Kamis, 26 April 2012

Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 2


Alvin ternyata lupa pada Rio, sahabat kecilnya dulu. Tapi karena Sivia dan juga selembar foto, Alvin jadi ingat kembali, dan sangat senang sekali saat pindah ke Jakarta. Lalu... kalau mereka kembali tinggal di satu kota, apa harapan mereka untuk kembali di pertemukan akan terwujud dengan mudah? Atau... takdir masih ingin menunggu waktu untuk mempertemukan mereka?
Tapi kalau secepat itu mereka bertemu, cerita ini tidak akan menarik, kan? ;)

Part 2. Welcome Back!

Aku benci perpisahaan. Aku tidak ingin berpisah denganmu

Aku juga. Tapi mau bagaimana lagi? Sudahlah. Seperti yang kau katakan kan? Kita harus yakin, percaya, dan selalu berdoa

Aku pasti akan merindukanmu

Aku juga. Kalau kita bertemu saat dewasa nanti, aku berjanji. Aku akan mengenalimu. Pasti. Aku tidak akan lupa dengan mata sipitmu itu. Hihihi

Aku juga tidak akan lupa. Baiklah. Kita berjanji ya, kalau kita bertemu lagi nanti, kita harus mengenali satu sama lain.

Janji...

***

Alvin, Pak Anton, serta Oma sudah sampai di Jakarta. Alvin benar-benar gembira saat menginjakkan kaki kembali di Jakarta. Senyuman lebar tidak juga hilang dari wajah gantengnya. Membuat mata sipitnya makin tidak terlihat karena senyum lebarnya.
'Akhirnya… akhirnya selama 12 tahun, aku kembali lagi ke sini. Io… nggak sabar aku bakal ketemu kamu lagi. Papa emang benar, suatu saat nanti kita pasti ketemu lagi. Hmmppp… gimana kamu sekarang ya ?,' kata Alvin di dalam hati sambil terus tersenyum senang saat perjalanan menuju rumahnya di Jakarta.
Alvin sedikit mengerutkan kening saat taksi yang ia tumpangi berhenti di depan sebuah rumah bertingkat dua dengan cat putih dan pagar setinggi dua meter berwarna putih juga.
Pak Anton keluar, di ikuti Oma. Alvin masih mengerutkan kening dan kecewa, tapi ikut keluar juga.
"Kenapa nggak di rumah lama sih Pa?" tanya Alvin kecewa dan setengah kesal.
"Yang itu sudah ada yang punya, Vin. Udahlah. Ayo masuk," kata Pak Anton sambil mengeluarkan koper besar dari bagasi taksi.
Alvin menghela nafas, dan dengan hati kecewa membantu membawakan barang masuk ke dalam rumah barunya.
^^^
Oma mengernyitkan kening melihat Alvin yang sudah keluar dari dalam kamarnya. Kopernya padahal baru saja di taruh dengan beberapa barang lain. Tapi bukannya memberesi, ia malah keluar lagi dan seperti bersiap pergi.
"Mau kemana kamu Vin? Baru juga sampai. Istirahat dulu kek, rapiin barang-barang kek. Kok udah mau ngeluyur aja. Emang kamu masih ingat jalanan di Jakarta? Bahaya Alvin," omel Oma memandang Alvin yang sudah ingin keluar.
Alvin menoleh, kemudian mendesah. Tapi saat membuka mulut, ingin menjawab, sebuah suara membuatnya diam kembali.
"Udahlah Ma. Masa' khawatir sama preman sekolah gini. Ya kan Vin?" tanya Pak Anton yang sudah berdiri di samping Alvin dan merangkul pundak Alvin. "Pasti kamu mau ke rumah Io kan? Papa ikut ya!"
Alvin mengangkat alis, tapi kemudian mengangguk semangat sambil tersenyum lebar kembali. Ia lalu segera menarik Papanya keluar rumah.
"Pergi dulu ya Oma!" pamit Alvin girang dari arah luar.
"Hati-hati ya!" pesan Oma setengah berteriak.
^^^
"Pindah!?" tanya Alvin histeris dan kaget.
Satpam yang berdiri di depan Alvin itu mengangguk, "Iya. Mereka sudah pindah sekitar tiga tahun lalu. Dan rumah ini sudah di jual," jelas satpam itu menunjuk rumah Io dulu yang tepat berada di belakangnya.
"Pindah kemana ya Pak?" tanya Pak Anton
"Oh, maaf Pak. Saya kurang tahu. Yang saya tahu, keluarga Haling memang sudah pindah beberapa tahun lalu," jawab satpam itu.
Alvin menghela nafas dan kecewa.
"Tapi... anak laki-laki keluarga Haling itu masih sering main ke sini," lanjut satpam itu membuat Alvin tersentak dengan mata berbinar.
"Biasanya... sebulan sekali ataupun dua bulan sekali. Sebenarnya sih nggak tentu juga. Tapi dia sering berkunjung ke danau yang ada di perumahan ini," jelas satpam itu lagi.
Wajah Alvin merekah dengan mata berbinar, "Besok dia bakal datang lagi nggak?"
Satpam itu terdiam sejenak, "Saya kurang tahu mas. Saya sering liat aja dia masuk perumahan ini. Kan perumahan ini memang terkenal karena taman dan danau yang ada di sana itu," ucap satpam itu sambil menunjuk ke arah yang di maksud, "Tapi anak laki-laki keluarga Haling itu jarang bergaul. Jadi saya nggak pernah nanya-nanya atau ngobrol. Namanya aja saya nggak tahu mas. Maaf ya mas..."
Garis wajah Alvin mengendor seketika. Ia kembali mendesah kecewa, "Nggak papa kok Pak. Makasih," ucap Alvin pahit.
Satpam itu mengangguk dan tersenyum ramah.
"Ya sudahlah. Kita pulang aja ya," ucap Pak Anton sambil menepuk pundak Alvin.
Alvin menghela nafas panjang. Lalu menatap rumah sederhana berwarna biru muda dengan teras yang cukup luas itu. Tapi kemudian Alvin mengangguk lemas, dan dengan gontai masuk ke dalam taksi yang baru saja di stop Papanya.
^^^
Ternyata Pak Anton tidak membawa Alvin pulang. Ia malah mengajak anak tunggalnya itu menuju sebuah dealer mobil di Jakarta. Pak Anton ingin membelikan Alvin mobil baru selama di Jakarta. Karena mobilnya yang di Malang di tinggal dan di berikan pada Sivia. Pak Anton membelikan Alvin mobil di hari pertama ia datang ke Jakarta agar kekecewaan Alvin sedikit berkurang.
"Jadi? Kamu mau yang mana? Tetap xenia kayak mobil kamu yang di Malang dulu?" tawar Pak Anton sambil membolak balik lembar demi lembar poto-poto mobil yang memang di sediakan.
Alvin sama sekali tidak bersemangat. Padahal ia sudah sangat gembira akan bertemu Io kembali, sahabat kecilnya yang dulu ia tinggal. Tapi kenapa Io harus pindah rumah? Alvin sekarang tidak tahu Io di mana. Pikirannya kacau, karena ternyata harapannya tak menjadi kenyataan. Atau... apa Alvin harus mengikuti program termehek-mehek yang di televisi itu untuk bertemu dengan Io ya? Alvin diam sejenak, tapi kemudian segera menggelengkan kepalanya. Konyol. Buat apa ia mengikuti program yang mirip sinetron stripping seperti itu? Nanti ia malah di tertawakan teman-temannya di Malang dulu. Apalagi kalau Sivia juga menonton.
"Oh... jadi kamu mau ganti? Yang mana?" tanya Pak Anton seakan mengartikan gelengan Alvin dengan jawaban dari pertanyaannya yang sebelumnya.
Alvin tidak bergeming. Masih melamun.
"Vin!" panggil Pak Anton sambil menepuk pundak Alvin membuat Alvin terloncat kecil dan tersadar.
"Eh, iya pa? Kenapa?" tanya Alvin linglung.
Pak Anton diam sejenak, tapi kemudian mendesah kecil. "Kamu mau mobil yang mana? Mau tetap xenia kayak dulu?"
Alvin terdiam. Lalu menatap jejeran mobil di depannya. Setelah berkeliling cukup lama, mata Alvin berhenti pada sebuah Honda Jazz putih yang berada cukup jauh dari tempatnya duduk. Hm... menarik.
“Yang itu Pa…” jawab Alvin sambil menunjuk jazz itu.
“Oh, maaf. Yang itu sudah ada pemiliknya,” jawab pelayan toko yang melayani Alvin dan Papanya. Bet namanya tertulis Irna.
“Sudah ada pemiliknya?” tanya Pak Anton bingung.
“Iya, Pak. Sebentar lagi pemiliknya akan datang mengambil,” jelas Irna.
“Nggak ada yang lain mba?” tanya Pak Anton.
“Oh, maaf sekali lagi Pak. Itu warna putih yang terakhir. Kalau mau, warna lain saja,” bujuk Irna ramah.
Alvin menghela nafas, padahal Honda Jazz Putih itu cukup menarik. “Ya udah deh Pa. Yang warna itam aja.”
“Oh… yang hitam aja mba,” kata Papa Alvin memandang Irna.
Irna tersenyum ramah. Selanjutnya, Papa Alvin sibuk dengan pembayaran mobil itu. Sementara Alvin duduk diam sambil menatap keseluruhan toko.
^^^
Acha dan Rio turun dari taksi. Rio segera menarik tangan Acha dan melangkah dengan langkah panjang. Acha sedikit kesulitan menjajarkan kakinya dengan langkah kakaknya itu.
“Kenapa harus sama Acha sih? Kakak mau pamer gitu, di beliin mobil baru sama Ayah,” kata Acha kesal.
Rio menyeringai lebar. “Iya, dong. Harusnya kamu juga ikut senang Cha. Kan jadi lebih enak. Kamu nggak perlu susah-susah naik motor kakak. Biasanya kan rok kamu terbang ke mana-mana. Kalau di mobil kan nggak. Lagian… beruntung kamu jadi cewek pertama yang boleh duduk di kursi manis si putih.”
“Si putih? Iyuh. Jadi tu mobil udah punya nama?” tanya Acha sambil mendelik.
Rio tertawa renyah. “Udah. Ayo masuk,” kata Rio sambil memasuki dealer mobil yang outdoor itu dan menarik tangan Acha.
Tapi saat satu langkah kaki Rio terinjak di dealer itu, Rio mendadak terdiam.
“Kenapa kak?” tanya Acha heran melihat kakanya yang tiba-tiba menghentikkan langkah dan terdiam.
Rio tetap diam tak menjawab. Mendadak ia membeku. Dan seperti ada sesuatu yang menghentikannya. Perlahan, ia merasakan sesuatu. Entah apa. Seperti... ada seseorang di dealer ini. Padahal kemarin, Rio tidak merasakan apapun. Tapi kenapa sekarang, seperti ada sesuatu datang. Bukan. Bukan sesuatu. Tepatnya ada seseorang. Entah siapa...
^^^
DEG!
Alvin merasakan jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik. Sesaat, ia seperti merasakan sesuatu. Sebuah perasaan kuat. Hatinya seperti berteriak memberitahu, ada seseorang datang.
Alvin menatap sekelilingnya. Tapi pandangannya terhalang dengan deretan mobil-mobil di dealer itu. Dan juga, kasir berada di sudut. Sangat jauh dengan pintu utama. Alvin makin penasaran dengan perasaannya. Tapi ia hanya diam saja.
^^^
“Kak? Kenapa sih? Ayo masuk!” kata Acha sambil menarik tangan Rio. Rio terlonjak, lalu tersadar dan menurut.
“Selamat sore. Ada yang bisa saya bantu?” tanya salah satu pegawai toko sambil tersenyum ramah.
“Eh, mau ambil mobil yang kemarin itu mba,” jawab Rio yang memang masih ingat dengan perempuan yang kemarin lusa juga melayaninya.  Perempuan dewasa berambut panjang gelombang itu, Putri.
“oh, iya mas. Itu mobilnya,” kata Putri sambil melangkah menuju Honda Jazz putih yang berada tidak jauh dari kasir berada. Rio dan Acha mengikuti.
“Ini kuncinya mas,” kata Putri seraya menyerahkan kunci mobil Rio. Rio menerimanya.
“Silahkan mas. Kemarin sudah di coba kan?” tanya Putri.
Rio diam sesaat, tapi lalu mengangguk. Ia lalu segera masuk dan duduk di kursi pengemudi.
Acha tersenyum terima kasih pada Putri, lalu melangkah menuju pintu mobil satunya. Saat membuka pintu mobil, tanpa sengaja mata Acha berhenti pada seorang anak laki-laki yang sedang duduk di meja kasir.
Dan entah bisikan dari siapa, anak laki-laki itu juga menoleh ke arah Acha. Mata keduanya beradu. Acha tersentak, dan terdiam. Ia seperti mengenali tatapan anak laki-laki itu. Acha kenal betul dengan sorot kedua mata anak laki-laki itu. Mata sedikit sipit dan wajah oriental anak itu, seperti Acha kenal.
“Cha… kok bengong? Ayo masuk,” kata Rio menyadarkan Acha.
Acha terkejut, tapi lalu mengangguk. Ia menatap anak laki-laki itu lagi sekilas, tapi lalu memasuki mobil Rio. Rio mulai menghidupkan mesin mobil, lalu menginjak gas dan menuntun mobil barunya pergi.
^^^
“Itu yang beli mobil tadi mas,” kata Irna saat melihat Alvin memerhatikan Honda Jazz putih yang mulai keluar perlahan dari dealer.
Alvin masih menatap mobil itu sampai bayangnya hilang.
“Kenapa vin? Katanya udah mau yang hitam. Kamu masih ingin Jazz putih itu?” tanya Pak Anton.
Alvin menoleh, lalu menggeleng. Ia lalu mendesah, dan kembali menatap pintu keluar. Di mana Honda Jazz putih itu pergi. Bukan. Bukan mobil itu. Tapi pemiliknya. Siapa anak perempuan itu? Sepertinya… Alvin pernah lihat. Tapi di mana? Dan juga… siapa yang ada dalam mobil itu? Shiitt… kenapa kaca jendela itu harus tertutup dan kenapa tidak bisa terlihat jelas dari luar siapa yang duduk di dalamnya? Dan juga… kenapa Alvin tidak melihat saat pemilik mobil itu masuk. Dan anak perempuan itu. Sebenarnya siapa? Rambut gelombang di bawah pundak gadis itu, seperti mengingatkan Alvin pada seseorang. Entah siapa. Dan bayang pemilik mobil yang duduk di kursi pengemudi itu, seperti menarik Alvin untuk merasa sangat penasaran. Dan Alvin merasa… Pengemudi mobil itu adalah seseorang yang selama ini dia cari. Seseorang yang hilang. Tapi siapa?
^^^
“Kak…” panggil Acha saat di dalam mobil.
“Em…” sahut Rio tanpa menoleh.
“Tadi… di dealer mobil, kakak ngerasain sesuatu?” tanya Acha pelan.
Rio terdiam tapi tetap fokus pada jalanan di depan, “kenapa?”
“Em… aku ngerasa…” kalimat Acha menggantung. Ia diam sejenak, “aku ngerasa ada seseorang kak.”
Rio terdiam. Lalu menginjak rem, bertepatan dengan lampu merah. Rio menoleh ke arah Acha, “kamu juga ngerasain?”
Acha mengangguk. “Kakak juga, kan? Makanya, tadi kakak sempat diam pas masuk ke sana. Tapi kak, aku ngerasa… waktu aku liat ada anak laki-laki di kasir.”
Rio mengernyitkan kening sambil menatap Acha. Acha mengangguk meyakinkan.
“Tapi nggak tahu siapa. Dia juga natap Acha. Kayaknya Acha kenal. Tapi… siapa ya?” kata Acha mencoba mengingat-ingat anak laki-laki tadi.
Rio tertegun sesaat. Tapi lalu menghela nafas panjang dan menginjak gas kembali saat lampu berganti menjadi hijau.
“Cuma perasaan kita aja kali,” kata Rio menatap lurus ke depan. Acha mengangkat bahu.
Rio diam, walau perlahan pikirannya mulai bercabang. Nggak. Nggak mungkin. Nggak mungkin ada dia di sana. Bagaimana bisa? Apa dia kembali ke Jakarta? Ah. Tidak. Bukan. Rio sudah seringkali berharap dan menunggu dia. Tapi tetap saja. Dia tak pernah datang. Dan mungkin, yang tadi itu hanya perasaan Rio. Walau Rio merasa perasaannya kali ini sangat kuat sekali. Ia yakin kalau ada Apin di sana. Ia bahkan dapat merasakannya. Tapi... ck. Rio tak mau kecewa lagi. Sudah sering kali ia mendapat kekecewaan seperti ini. Apin tidak ada di sana. Ya. Tidak ada.
^^^
Alvin memandang sebuah bangunan di depannya. Ia sudah siap dengan seragam SMA rapi. Ini hari pertama Alvin di sekolah barunya. Tapi merupakan minggu pertama bagi siswa sekolah itu. SMA Nusantara.
Alvin melangkah masuk ke sekolah barunya. Semua mata, khususnya para siswi, tertuju padanya. Tapi Alvin tak peduli dan terus berjalan menatap ke depan. Tidak sedikit para siswi yang menatapnya dengan mata berbinar ataupun mendesah kagum. Itu pasti. Memang siapa sih yang menatap Alvin tapi tidak kagum padanya? Khususnya para perempuan. Tubuh jangkung putih, dengan wajah orientalnya. Mata sedikit sipit tapi memiliki tatapan tajam yang buat terpesona. Rambutnya yang sedikit gondrong ala Harajuku. Dan wajah cakepnya yang memang mempesona. Seperti personil boyband-boyband Korea. Apalagi, ia memang cool dan keren. Menambah nilai fisiknya yang makin rupawan.
Alvin lalu masuk ke dalam ruang guru yang memang ia sudah tahu saat kemarin datang ke sekolah ini untuk mendaftar bersama Omanya.
Bel masukan berbunyi. Pertanda seluruh kegiatan harus di hentikkan dan memulai belajar mengajar seperti biasa. Bel itu seperti suara petir memuakkan bagi para siswa karena meganggu sarapan pagi mereka. Satpam sekolah sudah menutup pintu pagar. Para guru sibuk keluar dari ruangannya dan melangkah menuju kelas yang di ajarnya sekarang.
Pak Dave, wali kelas baru Alvin, menuntun Alvin menuju kelasnya.
“Ini kelas kamu, 12 IPS 3,” kata Pak Dave menyebutkan kelas Alvin sambil berhenti di samping pintu kelas.
Alvin menatap ruangan itu. Lalu memandang papan kelas di atas pintu. 12 IPS 3.
“Tunggu di sini,” pesan Pak Dave. Alvin mengangguk. Pak Dave lalu melangkah memasuki kelas.
Kelas yang sebelumnya ramai dan ribut mengalahkan pasar pagi itu, mendadak hening. Ozy yang semula iseng melempari Shilla dengan kertas, kembali duduk manis di mejanya. Shilla dengan kesal melempar balik kertas itu dan mencibir. Angel dan Zahra yang sedang asyik bergosip ria, ikut diam dan menghadapkan posisi duduk ke depan. Cakka yang asyik dengan hapenya, juga ikut menoleh ke arah Pak Dave yang baru saja masuk. Semua murid bergegas menuju meja masing-masing dan duduk manis. Hanya satu orang yang sedari tenang di pojok kelas. Ia hanya menatap kedatangan Pak Dave, lalu memandang para penghuni kelas 12 IPS 3, Gabriel.
“Pagi semua,” sapa Pak Dave ramah.
“Pagi Pak Dave…” jawab murid-murid kompak. Terdengar suara cempreng Ozy yang paling nyaring.
“Kalian sudah tahu belum bakal ada murid baru?” tanya Pak Dave. “Murid baru itu akan masuk ke kelas ini.”
Kelas menjadi ribut kembali dengan cepat. Desas-desus sana sani mulai terdengar. Apalagi Angel dan Zahra. Mereka memang sudah melihat siapa tadi anak laki-laki asing yang masuk ke kantor guru. Anak laki-laki itu tampan, membuat Zahra dan Angel memekik senang sambil tersenyum. Shilla mengangkat alis melihat tingkah dua sobatnya itu. Karena dia memang belum melihat siapa murid baru kelasnya.
Pak Dave menoleh ke arah pintu kelas, “Alvin… ayo masuk.”
Semuanya menoleh kompak ke arah pintu kelas. Perlahan, bayang Alvin muncul. Alvin memasuki kelas dengan tangan kanan memegang tali ransel hitamnya. Semua mata para perempuan melebar dan bersinar. Desahan kagum mulai terdengar dari mereka. Para anak cowok hanya diam menatap Alvin. Ozy mengangkat alis sambil menatap teman baru yang berdiri di depan kelas itu.
“Waw,” gumam Shilla kagum. “Ada artis Korea masuk kelas…” 
“Perkenalkan diri dulu Alvin,” kata Pak Dave mempersilahkan Alvin.
Alvin berdiri di tengah kelas sambil menatap para teman barunya, “Namaku Alvin. Pindahan dari Malang.”
“Oh…  Alvin…” kata semua cewek kompak. Cakka sampai mendelik melihat kelakukan centil para teman kelasnya itu.
“Terus?” tanya Pak Dave. Alvin hanya menggeleng. “Itu saja?” tanya Pak Dave lagi. Kini Alvin mengangguk.
“Yaaahhh…” sorak semua siswi kecewa.
“Ada yang mau bertanya?” tanya Pak Dave.
Anak perempuan berambut panjang dengan poni belah samping dan behel di giginya, segera mengacungkan tangan.
“Iya Zahra?” tanya Pak Dave.
“Nama lengkapnya siapa?” tanya Zahra yang duduk baris kedua dari depan.
“Alvin Jonathan Sindunata,” jawab Alvin seadanya. Yang lain manggut-manggut.
Lalu anak perempuan yang duduk di depan Zahra dengan poni panjang dan rambut kuncir kudanya mengangkat tangan sambil tersenyum lebar.
“Iya Angel? Mau tanya apa?” tanya Pak Dave.
“Rumahnya di mana?” tanya Angel. Semua menyoraki. Angel hanya menjulurkan lidah.
“Di Jakarta,” jawab Alvin singkat.
“Iya tahu di Jakarta. Maksudnya, di mananya gitu. Alamat lengkap…” kata Angel tidak puas.
“Sorry. Aku baru di sini. Jadi belum terlalu tahu,” jawab Alvin.
Para perempuan kecewa kembali. Lalu dengan malu-malu, anak perempuan yang duduk di samping Angel mengangkat tangan.
“tanya apa lagi Shilla?” tanya Pak Dave mulai kesal karena waktu mengajarnya berkurang.
“Nomor hapenya berapa?” tanya Shilla malu-malu, yang di sambut sorakan seluruh penjuru kelas. Ozy dan Cakka yang paling heboh menyoraki. Gabriel sampai tertawa kecil. Shilla hanya tersenyum tersipu. Tanpa sadar Alvin balas tersenyum tipis, membuat wajah cantik Shilla memerah.
“Udah, udah. Pertanyaannya kok ngaco sih. Nanya pribadi nanti aja,” kata Pak Dave kesal. Guru satu ini memang tidak suka kalau pelajarannya di ganggu atau terkurang waktunya.
“Alvin, kamu duduk di…” kalimat Pak Dave menggantung sambil mencari bangku kosong, “di samping Gabriel,” lanjut Pak Dave menunjuk bangku paling pojok belakang. Di samping bangku itu, seorang anak laki-laki tampan berbadan kurus jangkuk mendongak, lalu memandang Alvin.
Alvin mengangguk dan melangkah menuju bangku yang di maksud. Mata Shilla berputar mengikuti badan Alvin. Gabriel menarik salah satu ujung bibirnya menyambut Alvin. Alvin balas tersenyum tipis dan menaruh tasnya lalu duduk di samping Gabriel.
“Oh, my God. Pangeran sekolah, sama anak baru yang cakep...” kata Angel menggantung sambil menatap meja di pojok belakang.
“Duduk semeja!!!” pekik Zahra senang. Angel juga tersenyum lebar.
Semua murid menoleh ke belakang, ke meja Gabriel dan Alvin. Ada beberapa anak yang memandang takut dan khawatir. Tapi beberapa juga, khususnya perempuan, memandang kagum. Lengkap sudah kelas ini. Dua orang cowok keren dan tampan duduk di bangku pojok belakang. Bisa fresh terus mata mereka memandangi dua cowok keren itu.
“Oke, kita mulai pelajaran hari ini,” kata Pak Dave menyadarkan para siswa akan meja pojok belakang itu. Tapi…
Tok… tok.. tok…
Semua menoleh ke arah pintu kelas. Olivia, murid kelas 12 IPS 2, berdiri di sana.
“Em… permisi. Pak Dave di perlukan kepala sekolah sekarang di kantornya,” kata Olivia sopan. Semua siswa hampir berteriak senang kalau tidak sadar akan keberadaan Pak Dave di depan kelas. Sementara Pak Dave mendengus kesal. Sudah tadi jam pelajaran di potong karena perkenalan Alvin, sekarang harus pergi meninggalkan pelajaran itu! Ish!
“Ya sudah. Kerjakan halaman 24. Kalau bapak belum datang, kumpulkan ke Patton, ketua kelas,” perintah Pak Deni, lalu melangkah keluar kelas. Olivia bergegas kembali ke kelasnya.
Satu… Dua… Ti…
“YYYEEEYYY!!!” sorak semua kompak.
“Merdeka!!” teriak Ozy sambil meninju udara. Cakka menimpuk kepalanya dengan kesal. Anak itu memang sering bertingkah konyol. Padahal ia tidak sadar apa predikatnya di sekolah ini.
Kelas 12 IPS 3 kembali ribut seperti biasa. Patton, sang ketua kelas, malah tidak tahu menahu dan sibuk mengerjakan tugas dari Pak Dave sendiri.
“Hei. Gue Gabriel. Panggil aja Iyel,” kata Gabriel sambil menjulurkan tangannya ke Alvin.
Alvin membalasnya sambil tersenyum tipis, “Alvin.”
Anak laki-laki yang duduk di depan Gabriel, menoleh dan berbalik ke belakang.
“Kenalin. Gue Cakka,” kata Cakka menjulurkan tangan. Alvin membalasnya. Anak laki-laki yang duduk di samping Cakka berbalik juga.
“Gue Ozy. Welcome to 12 IPS 3!!!” kata Ozy sambil tersenyum lebar.
“Eh! Awas kalau Alvin jadi mangsa baru kalian,” kata seorang siswi tiba-tiba yang sudah berdiri di samping meja Alvin. Semua menoleh.
“Gue Shilla,” kata Shilla manis sambil menjulurkan tangan sambil tersenyum.
Alvin diam sesaat sambil memandang tangan Shilla, tapi lalu membalas dan menjabat tangan Shilla. Shilla tersenyum kembali sambil melepaskan genggamannya.
“Hati-hati bro sama dia. Nenek lampir. Anaknya suka gigit,” ejek Ozy dan detik berikutnya satu jitakan mendarat di kepalanya dengan kesal dari Shilla.
“Ingat ya. Alvin anak baru. Buat di betah di sini. Jangan perlakuin dia kayak kalian perlakuin anak-anak lain,” perintah Shilla dengan gaya bossy.
Gabriel, Cakka, dan Ozy saling pandang dengan alis terangkat. Sementara Alvin mengernyitkan kening tidak mengerti.
Shilla menoleh kembali ke Alvin. “Semoga nyaman di sini ya Vin,” ucap Shilla sambil tersenyum manis, lalu berbalik dan melangkah pergi.
Alvin balas tersenyum tipis. Tapi tidak lama Alvin menjadi heran sendiri, kenapa daritadi ia tersenyum ke arah cewek itu? Walau hanya senyuman tipis, tapi itu sudah termasuk kemajuan pesat. Karena sebelumnya Alvin memang kurang tertarik dengan perempuan. Bukan berarti ia menyukai sesama jenis, tapi Alvin masih belum ingin memikirkan perempuan. Tapi kini…
Alin mengangkat salah satu alis sambil menatap punggung Shilla yang semakin menjauh. Entah mengapa… sepertinya Alvin merasakan ada magnet antara ia dan Shilla.
^^^
@ SMA Harapan
Acha tersentak kaget melihat kakaknya yang ikut melangkah bersamanya ke kelasnya pagi ini. Padahal harusnya Rio berbelok naik ke tangga untuk menuju kelas duabelas yang berada di lantai dua.
“Udah ah kak. Ngapain sih ngantar Acha sampai ke kelas gini? Kelas kakak kan di lantai atas,” kata Acha sewot. “Kayak satpam aja,” lanjutnya menggerutu.
Rio tersenyum sambil merangkul adik semata wayangnya itu. “Emang nggak boleh? Selain ngelindungin kamu dari bahaya cowok-cowok rese, kakak juga punya tujuan lain…”
Acha mencibir. “Pasti mau ngapel.”
Rio nyengir kuda. “Tuh tahu,” kata Rio sambil mengacak-acak rambut Acha.
Sampai di depan kelas Acha, 10-2, seorang anak perempuan berwajah imut dengan rambut ikal yang di ikat tinggi olehnya, sedang menyapu di ambang pintu kelas.
“Pagi, Ke…” sapa Rio ramah saat sudah berdiri di depan anak perempuan itu.
Keke mendongak, lalu balas tersenyum manis. “Pagi juga kak…”
“Piket ya Ke?” tanya Rio. Acha mendelik kecil ke arah kakaknya, lalu terkekeh geli melihat gaya sok peduli kakaknya itu. Biasa juga selalu cuek pada siapapun.
“Eh… iya kak,” jawab Keke sambil tersenyum sedikit kikuk.
“Oh, iya. Ke, nanti pulang di jemput?” tanya Rio.
“Eh… nggak tahu, kak. Kayaknya sih nggak,” jawab Keke, membuat sebuah senyuman terukir di wajah tampan Rio.
“Bareng aja gimana? Sekalian, mau aku kenalin.”
Keke mengerutkan kening, “kenalin? Sama siapa kak?”
“Hmptt… Dasar! Kak Rio mau pamer Ke. Dia baru beli mobil, makanya ajak kamu pulang bareng. Iya, kan?” goda Acha yang masih berdiri di samping Rio. Rio tersenyum kikuk.
“Namanya si putih. Aneh kan? Masa’ mobil di kasih nama? Ckckckck. Kakakku mau kenalin kamu sama mobil barunya,” lanjut Acha. Keke tersenyum geli mendengarnya.
“Eh… gimana Ke? Mau bareng nggak?” tanya Rio canggung sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal. Acha tersenyum kecil melihat keduanya.
Keke mengangguk dan tersenyum malu. Rio tersenyum lega dan senang.
“Ceile! Dasar! Kalau di depan yang lain aja, belaga sok preman. Di depan Keke, malah malu-malu monyet,” ejek Acha. Keke tersipu malu. Rio menepuk kepala adiknya itu sambil tersenyum kecil.
“Ya udah. Kakak balik dulu. Ke… gue balik ya,” pamit Rio.
Keke mengangguk sambil tersenyum. Rio pun berbalik dan melangkah menjauh menuju kelasnya. Keke menatap punggung Rio yang semakin menjauh.
“Prikitiw!” teriak Acha membuat Keke terlonjak.
Keke tertawa. “Apaan sih Cha! Eh, udah ngerjain fisika?”
“Eh, belum. Oh, ya. Pinjam punya kamu dong, Ke…” pinta Acha memelas.
Keke tersenyum. “Ambil aja di tasku.”
Acha tersenyum lebar. “Makasih ya Ke. Kamu emang calon kakak ipar yang baik!” kata Acha setengah menggoda, lalu segera melesat ke dalam kelas.
“Apaan sih!” kata Keke malu.

xxxxx

Panjang banget ya? Wakakaka. Itu scene di dealer mobil nggak kayak sinetron kan ya? Ya kan? Ya kan?
Couple nya sudah mulai muncul, maaf kalau bukan couple kesayangan anda :p
Masih ada yang mau nunggu part 3? Masih kan ya? Iya dong pastinya! Harus iya! *maksa*
Komen? Silahkan di klik ---> facebook.com/mrz.mikas (Aleastri Blinkstar Miossa) twitter.com/aleastri . Jangan lupa pake' hastag #PMB :D
Terima kasih sudah membaca ;)


1 komentar:

  1. Kamu hebat dalam memainkan Tokoh,,,,,saya aja masih kebingungan aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasssaa.

    Kunjungi balik yak,sekalian baca baca punya saya

    BalasHapus