Senin, 29 April 2013

Kalau Sudah Dewasa Nanti



Tittle: Kalau Sudah Dewasa Nanti
Main Cast: Cindai, Bagas
Author: Aleastri


"Ini namanya barbie," kata anak perempuan berusia lima tahun itu mengacungkan boneka cantik yang baru saja mamanya belikan untuknya. Dipamerkan pada seorang anak laki-laki yang kini baru saja masuk ke ruang bermain anak itu.
"Aku mau kayak barbie, cantik," kata anak perempuan itu senang.
Anak laki-laki tersebut memandangi boneka itu, lalu memandangi sahabatnya lagi. "Cantikkan kamu. Ini menor," katanya menunjuk bibir merah boneka itu.
Anak perempuan bepipi bulat itu tertawa. "Kan kalau sudah gede, emang pake' lipstik gini. Oh ya. Barbie punya pangeran loh! Kayak dongeng yang biasa mama ceritain."
Anak laki-laki itu diam sejenak. "Siapa pangerannya?"
Anak perempuan tersebut menggeleng. "Nggak tahu namanya," jawabnya polos.
"Hm. Ya udah. Aku aja. Jadi, kamu barbienya, aku pangerannya."
"Beneran?" tanya anak perempuan itu senang, "kita nanti bakal nikah dong!"
"Cindai?"
Obrolan dua anak itu terhenti, kala nama si anak perempuan dipanggil. Mereka menoleh, mendapati orangtua si gadis kecil itu sudah datang.
"Kok Bagas diajak mainan barbie sih? Kamu ini," kata Mama Cindai mengelus rambut Cindai dan tertawa kecil. "Yuk keluar. Waktunya makan."
"Em... Tante Shilla," panggil Bagas membuat wanita muda itu menoleh padanya. "Aku bolehkan jadi pangerannya Cindai? Kayak Barbie punya pangeran," ucapnya polos, membuat tawa geli Shilla sontak pecah.
"Iya Ma! Nanti Cindai nikahnya sama Bagas aja ya," pinta Cindai senang.
Shilla tertawa lagi, lalu mengelus lembut kepala dua anak itu. "Iya iya. Kalau udah gede nanti ya. Masih kecil nggak usah ngomong gitu. Masih lama," kata Shilla geli. Cindai dan Bagas bertatapan, tapi kemudian tertawa bersama.

***

DELAPAN TAHUN KEMUDIAN

***

CINDAI'S POV

Hai. Aku Cindai. Umurku 13 tahun di tahun ini. Aku baru aja naik ke kelas dua SMP. Menurutku, ini hal yang paling ditunggu. Karena berdasarkan apa yang ku lihat di twitter ataupun facebook, kakak kelas yang sudah SMA mengatakan bahwa pengalaman yang paling berkesan saat SMP itu adalah kelas dua SMP. Di mana kita berada di antara batas junior dan senior. Bisa memerintah, tapi juga diperintah. Bisa menantang, tapi juga tertunduk takut. Aku tak memilih jadi yang manapun. Jadi murid SMP yang biasa saja sudah cukup.
Tapi mungkin, menurutku bukan itu yang membuat kelas dua SMP berkesan.
Usia 13 tahun. Seakan puncak pubertas seseorang. Seorang remaja muda yang akan beranjak menjadi 'remaja' seutuhnya. Di mana banyak hal baru yang dipelajari. Banyak hal baru yang dikenal. Dan banyak hal baru yang... dirasakan.
Sejak SMP aku sudah mulai senang membaca novel. Aku sudah mulai rajin mendengar lagu cinta. Dan semuanya membuatku mengetahui. Apa itu yang namanya 'jatuh cinta'.
Aku pernah menyukai beberapa laki-laki. Tapi kini ku sadari itu hanya kagum semata. Karena saat ini, yang kurasa lebih dari itu.
Aku berdebar.
Pipiku sering merona tak jelas.
Dan entah kenapa aku tak berani menatap sepasang matanya.
Menurut kisah novel, itu tanda jatuh cinta.
Dan dalam novel yang pernah ku baca juga, jatuh cinta selalu unik. Berlari ke arah tempat yang sama, bertabrakan dan hampir terjatuh, saling tatap tak sengaja, atau yang lain. Tapi aku tidak. Caraku jatuh cinta benar-benar 'biasa'.
Di hari itu. Sekitar seminggu yang lalu. Aku melihatnya bermain basket di lapangan. Karena sudah kelas dua, ia terpilih menjadi kapten. Dan entah kenapa saat ia melompat memasukkan bola dalam ring, saat itu.... aku jatuh cinta padanya.
Ya, sesimpel itu. Sesederhana itu. Itu caraku jatuh cinta. Aneh ya? Padahal dari lahir sampai sekarang aku selalu memandangnya. Tiap hari kami bertemu. Kemanapun pergi dia selalu menemani. Dan kini, hanya karena melihat ia bermain basket, pemuda itu terlihat berbeda. Entah mengapa, mendadak aku menyadari bahwa wajahnya itu tampan. Gayanya cool dan karismatik. Tak banyak bicara namun juga terkadang jahil. Karakter unik yang misterius.
Ya, aku telah jatuh cinta padanya. Sahabatku sendiri sejak kecil, Bagas...

***

Minggu ini kerja bakti di lingkungan rumahku. Semua warga berkumpul di sekitar jalan dan lapangan. Aku dan dia berada di lapangan. Yang kini akan diberi semen karena sebelumnya hanya tanah saja. Para ibu-ibu teman-teman mamaku juga ada di sana. Memasak di dapur umum samping lapangan.
Ada satu hal yang sering ku benci kalau berkumpul seperti ini. Sering membuatku sebal dan malu. Ya... tapi kini justru membuat pipiku merona dan tersipu.
"Aduh Bagas, sebentar aja jauh dari Cindai nggak bisa?" goda Tante Zahra, yang sedang memasak di dapur umum.
"Kalian ini emang sejoli tak terpisahkan ya. Kalau Cindai ke sini, selalu ada Bagas. Kalau Bagas di sini, selalu ada Cindai. Kayak sepasang sepatu," goda Tante Irva, makin memojokkanku.
"Udah, pacaran aja. Kan sudah gede juga," goda yang lain lagi.
"Tapi apa mereka nggak terlalu muda? Masih kelas dua SMP," sahut Om Riko yang sedang membawa gerobak berisi semen, melintasi dapur umum dan masih sempat-sempatnya nimbrung.
"Ah. Dulu juga Shilla waktu pertama kali pacaran pas SMP," sekarang Oma jadi ikut-ikutan juga. Mama malah tersenyum saja memotong-motong kentang di pojok dapur.
"Biar jadinya Badai ya. Bagas Cindai," goda Tante Sivia membuatku makin bersemu.
"Duuuhhh ibu-ibu karlota deh! Cindai sama Bagas cuma sahabatan!" kataku tak tahan dengan pipi memanas dan mulut manyun. Ku lirik Bagas. Ia malah tertawa santai sambil membantu Om Riko.
"Tapi Cindai suka Bagas, kan?" goda Tante Okki membuatku langsung diam. Tatapan menggodanya sontak membuat pipiku makin merah.
"Ya siapa yang nggak suka sama Bagas? Ganteng, pinter, sopan, ramah lagi! Kalau aja Oca nggak kelas dua SD, aku jodohin deh!" kata Tante Irva membuat tawa ibu-ibu di sana terdengar.
Aku menoleh pada Bagas. Ia hanya tersenyum sekilas, tapi lalu kembali membantu mengaduk semen dengan cangkul. Bagas selalu begitu. Tak pernah merespon lebih ucapan ataupun godaan mereka. Membuatku malah jadi penasaran.
"Duh, Shil. Cepetan Bagas jadiin mantu deh! Nanti keburu diembat yang lain!" kata Oma dengan wajah serius dan sungguh-sungguh. Membuat mereka tertawa lagi.
Aku tak bisa menahan diri. Akhirnya hanya senyum geli saja yang ku berikan, tapi kemudian segera mendekat ke arah Bagas sambil membawa ember untuk mengisi semen. Ku taruh ember itu di dekat kakinya, dan ia mengisi semen dengan cangul di tangannya.
"Mereka cocok banget ya," kata suara ibu-ibu dari dapur umum itu dengan heboh. "Rio sama Ify bakal beruntung kalau punya mantu secantik Cindai."
Aku menunduk, menyembunyikan wajahku yang tersipu. Sementara Bagas ku lirik hanya tersenyum dan memasukkan semen dalam diam.
"Aku juga seneng kok kalau punya mantu kayak Bagas."
Aku dan Bagas sontak mengangkat wajah, dan menoleh. Kami mendelik kompak melihat mama kini malah jadi ikut-ikutan. Kalau yang lain oke, nggak diladeni. Lah ini kenapa Mama jadi ikut menggoda kami?
"Bukannya Bagas bakal jadi pangerannya Cindai?" goda Mama sambil menoleh dan memandang kami. Ibu-ibu lain langsung menggoda dan tertawa.
Aku dan dia segera menunduk mengalihkan wajah. Seakan di'skakmat' ucapan itu.
"Dulukan Bagas bilang mau jadi pangerannya Cindai, dan Cindai juga maunya nikah sama Bagas," cerita mama dengan nada menggoda yang kental sekali. Ibu-ibu lain langsung heboh. Huh! Dasar ibu-ibu.
Aku dan Bagas berpandangan, lalu saling melengos. Tatapan kami seakan saling berkata, 'dulu kita kayak gitu ya?'
"Itukan waktu kecil! Mama ih!" ucapku mengelak menoleh pada Mama dengan mulut manyun. "Jangan bongkar aib deh," gerutuku sambil mengangkat ember yang sudah berisi penuh semen. Namun aku agak keberatan. Dan agak terkejut. Bagas mengangkatkan ember itu dan menyodorkan padaku.
"CIEEEE."
Aku langsung salah tingkah. Segera ku ambil ember itu walau masih keberatan.
"Biar tambah heboh," bisik Bagas tersenyum kecil.
Aku hanya mencibir, walau pipiku sudah memerah. Ku bawa ember itu ke arah papa yang bersama bapak-bapak lain menyemen lapangan.
Dan kala istirahat, ibu-ibu heboh itu kembali menggodaku. Aku bersama remaja putri lain membantu menyiapkan makanan pada para lelaki yang kini duduk-duduk di pinggir lapangan.
"Nih, Ndai. Kasih gih ke Bagas," kata Tante Zahra menyodorkan segelas es teh ke arahku. Aku menerimanya.
"Cepetan, Ndai. Lagi capek tuh dia," goda Tante Okki mendorong pundakku pelan. "Kamu suka kan sama Bagas? Udah nggak usah ngelak, tante juga pernah muda kok."
"Tante ah," kataku manyun dan sebal.
"Ndai, kan sekarang jaman emansipasi wanita, kamu aja duluan yang nyatain!" kata Tante Irva berbisik heboh.
"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.
"Kamu tembak Bagas," kata Tante Okki dan Tante Irva kompak, membuatku tenganga.
"Bagas itukan ganteng, Ndai. Kalau nggak keburu, nanti diembat orang!" kata Tante Sivia ikutan. "Lagian juga, pacaran dari sekarang siapa tahu berlanjut sampai tua. Banyak loh yang pacaran dari SMP, jadi jodoh di pelaminan! Siapa tahu kamu gitu."
"Amin," ibu-ibu yang lain segera mengamini. Aku tersenyum menahan tawa.
"Udah, cepet sono," kata Tante Zahra mendorongku pelan hingga aku termaju.
Mama datang, dan menyodorkan segelas lagi ke arahku. "Nih, buat kamu. Jadi minumnya berdua sama Bagas."
"Mama," rengekku membuat mama tertawa. Tapi aku menerimanya saja.
"Orangtua kamu sama orangtuanya Bagas udah setuju banget loh. Cepet gih," kata Tante Irva menyemangati.
Aku diam sejenak. "Tapi... masa aku yang nyatain?" tanyaku polos.
"Ya nggak papa Cindai!" sahut Tante Sivia menggebu, "Bagaskan orangnya cool, nggak banyak omong. Pasti dia nggak mau ngebicarain hal kayak gini. Nah, makanya kamu duluan aja."
"Iya, Ndai!"
Aku terlonjak kaget, saat tiba-tiba sudah muncul Marsha dan Salma dari balik punggung Tante Okki yang berbadan agak 'besar'.
"Cepetan! Sekarang lagi tren kok cewek nembak," kini Marsha ikutan menyemangati.
"Tapi..."
"Itu keburu es batunya meleleh loh!" potong Tante Zahra gregetan menunjuk dua gelas es teh di tanganku.
Aku mendecak, lalu menoleh pada Mama yang juga berdiri mengitariku. "Ma...." panggilku memelas, meminta pertolongan.
Mama tertawa, "mama fine-fine aja kok. Kan Bagasnya juga suka sama kamu."
"CIEEEE."
Aku langsung mengembungkan pipi dan menutupi wajah merahku dengan mengangkat tangan mengacungkan dua gelas itu.
"Sono gih, sono."
Aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya. Dan akhirnya menurut saja. Ku balikkan badan, memandang Bagas yang duduk tenang di samping Gilang di pinggir lapangan. Setelah diam beberapa saat, kakiku mulai melangkah ke sana. Walau aku sempat menoleh ke belakang, ibu-ibu heboh itu, beserta mama, Marsha, dan Salma, kembali menyemangati. Aku menggigit bibir dan melanjutkan langkah mendekati Bagas.
Menyadari kedatanganku, Bagas dan Gilang menoleh. Gilang diam sejenak, tapi kemudian tersenyum menggoda dan berdiri, seakan mengerti. Ia pergi begitu saja. Meninggalkan Bagas yang masih duduk tenang dan aku yang kini berdiri dengan jarak setengah meter darinya. Dan entah perintah siapa, orang-orang di sekitar Bagas tiba-tiba menjauh begitu saja. Membuatku dan dia lansung jadi titik tengah antara lapangan dan dapur umum.
Sial.
Pipiku memerah lagi.
"Duduk gih, nggak capek berdiri mulu?" tegurnya membuatku tersentak.
Aku menurut, duduk di sampingnya dan menyodorkan gelas ke arahnya. Bagas menerima dan meneguknya sesaat.
"Eung..."
Aduh. Ngomong gimana?
"Apa?" Bagas menoleh dan mengangkat sebelah alis. Aku segera menunduk. Sial. Dia ganteng banget.
"Eung..." Aku bergumam lagi, dan melirik ke arah dapur umum. Ibu-ibu itu memandangiku sambil tersenyum-senyum.
"Kamu... eum... pernah suka sama orang nggak?" tanyaku setelah mendapat pertanyaan sambil berpikir. Kalau tidak salah ini pernah ku baca di salah satu novelku.
Bagas diam sejenak. Sepertinya agak kaget aku bertanya begitu. "Pernah," jawabnya santai.
"Em... oh..." aku manggut-manggut dan menunduk. Pernah. Kalau di novel sih, lanjutannya aku akan bertanya 'sama siapa?' dan dengan manisnya Bagas akan menjawab 'sama kamu...' Hihihi. Manisnya.
"Kenapa senyam senyum?"
Aku terkejut, dan segera mendongak. "Ah, nggak. Eung, hehehe," aku hanya bisa cengengesan, membuat Bagas mengernyit.
"Cindai! Semangat!"
Aku terkejut dan menoleh. Om Alvin baru saja dari dapur umum melewati kami sambil mengacungkan kepalan tinju memberi semangat. Aku mendelik sekilas. Ah. Pasti para ibu karlota sudah bergosip.
"Ehm. Gas," aku kembali ke topik semula, membuat Bagas menoleh. "Kamu..."
"Jangan nolak ya, Gas!"
Aku dan Bagas menoleh lagi. Kini beberapa meter di kanan kami, para bapak-bapak memandangi sambil tersenyum-senyum.
"So sweet ya kayak di film. Nyatain di tengah lapangan gitu!" celetuk Rafli membuatku melotot.
Sialaaaannn. Om Alvin kenapa jadi kayak ibu-ibu sih? Pasti deh udah disebarin! ARRRGHHH.
"Semangat, Ndai! Gutlak!" kata Om Jo dengan nada sundanya yang kental.
Aku langsung memajukan bibir sebal. Dan melotot ke arah mereka menyuruh diam. Ah. Kenapa harus di sini sih?
Bagas mengangkat alis, kemudian menoleh padaku dengan alis terangkat. "Ada yang mau kamu omongin ke aku?"
TELAK!
Aku langsung salah tingkah. Ku taruh gelas berisi es teh di samping kananku, dan ingin beranjak. "Nanti aja deh," kataku malu, benar-benar ingin kabur dari situasi ini.
Tapi dengan cepat tangan Bagas menahan lenganku dan membuatku terduduk lagi. "Sekarang aja," ucapnya sedikit mendesak.
"Nanti aja deh, Gas," ucapku menolak dengan pipi yang benar-benar merah padam. Apalagi kini Bagas menggenggam lenganku, membuat debaran di dada ini makin menggila.
"Sekarang aja," tegas Bagas melepaskan genggamannya. Ia ikut menaruh gelas es teh di samping kanannya, dan menggeser tubuh mendekat ke arahku. Membuat getaran dalam dadaku makin mengamuk tak karuan. Mata yang memandang kami juga ikut tersenyum-senyum.
"Ehm," Bagas berdehem. "Tadikan kamu bilang, aku pernah suka sama orang atau nggak? Oke, sekarang aku gantian tanya kamu. Kamu pernah suka sama orang?"
Aku menunduk dalam, dan mengangguk pelan. Jujur.
"Sampai sekarang?"
Aku mengangguk lagi.
Bagas diam sejenak. "Aku kenal cowok itu?"
Duh, bodoh. Itukan kamuuuuuu.
Aku hanya bisa mengangguk lagi. Karena entah kenapa bibirku seakan terkunci kaku.
"Dia... di sekolah kita?" Aku mengangguk lagi. "Anak basket?" Lagi-lagi aku hanya mengangguk. "Em... namanya Bagas bukan?"
Aku ingin menggangguk lagi. Tapi baru satu gerakkan ke atas ke bawah, aku tersentak. Kepalaku langsung terangkat dengan wajah terkejut. Bagas justru balas menatapku tenang, walau bibirnya sedikit tersenyum kecil.
Mulutku terbuka, mengucap 'a' tanpa suara. Tapi setelah itu aku tak bisa berkata lagi. Hanya salah tingkah walau ingin sekali membuka suara. Semua seakan tenggelam oleh debaran jantung yang seakan meledak tak karuan.
Garis wajah Bagas berubah perlahan. Agak melengkung ke bawah, seakan sendu merasa bersalah. Ada mimik menyesal di sana. Membuat debaran dalam dadaku malah menjadi tak nyaman. Eung... apa ini? Kalau dalam sinetron dan film, ekspresi ini menggambarkan hal tak baik. Sepertinya akan ada kalimat yang tak ku ingin terlontar. Seakan-akan dia akan berkata...
"Tapi aku suka sama orang lain."
Aku terkejut setengah mati. Garis wajahku langsung mengendor. Ku tatap Bagas dengan ekspresi tak percaya. Bisa-bisanya ia langsung berkata frontal seperti itu.
Tanpa bisa dicegah, tiba-tiba aku sudah merasakan mataku menghangat. Aku meneguk ludah, tapi segera berdiri dan berlari, membuat Bagas -dan orang-orang yang memerhatikan kami dari jauh- terkejut.
Samar-samar, ku dengar suara bapak-bapak mendatangi Bagas.
"Kamu tolak!?" marah Om Riko geram.
"Kejar sana!" perintah Om Rio, Papa Bagas sendiri.
"Ta.. tapi..." Bagas terdengar kebingungan.
"Bagas cepet! Kejar sana!" perintah Om Rio lagi, kini dengan nada mendesak tak sabar.
Dan setelah itu dapat ku dengar langkah lari Bagas mendekat. Aku makin mempercepat langkahku yang kini sudah tak berlari. Sambil berusaha mengusap air mata yang hampir saja menetes.
Tiba-tiba seperti angin, Bagas melesat dan sudah berdiri tepat di hadapanku, membuatku terkejut dan refleks menghentikan langkah.
Bagas menghela nafas panjang, "denger dulu."
Aku memanyunkan bibir, dan mengusap sekali lagi mataku yang hampir meneteskan air mata lagi.
"Kan tadi kamu tanya, aku suka sama siapa. Ya aku jawab aku suka sama orang lain. Aku harus jujur, kan?" katanya seperti tak merasa bersalah sama sekali. Sialan.
"Aku suka sama Annisa Chiby."
HA?!
Mataku sontak membelalak maksimal. Mulutku tenganga menatapnya yang malah tersenyum tertahan.
"Iya, Cindai. Aku suka sama Annisa Chiby," ulang Bagas memperlambatkan ucapannya.
"Loh? Kok... kok..." aku malah jadi kebingungan sendiri. Bagas justru tertawa.
"Tapi aku naksirnya sama kamu," katanya tersenyum, membuatku terdiam.
Setelah beberapa saat, aku bisa mengendalikan diri lagi. "Naksir sama suka kan sama!"
"Nggak," katanya tenang. "Sukakan boleh sama siapa aja. Aku suka basket, tapi aku nggak naksir basket. Aku suka biru, tapi aku nggak naksir biru," jelas Bagas membuatku tertegun. "Naksir itu, 'adiknya' dari jatuh cinta," kata Bagas membuat tanda kutip di udara di kata 'adiknya'.
"Aku... nggak ngerti..." kataku mengaku polos.
Bagas tertawa. "Makanya, nggak usah sok ngaku cinta deh. Masih SMP juga," ucapnya mencubit pipi chubbyku membuatku tersipu. "Aku tuh mau nembak kamu pas kita SMA nanti, waktu kita benar-benar tahu apa itu jatuh cinta. Ehhh kok kamunya yang mau ngomong duluan," kata Bagas membuatku tertegun. "Nanti aja ya Ndai. Kalau kita sudah SMA. Kan Papa juga janji mau beliin aku motor nanti. Masa' aku punya pacar tapi nggak bemodal? Kan cupu. Kalau pacaran nanti, aku mau ngantar jemput kamu tiap hari pakai motor aku sendiri."
"Serius kamu?" ceplosku begitu saja, meminta kesungguhan.
Bagas mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, "janji pramuka!" ucapnya tersenyum lebar.
Aku tertegun. Tapi kemudian tersipu. "Oke. Aku tunggu kamu sampai SMA," kataku sungguh-sungguh.
Bagas tertawa, lalu mengacak puncak rambutku.
"CIEEEE."
Kami sontak terkejut dan menoleh. Beberapa warga sudah mendekat dan berkumpul sekitar sepuluh meter dari tempatku dan Bagas berdiri.
"Jadi, pacaran ya?" goda Rafli yang ada di sana.
"Beneran nih? Bagas kayaknya nerima," kata Salma nyengir.
Aku dan Bagas berpandangan. Ada kerlingan jahil di mata Bagas, membuatku tersenyum mengerti. Aku menoleh ke arah mereka. "Iya! Sekarang kita mau pacaran dulu ya! Daaaahh!!!"
Bagas tertawa, lalu segera menarik tanganku berlari pergi. Samar, ku dengar suara Marsha.
"Nanti dulu. Mau pacaran? Jangan-jangan... mereka mojok?"
Aku tertawa dan menoleh ke belakang. Ku lihat wajah Mama dan Om Rio yang sedang bersampingan terkejut.
"Masih kecil mau mojok? Nanti mereka malah...." nada menakut-nakuti dari Gilang membuat mama melotot, tapi segera menoleh padaku.
"CINDAAIII!!! NGGAK BOLEH PACARAN DULU!!!" teriak Mama berlari, mengejarku dan Bagas.
"BAGASSSS!!! AWAS BERANI PEGANG-PEGANG CINDAI YA!!!" kini suara Om Rio terdengar, ikut mengejar kami.
Aku dan Bagas tertawa sambil terus berlari menghindar. Dengan tangan kami yang saling menggenggam satu sama lain.


xxxxxxx

Lalalalalalala~ Hahahaha. Tuh buat ARIEF a.k.a ANDRE a.k.a REYNALDI aku udah buat cerpen BaDai yeeee jgn nagih lagi lu!
Ini sebenarnya inspirasi pas ngeflashback waktu kecil. Jadi waktu itu tujuhbelasan gitu, mamanya temen aku jodoh-jodohin aku sama anaknya. Hahaha. Digoda-godain sama ibu2 lain padahal kita temen main doang. Ya walau sekarang udah pisah dan kayak org ga kenal sih, beda sama bagas sama cindai yang berakhir bahagia (?)
Percaya atau tidak, ibu-ibu heboh seperti itu ada di dunia nyata. Ya, teman-teman ibuku ataupun 'geng'nya mbahku. Apalagi klau lagi arisan, beuuuhhh.
Nanti sih maunya bikin sekuel. Waktu mereka SMA. Konfliknya lebih gimana gitu. Tapi kalau dipikir-pikir, justru khayalan ceritanya malah berkembang jadi cerbung -_- jadi saya nggak janji mau post sekuel atau nggak karena ya... cerbung yg kemaren aja belum lanjut2 dan lelet, apalagi nambah cerbung? beuuhhh.
Buat yang mau request couple juga, aku usahain deh. Kan itu juga buat tantantangan untuk aku sendiri.
Oh ye, sorry ye kalau yg ini kurang memuaskan atau apalah. Kritiknya monggo di mention aje. Hehehe. Like cukup follow @_ALders aja. oke?

bbye

@aleastri ^^

Kamis, 11 April 2013

Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 25b


Di perjalanan pulang, di dalam Honda Jazz putih itu hanya hening saja yang terdengar. Alvin agak mengernyit dan melirik. Karena biasanya, Shilla selalu berceloteh ria tentang segala macam. Tapi kali ini sangat berbeda. Gadis itu hanya diam menerawang jalan di sisi kiri jendela mobil. Kenapa gadis itu?
Shilla mendesah pelan. Mencoba menyabarkan diri. Walau sepertinya ia tak mampu. Gelang 'spesial' di tangan Sivia terbayang-bayang terus olehnya. Perlakuan manis Dayat pada Zahra. Ataupun juga, Ozy yang benar-benar menunjukkan bahwa ia sangat mencintai Acha. Kenapa sih, Alvin tak seperti itu?
Shilla juga baru menyadari. Alvin jarang mengungkapkan perasaannya. Malah, hanya satu kali. Ya saat mereka jadian dulu. Kejadian itu terulang kembali dalam ingatan Shilla. Membuat gadis itu justru tertegun sendiri. Kalau diingat-ingat... ia yang pertama kali mengungkapkan perasaan. Bukan Alvin....
Shilla merasakan dadanya agak tertohok. Pikiran negatif dalam otaknya langsung berwujud berbagai pertanyaan yang menyakitkan. Apa saat itu Alvin hanya merasa tak enak, karena itu mengaku membalas perasaannya? Atau karena agar Shilla berhenti menangis saat itu? Alvin menyatakan perasaan hanya karena ingin menenangkan Shilla? Apa ia tak sungguh-sungguh? Pemuda itu setega itukah?
"Kenapa sih?"
Shilla agak terkejut dan refleks menoleh. Alvin memandangnya, dan tersentak melihat mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Shilla mendesah pelan, tapi kemudian menggeleng dan kembali memandang ke luar jendela. Tak ingin menjawab.
Alvin mengernyit, dan kembali memandang jalanan di depan. Walau ia masih seringkali melirik ke arah Shilla. Pemuda itu heran setengah mati. Gadis ini kenapa? Apa ada masalah? Apa ada yang salah?
Tangan Alvin menggapai radio yang berada di dalam mobil agar memecahkan keheningan yang ada. Setelah mencari jaringan jernih, Alvin kembali fokus menyetir. Shilla tetap diam saja. Membuat Alvin makin merasa tak enak. Tapi mendadak, otaknya memutar kembali kejadian dua jam lalu. Saat ia dan yang lain keluar dari kafe Angel, dan Gabriel yang menyusul kemudian duduk di sampingnya.

"Elo apain adek gue?" tanya Gabriel begitu saja membuat Alvin terkejut dan menoleh.
"Ha?" tanya Alvin tak mengerti,
"Guekan udah bilang. Kejadian waktu dia nampar lo dulu itu cukup sekali aja. Kenapa lo nyakitin dia lagi sih?" tuduh Gabriel tersirat sekali nada marah dan tak terima.
Alvin mengernyit, walau mulai mengerti. "Gue nggak ngapa-ngapain dia," sahutnya polos.
"Ya itu menurut lo," kata Gabriel agak ketus. "Dia curhat ke gue, kalau selama ini lo tuh cuek banget. Apalagi itu tuh. Sejak dari bazar."
Alvin mengernyit lagi, dan mendekat ke arah Gabriel.
"Lo tahu? Gue beliin Sivia gelang spesial," aku Gabriel jujur.
Alvin mendelik, "lo percaya? Konyol amat sih."
Gabriel mendengus, "guekan cuma pengen ngasih tahu Sivia kalau gue tuh mau ngejaga dia kayak gelang yang KATA penjualnya bisa ngelindungin itu," balas Gabriel agak sewot. "Lo tahu nggak sih, Vin? Shilla tuh juga ngarep lo ngelakuin hal sama. Dia envy sama Sivia."
Alvin terdiam. Ia menghela nafas, kemudian mengalihkan wajah menerawang ke langit ibukota malam itu. "Kenapa sih cewek itu selalu nuntut cowok untuk bersikap romantis?" tanyanya dengan nada mengambang, seakan bertanya pada angin.
Gabriel terdiam sejenak, tapi kemudian ikut memandang ke arah langit. "Vin, namanya cewek, kalau punya pacar pasti mau dianggap istimewa. Mereka tuh mau perhatian lebih, perlakuan khusus, dan sikap yang spesial," kata Gabriel mulai memberi wejangan. "Shilla selama ini dikejar banyak cowok yang ngasih dia berbagai hal sampai buat dia luluh. Tapi pas sama lo? Lo malah nggak meduliin dia."
"Nggak peduli beda sama nggak perhatian," sahut Alvin singkat.
"Ya ya, gue tahu. Tapi lo cueknya jangan kebangetan lah. Lo nanya dia udah makan aja mungkin nggak pernah," sahut Gabriel agak ketus. Alvin hanya mendesah.
"Dia nggak pernah ngeluh bukan berarti dia kuat, Vin. Selama ini juga gue liat, lo jarang banget tuh nunjukin kalau elo itu sebenarnya taken sama dia. Kalian kayak temenan biasa, lebih-lebih, kadang malah kayak musuhan," kata Gabriel setengah mengomel.
Alvin diam sejenak, "Gue sayang banget sama dia, Yel. Cuma aja gue nggak tahu cara nunjukkinnya. Guekan bukan tipe cowok teenlit yang gampang banget nyatain perasaan dengan romantis. Lo tahu sendiri, kan? Gue... nggak pernah pacaran. Jadi gue nggak tahu memperlakukan cewek dengan baik itu gimana. Nggak kayak lo yang pengalaman."
Gabriel tersenyum kecil mendengar itu. Apalagi mendengar nada agak malu Alvin.
"Gue pikir, perasaan tuh nggak harus diungkapin pake' kata-kata romantis. Hanya diam berdua aja bisa saling ngerasain. Tapi ternyata nggak ya?" kata Alvin sambil mendesah.
Gabriel tersenyum, lalu menepuk pundak Alvin. "Memang bener, Vin. Cuma, perasaan itukan juga butuh perbuataan untuk dingertiin. Lo pikir Shilla paranormal yang bisa tahu perasaan lo tanpa harus nanya?"
Alvin terdiam. Ia hanya menghela nafas panjang. Walau perlahan mulai merasa tak enak pada kekasihnya itu.

Ya, Alvin mengerti sekarang. Mungkin sikap Shilla kali ini karena kesabaran gadis itu sudah habis tak bersisa. Ternyata gadis ini cukup aneh ya. Padahal biasanya bisa marah-marah mengamuk seperti nek lampir, tapi kalau masalah hati, ia hanya diam menutup diri tanpa suara apapun. Membuat Alvin justru makin merasa bersalah.
Alvin merogoh hape dari saku celananya. Ia menekan beberapa tombol sambil sesekali melirik ke arah depan jalan. Dan tak lama, pemuda itu menempelkan hape ke samping telina. Terdengar bunyi nada sambung beberapa saat.
"Halo?"
Shilla mengernyit, dan menoleh. Alisnya makin merapat melihat pemuda itu menelpon. Ck. Dasar cowok tak peka. Tak tahukah ia bahwa Shilla sedaritadi menunggu reaksi pemuda itu? Kenapa sih ia tak bertanya peduli? Apa jawaban gelengan tadi sudah membuatnya puas? Ah. Dasar. Kenapa sih laki-laki itu harus diberi kode dulu baru betindak? Itupun kalau peka. Ya kalau tidak? Makan hati saja para perempuan.
"Iya. Gue yang waktu itu. Udah disave nomornya, kan?" tanya Alvin sambil terus menyetir. "Barangnya bisa diambil sekarang nggak?.... Ah, sorry. Tapi gue butuh sekarang nih. Elo kan janji besok. Malam ini udah selesai belum?"
Shilla mengernyit. Agak penasaran. Apa sih yang dibicarakan pemuda ini? Ah tapi... bodo amatlah. Perasaannya sendiri saja pemuda ini tak peduli, untuk apa dia memedulikan urusan pemuda itu?
"Eung... ya, gue di daerah Kemang...... Oh, oke. Gue kesana sekarang," kata Alvin berbicara pada si penelpon. Ia lalu memutuskan sambungan dan menaruh hape di depan stirnya.
"Aku mau langsung pulang. Nggak usah mampir," ketus Shilla begitu saja, membuat Alvin menoleh sekilas tapi segera menatap jalanan depan lagi.
"Tapi aku mau ketemu orang bentar. Searah kok. Jadi sekalian aja," jawab Alvin santai sambil menyetir tenang. Walau dalam hati ia benar-benar tak sabar. Namun jalanan padat ibukota harus memaksanya untuk sabar.
Shilla mendecak, tapi hanya menghembuskan nafas keras.
Alvin melirik sedikit, kemudian mencoba menyabarkan diri. Suara radio masih mengalun mengiringi mereka. Sampai lagu dalam radio itu selesai. Lalu suara dari penyiar radio mulai terdengar bercuap-cuap. Ia membacakan deretan request yang baru saja datang. Kemudian juga menyebutkan nomor telpon bila ada yang mau memesan lagu juga. Dan tak lama, ada lagu baru yang diputar. Intro lagu tersebut Alvin kenal. Ia mengangkat alis, agak tersentak karena merasa pas sekali waktunya. Tangannya lalu terjulur, membesarkan volume raio.
Shilla melirik gerakkan pemuda itu, tapi diam saja. Telinganya agak menajam mendengarkan suara radio. Dan suara si vokalis mulai terdengar bernyanyi.

"Kau… diam… tanpa… kata…
kau seolah… jenuh… padaku…"

Shilla melebarkan mata. Sementara Alvin berdehem dengan sengaja, membuat Shilla memutar mata ke arahnya, tapi tak berkata.

"Ku… ingin… kau bicara…
katakan saja apa… salahku…"

"Nancep banget ya liriknya," gumam Alvin menyindir. Yang dapat didengar Shilla.
Shilla mengalihkan wajah ke arah jendela mobil. Tiba-tiba ia merasa salah tingkah sendiri.

"Sungguh aku, tak mengerti
apa yang telah terjadi
dan ku tak ingin, engaku
pergi jauh, dari hidupku…"

Alvin melirik ke arah gadis itu. Namun Shilla masih diam tak mau membuka mulut. Alvin menghela nafas.

"Kau takkan pernah sadari
betapa ku mencintaimu,
kau yang selalu, aku banggakan..."

Alvin mulai menepikan mobilnya dan masuk ke dalam parkiran sebuah restoran di pinggir jalan. Shilla agak mengernyit. Pemuda itu lalu berhenti dan mematikan mesin. Ia melepaskan safetybelt-nya dan menoleh pada Shilla.
"Ikut masuk nggak?" tanya Alvin menawarkan. Shilla diam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Ya udah. Bentar ya," pamit Alvin mengambil hapenya kemudian keluar dari dalam mobil dan segera berlari ke arah restoran itu.
Shilla mendesah, lalu menatap radio.

"Kau takkan pernah sadari
betapa ku mencintaimu,
kau yang selalu, aku banggakan...
Kau takkan pernah mengerti
betapa ku menyayangimu
kau yang selalu, aku inginkan…"

Shilla menggigiti bibir bawah. Ia kemudian membuang pandangan ke arah restoran. Di depannya, Alvin bertemu dengan seorang gadis yang sepertinya sebaya dengan Shilla. Shilla mengernyit, seperti pernah bertemu perempuan itu. Alvin dan gadis itu berbicara sejenak. Lalu gadis itu menyodorkan sebuah kotak ke arah Alvin. Alvin menerimanya. Kemudian gadis itu mengangguk pamit dan masuk kembali ke dalam restoran. Tapi bukannya kembali, Alvin justru terdiam sendiri di depan pintu restoran itu. Shilla jadi menyondongkan tubuh ingin melihat jelas ekspresi kekasihnya tersebut. Alvin nampak ragu dan menimang. Ia memandangi layar hape. Tapi kemudian seperti mengetikkan sesuatu beberapa lama. Shilla sampai mendecak bosan.
Dan tak lama, Alvin berbalik. Membuat Shilla agak terkejut dan menyandarkan punggung pada kursi mobil. Belaga tak peduli sambil kembali mendengar lagu di radio. Alvin datang, lalu masuk ke dalam mobil. Ditaruhnya kotak tadi ke dasbor mobil.
"Siapa?" tanya Shilla tak bisa menahan diri.
Alvin menoleh, lalu tersenyum tenang sambil menyalakan mesin. "Lupa? Baru beberapa hari lalu ketemu."
Shilla mendelik, "nggak kenal tuh," jawabnya singkat.
"Emang nggak kenal," kata Alvin kemudian mulai menggerakkan mobil keluar dari parkiran. "Clue-nya tali yang ada di tangan kamu itu."
Shilla mengernyit, dan refleks mengangkat tangan. Melihat gelang tali berwarna merah melingkar di sana. Ia diam sejenak. Tapi lalu wajahnya merekah dan tersentak. Mengingat sosok seorang siswi yang menjualkan gelang itu untuknya. Gadis yang tadi di depan restoran....
"Kamu beli apa?" tanya Shilla langsung menyerbu.
Alvin tersenyum santai sambil menginjak gas perlahan, menyamai kepadatan kendaraan di jalan besar itu. "Yang jelas bukan gelang jimat itu."
Shilla mendelik.
"Gelang spesial," sambung Alvin membuat Shilla agak tersentak. "Aku nggak percaya yang kayak gitu."
Shilla terdiam. Ia mengalihkan wajah, namun tak menyahut.
"Kalau mau ngelindungin seseorang itu ya harus dengan kekuatan sendiri, bukan pake' jimat," kata Alvin sambil terus menyetir, tanpa sedikitpun menoleh pada Shilla.
Shilla meneguk ludah, dan agak menunduk merasa malu pada diri sendiri. Kenapa sih ia begitu konyol mengharapkan gelang itu? Argh.
Dan kemudian hanya radio yang terdengar dalam Honda Jazz putih tersebut. Hening antar keduanya membuat suara radio makin jelas. Lagu selesai. Si penyiar mulai kembali becuap.
"Oke buat pendengar semua, selamat bergabung buat yang baru aja gabung dan selamat malam ya. Sekarang kita kembali bacain request lagu."
Alvin tanpa sadar agak menegakkan tubuh dan mendadak menjadi tegang. Diam-diam ia menunggu. Penyiar mulai membacakan sms-sms yang masuk satu persatu. Shilla hanya diam mendengar tanpa minat. Berbeda dengan Alvin yang mulai menyiapkan diri.
"Oke next. Sms selanjutnya dari... 08575223 blablabla."
Shilla dan Alvin tersentak. Alvin makin merasakan jantungnya bergetar makin tak karuan. Sementara Shilla mengerutkan kening. Kok... nomornya dia kenal ya?
"Gue mau req lagunya Tangga yang Terbaik untukmu. Buat cewek gue aja yang daritadi diem mulu dan kayaknya udah marah maksimal sama gue. Sorry kalau selama ini gue cuek dan nggak bisa jadi cowok yang dia harepin."
Shilla melebarkan mata, dan tertegun. Sementara Alvin berusaha sekuat tenaga tetap stay cool menyetir walau sebenarnya ia tak seperti itu sekarang.
"Ini singkat banget ya. Bagus nih sms kayak gini, jadi nggak capek bacanya. Hahaha," kata penyiar radio ceria, yang sangat tak tahu bagaimana ketegangan yang mendadak ada dalam Honda Jazz putih Alvin. "Itu tadi dari Alvin, untuk Shilla pacarnya."
Shilla sontak menganga lebar dan membelalak kaget. Alvin merutuk kecil. Tapi entah mengapa ia malah menjadi lega karena akhirnya nama itu disebutkan.
Shilla masih membeku, dan kemudian menoleh ke arah Alvin. Alvin meliriknya sedikit, tapi belaga fokus menyetir karena jalanan sedang padat. Seakan tak ada apapun yang terjadi.
"Buat Shilla, gue nasihatin deh. Kalau elo selalu ngarep pasangan lo jadi apa yang lo mau, selamanya lo nggak akan ngerasain perasaan yang dia kasih ke elo. Karena terkadang ya, cowok cuek justru lebih peduli daripada cowok biasa."
Shilla menggigit bibir kuat. Perlahan ia dapat merasakan wajahnya seperti terbakar. Panas.
"Dan untuk Alvin, gue yakin deh. Kalau elo beneran tulus sayang, pasti dia juga bakal tahu perasaan lo sebenarnya. Ganbatte boy! Pokoknya longlast ya buat kalian. Jangan berantem lagi. Semoga lagu ini bisa buat kalian baikan deh. Spesial, gue kasih jadi urutan pertama."
Alvin tanpa sadar tersenyum mendengar itu. Sementara Shilla menunduk, menyembunyikan wajah memerahnya.
"Dengerin tuh," kata Alvin menyindir.
"Ck, bawel lo," sahut Shilla ketus dan malu. Alvin justru tersenyum senang.
Dan tak lama, intro lagu Terbaik Untukmu dari Tangga mulai terdengar. Shilla mendengarkannya dengan perasaan yang melambung tinggi. Ternyata... romantis itu sederhana ya? Tak perlu sikap dan kata-kata mesra. Hanya perlakuan manis seperti ini saja sudah cukup romantis. Pemuda ini jarang menunjukkan ekspresi cintanya. Namun sekali melakukan, ia menunjukkannya pada khalayak umum. Oke, mungkin tak langsung karena lewat radio. Tapi... bukankah itu manis sekali? Satu tindakan kecil dari seorang lelaki, memang bisa membuat seorang perempuan tersanjung tinggi. Seperti kedua insan itu.

"Maafkanlah bilaku selalu,
membuatmu marah dan benci padaku,
kulakukan itu semua…
hanya untuk buatmu bahagia…

Mungkin ku cuma tak bisa pahami
bagaimana cara tunjukkan maksudku,
aku cuma ingin jadi…
terbaik untukmu…

Alvin menginjak rem. Dan memarkirkan mobil tepat di depan gerbang rumah Shilla. Ia mengecilkan radio, kemudian keluar dari mobil. Shilla sontak tersenyum senang karena sedaritadi menahan. Tapi ia tersentak kala pintu di sampingnya terbuka. Shilla melebarkan mata, melihat Alvin tersenyum dan mengulurkan tangan. Gadis itu tertegun sejenak, tapi dengan pipi memanas meraih jemari Alvin. Alvin menariknya lembut keluar dari mobil. Tangannya yang satu lagi menggenggam sebuah kotak yang beberapa saat lalu diterimanya tadi. Ia menuntun Shilla sampai ke depan gerbang rumah gadis itu. Shilla kemudian berhenti, dan berbalik menatap Alvin.
Alvin melepaskan genggamannya, dan merasa agak kikuk.
"Eung... tadi... makasih lagunya," kata Shilla tersipu dan tersenyum kecil.
Alvin mengangguk saja.
"Em... dan..." Shilla menunduk kikuk, "maaf..."
Alvin tersenyum, "aku ngerti kok. Memang selama ini nggak bisa jadi yang terbaik buat-"
"Vin," sela Shilla segera sambil mendongak. Pipinya kembali besemu malu, "aku... yang salah. Nggak harusnya nuntut kamu segala macam," akunya menyesal dan merasa bersalah. "Harusnya... kita jangan selalu hanya menuntut seseorang bersikap baik untuk kita. Tapi juga cermin diri apa kita sudah jadi baik untuk orang lain atau nggak. Dan... selama ini aku cuma bisa nuntut kamu aja."
Alvin tersenyum lagi, "siapa bilang? Selama ini kamu nggak pernah nuntut tuh. Tapi cuma diam aja. Kalau aku ada salah, harusnya kamu ngomong. Akukan bukan peramal yang bisa tahu apa perasaan kamu tanpa harus nanya," ucap Alvin mengutip kalimat dari Gabriel. Ia kemudian mengacungkan kotak cokelat yang tadi diterimanya di restoran, dan lalu menyodorkan pada Shilla. "Waktu bazar, aku pesan ini."
Shilla mengernyit, tapi lalu menerimanya. Dibukanya kotak itu dengan hati berdebar. Mata gadis itu melebar perlahan, dan tertegun. Ada sebuah pin lukis cantik yang agak besar di sana. Terlukis, sepasang nenek dan kakek duduk di sebuah kursi goyang sambil berangkulan mesra. Si nenek tersenyum, menyipitkan mata sambil bersandar di bahu si kakek. Sementara si kakek merangul nenek sambil tersenyum di balik kacamata beningnya.
"Kita nenek dan kakeknya smanra, kan?" canda Alvin membuat Shilla mendongak. Alvin tersenyum, "semoga bukan cuma di smanra kita jadi pasangan nenek-kakek. Tapi juga di masa depan nanti."
Shilla tertegun lagi. Hatinya tersanjung tinggi membuat pipinya makin merona.
"Ini," Alvin menunjuk pin lukis itu. "Adalah gambaran masa depan aku sama kamu. Kita akan ngabisin masa tua sama-sama. Jadi nenek dan kakek untuk cucu-cucu kita kelak."
Shilla tersenyum tersipu dengan hati meleleh. Dipandanginya pin itu beberapa saat, kemudian mendongak. "Ternyata si preman cuek ini bisa ngomong romantis juga ya?" tanyanya terkekeh. Walau terselip nada bahagia di pertanyaan iseng itu.
Alvin tertawa renyah, "seorang jenius aja bisa jadi bodoh di depan orang yang dia sukai. Lalu kenapa aku nggak?"
Shilla tersenyum kecil mendengar itu. Ditatapnya Alvin dengan malu-malu. Alvin diam sejenak. Tapi kemudian memajukan wajahnya ke hadapan gadis cantik itu.
"Hayo mau ngapain?!"
Shilla dan Alvin terlonjak setengah mati. Shilla yang baru saja ingin memejamkan mata sontak melotot dan menoleh. Alvin juga segera menegakkan tubuh dan melebarkan mata melihat sosok Shanin sudah ada di belakang Shilla, membuka gerbang rumah sedikit sambil tersenyum menggoda.
"Yah, momennya nggak pas. Kenapa juga waktu aku keluar, hhhh," kata Shanin tanpa dosa dengan wajah polos. "Tapi aku sama mama lagi mau keluar, jadi mbak sama koko misi dulu ya," ucap Shanin membuka gerbang lebih lebar, memperlihatkan avanza putih yang baru saja dinyalakan oleh sang mama yang sudah ada di dalam mobil. Kekey ada di sampingnya. Ia tersenyum lebar dan melambai pada Alvin dari dalam mobil. Alvin balas tersenyum.
"Oh, ya udah. Aku balik aja deh. Mobilnya kehalang," kata Alvin menunjuk Jazz putihnya yang terparkir tepat di depan gerbang rumah Shilla. Alvin menoleh pada Mama Shilla, lalu mengangguk kecil sekali. "Pulang dulu ya tante," pamitnya sopan.
Mama Shilla tersenyum dan mengangguk. Alvin melambai pada Kekey yang masih melambai-lambai senang ke arahnya.
"Pulang ya Shan," pamit Alvin menepuk kepala Shanin pelan. Shanin tertawa dan mengangguk. Alvin menoleh pada Shilla. Ia diam sejenak sambil melirik ke arah Avanza putih itu. Tapi kemudian pemuda itu mendesah dan menarik kepala Shilla mendekat dan mengecup keningnya singkat. "Pulang ya," pamitnya mengusap puncak kepala Shilla sesaat, lalu berbalik menuju Honda Jazz putihnya yang menunggu.
Shilla membeku. Terdiam tak menjawab. Gerakkan kecil Alvin itu sontak membuatnya seperti ada dalam lemari es. Membeku. Tapi juga seperti terbakar matahari panas. Meleleh. Oke, ini aneh. Bagaimana bisa ia merasakan membeku dan meleleh di saat yang hampir bersamaan?
"Ecie," goda Shanin mencolek lengan kakak tunggalnya itu. Sementara sang mama tersenyum kecil dari dalam mobil.
Alvin melambai sesaat dari dalam Jazz putihnya, dan lalu mulai menginjak gas pergi. Meninggalkan Shilla yang masih diam di tempat. Yang masih merasakan sensasi membeku-meleleh yang disebabkan oleh Alvin tadi.

xxxxx

*guling-gulingditanah* KYAAAA SAYA MAU JADI SHILLA KYAAAAAAA
Ini sebenarnya ada yang aku cut loh. Hahaha. Panjang banget sih ._.
Tanggal 13 insyaAllah aku on. Dan ngasih sesuatu di anniv kedua Alders. Ayo on bareng nyok. Adminnya juga loh, nanti aku kasih tau deh di dm bakal ada apa. Khususnya ya buat para readers PMB.
Part depan? Sebenarnya part tentang O.... ah, sebut nggak ya~ haha. Tapi aku 'tukar' sama part dari couple selingan di PMB. Why? Karena aku mau nuntaskan dulu konflik couple selingan itu, baru deh fokus ke cerita intinya. Kan bentar lagi mau end :p
Oh ya. Aku juga mau ucapain thank you so much buat yang masukin PMB jadi top cerbung IC. Yaelah. BCCB aja belum sepuluh besar lah udah ada PMB --" Tapi kalian harus vote ya. Itu cuma bisa vote sekali untuk sekali online, jadi harus vote PMB jgn yang lain :p biar PMBnya naik tingkat wkwkwk. Oh ya lagi. Kalian mention aku ya gimana komentar kalian tentan keseluruhan cerita PMB. Lagi butuh nih hehehe

bbye!
@aleastri ^^