Kak Gabriel, elo nekat ngelawan musuh?" tanya Lintar membuat Keke
mendongak dan mendelik. Para murid juga mulai tersadar dengan ucapan itu, dan
menatap Keke dengan mata melebar.
"Ih
apa sih lo! Bukan itu juga maksudnya!" elak Keke, "sekarang gini deh.
Kalau tadi Kak Gabriel kenapa-kenapa, nanti yang bakal ngelindungin gue siapa
dong? Kak Rio kan datangnya tadi belakangan. Gue juga mikirin diri sendiri
kali!"
Para murid
manggut-manggut percaya. Sementara Keke mencuatkan bibirnya. Alasan itu
sebenarnya baru beberapa detik lalu ia dapat. Karena ia juga baru sadar. Tadi,
karena tak ingin Gabriel terkena pukulan, Keke nekat mendorong Gabriel dan
menendang lawannya itu. Astaga bodohnya. Bagaimana kalau preman sekolah yang
tadi Keke pukul itu membalas Keke dengan kejam? Bisa habis Keke!