Tittle: Kalau Sudah Dewasa Nanti
Main Cast: Cindai, Bagas
Author: Aleastri
"Ini namanya barbie," kata anak perempuan berusia lima tahun itu
mengacungkan boneka cantik yang baru saja mamanya belikan untuknya. Dipamerkan
pada seorang anak laki-laki yang kini baru saja masuk ke ruang bermain anak
itu.
"Aku mau kayak barbie, cantik," kata anak perempuan itu senang.
Anak laki-laki tersebut memandangi boneka itu, lalu memandangi sahabatnya
lagi. "Cantikkan kamu. Ini menor," katanya menunjuk bibir merah
boneka itu.
Anak perempuan bepipi bulat itu tertawa. "Kan kalau sudah gede, emang
pake' lipstik gini. Oh ya. Barbie punya pangeran loh! Kayak dongeng yang biasa
mama ceritain."
Anak laki-laki itu diam sejenak. "Siapa pangerannya?"
Anak perempuan tersebut menggeleng. "Nggak tahu namanya,"
jawabnya polos.
"Hm. Ya udah. Aku aja. Jadi, kamu barbienya, aku pangerannya."
"Beneran?" tanya anak perempuan itu senang, "kita nanti
bakal nikah dong!"
"Cindai?"
Obrolan dua anak itu terhenti, kala nama si anak perempuan dipanggil.
Mereka menoleh, mendapati orangtua si gadis kecil itu sudah datang.
"Kok Bagas diajak mainan barbie sih? Kamu ini," kata Mama Cindai
mengelus rambut Cindai dan tertawa kecil. "Yuk keluar. Waktunya
makan."
"Em... Tante Shilla," panggil Bagas membuat wanita muda itu
menoleh padanya. "Aku bolehkan jadi pangerannya Cindai? Kayak Barbie punya
pangeran," ucapnya polos, membuat tawa geli Shilla sontak pecah.
"Iya Ma! Nanti Cindai nikahnya sama Bagas aja ya," pinta Cindai
senang.
Shilla tertawa lagi, lalu mengelus lembut kepala dua anak itu. "Iya
iya. Kalau udah gede nanti ya. Masih kecil nggak usah ngomong gitu. Masih
lama," kata Shilla geli. Cindai dan Bagas bertatapan, tapi kemudian
tertawa bersama.
***
DELAPAN TAHUN KEMUDIAN
***
CINDAI'S POV
Hai. Aku Cindai. Umurku 13 tahun di tahun ini. Aku baru aja naik ke kelas
dua SMP. Menurutku, ini hal yang paling ditunggu. Karena berdasarkan apa yang
ku lihat di twitter ataupun facebook, kakak kelas yang sudah SMA mengatakan
bahwa pengalaman yang paling berkesan saat SMP itu adalah kelas dua SMP. Di
mana kita berada di antara batas junior dan senior. Bisa memerintah, tapi juga
diperintah. Bisa menantang, tapi juga tertunduk takut. Aku tak memilih jadi
yang manapun. Jadi murid SMP yang biasa saja sudah cukup.
Tapi mungkin, menurutku bukan itu yang membuat kelas dua SMP berkesan.
Usia 13 tahun. Seakan puncak pubertas seseorang. Seorang remaja muda yang
akan beranjak menjadi 'remaja' seutuhnya. Di mana banyak hal baru yang
dipelajari. Banyak hal baru yang dikenal. Dan banyak hal baru yang...
dirasakan.
Sejak SMP aku sudah mulai senang membaca novel. Aku sudah mulai rajin
mendengar lagu cinta. Dan semuanya membuatku mengetahui. Apa itu yang namanya
'jatuh cinta'.
Aku pernah menyukai beberapa laki-laki. Tapi kini ku sadari itu hanya kagum
semata. Karena saat ini, yang kurasa lebih dari itu.
Aku berdebar.
Pipiku sering merona tak jelas.
Dan entah kenapa aku tak berani menatap sepasang matanya.
Menurut kisah novel, itu tanda jatuh cinta.
Dan dalam novel yang pernah ku baca juga, jatuh cinta selalu unik. Berlari
ke arah tempat yang sama, bertabrakan dan hampir terjatuh, saling tatap tak
sengaja, atau yang lain. Tapi aku tidak. Caraku jatuh cinta benar-benar
'biasa'.
Di hari itu. Sekitar seminggu yang lalu. Aku melihatnya bermain basket di
lapangan. Karena sudah kelas dua, ia terpilih menjadi kapten. Dan entah kenapa
saat ia melompat memasukkan bola dalam ring, saat itu.... aku jatuh cinta
padanya.
Ya, sesimpel itu. Sesederhana itu. Itu caraku jatuh cinta. Aneh ya? Padahal
dari lahir sampai sekarang aku selalu memandangnya. Tiap hari kami bertemu.
Kemanapun pergi dia selalu menemani. Dan kini, hanya karena melihat ia bermain
basket, pemuda itu terlihat berbeda. Entah mengapa, mendadak aku menyadari
bahwa wajahnya itu tampan. Gayanya cool dan karismatik. Tak banyak bicara namun
juga terkadang jahil. Karakter unik yang misterius.
Ya, aku telah jatuh cinta padanya. Sahabatku sendiri sejak kecil, Bagas...
***
Minggu ini kerja bakti di lingkungan rumahku. Semua warga berkumpul di
sekitar jalan dan lapangan. Aku dan dia berada di lapangan. Yang kini akan
diberi semen karena sebelumnya hanya tanah saja. Para ibu-ibu teman-teman
mamaku juga ada di sana. Memasak di dapur umum samping lapangan.
Ada satu hal yang sering ku benci kalau berkumpul seperti ini. Sering
membuatku sebal dan malu. Ya... tapi kini justru membuat pipiku merona dan
tersipu.
"Aduh Bagas, sebentar aja jauh dari Cindai nggak bisa?" goda
Tante Zahra, yang sedang memasak di dapur umum.
"Kalian ini emang sejoli tak terpisahkan ya. Kalau Cindai ke sini,
selalu ada Bagas. Kalau Bagas di sini, selalu ada Cindai. Kayak sepasang
sepatu," goda Tante Irva, makin memojokkanku.
"Udah, pacaran aja. Kan sudah gede juga," goda yang lain lagi.
"Tapi apa mereka nggak terlalu muda? Masih kelas dua SMP," sahut
Om Riko yang sedang membawa gerobak berisi semen, melintasi dapur umum dan
masih sempat-sempatnya nimbrung.
"Ah. Dulu juga Shilla waktu pertama kali pacaran pas SMP,"
sekarang Oma jadi ikut-ikutan juga. Mama malah tersenyum saja memotong-motong
kentang di pojok dapur.
"Biar jadinya Badai ya. Bagas Cindai," goda Tante Sivia membuatku
makin bersemu.
"Duuuhhh ibu-ibu karlota deh! Cindai sama Bagas cuma sahabatan!"
kataku tak tahan dengan pipi memanas dan mulut manyun. Ku lirik Bagas. Ia malah
tertawa santai sambil membantu Om Riko.
"Tapi Cindai suka Bagas, kan?" goda Tante Okki membuatku langsung
diam. Tatapan menggodanya sontak membuat pipiku makin merah.
"Ya siapa yang nggak suka sama Bagas? Ganteng, pinter, sopan, ramah lagi!
Kalau aja Oca nggak kelas dua SD, aku jodohin deh!" kata Tante Irva
membuat tawa ibu-ibu di sana terdengar.
Aku menoleh pada Bagas. Ia hanya tersenyum sekilas, tapi lalu kembali
membantu mengaduk semen dengan cangkul. Bagas selalu begitu. Tak pernah
merespon lebih ucapan ataupun godaan mereka. Membuatku malah jadi penasaran.
"Duh, Shil. Cepetan Bagas jadiin mantu deh! Nanti keburu diembat yang
lain!" kata Oma dengan wajah serius dan sungguh-sungguh. Membuat mereka
tertawa lagi.
Aku tak bisa menahan diri. Akhirnya hanya senyum geli saja yang ku berikan,
tapi kemudian segera mendekat ke arah Bagas sambil membawa ember untuk mengisi
semen. Ku taruh ember itu di dekat kakinya, dan ia mengisi semen dengan cangul
di tangannya.
"Mereka cocok banget ya," kata suara ibu-ibu dari dapur umum itu
dengan heboh. "Rio sama Ify bakal beruntung kalau punya mantu secantik
Cindai."
Aku menunduk, menyembunyikan wajahku yang tersipu. Sementara Bagas ku lirik
hanya tersenyum dan memasukkan semen dalam diam.
"Aku juga seneng kok kalau punya mantu kayak Bagas."
Aku dan Bagas sontak mengangkat wajah, dan menoleh. Kami mendelik kompak
melihat mama kini malah jadi ikut-ikutan. Kalau yang lain oke, nggak diladeni.
Lah ini kenapa Mama jadi ikut menggoda kami?
"Bukannya Bagas bakal jadi pangerannya Cindai?" goda Mama sambil
menoleh dan memandang kami. Ibu-ibu lain langsung menggoda dan tertawa.
Aku dan dia segera menunduk mengalihkan wajah. Seakan di'skakmat' ucapan
itu.
"Dulukan Bagas bilang mau jadi pangerannya Cindai, dan Cindai juga
maunya nikah sama Bagas," cerita mama dengan nada menggoda yang kental
sekali. Ibu-ibu lain langsung heboh. Huh! Dasar ibu-ibu.
Aku dan Bagas berpandangan, lalu saling melengos. Tatapan kami seakan
saling berkata, 'dulu kita kayak gitu ya?'
"Itukan waktu kecil! Mama ih!" ucapku mengelak menoleh pada Mama
dengan mulut manyun. "Jangan bongkar aib deh," gerutuku sambil
mengangkat ember yang sudah berisi penuh semen. Namun aku agak keberatan. Dan
agak terkejut. Bagas mengangkatkan ember itu dan menyodorkan padaku.
"CIEEEE."
Aku langsung salah tingkah. Segera ku ambil ember itu walau masih
keberatan.
"Biar tambah heboh," bisik Bagas tersenyum kecil.
Aku hanya mencibir, walau pipiku sudah memerah. Ku bawa ember itu ke arah
papa yang bersama bapak-bapak lain menyemen lapangan.
Dan kala istirahat, ibu-ibu heboh itu kembali menggodaku. Aku bersama
remaja putri lain membantu menyiapkan makanan pada para lelaki yang kini
duduk-duduk di pinggir lapangan.
"Nih, Ndai. Kasih gih ke Bagas," kata Tante Zahra menyodorkan
segelas es teh ke arahku. Aku menerimanya.
"Cepetan, Ndai. Lagi capek tuh dia," goda Tante Okki mendorong
pundakku pelan. "Kamu suka kan sama Bagas? Udah nggak usah ngelak, tante
juga pernah muda kok."
"Tante ah," kataku manyun dan sebal.
"Ndai, kan sekarang jaman emansipasi wanita, kamu aja duluan yang
nyatain!" kata Tante Irva berbisik heboh.
"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.
"Kamu tembak Bagas," kata Tante Okki dan Tante Irva kompak,
membuatku tenganga.
"Bagas itukan ganteng, Ndai. Kalau nggak keburu, nanti diembat
orang!" kata Tante Sivia ikutan. "Lagian juga, pacaran dari sekarang
siapa tahu berlanjut sampai tua. Banyak loh yang pacaran dari SMP, jadi jodoh
di pelaminan! Siapa tahu kamu gitu."
"Amin," ibu-ibu yang lain segera mengamini. Aku tersenyum menahan
tawa.
"Udah, cepet sono," kata Tante Zahra mendorongku pelan hingga aku
termaju.
Mama datang, dan menyodorkan segelas lagi ke arahku. "Nih, buat kamu.
Jadi minumnya berdua sama Bagas."
"Mama," rengekku membuat mama tertawa. Tapi aku menerimanya saja.
"Orangtua kamu sama orangtuanya Bagas udah setuju banget loh. Cepet
gih," kata Tante Irva menyemangati.
Aku diam sejenak. "Tapi... masa aku yang nyatain?" tanyaku polos.
"Ya nggak papa Cindai!" sahut Tante Sivia menggebu,
"Bagaskan orangnya cool, nggak banyak omong. Pasti dia nggak mau
ngebicarain hal kayak gini. Nah, makanya kamu duluan aja."
"Iya, Ndai!"
Aku terlonjak kaget, saat tiba-tiba sudah muncul Marsha dan Salma dari
balik punggung Tante Okki yang berbadan agak 'besar'.
"Cepetan! Sekarang lagi tren kok cewek nembak," kini Marsha
ikutan menyemangati.
"Tapi..."
"Itu keburu es batunya meleleh loh!" potong Tante Zahra gregetan
menunjuk dua gelas es teh di tanganku.
Aku mendecak, lalu menoleh pada Mama yang juga berdiri mengitariku.
"Ma...." panggilku memelas, meminta pertolongan.
Mama tertawa, "mama fine-fine aja kok. Kan Bagasnya juga suka sama
kamu."
"CIEEEE."
Aku langsung mengembungkan pipi dan menutupi wajah merahku dengan
mengangkat tangan mengacungkan dua gelas itu.
"Sono gih, sono."
Aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya. Dan akhirnya menurut saja.
Ku balikkan badan, memandang Bagas yang duduk tenang di samping Gilang di
pinggir lapangan. Setelah diam beberapa saat, kakiku mulai melangkah ke sana.
Walau aku sempat menoleh ke belakang, ibu-ibu heboh itu, beserta mama, Marsha,
dan Salma, kembali menyemangati. Aku menggigit bibir dan melanjutkan langkah
mendekati Bagas.
Menyadari kedatanganku, Bagas dan Gilang menoleh. Gilang diam sejenak, tapi
kemudian tersenyum menggoda dan berdiri, seakan mengerti. Ia pergi begitu saja.
Meninggalkan Bagas yang masih duduk tenang dan aku yang kini berdiri dengan
jarak setengah meter darinya. Dan entah perintah siapa, orang-orang di sekitar
Bagas tiba-tiba menjauh begitu saja. Membuatku dan dia lansung jadi titik
tengah antara lapangan dan dapur umum.
Sial.
Pipiku memerah lagi.
"Duduk gih, nggak capek berdiri mulu?" tegurnya membuatku
tersentak.
Aku menurut, duduk di sampingnya dan menyodorkan gelas ke arahnya. Bagas
menerima dan meneguknya sesaat.
"Eung..."
Aduh. Ngomong gimana?
"Apa?" Bagas menoleh dan mengangkat sebelah alis. Aku segera
menunduk. Sial. Dia ganteng banget.
"Eung..." Aku bergumam lagi, dan melirik ke arah dapur umum.
Ibu-ibu itu memandangiku sambil tersenyum-senyum.
"Kamu... eum... pernah suka sama orang nggak?" tanyaku setelah
mendapat pertanyaan sambil berpikir. Kalau tidak salah ini pernah ku baca di
salah satu novelku.
Bagas diam sejenak. Sepertinya agak kaget aku bertanya begitu. "Pernah,"
jawabnya santai.
"Em... oh..." aku manggut-manggut dan menunduk. Pernah. Kalau di
novel sih, lanjutannya aku akan bertanya 'sama siapa?' dan dengan manisnya
Bagas akan menjawab 'sama kamu...' Hihihi. Manisnya.
"Kenapa senyam senyum?"
Aku terkejut, dan segera mendongak. "Ah, nggak. Eung, hehehe,"
aku hanya bisa cengengesan, membuat Bagas mengernyit.
"Cindai! Semangat!"
Aku terkejut dan menoleh. Om Alvin baru saja dari dapur umum melewati kami
sambil mengacungkan kepalan tinju memberi semangat. Aku mendelik sekilas. Ah.
Pasti para ibu karlota sudah bergosip.
"Ehm. Gas," aku kembali ke topik semula, membuat Bagas menoleh.
"Kamu..."
"Jangan nolak ya, Gas!"
Aku dan Bagas menoleh lagi. Kini beberapa meter di kanan kami, para
bapak-bapak memandangi sambil tersenyum-senyum.
"So sweet ya kayak di film. Nyatain di tengah lapangan gitu!"
celetuk Rafli membuatku melotot.
Sialaaaannn. Om Alvin kenapa jadi kayak ibu-ibu sih? Pasti deh udah
disebarin! ARRRGHHH.
"Semangat, Ndai! Gutlak!" kata Om Jo dengan nada sundanya yang
kental.
Aku langsung memajukan bibir sebal. Dan melotot ke arah mereka menyuruh
diam. Ah. Kenapa harus di sini sih?
Bagas mengangkat alis, kemudian menoleh padaku dengan alis terangkat.
"Ada yang mau kamu omongin ke aku?"
TELAK!
Aku langsung salah tingkah. Ku taruh gelas berisi es teh di samping
kananku, dan ingin beranjak. "Nanti aja deh," kataku malu,
benar-benar ingin kabur dari situasi ini.
Tapi dengan cepat tangan Bagas menahan lenganku dan membuatku terduduk
lagi. "Sekarang aja," ucapnya sedikit mendesak.
"Nanti aja deh, Gas," ucapku menolak dengan pipi yang benar-benar
merah padam. Apalagi kini Bagas menggenggam lenganku, membuat debaran di dada ini
makin menggila.
"Sekarang aja," tegas Bagas melepaskan genggamannya. Ia ikut
menaruh gelas es teh di samping kanannya, dan menggeser tubuh mendekat ke
arahku. Membuat getaran dalam dadaku makin mengamuk tak karuan. Mata yang
memandang kami juga ikut tersenyum-senyum.
"Ehm," Bagas berdehem. "Tadikan kamu bilang, aku pernah suka
sama orang atau nggak? Oke, sekarang aku gantian tanya kamu. Kamu pernah suka
sama orang?"
Aku menunduk dalam, dan mengangguk pelan. Jujur.
"Sampai sekarang?"
Aku mengangguk lagi.
Bagas diam sejenak. "Aku kenal cowok itu?"
Duh, bodoh. Itukan kamuuuuuu.
Aku hanya bisa mengangguk lagi. Karena entah kenapa bibirku seakan terkunci
kaku.
"Dia... di sekolah kita?" Aku mengangguk lagi. "Anak
basket?" Lagi-lagi aku hanya mengangguk. "Em... namanya Bagas
bukan?"
Aku ingin menggangguk lagi. Tapi baru satu gerakkan ke atas ke bawah, aku
tersentak. Kepalaku langsung terangkat dengan wajah terkejut. Bagas justru
balas menatapku tenang, walau bibirnya sedikit tersenyum kecil.
Mulutku terbuka, mengucap 'a' tanpa suara. Tapi setelah itu aku tak bisa
berkata lagi. Hanya salah tingkah walau ingin sekali membuka suara. Semua
seakan tenggelam oleh debaran jantung yang seakan meledak tak karuan.
Garis wajah Bagas berubah perlahan. Agak melengkung ke bawah, seakan sendu
merasa bersalah. Ada mimik menyesal di sana. Membuat debaran dalam dadaku malah
menjadi tak nyaman. Eung... apa ini? Kalau dalam sinetron dan film, ekspresi
ini menggambarkan hal tak baik. Sepertinya akan ada kalimat yang tak ku ingin
terlontar. Seakan-akan dia akan berkata...
"Tapi aku suka sama orang lain."
Aku terkejut setengah mati. Garis wajahku langsung mengendor. Ku tatap
Bagas dengan ekspresi tak percaya. Bisa-bisanya ia langsung berkata frontal
seperti itu.
Tanpa bisa dicegah, tiba-tiba aku sudah merasakan mataku menghangat. Aku
meneguk ludah, tapi segera berdiri dan berlari, membuat Bagas -dan orang-orang
yang memerhatikan kami dari jauh- terkejut.
Samar-samar, ku dengar suara bapak-bapak mendatangi Bagas.
"Kamu tolak!?" marah Om Riko geram.
"Kejar sana!" perintah Om Rio, Papa Bagas sendiri.
"Ta.. tapi..." Bagas terdengar kebingungan.
"Bagas cepet! Kejar sana!" perintah Om Rio lagi, kini dengan nada
mendesak tak sabar.
Dan setelah itu dapat ku dengar langkah lari Bagas mendekat. Aku makin
mempercepat langkahku yang kini sudah tak berlari. Sambil berusaha mengusap air
mata yang hampir saja menetes.
Tiba-tiba seperti angin, Bagas melesat dan sudah berdiri tepat di
hadapanku, membuatku terkejut dan refleks menghentikan langkah.
Bagas menghela nafas panjang, "denger dulu."
Aku memanyunkan bibir, dan mengusap sekali lagi mataku yang hampir
meneteskan air mata lagi.
"Kan tadi kamu tanya, aku suka sama siapa. Ya aku jawab aku suka sama
orang lain. Aku harus jujur, kan?" katanya seperti tak merasa bersalah
sama sekali. Sialan.
"Aku suka sama Annisa Chiby."
HA?!
Mataku sontak membelalak maksimal. Mulutku tenganga menatapnya yang malah
tersenyum tertahan.
"Iya, Cindai. Aku suka sama Annisa Chiby," ulang Bagas memperlambatkan
ucapannya.
"Loh? Kok... kok..." aku malah jadi kebingungan sendiri. Bagas
justru tertawa.
"Tapi aku naksirnya sama kamu," katanya tersenyum, membuatku
terdiam.
Setelah beberapa saat, aku bisa mengendalikan diri lagi. "Naksir sama
suka kan sama!"
"Nggak," katanya tenang. "Sukakan boleh sama siapa aja. Aku
suka basket, tapi aku nggak naksir basket. Aku suka biru, tapi aku nggak naksir
biru," jelas Bagas membuatku tertegun. "Naksir itu, 'adiknya' dari
jatuh cinta," kata Bagas membuat tanda kutip di udara di kata 'adiknya'.
"Aku... nggak ngerti..." kataku mengaku polos.
Bagas tertawa. "Makanya, nggak usah sok ngaku cinta deh. Masih SMP
juga," ucapnya mencubit pipi chubbyku membuatku tersipu. "Aku tuh mau
nembak kamu pas kita SMA nanti, waktu kita benar-benar tahu apa itu jatuh
cinta. Ehhh kok kamunya yang mau ngomong duluan," kata Bagas membuatku
tertegun. "Nanti aja ya Ndai. Kalau kita sudah SMA. Kan Papa juga janji
mau beliin aku motor nanti. Masa' aku punya pacar tapi nggak bemodal? Kan cupu.
Kalau pacaran nanti, aku mau ngantar jemput kamu tiap hari pakai motor aku
sendiri."
"Serius kamu?" ceplosku begitu saja, meminta kesungguhan.
Bagas mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, "janji
pramuka!" ucapnya tersenyum lebar.
Aku tertegun. Tapi kemudian tersipu. "Oke. Aku tunggu kamu sampai
SMA," kataku sungguh-sungguh.
Bagas tertawa, lalu mengacak puncak rambutku.
"CIEEEE."
Kami sontak terkejut dan menoleh. Beberapa warga sudah mendekat dan
berkumpul sekitar sepuluh meter dari tempatku dan Bagas berdiri.
"Jadi, pacaran ya?" goda Rafli yang ada di sana.
"Beneran nih? Bagas kayaknya nerima," kata Salma nyengir.
Aku dan Bagas berpandangan. Ada kerlingan jahil di mata Bagas, membuatku
tersenyum mengerti. Aku menoleh ke arah mereka. "Iya! Sekarang kita mau
pacaran dulu ya! Daaaahh!!!"
Bagas tertawa, lalu segera menarik tanganku berlari pergi. Samar, ku dengar
suara Marsha.
"Nanti dulu. Mau pacaran? Jangan-jangan... mereka mojok?"
Aku tertawa dan menoleh ke belakang. Ku lihat wajah Mama dan Om Rio yang
sedang bersampingan terkejut.
"Masih kecil mau mojok? Nanti mereka malah...." nada
menakut-nakuti dari Gilang membuat mama melotot, tapi segera menoleh padaku.
"CINDAAIII!!! NGGAK BOLEH PACARAN DULU!!!" teriak Mama berlari,
mengejarku dan Bagas.
"BAGASSSS!!! AWAS BERANI PEGANG-PEGANG CINDAI YA!!!" kini suara
Om Rio terdengar, ikut mengejar kami.
Aku dan Bagas tertawa sambil terus berlari menghindar. Dengan tangan kami
yang saling menggenggam satu sama lain.
xxxxxxx
Lalalalalalala~ Hahahaha. Tuh buat ARIEF a.k.a ANDRE a.k.a REYNALDI aku
udah buat cerpen BaDai yeeee jgn nagih lagi lu!
Ini sebenarnya inspirasi pas ngeflashback waktu kecil. Jadi waktu itu
tujuhbelasan gitu, mamanya temen aku jodoh-jodohin aku sama anaknya. Hahaha.
Digoda-godain sama ibu2 lain padahal kita temen main doang. Ya walau sekarang
udah pisah dan kayak org ga kenal sih, beda sama bagas sama cindai yang
berakhir bahagia (?)
Percaya atau tidak, ibu-ibu heboh seperti itu ada di dunia nyata. Ya,
teman-teman ibuku ataupun 'geng'nya mbahku. Apalagi klau lagi arisan, beuuuhhh.
Nanti sih maunya bikin sekuel. Waktu mereka SMA. Konfliknya lebih gimana
gitu. Tapi kalau dipikir-pikir, justru khayalan ceritanya malah berkembang jadi
cerbung -_- jadi saya nggak janji mau post sekuel atau nggak karena ya...
cerbung yg kemaren aja belum lanjut2 dan lelet, apalagi nambah cerbung?
beuuhhh.
Buat yang mau request couple juga, aku usahain deh. Kan itu juga buat
tantantangan untuk aku sendiri.
Oh ye, sorry ye kalau yg ini kurang memuaskan atau apalah. Kritiknya monggo
di mention aje. Hehehe. Like cukup follow @_ALders aja. oke?
bbye
@aleastri ^^