Part
31. Akhir Yang Diharapkan
Aku
benci sinetron yang ditonton Mama tadi.
Kenapa?
Salah
satu peran utamanya meninggal. Mama sampai menangis di depan tivi. Aku tidak
suka melihat Mama menangis.
Aku juga. Aku selalu benci akhir yang
menyedihkan. Tapi kata Bunda, di kehidupan nyata juga ada akhir sedih dan
bahagia. Aku ingin punya akhir bahagia.
Semua
orang pasti mengharapkan yang sama. Tapi aku tak peduli. Apapun akhirnya, asal
aku di kelilingi orang yang ku sayang, aku pasti bahagia.
Haha dasar. Itu sama saja dengan akhir
bahagia!
xxxxx
Rio
segera berlari di koridor rumah sakit sore itu. Beberapa hari ini ia memang
sangat sibuk mengejar tugas dan bimbel sekolah. Ia tak pernah sempat menanyakan
kabar Alvin. Pemuda itu harus pulang malam dan ketika sampai rumah Acha sudah
terlelap, tak sempat memberi tahukan bagaimana perkembangan Alvin. Karena itu,
ketika hari ini guru tambahan belajar tak datang, Rio segera cabut dari
sekolah. Masih dengan seragam putih abu-abunya.
Rio
menuju kamar inap Alvin. Tapi pemuda itu terdiam di ambang pintu yang baru saja
ia buka. Pemuda itu membeku. Ruangan itu sepi. Kosong. Seingat Rio, saat
terakhir kali ia kesini, pertama kalinya Alvin dipindah ruang, memang inilah
nomor kamarnya.
Rio
mengernyit dan kebingungan. Ia berbalik. Kembali menoleh kanan kiri sambil
berjalan cepat. Hampir empat hari tak mengetahui perkembangan Alvin membuat Rio
benar-benar khawatir.
Rio
menghentikan langkah, memegangi dinding rumah sakit sambil terengah-engah. Dari
sekolah ke parkiran ia sudah berlari, lalu melajukan kencang mobilnya. Dan dari
parkiran rumah sakit ke lantai tiga begini ia juga berlari. Belum ada saat
dimana Rio benar-benar istirahat. Pemuda itu ngos-ngosan. Walau perasaannya
belum tenang dan cemas.
"Umur
lo berapa sih? Baru lari gitu doang udah capek."
Tubuh
jangkung Rio mendadak tersengat. Ia menegak dengan mata melebar. Jantungnya
seakan mencelos mendengar suara serak itu. Rio diam sejenak, kemudian berbalik.
Alvin
dengan jaket baseball berwarna biru dongker sedang berdiri menatapnya dengan
senyum samar. "Kenapa? Nyari gue?" tanya Alvin enteng, sama sekali
tak merasa bersalah.
Rio
mengangkat alis tinggi, memandangi pemuda oriental itu dalam keterkesimaan.
Wajah putih Alvin masih membiru dan bengkak di sana-sini. Mereka saling tatap
beberapa saat. Sebelum Alvin menarik kedua ujung bibirnya ke atas.
"Elo
nggak mimpi, Yo. Gue baik-baik aja. Dan udah dibolehin pulang," jelas
Alvin membaca tatapan terkejut Rio.
Rio
tersentak, tapi kemudian menghembuskan nafas lega. Seakan ada yang keluar dari
tenggorokkannya. Sesuatu yang amat menyesakkan. Detik berikutnya Rio berlari,
langsung merentangkan tangan menarik Alvin dalam dekapan.
Alvin
merintih sedikit, lalu tertawa. "Yo, gue takut Shilla liat. Lagian gue tuh
setia," canda Alvin menepuk punggung Rio. "Perih juga, Yo."
Rio
segera melepaskan pelukannya. Alvin melemparkan senyum tipis. Mulut Rio
terbuka, seakan ingin mengucapkan sesuatu. Namun pemuda itu masih tak tahu
harus berkata apa. Ia menatap Alvin dari ujung kaki ke ujung kepala, memastikan
Alvin benar baik-baik saja.
"Io...
Apin sudah pulang," kata Alvin lirih, namun tersenyum penuh arti.
Rio
tak mengerti lagi perasaan apa yang menghinggapi dadanya. Ia kembali merangkul
Alvin erat, bahkan tak mendengar lagi-lagi Alvin agak merintih karen tubuhnya
masih lebam. Kepanikannya yang tadi menghantui telah melebur begitu saja. Rio
benar-benar takut akan hal buruk terjadi pada Alvin.
"Beuh
so sweet banget sih peluk-pelukan di rumah sakit." Sebuah suara menggoda
membuat Rio melepaskan dekapannya kembali dan menoleh. Seorang gadis cantik
tersenyum lebar sambil membawa beberapa tas yang isinya perlengkapan Alvin
selama di rumah sakit. Ia melangkah mendekat.
"Yo,
gue yang pacarnya aja jarang meluk. Lah elo baru datang udah meluk-meluk
aja," keluh Shilla memajukan bibir bawah, belaga ngambek.
Rio
mengangkat alis, lalu saling tatap pada Alvin. Rio sontak menjauh.
"Astaga! Gue barusan meluk lo? Di sini?" panik Rio baru sadar sambil
menoleh kanan kiri. Koridor sedang sepi, untung saja.
Alvin
mendelik, "elo aja yang nyosor," sahutnya santai, lalu ganti
merangkul Shilla dan menoleh pada gadisnya itu. "Tadi aku udah bilang aku
setia, dia aja yang masih godain."
Shilla
tertawa mendengarnya, sementara Rio hanya mencibir, walau tersenyum.
"Sorry
baru datang," kata Rio memohon maaf.
Alvin
menoleh, lalu tersenyum lagi. Ia ganti menggenggam jemari Shilla, dan tangan
satu lagi menarik Rio merangkul pundak pemuda itu. "Yang penting sekarang
lo di sini," kata Alvin sarat bahagia.
Rio
tertawa, membalas rangkulan itu dan mulai melangkah bersama Alvin di koridor
rumah sakit. Shilla menggenggam jemari Alvin sambil memandangi dua sahabat itu.
Bibirnya mencair, tersenyum haru.
"Acha
mana, Yo?" tanya Alvin sambil melangkah.
"Ke
bandara," jawab Rio singkat, "Ada yang harus dijemput. Mungkin
sekarang mereka udah di bawah.”
"Siapa?"
tanya Alvin dan Shilla hampir bersamaan.
Rio
menatap ke depan sambil terus merangkul Alvin, tapi hanya menjawab dengan
senyuman misterius. Alvin mengernyit sambil saling tatap dengan Shilla. Tapi
ketika sampai di parkiran, mereka tersentak.
Alvin
sontak menghentikan langkah. Shilla jadi ikut berhenti walau dengan alis
terangkat. Dalam jarak sekitar lima meter dari mereka, terlihat Anton, Oma, dan
Sivia yang memang lebih dulu ke parkiran dan menunggu. Di depan mereka ada tiga
orang lain. Shilla tahu salah satunya, Acha. Karena gadis itu berdiri di
samping Sivia. Sementara dua orang lain adalah seperti pasangan suami istri.
Seorang pria dewasa mengobrol akrab di samping Anton, dengan seorang wanita
berdiri di depan mereka, membelakangi Shilla, Alvin, dan Rio.
Alvin
membeku. Ditatapnya punggung itu dengan mata menghangat perlahan. Hatinya
seakan meluruh. Tak perlu melihat wajah, ia sudah bisa menduga siapa wanita
itu. Dengan lemas dilepaskannya pegangan pada jemari Shilla, membuat Shilla
menatap Alvin bingung. Alvin juga melepaskan rangkulannya. Rio mengerti dan
juga agak menjauh, mempersilahkan Alvin. Perlahan Alvin melangkah, mendekati
wanita yang bersama keluarganya itu.
Anton
dan Oma menyadari kedatangan Alvin, namun belum berniat memberi tahu wanita di
depan mereka. Sivia dan Acha juga menoleh.
Alvin
menghentikan langkah tepat di belakang punggung itu. Mata hangatnya sudah
berkaca. Dengan agak bergetar, tangan kanannya terangkat. Menyentuh pundak itu
lembut, dengan sebuah panggilan rindu.
"Bunda..."
Wanita
itu agak tersentak, dan berbalik ke belakang, menatap Alvin. Garis wajahnya
berubah seketika.
"Bunda..."
ulang Alvin makin bergetar. Wajah cantik wanita itu yang makin menua namun
tetap sama seperti sepuluh tahun lalu, membuatnya merasa terlempar kembali ke
masa kecil.
Manda
tercengang. Ia menatap pemuda oriental itu tak percaya. Ditatapnya dari atas ke
bawah, lalu ke atas lagi. Seakan meneliti. Hatinya agak ngilu melihat wajah
lebam dan memar itu. Tangan Manda terjulur perlahan, meraba pipi yang diperban
itu. Kedua matanya mulai menghangat, dengan bibir yang bergetar.
"Apin..."
ucapnya tercekat dan terbata.
Alvin
tersenyum, walau jelas sekali matanya makin berkaca. "Iya, Bun. Ini
Apin."
Tangan
Manda naik, mengusap kepala Alvin penuh sayang. Dipegangi pemuda itu layaknya
patung yang indah. Diusapnya pundak tegap Alvin. Pemuda kecil yang dulunya
cengeng dan imut itu, beranjak menjadi sosok pemuda tampan yang karismatik.
Lengan mungilnya kini agak berotot, menandakan ia senang berolahraga. Mata
sipitnya masih sama. Wajahnya agak menirus, tak setembem dulu. Tubuhnya
jangkung, sama seperti Rio.
"Gimana?
Udah baikan?" tanya Manda mencoba menarik kembali bulir hangat yang ingin
menetes dari matanya.
Alvin
mengangguk pelan, "Apin udah baikan," jawabnya pelan.
Manda
diam sejenak, tapi kemudian merentangkan tangan memeluk pemuda oriental itu.
Alvin agak merunduk, membalas erat pelukan bunda keduanya itu. Ia menundukkan
kepala rapat ke pundak Manda, menangis tanpa suara di sana. Pelukan ini.
Pelukan seorang ibu yang sangat ia rindukan. Pelukan hangat pengganti Mamanya
yang telah meninggal sepuluh tahun lalu. Pelukan yang menenangkannya saat
kepergian sang mama. Pelukan yang sangat ia rindukan.
Semua
yang menatap kejadian itu menjadi haru. Rio diam sejenak, tapi kemudian meraih
lengan Shilla, menariknya mendekat, membuat Shilla agak tersentak tapi menurut
saja.
Manda
melepaskan pelukannya, lalu menatap Alvin dengan mata yang sudah basah. Alvin
menunduk, mengusap kedua matanya yang juga basah. Alvin lalu menoleh pada pria
tegap yang rambutnya sudah mulai memutih. Pria itu tersenyum, lalu merentangkan
tangan, ikut memeluk Alvin. Ia adalah Papa Rio. Walau jarang bertemu dulu,
namun Papa Rio tetap dianggap orang tua keduanya bagi Alvin.
"Bun,
Yah," panggil Rio membuat Manda menoleh. "Namanya Shilla," kata
Rio menoleh pada Shilla, memperkenalkan gadis itu.
Shilla
tersenyum manis dan sopan sambil mengangguk kecil. Lalu meraih tangan kanan
Manda dan menciumnya. "Shilla, tante." Ia lalu menoleh pada Papa Rio
dan juga mencium tangannya sopan.
Manda
tersenyum, lalu menatap Alvin. Sebuah dugaan menyelinap di otaknya. Alvin
tersenyum agak malu, dan mengangguk mengerti.
"Dia
pacar Apin," kata Alvin menarik Shilla mendekat ke sampingnya. Alvin
menoleh pada Rio, garis wajahnya langsung berubah dan mendecakkan lidah.
"Kok elo yang ngenalin sih?" keluhnya tak suka.
"Kenapa?
Daripada dia bengong di sono tadi, gue tarik ke sini," kata Rio mengangkat
alis dengan wajah dingin, menantang.
"Narik?
Lo megang-megang dia?" tanya Alvin sinis. Shilla agak mendelik, karena
mengerti akting dua pemuda itu.
"Berantem
aja lagi, tonjok-tonjokkan. Kan mumpung masih area rumah sakit nih," sindir
Sivia meninggikan suara, ikut mengikuti canda dua orang itu. Alvin dan Rio
menoleh, lalu tak lama saling pandang.
"Nggak
ah, capek berantem," kata Alvin yang disambut anggukan Rio. "Tapi gue
bakal tetap nonjok lo kalau lo masih buat Acha sedih," ancamnya
menyipitkan matanya yang sudah sipit.
Rio
diam sejenak, tapi ikut menyipitkan mata ke arah Alvin. "Gue juga bakal
nonjok lo kalau nanti lo pergi lagi," ucapnya santai, yang membuat Alvin
agak tersentak mendengarnya. Namun tak lama Rio tersenyum, yang langsung
dibalas Alvin.
Manda
berdiri di antara keduanya, menatap kedua pemuda itu bergantian. Tapi lalu
kedua tangannya terangkat. Mengelus kedua kepala jangkung itu, membuat Rio dan
Alvin menoleh. Manda tersenyum tipis, haru dan bahagia.
"Harus
akur, atau bunda kutuk jadi batu," canda Manda membuat Rio dan Alvin
tertawa. Kedua pemuda itu dengan serempak merangkul Manda dan memeluk bunda
mereka tersebut. Manda membalas kedua pelukan itu dengan perasaan bergejolak.
Diam-diam Acha mengusap pipinya yang dibasahi air mata melihat permandangan
itu.
Ya.
Ini akhir yang mereka harapkan.
xxxxx
Karena saya baik hati dan
berjiwa lembut (?) nih kan dikasih happy ending :’’’)))))) HAHAHA nggak ding.
Mungkin karena aku benci akhir yang menyedihkan kali ya. Hehehe
Eit, tapi masa ada beberapa
part lagi loh. Bisa besok dipostnya atau kapanpun sih heuehehe. Saya tunggu
komennya ya. Dan jangan lupa promo cerbungnya jadi banyak yg tau udah dipost
hehehe.
Dan don’t forget datang
ke web baru saya. Kalau mau tau buka aja twitternya ALders ya hahaha. Sekarang
ayo rame2(?) baca Mario’s yokkk belajar move on dari PMB yg zuper drama wkwkwk
Sincerely, (masih) Jodoh
Gabriel Yang Tertunda
@aleastri
P.s. : Btw, Minal Aidzin
Wal Faidzin yaw <3
kece badaii... next jgn pake lama yey... keep fight buat nge-post PMBnya .. hohoho.. okelah paipai 'jodoh gabriel yg ditunda mulu'
BalasHapusdoakan saja jadi 'jodoh Gabriel yang fix takkan terganti'
HapusIni pendek bgt loh
BalasHapusTapi ttp keren bgt asli gak boong
Cpt di lanjut yaa :))
hoho iye makasih ya
HapusKereenn bangett ceritanya, udah baca berulang ulang tapi gk pernah bosann :)
BalasHapusPkoknya bagyss banget deh ceritanya (y)