Kamis, 07 Agustus 2014

Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 31



Part 31. Akhir Yang Diharapkan

Aku benci sinetron yang ditonton Mama tadi.

Kenapa?

Salah satu peran utamanya meninggal. Mama sampai menangis di depan tivi. Aku tidak suka melihat Mama menangis.

Aku juga. Aku selalu benci akhir yang menyedihkan. Tapi kata Bunda, di kehidupan nyata juga ada akhir sedih dan bahagia. Aku ingin punya akhir bahagia.

Semua orang pasti mengharapkan yang sama. Tapi aku tak peduli. Apapun akhirnya, asal aku di kelilingi orang yang ku sayang, aku pasti bahagia.

Haha dasar. Itu sama saja dengan akhir bahagia!

xxxxx

Rio segera berlari di koridor rumah sakit sore itu. Beberapa hari ini ia memang sangat sibuk mengejar tugas dan bimbel sekolah. Ia tak pernah sempat menanyakan kabar Alvin. Pemuda itu harus pulang malam dan ketika sampai rumah Acha sudah terlelap, tak sempat memberi tahukan bagaimana perkembangan Alvin. Karena itu, ketika hari ini guru tambahan belajar tak datang, Rio segera cabut dari sekolah. Masih dengan seragam putih abu-abunya.
Rio menuju kamar inap Alvin. Tapi pemuda itu terdiam di ambang pintu yang baru saja ia buka. Pemuda itu membeku. Ruangan itu sepi. Kosong. Seingat Rio, saat terakhir kali ia kesini, pertama kalinya Alvin dipindah ruang, memang inilah nomor kamarnya.
Rio mengernyit dan kebingungan. Ia berbalik. Kembali menoleh kanan kiri sambil berjalan cepat. Hampir empat hari tak mengetahui perkembangan Alvin membuat Rio benar-benar khawatir.
Rio menghentikan langkah, memegangi dinding rumah sakit sambil terengah-engah. Dari sekolah ke parkiran ia sudah berlari, lalu melajukan kencang mobilnya. Dan dari parkiran rumah sakit ke lantai tiga begini ia juga berlari. Belum ada saat dimana Rio benar-benar istirahat. Pemuda itu ngos-ngosan. Walau perasaannya belum tenang dan cemas.
"Umur lo berapa sih? Baru lari gitu doang udah capek."
Tubuh jangkung Rio mendadak tersengat. Ia menegak dengan mata melebar. Jantungnya seakan mencelos mendengar suara serak itu. Rio diam sejenak, kemudian berbalik.
Alvin dengan jaket baseball berwarna biru dongker sedang berdiri menatapnya dengan senyum samar. "Kenapa? Nyari gue?" tanya Alvin enteng, sama sekali tak merasa bersalah.
Rio mengangkat alis tinggi, memandangi pemuda oriental itu dalam keterkesimaan. Wajah putih Alvin masih membiru dan bengkak di sana-sini. Mereka saling tatap beberapa saat. Sebelum Alvin menarik kedua ujung bibirnya ke atas.
"Elo nggak mimpi, Yo. Gue baik-baik aja. Dan udah dibolehin pulang," jelas Alvin membaca tatapan terkejut Rio.
Rio tersentak, tapi kemudian menghembuskan nafas lega. Seakan ada yang keluar dari tenggorokkannya. Sesuatu yang amat menyesakkan. Detik berikutnya Rio berlari, langsung merentangkan tangan menarik Alvin dalam dekapan.
Alvin merintih sedikit, lalu tertawa. "Yo, gue takut Shilla liat. Lagian gue tuh setia," canda Alvin menepuk punggung Rio. "Perih juga, Yo."
Rio segera melepaskan pelukannya. Alvin melemparkan senyum tipis. Mulut Rio terbuka, seakan ingin mengucapkan sesuatu. Namun pemuda itu masih tak tahu harus berkata apa. Ia menatap Alvin dari ujung kaki ke ujung kepala, memastikan Alvin benar baik-baik saja.
"Io... Apin sudah pulang," kata Alvin lirih, namun tersenyum penuh arti.
Rio tak mengerti lagi perasaan apa yang menghinggapi dadanya. Ia kembali merangkul Alvin erat, bahkan tak mendengar lagi-lagi Alvin agak merintih karen tubuhnya masih lebam. Kepanikannya yang tadi menghantui telah melebur begitu saja. Rio benar-benar takut akan hal buruk terjadi pada Alvin.
"Beuh so sweet banget sih peluk-pelukan di rumah sakit." Sebuah suara menggoda membuat Rio melepaskan dekapannya kembali dan menoleh. Seorang gadis cantik tersenyum lebar sambil membawa beberapa tas yang isinya perlengkapan Alvin selama di rumah sakit. Ia melangkah mendekat.
"Yo, gue yang pacarnya aja jarang meluk. Lah elo baru datang udah meluk-meluk aja," keluh Shilla memajukan bibir bawah, belaga ngambek.
Rio mengangkat alis, lalu saling tatap pada Alvin. Rio sontak menjauh. "Astaga! Gue barusan meluk lo? Di sini?" panik Rio baru sadar sambil menoleh kanan kiri. Koridor sedang sepi, untung saja.
Alvin mendelik, "elo aja yang nyosor," sahutnya santai, lalu ganti merangkul Shilla dan menoleh pada gadisnya itu. "Tadi aku udah bilang aku setia, dia aja yang masih godain."
Shilla tertawa mendengarnya, sementara Rio hanya mencibir, walau tersenyum.
"Sorry baru datang," kata Rio memohon maaf.
Alvin menoleh, lalu tersenyum lagi. Ia ganti menggenggam jemari Shilla, dan tangan satu lagi menarik Rio merangkul pundak pemuda itu. "Yang penting sekarang lo di sini," kata Alvin sarat bahagia.
Rio tertawa, membalas rangkulan itu dan mulai melangkah bersama Alvin di koridor rumah sakit. Shilla menggenggam jemari Alvin sambil memandangi dua sahabat itu. Bibirnya mencair, tersenyum haru.
"Acha mana, Yo?" tanya Alvin sambil melangkah.
"Ke bandara," jawab Rio singkat, "Ada yang harus dijemput. Mungkin sekarang mereka udah di bawah.”
"Siapa?" tanya Alvin dan Shilla hampir bersamaan.
Rio menatap ke depan sambil terus merangkul Alvin, tapi hanya menjawab dengan senyuman misterius. Alvin mengernyit sambil saling tatap dengan Shilla. Tapi ketika sampai di parkiran, mereka tersentak.
Alvin sontak menghentikan langkah. Shilla jadi ikut berhenti walau dengan alis terangkat. Dalam jarak sekitar lima meter dari mereka, terlihat Anton, Oma, dan Sivia yang memang lebih dulu ke parkiran dan menunggu. Di depan mereka ada tiga orang lain. Shilla tahu salah satunya, Acha. Karena gadis itu berdiri di samping Sivia. Sementara dua orang lain adalah seperti pasangan suami istri. Seorang pria dewasa mengobrol akrab di samping Anton, dengan seorang wanita berdiri di depan mereka, membelakangi Shilla, Alvin, dan Rio.
Alvin membeku. Ditatapnya punggung itu dengan mata menghangat perlahan. Hatinya seakan meluruh. Tak perlu melihat wajah, ia sudah bisa menduga siapa wanita itu. Dengan lemas dilepaskannya pegangan pada jemari Shilla, membuat Shilla menatap Alvin bingung. Alvin juga melepaskan rangkulannya. Rio mengerti dan juga agak menjauh, mempersilahkan Alvin. Perlahan Alvin melangkah, mendekati wanita yang bersama keluarganya itu.
Anton dan Oma menyadari kedatangan Alvin, namun belum berniat memberi tahu wanita di depan mereka. Sivia dan Acha juga menoleh.
Alvin menghentikan langkah tepat di belakang punggung itu. Mata hangatnya sudah berkaca. Dengan agak bergetar, tangan kanannya terangkat. Menyentuh pundak itu lembut, dengan sebuah panggilan rindu.
"Bunda..."
Wanita itu agak tersentak, dan berbalik ke belakang, menatap Alvin. Garis wajahnya berubah seketika.
"Bunda..." ulang Alvin makin bergetar. Wajah cantik wanita itu yang makin menua namun tetap sama seperti sepuluh tahun lalu, membuatnya merasa terlempar kembali ke masa kecil.
Manda tercengang. Ia menatap pemuda oriental itu tak percaya. Ditatapnya dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Seakan meneliti. Hatinya agak ngilu melihat wajah lebam dan memar itu. Tangan Manda terjulur perlahan, meraba pipi yang diperban itu. Kedua matanya mulai menghangat, dengan bibir yang bergetar.
"Apin..." ucapnya tercekat dan terbata.
Alvin tersenyum, walau jelas sekali matanya makin berkaca. "Iya, Bun. Ini Apin."
Tangan Manda naik, mengusap kepala Alvin penuh sayang. Dipegangi pemuda itu layaknya patung yang indah. Diusapnya pundak tegap Alvin. Pemuda kecil yang dulunya cengeng dan imut itu, beranjak menjadi sosok pemuda tampan yang karismatik. Lengan mungilnya kini agak berotot, menandakan ia senang berolahraga. Mata sipitnya masih sama. Wajahnya agak menirus, tak setembem dulu. Tubuhnya jangkung, sama seperti Rio.
"Gimana? Udah baikan?" tanya Manda mencoba menarik kembali bulir hangat yang ingin menetes dari matanya.
Alvin mengangguk pelan, "Apin udah baikan," jawabnya pelan.
Manda diam sejenak, tapi kemudian merentangkan tangan memeluk pemuda oriental itu. Alvin agak merunduk, membalas erat pelukan bunda keduanya itu. Ia menundukkan kepala rapat ke pundak Manda, menangis tanpa suara di sana. Pelukan ini. Pelukan seorang ibu yang sangat ia rindukan. Pelukan hangat pengganti Mamanya yang telah meninggal sepuluh tahun lalu. Pelukan yang menenangkannya saat kepergian sang mama. Pelukan yang sangat ia rindukan.
Semua yang menatap kejadian itu menjadi haru. Rio diam sejenak, tapi kemudian meraih lengan Shilla, menariknya mendekat, membuat Shilla agak tersentak tapi menurut saja.
Manda melepaskan pelukannya, lalu menatap Alvin dengan mata yang sudah basah. Alvin menunduk, mengusap kedua matanya yang juga basah. Alvin lalu menoleh pada pria tegap yang rambutnya sudah mulai memutih. Pria itu tersenyum, lalu merentangkan tangan, ikut memeluk Alvin. Ia adalah Papa Rio. Walau jarang bertemu dulu, namun Papa Rio tetap dianggap orang tua keduanya bagi Alvin.
"Bun, Yah," panggil Rio membuat Manda menoleh. "Namanya Shilla," kata Rio menoleh pada Shilla, memperkenalkan gadis itu.
Shilla tersenyum manis dan sopan sambil mengangguk kecil. Lalu meraih tangan kanan Manda dan menciumnya. "Shilla, tante." Ia lalu menoleh pada Papa Rio dan juga mencium tangannya sopan.
Manda tersenyum, lalu menatap Alvin. Sebuah dugaan menyelinap di otaknya. Alvin tersenyum agak malu, dan mengangguk mengerti.
"Dia pacar Apin," kata Alvin menarik Shilla mendekat ke sampingnya. Alvin menoleh pada Rio, garis wajahnya langsung berubah dan mendecakkan lidah. "Kok elo yang ngenalin sih?" keluhnya tak suka.
"Kenapa? Daripada dia bengong di sono tadi, gue tarik ke sini," kata Rio mengangkat alis dengan wajah dingin, menantang.
"Narik? Lo megang-megang dia?" tanya Alvin sinis. Shilla agak mendelik, karena mengerti akting dua pemuda itu.
"Berantem aja lagi, tonjok-tonjokkan. Kan mumpung masih area rumah sakit nih," sindir Sivia meninggikan suara, ikut mengikuti canda dua orang itu. Alvin dan Rio menoleh, lalu tak lama saling pandang.
"Nggak ah, capek berantem," kata Alvin yang disambut anggukan Rio. "Tapi gue bakal tetap nonjok lo kalau lo masih buat Acha sedih," ancamnya menyipitkan matanya yang sudah sipit.
Rio diam sejenak, tapi ikut menyipitkan mata ke arah Alvin. "Gue juga bakal nonjok lo kalau nanti lo pergi lagi," ucapnya santai, yang membuat Alvin agak tersentak mendengarnya. Namun tak lama Rio tersenyum, yang langsung dibalas Alvin.
Manda berdiri di antara keduanya, menatap kedua pemuda itu bergantian. Tapi lalu kedua tangannya terangkat. Mengelus kedua kepala jangkung itu, membuat Rio dan Alvin menoleh. Manda tersenyum tipis, haru dan bahagia.
"Harus akur, atau bunda kutuk jadi batu," canda Manda membuat Rio dan Alvin tertawa. Kedua pemuda itu dengan serempak merangkul Manda dan memeluk bunda mereka tersebut. Manda membalas kedua pelukan itu dengan perasaan bergejolak. Diam-diam Acha mengusap pipinya yang dibasahi air mata melihat permandangan itu.
Ya. Ini akhir yang mereka harapkan.

xxxxx

Karena saya baik hati dan berjiwa lembut (?) nih kan dikasih happy ending :’’’)))))) HAHAHA nggak ding. Mungkin karena aku benci akhir yang menyedihkan kali ya. Hehehe
Eit, tapi masa ada beberapa part lagi loh. Bisa besok dipostnya atau kapanpun sih heuehehe. Saya tunggu komennya ya. Dan jangan lupa promo cerbungnya jadi banyak yg tau udah dipost hehehe.
Dan don’t forget datang ke web baru saya. Kalau mau tau buka aja twitternya ALders ya hahaha. Sekarang ayo rame2(?) baca Mario’s yokkk belajar move on dari PMB yg zuper drama wkwkwk

Sincerely, (masih) Jodoh Gabriel Yang Tertunda
@aleastri

P.s. : Btw, Minal Aidzin Wal Faidzin yaw <3

5 komentar:

  1. kece badaii... next jgn pake lama yey... keep fight buat nge-post PMBnya .. hohoho.. okelah paipai 'jodoh gabriel yg ditunda mulu'

    BalasHapus
    Balasan
    1. doakan saja jadi 'jodoh Gabriel yang fix takkan terganti'

      Hapus
  2. Ini pendek bgt loh
    Tapi ttp keren bgt asli gak boong
    Cpt di lanjut yaa :))

    BalasHapus
  3. Kereenn bangett ceritanya, udah baca berulang ulang tapi gk pernah bosann :)
    Pkoknya bagyss banget deh ceritanya (y)

    BalasHapus