Helllaaa!!! Saya datang lagi. Yang
biasanya diawali dengan kata-kata indah nan dramatisir. Kini dari ocehan
penulis! Hahaha. Kenapa? Karena part ini adalah part spesial. Saya ngetiknya
setengah nyesek, tapi juga setengah bahagia karena membayangkan bahwa sayalah
si peran cewek itu. Huahahaha.
Dan nanti di tengah cerita penulisnya
narsis numpang lewat yak. Maap kalau kepedean tingkat tinggi. Jangan protes loh
wkwkwk. Happy read gusy! xoxo
Part 24b. Pangerannya Cinderella
Sivia baru saja sampai setelah pulang dari bazaar bersama
Gabriel, Alvin, serta Shilla. Gadis itu menuju ranjangnya, dan langsung
merebahkan diri di sana. Agak merasa capek. Tapi tanpa sengaja matanya jatuh
pada meja kecil samping ranjang. Gadis itu mengernyit. Melihat sebuah kertas
ditaruh di depan lampu tidur dengan penahan sebuah jepit pita merah Sivia.
Sivia segera duduk di atas ranjang, dan meraih kertas
bertuliskan rapi itu.
Jam 7 gue jemput lo
Siap-siap ya :)
Sivia mendelik. Siapa ini? Alvin? Tapi
kok tulisannya beda ya? Em... nanti dulu. Bukankah rumah ini ditinggal beberapa
jam lalu? Apa ada yang menyelinap masuk ya?
Tapi... nanti dulu. Perasaan sebelum
pergi, Alvin dan Gabriel sempat pergi ke kamar dalam waktu lama. Apa
jangan-jangan....
^^^
Sivia melirik jam di hapenya. Ia kemudian
mendesah, dan menatap dirinya di depan cermin lagi. Ia mengernyit sendiri.
Sebenarnya mau kemana sih? Dan kenapa juga dirinya merasa harus tampil cantik
memesona malam ini? Ia kini mengenakan dress selutut berwarna merah dengan rok
mekar. Simpel, tapi membuatnya sudah terlihat menawan.
Sivia merapikan poni ratanya lagi. Rambut
panjangnya digerai begitu saja. Tapi matanya lalu jatuh pada secarik kertas di
depan lampu tidur lagi. Jepit pita yang tadi menahannya ada di atas kertas itu.
Sivia meraihnya, lalu menyematkannya di ujung kanan rambutnya. Oke. Cantik.
"Vi... ada yang nunggu di luar tuh!" kata Oma dari
balik pintu kamar.
Sivia mengangkat alis. Ia menggigit bibir sejenak. Lalu
menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Sivia tersenyum manis ke
depan cermin. Berharap senyumannya nanti adalah senyum terbaik di depan
Gabriel.
Eh?
Gabriel?
Sivia tersentak sendiri. Ia lalu segera menggelengkan kepala.
Mencoba membuang jauh pikiran aneh itu. Apa-apaan sih nih otaknya? Jadi
daritadi ia memang berharap surat itu dari Gabriel?
Sivia mendecak sendiri. Ia segera mengambil tas kecil di atas
meja dan berjalan menuju pintu kamar. Diambil wedges merah hitamnya, dan segera
memakainya. Ia memegang kenop pintu, dan merasakan jantungnya mulai melajukan
detakan. Oke, tenang. Mungkin itu hanya kerjaan iseng Alvin. Padahal Alvin
hanya ingin mengajaknya pergi keluar Jakarta kalau malam Minggu seperti ini.
Bisa saja, kan?
Sivia keluar kamar, dan terkejut saat melihat pintu kamar
Alvin yang ada di samping kamarnya terbuka juga. Alvin sudah terlihat rapi
mengenakan celana jins panjang, kaos merah, dan jaket hitam aksen merah.
Rambutnya seperti diberi gel rapi dengan bau parfum yang wangi yang biasa ada
di iklan-iklan. Parfum cowok yang katanya mengundang para bidadari itu.
Sivia langsung mendesah. Ya kan... paling juga Alvin.
Alvin mengangkat sebelah alis melihat penampilan Sivia, lalu
tersenyum menggoda. "Cie yang mau ngedate. Cantik amat lo."
Sivia agak membelalak kecil. Pipinya membara seketika.
"Ka... kamu mau kemana?" tanyanya agak gugup.
"Mau jalan sama cewek gua lah," jawab Alvin santai
sambil melangkah menuju tangga. Sivia segera mengikutinya.
"Loh? Eng... jadi yang ngajak aku jalan siapa?"
tanya Sivia dengan nada yang jelas sekali terdengar bergetar.
"Bukannya tulisannya... 'gue jemput elo'? Berarti bukan
gue, kan? Masa gue jemput lo padahal kita serumah," sahut Alvin santai.
"Kok kamu tahu tulisannya?" tanya Sivia curiga.
Alvin menyeringai lebar. Tapi tak menjawab. Mereka melewati
ruang tengah yang ada Oma dan Pak Anton menonton di sana. Mereka menoleh, lalu
tersenyum.
"Have fun ya Vi," kata Pak Anton membuat Sivia
menoleh. "Dia anaknya baik kok. Sering ke sini juga," sambung Pak
Anton tersenyum.
"Tadi juga Oma udah nitip kamu ke dia. Cepet gih sono
datangin," kata Oma setengah menggoda.
Pipi Sivia merona lagi. Ia agak merenggut malu. "Via
pergi ya Oma, Om," pamitnya agak kikuk, kemudian segera menyusul Alvin
yang terkekeh geli melihatnya.
"Ngapin nunduk? Nyari duit jatoh lo?" ejek Alvin
kala Sivia melangkah di sampingnya. Mereka sudah dekat dengan pintu yang
dibuka.
Sivia hanya merenggut. Dan saat keluar, ia mencoba mendongak.
Matanya melebar. Melihat seorang pemuda duduk menunggu di kursi teras dengan
penampilan yang sudah rapi. Pemuda itu menoleh, kemudian segera berdiri dan
tersenyum.
"Hei," sapa Gabriel diam-diam terpana memerhatikan
penampilan Sivia.
Sivia hanya membalas tersenyum singkat.
"Ehm," Alvin berdehem keras, "gue duluan ya.
Nanti si nek lampir itu udah ngomel gara-gara nunggu. Bye!" Ia menepuk
poni rata Sivia membuat Sivia bersungut kecil. Alvin tertawa, lalu menuju Honda
Jazznya. "Good luck ya!" teriaknya sebelum masuk ke dalam mobil dan
mulai keluar dari perkarangan rumah.
Gabriel dan Sivia memandangi kepergian Alvin, lalu saling
pandang. Sivia mengangkat alis, tapi kemudian menunduk kikuk. Gabriel hanya
diam memandanginya yang masih terlihat sangat cantik malam ini.
Krik... krik...
Sivia mencoba berdehem, membuat Gabriel segera tersadar bahwa
sedaritadi ia hanya diam memandangi Sivia dengan keterpesonaan. "Em...
pergi sekarang?"
"Ah, eh, oh ya," kata Gabriel mencoba menguasai
diri. "Yuk," ajaknya lalu melangkah.
Sivia mengangguk, dan mengikuti. Mereka keluar dari
perkarangan rumah, membuat kening Sivia berkerut. Dia ia agak tersentak. Tak
melihat motor besar yang tadi siang dipakai Gabriel. Tapi sebuah BMW hitam
mengkilat yang diparkirkan di depan rumah Alvin. Gabriel membukakan pintu mobil
untuk Sivia dengan manis. Sivia tersenyum berterima kasih dan masuk. Gabriel
menutup mobil dan menghembuskan nafas. Ia kemudian tersenyum menyemangati diri,
dan melangkah menuju kursi pengemudi dengan hati yang meledak-ledak bahagia.
^^^
Sivia memandangi ombak di yang terlihat beberapa meter dari
restoran tempat Gabriel membawanya. Sivia sebenarnya tadi agak mengomel karena
perjalanan yang lama sekali dan bertanya-tanya kemana Gabriel membawanya.
Gabriel hanya tersenyum dan menjawab misterius. Tapi ternyata, pemuda itu membawanya
ke daerah tepi pantai. Romantis.
"Aku baru tahu Jakarta punya tempat begini,"
komentar Sivia sambil melihat sekeliling restoran yang bernuansa pantai.
"Keren."
Gabriel tersenyum. "Romantis ya?"
Sivia agak melirik, "kamu sering bawa pacar kamu ke sini?"
Gabriel tertawa. "Ini tempat kesukaan kakak gue
sebenarnya. Dia penulis, dan suka pantai. Dia sering banget minta temenin ke
sini. Selama ini, gue ke sini cuma sama dia."
Sivia mengangkat sebelah alis, "oh ya?" tanyanya
ragu. "Kamukan playboy. Bisa aja ngarang doang."
Gabriel tersenyum, "lo tahu darimana gue playboy?"
Sivia menipiskan bibir, "emang nggak ada yang ngomong
gitu ke aku sih. Tapi dari tampang kamu, ucapan kamu, dan awal kita ketemu,
udah jelasin semua."
Gabriel meringis kecil dan agak kikuk. "Tapi sekarang
udah nggak kok," kata meyakinkan.
Sivia mengangkat alis, tapi hanya tersenyum. Karena sebenarnya
ia juga sudah diceritakan oleh Shilla saat mereka memasak bersama tadi pagi.
Pemuda ini katanya kini tak pernah terlihat dekat lagi dengan seorang
perempuan. Bahkan ia tak berniat membalas pesan ataupun telpon dari
perempuan-perempuan incarannya dulu. Dan kata Shilla juga, kini Gabriel
sepertinya telah benar-benar 'jatuh cinta'.
"Kakak kamu nggak ke sini? Inikan malam Minggu,"
tanya Sivia mengingat cerita Gabriel tadi.
"Dia nggak terlalu suka nulis di keramaian. Biasanya
kalau malam libur, tempat ini rame. Dia lebih sering nulis di sini waktu sore.
Dia seneng banget liat sunset. Katanya, langit sore sama laut itu adalah
perpaduan paling indah," jelas Gabriel mengingat sosok sang kakak.
Sivia mengangkat alis tinggi. "Eee... tunggu deh. Aku
kayaknya pernah denger ucapan kayak gitu," ucap Sivia mengelus dagunya.
"Dari... Al..."
"Aleastri?" lanjut Gabriel mengangkat alis. Wajahnya
merekah seketika, "itu kakak gue!"
Mata Sivia membelalak. "Serius? Itu penulis favorit aku
loh!"
Gabriel tertegun sesaat, tapi lalu tersenyum lebar. Bertepatan
kala pelayan datang membawakan pesanan mereka dan menaruh di depan keduanya.
Sivia menerima spagettinya, dan mulai mengaduk. Tapi gadis itu tergelitik untuk
bertanya. Dan sepertinya... ini saat yang tepat untuk mengerjakan tugasnya.
"Em... Gab," panggil Sivia membuat Gabriel
mengangkat wajah. "Kamu tuh kayak Alvin gitu, kan? Sering tawuran?"
tebak Sivia.
Gabriel memiringkan bibir, "sometime aja kok,"
jawabnya tenang.
Kening Sivia berkerut. "Aneh," gumamnya. Gabriel
langsung mendelik heran. "Salah satu novel kakak kamu yang kubaca, ada
cerita tentang tawuran dua sekolah yang musuh bebuyutan gitu. Tapi akhirnya,
kedua kubu berdamai dengan manis. Kenapa kamu nggak nyontoh?"
Gabriel sontak tertawa. "Beda, lah."
"Apanya?" tanya Sivia segera. "Di novel itu
juga diceritakan gimana kebencian itu benar-benar besar banget di antara dua
pemimpin kubu. Tapi di akhir cerita, mereka berdamai loh."
Gabriel tersenyum. "Siv, realita itu bukan kisah novel.
Nggak ada yang tahu akhirnya gimana. Nggak bisa ditebak. Novel punya penulis
yang ngatur semua. Bisa happy ending atau sad ending. Tapi realita? Yang nulis
itu Tuhan. Kita nggak tahu akhirnya gimana." Gabriel menusuk daging lada
hitamnya dengan garpu, tapi belum berniat memasukkan ke dalam mulut. Ia
menyambung, "Penulis itu bisa sesuka hati nentuin jalannya cerita. Bahkan
yang nggak mungkin jadi mungkin. Tapi itukan fiksi. Beda sama realita."
Sivia terdiam. Memandang Gabriel yang kini mengunyah dagingnya
dalam diam. Ia menarik nafas sesaat, "kamu tahu apa kegunaan sebuah
cerita?"
Gabriel mengangkat sebelah alis, "untuk dibaca?"
jawabnya agak asal.
"Yang lainnya?"
"Em... untuk hiburan mungkin."
Sivia mengangguk-angguk. "Sebenarnya ada hal lain. Yang
lebih utama," ucapnya sambil memelintir spagetti di garpu. Ia mendongak,
menatap Gabriel. "Amanat dari cerita itu," tegasnya serius membuat
Gabriel agak mengangkat alis. "Sebuah cerita ditulis sebagai cerminan
hidup manusia. Sebagai pedoman juga bagaimana kita nyelesaikan sebuah masalah.
Ataupun membantu kita untuk lebih mengontrol diri karena cerita dipenuhi
deskripsi perasaan."
Sivia mendesah pelan. "Memang, terkadang cerita dalam
novel itu agak berlebihan dan drama. Tapi kamu percaya atau nggak, ada banyak
loh kisah nyata yang mirip kayak cerita novel."
"Oh ya?" Gabriel mengangkat sebelah alis.
Sivia tertawa pelan. Setengah miris sebenarnya. Ia menatap
Gabriel. Dan kalimat itupun terlontar.
"Kayak kisah kamu sama Rio."
Gabriel terkejut setengah mati. Bahkan sendok dan garpu di
tangannya berdenting pelan pada piring. Ia membeku sejenak, menatap Sivia tak
percaya. Dan tanpa sadar matanya jadi menajam. "Elo kenal dia?"
Sivia meneguk ludah. Mendapatkan nada yang langsung berubah
seratus derajat dari sebelumnya. Bola matanya melirik ke suduh bawah kiri,
kemudian bergerak ke kanan, tapi tak tahu harus menjawab apa. Gerakkannya
menunjukkan ia tak mampu menatap Gabriel.
Gabriel menghela nafas. Mencoba mereda emosi yang mendadak
muncul mendengar nama itu. Ekspresinya benar-benar menggambarkan ia tak suka
membicarakan hal ini. Sivia agak merasa salah bicara, namun... ini yang harus
ia lakukan. Tujuannya datang ke Jakarta.
Sivia mengulurkan tangan kirinya, membuat Gabriel melirik. Ada
gelang 'spesial' darinya di sana.
"Katamu, ini lambang pertemanan kita. Berarti... kita
teman, kan?" tanya Sivia dengan nada hati-hati. Gabriel hanya diam.
"Seorang teman bukan hanya bertugas menemani. Tapi juga membantu. Jadi
aku... nggak bermaksud lain. Hanya mau membantu."
Gabriel mendesah keras dan membuang muka. "Maksud lo apa
sih?"
"Aku nggak mau kamu salah, Gab. Dan ini benar-benar
salah. Nggak seharusnya kalian musuhan sampai kayak gini," kata Sivia
berusaha meyakinkan. "Aku cuma mau ngebantu kamu membenarkan semua."
Gabriel mengigit bibir sejenak. Ada yang sesak di sana.
Seperti rasa kecewa karena gadis ini membahas hal yang benar-benar ia benci.
"Nggak ada yang harus dibenarkan, Siv," ucapnya datar, kemudian
menatap deburan ombak di ujung sana.
'Tapi masalah Acha harus
dibenarkan, Gab...' batin Sivia menjawab. 'Ozy, Alvin, Rio. Semua masalah itu harus
dibenarkan...'
"Memangnya awal mula kalian berantem kenapa sih?"
tanya Sivia ingin tahu. "Kamu bisa ngungkapin semuanya ke aku. Aku siap
dengerin kok. Karena aku temanmu. Ya, kan?"
Gabriel terdiam sejenak. Ia menggerakkan kepala perlahan,
memandang Sivia. Dan entah kenapa bibirnya bergerak begitu saja. Menjelaskan
semua.
Permusuhan ini berawal sejak SMP. Salah satu teman Gabriel,
berkelahi dengan Debo, sahabat dekat Rio. Saat itu Debo yang memang terkenal
playboy, menyakiti adik teman Gabriel. Teman Gabriel itu memukuli Debo dengan
marah, tanpa tahu bahwa ternyata ada teman-teman Debo di sana. Termasuk Rio.
Saat pulang, Gabriel dan yang lain kaget melihat ia sudah babak belur. Dan ia
berkata bahwa Rio dan teman-temannya yang melakukan hal itu. Gabriel dan yang
lain tak terima. Mereka pun mendatangi kelompok Rio. Dan terjadilah
perkelahian. Gabriel berhadapan dengan Rio. Perkelahian itu cukup mengundang
banyak perhatian. Dan dari perkelahian itu, justru Gabriel dan Rio yang
sama-sama masuk rumah sakit karena memar dan luka-luka. Tak ada yang tahu siapa
yang menang. Dan keduanya dipertemukan lagi kala pertandingan basket pertama
mereka di SMA. Mereka saling bersumpah, kalau mereka tak akan memaafkan satu
sama lain. Dan akan terus bertarung samapai ada yang mengaku kalah. Karena
melihat persaingan itu, smanra menganggap Gabriel adalah ketua karena Gabriel
sering kali yang maju melawan smanhar yang sebenarnya dari dulu memang musuh
besar smanra di urusan basket. Riopun dengan alasan sama juga dianggap sebagai
pemimpin smanhar. Sampai kini, keduanya saling menganggap mereka adalah musuh
bebuyutan yang tak pernah berdamai.
Mulut Sivia terbuka sedikit mendengar penjelasan itu. Ia diam
sejenak. Tapi tak lama malah terkekeh geli membuat Gabriel mengerutkan kening.
"Kenapa lo? Cerita gue lucu?" tanya Gabriel heran.
"Iya," jawab Sivia tersenyum geli. "Aneh aja
gitu. Kan yang awal punya masalah temenmu sama temennya Rio itu. Tapi kenapa
yang memperpanjang masalah malah kalian? Ckckck."
Gabriel menghela nafas, "gue nggak terima, Siv."
"Nggak terima atau gengsi?" tanya Sivia telak,
membuat Gabriel terdiam. "Kamu nggak pernah mau keliatan kalah, kan?
Gengsian amat."
Gabriel hanya menipiskan bibir, lalu kembali melanjutkan
makannya.
"Gab. Kamu tuh musuhan sejak SMP. Sekarang udah kelas
tiga SMA. Berarti udah tiga tahun dong. Ckckck. Masa' tiga kali lebaran kalian
nggak saling maaf-maafan?"
"Ya gimana? Gue udah bersumpah," kata Gabriel agak
ngeles.
Sivia tersenyum, "sumpah kalian itukan nggak baik. Sumpah
yang nggak baik mana didengar sama Tuhan." Ia memelintir spagettinya,
mengunyahnya sebentar. "Maaf itu kunci kedamaian loh. Dan bukannya agama
selalu mengajarkan hal yang damai? Why not gitu kalau kamu minta maaf."
"Nggak akan," tolak Gabriel segera. "Dia
duluanlah minta maaf sama gue."
Sivia tersenyum geli, "kamu tuh gengsian banget ya
ternyata?" tanya Sivia. "Waktu itu kamu bisa sampai buat lagu untuk
minta maaf sama aku. Masa' minta maaf sama Rio aja gengsi amat," kata
Sivia agak menyindir. Gabriel agak kikuk mengingat itu.
"Ternyata kalian berdua itu emang sama ya. Sama-sama
gengsi untuk minta maaf."
Gabriel langsung merapatkan alis mendengar itu. "Kok lo
tahu tentang dia? Emang dia siapa lo?"
Sivia terdiam. Ia agak merutuk karena tak bisa menata kata.
"Em... insting," jawabnya asal. "Karena kayaknya... aku bisa
ngerasain kalau kalian berdua sama-sama capek berantem. Kalian udah mau ujian
loh. Harusnya saling maaf-maafan. Nanti nggak dibantu Tuhan kalau ngerjain
soal."
Gabriel berusaha tersenyum, "iye iye."
"Apanya iye-iye? Mbo' dipikirin ikuloh omonganku,"
sahut Sivia mengeluarkan logat jawanya. Gabriel hanya tersenyum kecil.
^^^
Sivia segera mengikuti Gabriel kala pemuda itu turun ke pantai
dan berjalan santai. Angin malam yang deras membuat kulitnya agak menggigil.
Apalagi kini mereka berjalan di berbatu-batuan pantai.
"Aduh duh Gabriel. Kenapa lewat sini sih?" gerutu
Sivia sambil menunduk menghindari berbatuan. Apalagi ia mengenakan hak tinggi.
Gabriel menoleh, lalu tersenyum. Tangannya kemudian terulur,
"butuh bantuan?"
Sivia tertegun. Ditatapnya tangan itu. Dengan gugup dibalasnya
juluran tangan Gabriel sambil tersenyum kecil. Gabriel menggenggam jemari gadis
itu, kemudian menuntunnya berjalan di pinggir pantai. Sivia diam-diam tersenyum
kecil.
"So sweet ya?" tanya Gabriel tiba-tiba, membuat
Sivia terkejut dan mendongak. Gabriel melirik Sivia, "jalan berdua di tepi
pantai sambil gandengan tangan," godanya seakan membaca pikiran Sivia
sedaritadi.
Sivia agak membelalak kecil, lalu merenggut malu. "Ya
udah nggak usah gandengan," katanya menarik tangan, dan berjalan cepat
menjauh. "Aw."
"Eh, Siv," Gabriel mendekat dengan cemas.
"Kenapa?"
"Aduh duh," Sivia merintih sambil memegangi kakinya.
"Kaki aku... terkilir kayaknya..." ucapnya mengaduh.
Gabriel menoleh kanan kiri. Ia kemudian menuntun Sivia yang
agak tertatih ke sebuah batu besar. Sivia duduk di sana, sementara Gabriel
berlutut di depannya.
"Yaelah... Ngapain lo pake sepatu beginian? Bisa buat
anjing pingsan nih," komentar Gabriel melihat wedges tinggi Sivia.
Sivia merenggut. "Tadi aku asal aja ambil sepatu,"
ucapnya beralasan.
"Asal? Untung lo nggak ambil sendal jepit ya," ejek
Gabriel terkekeh kecil.
Sivia memukul kecil Gabriel dengan geram. Gabriel hanya
tertawa kecil, dan melepaskan kedua sepatu Sivia.
"Yang mana?" tanya Gabriel.
"Kanan."
Gabriel menaruh kedua wedges merah hitam itu samping batu
besar, lalu menaruh tangannya di pergelangan kaki kanan Sivia.
"Aduh!" rintih Sivia tiba-tiba membuat Gabriel
terlonjak.
"Belum gue apa-apain Sivia!" kata Gabriel agak
geram.
"Oh, belum ya? Hehe," Sivia cengengesan tanpa dosa.
Gabriel hanya mencibir, kemudian mulai memijat pelan
pergelangan kaki Sivia. Sivia terdiam. Memandangi wajah pemuda itu. Lampu
pantai menjangkau tempat mereka, dan seakan-akan menyorotkan wajah tampan
Gabriel. Garis wajahnya yang tegas, namun dengan senyum maut yang menenangkan.
Tak pernah bosan untuk dikagumi. Selalu bahagia bila dipandangi. Pantas saja,
Shilla mengatakan bahwa Gabriel dijuluki pangeran smanra. Karena pemuda ini
memang seperti sosok seorang pangeran. Kepemimpinannya, ketulusannya,
perhatiannya, keberaniannya, dan keramahannya memang bagai seorang pangeran di
kerajaan. Hhh... tapi kenapa wajah sempurna itu ia gunakan untuk memikat
perempuan saja? Hanya untuk mempermainkan hati perempuan. Kenapa seperti itu?
Memang benar sih kata orang. Ganteng itu adalah alasan utama seseorang bisa
jadi playboy. Ah. Andai saja Gabriel tulus terhadap perempuan. Sivia pasti....
Sivia terkesiap sendiri. Em, wait. Dia mikir apa sih? Jangan
bilang ia benar-benar sudah jatuh hati pada playboy akut begini? Ah, tidak
tidak. Sivia sangat anti cowok yang suka memainkan hati perempuan. Ia tak
mungkin sudah menaruh perasaan pada Gabriel. Tidak. Ia mendekati Gabriel hanya
karena ingin mendamaikan smanhar dan smanra, kan? Bukan karena hal lain. Tidak
tidak. Lupakan hal itu, lupakan.
Tanpa sadar, Sivia menggeleng-geleng sendiri membuat Gabriel
terkejut.
"Eh, kenapa Siv? Pusing?" tanya Gabriel cemas.
Sivia tersentak dan mendongak. "A... a... nggak,"
jawabnya agak gugup.
Gabriel agak mengernyit. "Nah, kan. Elo jangan
geleng-geleng gitu. Miring tuh pitanya," kata Gabriel sedikit berdiri,
membenahi letak pita di ujung rambut Sivia.
Sivia. Tidak. Bisa. Bernafas.
Nafas gadis itu seperti tercekat. Tapi kala Gabriel berlutut
kembali, jantung Sivia langsung meledak-ledak kacau. Untung saja di sini tak
terlalu terang. Jadi Gabriel tak bisa melihat bahwa wajah Sivia sudah
benar-benar merah dan panas.
"Udah deh. Nggak usah pake' sepatu tinggi gini," kata
Gabriel sambil berdiri menjinjing sepatu Sivia.
Sivia terkejut dan segera tersadar. "Ah nggak mau! Aku
gimana? Nyeker?" tanyanya memerotes.
Gabriel diam sejenak, lalu tersenyum. Ia mengambil alih tas
kecil di tangan Sivia membuat Sivia tersentak tapi tak sempat melawan. Gabriel
kemudian membelakangi Sivia dan berlutut lagi. "Gue gendong," ucapnya
menepuk punggungnya.
Mata Sivia membulat. Tapi dengan sekuat tenaga ia mencoba
menguasai dirinya. "Eh, sini tasku!" kata Sivia mencoba meraih
tasnya.
"Biar gue aja yang bawa," tahan Gabriel.
"Nggak. Aku aja," kata Sivia besih keras.
Gabriel mengangkat alis, tapi kemudian mengalah dan
menyerahkan tas itu ke belakang. Sivia meraihnya, kemudian menarik nafas dalam
dan menghembuskannya perlahan. Sivia lalu menempelkan tas itu ke depan dadanya
dan naik ke punggung Gabriel. Kedua tangannya melingkar di leher pemuda itu.
Gabriel berdiri, mulai berjalan pelan sambil menggendong Sivia.
Gabriel berjalan sambil tertawa. Membuat Sivia mengernyit.
"Kenapa kamu?" tanya Sivia tak mengerti.
"Gue tahu, kenapa lo naro' tas itu di antara gue sama
lo," jawab Gabriel tertawa.
"Kenapa?" tanya Sivia agak panik.
"Sivia... Sivia... Pake' tas gini aja jantung lo masih
kerasa loh," ucap Gabriel setengah menggoda. "Elo naro' tas agak
jantung lo nggak gue rasain? Elo gugup banget ya? Hahaha."
Sivia melotot, lalu merenggut kesal. Dengan sebal ia
mengeratkan rengkuhannya di leher Gabriel membuat Gabriel langsung berhenti
melangkah dan tercekik.
"Ampun Siv, ampun. Kita jatoh loh kalau elo nggak
lepas," kata Gabriel mohon ampun dengan nafas tercekat.
Dengan geram Sivia merenggangkan tangannya. Ia memajukan bibir
bawah dengan pipi memanas. Gabriel terbatuk-batuk kecil sesaat. Tak lama ia
malah tersenyum lebar dengan senang.
"Eh, ternyata lo bener ya," ucap Gabriel tiba-tiba
sambil melangkah menuju parkiran.
Beberapa orang melihat kedua orang itu. Yang laki-laki
terpesona melihat si perempuan, sementara para gadis memandang super envy tapi
ada juga yang terpana.
"Apa?" tanya Sivia sedikit memiringkan kepala untuk
melihat Gabriel dari samping.
Gabriel tersenyum. "Ada banyak kisah nyata yang mirip
kayak cerita novel."
Sivia mengerutkan kening, tak mengerti.
"Kayak kita. Gendong-gendongan gini. Ala-ala teenlit
nggak sih?" tanya Gabriel setengah menggoda. "Gue peran utama pria,
dan lo peran utama wanita."
Sivia mengangkat alis. Ia menjadi salah tingkah dan tak
menjawab.
"Terserah lo mau percaya atau nggak. Tapi gue nggak
pernah ngelakuin hal sampai kayak gini ke mantan-mantan gue. Diliatin banyak
orang gini," sambung Gabriel geli sambil menuju BMW-nya yang sudah dekat.
Sivia melirik sekitar. Benar saja. Mereka masih terus diperhatikan.
Membuat pipi Sivia makin memanas.
Gabriel berhenti di depan mobilnya, kemudian menurunkan Sivia.
Ia lalu berbalik, memandang Sivia yang agak menunduk salah tingkah. "Tapi
sama lo, gue seneng ngelakuin hal itu."
Debaran dalam dada Sivia makin menggila. Dan ada
buncahan-buncahan menyenangkan meledak di sana.
Gabriel tersenyum, kemudian membukakan pintu mobil. Sivia
tersenyum kecil dan masuk ke dalamnya.
^^^
Gabriel menginjak rem saat sudah memasuki perkarangan rumah
Alvin. Tak ada Honda Jazz hitam di sana. Pasti Alvin belum pulang. Gabriel
keluar dari mobil dan dengan cepat menuju kursi penumpang. Ia membukakan pintu,
dan dengan manisnya mengulurkan tangan.
Sivia tersenyum kecil, kemudian membalas uluran itu dan
mengikuti Gabriel melangkah menuju teras. Masih dengan kaki telanjang.
"Bentar ya," kata Gabriel lalu berbalik kembali dan
membuka pintu mobil lagi. Mengambil sepasang wedges Sivia dan kembali. Sivia
tersenyum melihat itu.
Kala di depan Sivia, Gabriel berlutut dan menyodorkan sepatu
kanan ke depan Sivia. "Sepatunya cukup nggak?" canda Gabriel.
Sivia memakainya, lalu tersenyum lebar. "Cukup. Berarti
aku Cinderella-nya, kan?"
Gabriel terkekeh pelan, "kalau yang satunya cukup juga,
berarti kamu Cinderella-ku," ceplosnya begitu saja.
Sivia tersentak, dan tertegun. Sementara Gabriel juga kaget
sendiri dengan kalimat yang ia ucap barusan. Tapi pemuda itu mencoba tetap stay cool sambil menyodorkan sepatu kiri Sivia. Sivia
memakainya. Ya tentu saja cocok.
Gabriel tersenyum kecil, kemudian berdiri kembali. "Gue
pulang ya," pamitnya tersenyum.
Sivia mengangguk pelan sambil tersenyum. Gabriel kemudian
berbalik. Tapi tiba-tiba Sivia jadi teringat sesuatu.
"Gab!" panggil Sivia membuat Gabriel yang hampir
sampai di mobilnya menoleh, dan berbalik. Sivia terdiam sejenak. "Eung...
itu... yang tadi," katanya agak kikuk. Gabriel mengernyit, tak paham.
Sivia menarik nafas, dan menghembuskannya pelan. "Tentang
Rio..."
Raut wajah Gabriel langsung berubah seketika. Membuat Sivia
merasa bersalah. Tapi ya bagaimana lagi? Gadis itu tak bisa terus diam. Ia
harus melakukan ini. Ia harus meluruskan semua.
"Kamu... please ya, damai sama dia," bujuk Sivia
memelas.
Gabriel menghela nafas keras, dan memasukkan kedua tangan di
saku celananya. "Lo tuh kenapa sih? Kenapa tiba-tiba bahas hal kayak gini?
Elo kenal sama dia? Kenapa lo bisa tahu?"
Sivia menggigit bibir, agak menarik wajah mendengar omelan
kesal itu. Sementara Gabriel diam-diam agak menyesal telah bernada kesal pada
gadis ini.
"Aku... tahu dia," jawab Sivia menunduk.
"Lo kenal?" tanya Gabriel curiga. Sivia menggeleng.
Membuat Gabriel mengendus keras, "terus apa masalahnya sih? Gue nggak
ngerti! Kenapa lo nyinggung masalah dia terus?"
Sivia memejamkan mata sekilas. Tapi ia tak bisa lagi menahan
diri. Gadis itu mendongak, membalas tatapan Gabriel. "Aku ngelakuin ini
untuk orang yang aku sayang. Cuma itu."
Langit malam ini cerah, kan? Tapi kenapa mendadak ada suara
petir di telinga Gabriel? Pemuda itu langsung terpaku. Ada yang menancap di
dadanya. Rasanya sakit.
"Aku... nggak mau liat dia sedih terus," lanjut
Sivia mengalihkan wajah, menerawang jauh entah kemana. "Walau keliatan
kuat, dia sebenarnya udah ngerapuh."
Gabriel menarik nafas dalam tak kentara, mencoba menguatkan
diri. Dihembuskannya nafas dengan perlahan. "Siapa dia?"
Sivia terdiam. Belum ingin menjawab.
"Apa Rio?" tebak Gabriel dengan nada sakit hati yang
terdengar jelas. Disertai tuduhan dan kecewa.
Sivia segera menoleh, "bukan. Aku bahkan belum pernah
ketemu dia langsung."
"Terus? Siapa?" desak Gabriel mencoba menyusun
hipotesa. Walau ia tak mampu.
Namun Sivia kembali mengalihkan wajah dan menunduk. Tak tahu
harus menjawab bagaimana. Gabriel menghembuskan nafas sekali lagi. Walau sesak
di dadanya makin terasa menyakitkan. Pemuda itu menghentakkan gigi, tapi
kemudian tak berkata apapun berbalik ingin pergi.
"Gabriel!" tahan Sivia segera sebelum Gabriel menuju
pintu pengemudi.
Gabriel berhenti melangkah. Namun tak menoleh.
"Ini bukan hanya untuk orang yang aku sayang. Tapi juga
para sahabat kamu," kata Sivia bergetar.
Gabriel tersentak. Ia berbalik kembali. Menatap Sivia tak
mengerti.
"Berhenti, Gab... Aku mohon... Permusuhan ini udah buat
banyak orang tersiksa. Termasuk sahabat kamu," pinta Sivia memelas,
"Karena keegoisan kamu sama Rio berdua sebagai ketua, yang membuat
sahabat-sahabat kamu cuma bisa nangis di belakang kamu."
Gabriel tertegun. Ditatapnya Sivia dengan tatapan yang
benar-benar tak mengerti dan meminta
penjelasan. "Maksud lo apasih?" tanya Gabriel dengan nafas tercekat.
Entah mengapa dadanya sesak lagi. Kini dengan alasan berbeda dengan beberapa
saat lalu.
Sivia menghela nafas dalam. "Ada beberapa murid smanra, yang
punya kisah dengan anak smanhar."
Mata Gabriel melebar. Tubuhnya membeku. Menatap Sivia tak
percaya. Mulutnya terbuka, seperti ingin mengucapkan sesuatu. Namun pemuda itu
masih diselimuti keterkejutan.
"Gab... aku sayang sepupuku. Dia orang terdekat aku. Dan
dia juga udah jadi kakak sekaligus sahabat aku. Aku cuma nggak tega liat dia
yang maksain diri untuk bersikap biasa di depan kamu sama yang lain. Padahal
dia punya masalah besar...."
Gabriel makin bungkam. Jadi... yang dimaksud Sivia orang yang
dia sayang adalah Alvin?
"Bukan cuma dia. Tapi ada beberapa lain yang juga
tersiksa karena ini. Mereka nggak bisa berbuat apapun. Yang mereka lakuin cuma
berdoa semoga ada keajaiban yang buat kamu sama Rio benar-benar luluh...."
lanjut Sivia agak bergetar. "Tapi kapan Gab? Kapan kamu bisa dengar semua
itu? Kapan kamu bisa ngerasain semua? Kapan kamu bisa luluh?"
Gabriel tak mampu menyahut. Hanya terdiam. Ada yang menohok
dadanya keras. Walau ia masih tak memercayai semua. Sebenarnya apa yang selama
ini terjadi di belakangnya?
"Bahkan tanpa sadar, kamu telah buat matahari smanra
meredup. Kamu tahu siapa dia?"
Gabriel menatap Sivia dalam diam. Walau ada seorang sosok
pemuda menyelinap benaknya. Pemuda yang dulunya selalu terlihat ceria dengan
mata bersinar, tapi kini hanya sendu yang didapat dari matanya. Membuat Gabriel
benar-benar sesak merasa bersalah.
"Aku nggak bisa jelasin apa masalah mereka. Tapi... aku
harap kamu bisa pikirin ini. Aku harap... gengsi dan ego bisa dikalahkan
perasaan kamu ke sahabat-sahabat kamu..." ucap Sivia setulus hati.
Benar-benar meminta bahwa Gabriel harus memikirkan hal ini benar-benar.
Gabriel menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.
Mencoba menenangkan diri. Ia hanya bisa mengangguk, menyanggupi.
"Em... tapi... jangan lama-lama ya mikirnya," kata
Sivia membuat Gabriel menatapnya dengan alis terangkat sebelah. Sivia tersenyum
tipis, agak terlihat seperti senyuman pahit. "Akukan di Jakarta cuma
sebentar... dan harus kembali ke Malang..." ucapnya berat.
Gabriel tersentak. "Elo... mau pergi?" tanyanya
kecewa.
"Aku masih punya kewajiban sekolah, Gab..." jawab
Sivia agak lirih. "Aku harus pulang kalau try out sekolahku udah
selesai."
Gabriel diam sejenak, "apa nanti lo bakal kembali?"
Sivia mendesah, kemudian mengangkat bahu.
"Entahlah," jawabnya mengambang.
Gabriel terdiam. Menatap Sivia dengan raut kecewa. Sivia
membalas tatapan itu juga dengan diam. Tapi dalam diam itu, tatapan mereka
seakan telah mengantarkan semua kata-kata yang tak mampu terucap. Bahwa mereka
sudah merasa sangat sulit untuk saling berpisah...
"Gue... pulang ya Vi," pamit Gabriel setelah sekian
lama diam.
Sivia mengangguk pelan, "hati-hati."
Gabriel mencoba tersenyum, kemudian berbalik dan menuju pintu
mobil. Ia masuk, kemudian membawa mobil hitamnya itu pergi.
Sivia berbalik menuju rumah. Dan masuk ke dalamnya. Ditutupnya
pintu utama, dan ia berbalik, bersandar di daun pintu. Gadis itu terdiam
sendiri. Ada tanda tanya besar dalam benaknya.
Kenapa ia merasa tak ingin berpisah dari Gabriel?
xxxxx
Hufffftttt...... selesai juga akhirnya. Hahaha. Nggak tahu deh
ini harus ngomong apa. But, I swear aku pengen banget punya cowok kayak Gabriel
di PMB. Ya tapi kalau sama Gabriel yang asli nggak papa juga sih. Wkwkwk.
Tuh, ada malaikat yang udah mau nyelesaiin semua. Kita bantu
doa aja yaakkk (?) Gabriel luluh nggak ya? Ya kalau nggak, nanti biar kakaknya
dia aja deh yang bujuk HUAHAHAHAHA (Aku ketawa lebar sendiri saat ngetik namaku
di part ini. LOL)
Part depan? Saya mau kasih bonus deh buat semua yang nungguin
dan demo :p Karena banyak yg nanyain salah satu couple yang kini udah jarang
muncul. Di part depan ada kok. Bahkan juga aku pernah kasih bocoran deh.
Hehehe.
Komen? Kritik? Protes? Monggo~
see u! ^o^
@aleastri