Alvin
ternyata lupa pada Rio, sahabat kecilnya dulu. Tapi karena Sivia dan juga
selembar foto, Alvin jadi ingat kembali, dan sangat senang sekali saat pindah
ke Jakarta. Lalu... kalau mereka kembali tinggal di satu kota, apa harapan
mereka untuk kembali di pertemukan akan terwujud dengan mudah? Atau... takdir
masih ingin menunggu waktu untuk mempertemukan mereka?
Tapi
kalau secepat itu mereka bertemu, cerita ini tidak akan menarik, kan? ;)
Part
2. Welcome Back!
Aku benci perpisahaan. Aku tidak ingin berpisah denganmu
Aku juga. Tapi mau
bagaimana lagi? Sudahlah. Seperti yang kau katakan kan? Kita harus yakin,
percaya, dan selalu berdoa
Aku pasti akan merindukanmu
Aku juga. Kalau kita
bertemu saat dewasa nanti, aku berjanji. Aku akan mengenalimu. Pasti. Aku tidak
akan lupa dengan mata sipitmu itu. Hihihi
Aku juga tidak akan lupa. Baiklah. Kita berjanji ya, kalau
kita bertemu lagi nanti, kita harus mengenali satu sama lain.
Janji...
***
Alvin, Pak Anton, serta
Oma sudah sampai di Jakarta. Alvin benar-benar gembira saat menginjakkan kaki
kembali di Jakarta. Senyuman lebar tidak juga hilang dari wajah gantengnya.
Membuat mata sipitnya makin tidak terlihat karena senyum lebarnya.
'Akhirnya… akhirnya selama 12 tahun, aku kembali lagi ke sini.
Io… nggak sabar aku bakal ketemu kamu lagi. Papa emang benar, suatu saat nanti
kita pasti ketemu lagi. Hmmppp… gimana kamu sekarang ya ?,' kata
Alvin di dalam hati sambil terus tersenyum senang saat perjalanan menuju
rumahnya di Jakarta.
Alvin
sedikit mengerutkan kening saat taksi yang ia tumpangi berhenti di depan sebuah
rumah bertingkat dua dengan cat putih dan pagar setinggi dua meter berwarna
putih juga.
Pak
Anton keluar, di ikuti Oma. Alvin masih mengerutkan kening dan kecewa, tapi
ikut keluar juga.
"Kenapa
nggak di rumah lama sih Pa?" tanya Alvin kecewa dan setengah kesal.
"Yang
itu sudah ada yang punya, Vin. Udahlah. Ayo masuk," kata Pak Anton sambil
mengeluarkan koper besar dari bagasi taksi.
Alvin
menghela nafas, dan dengan hati kecewa membantu membawakan barang masuk ke
dalam rumah barunya.
^^^
Oma
mengernyitkan kening melihat Alvin yang sudah keluar dari dalam kamarnya.
Kopernya padahal baru saja di taruh dengan beberapa barang lain. Tapi bukannya
memberesi, ia malah keluar lagi dan seperti bersiap pergi.
"Mau
kemana kamu Vin? Baru juga sampai. Istirahat dulu kek, rapiin barang-barang
kek. Kok udah mau ngeluyur aja. Emang kamu masih ingat jalanan di Jakarta?
Bahaya Alvin," omel Oma memandang Alvin yang sudah ingin keluar.
Alvin
menoleh, kemudian mendesah. Tapi saat membuka mulut, ingin menjawab, sebuah
suara membuatnya diam kembali.
"Udahlah
Ma. Masa' khawatir sama preman sekolah gini. Ya kan Vin?" tanya Pak Anton
yang sudah berdiri di samping Alvin dan merangkul pundak Alvin. "Pasti
kamu mau ke rumah Io kan? Papa ikut ya!"
Alvin
mengangkat alis, tapi kemudian mengangguk semangat sambil tersenyum lebar
kembali. Ia lalu segera menarik Papanya keluar rumah.
"Pergi
dulu ya Oma!" pamit Alvin girang dari arah luar.
"Hati-hati
ya!" pesan Oma setengah berteriak.
^^^
"Pindah!?"
tanya Alvin histeris dan kaget.
Satpam
yang berdiri di depan Alvin itu mengangguk, "Iya. Mereka sudah pindah
sekitar tiga tahun lalu. Dan rumah ini sudah di jual," jelas satpam itu
menunjuk rumah Io dulu yang tepat berada di belakangnya.
"Pindah
kemana ya Pak?" tanya Pak Anton
"Oh,
maaf Pak. Saya kurang tahu. Yang saya tahu, keluarga Haling memang sudah pindah
beberapa tahun lalu," jawab satpam itu.
Alvin
menghela nafas dan kecewa.
"Tapi...
anak laki-laki keluarga Haling itu masih sering main ke sini," lanjut
satpam itu membuat Alvin tersentak dengan mata berbinar.
"Biasanya...
sebulan sekali ataupun dua bulan sekali. Sebenarnya sih nggak tentu juga. Tapi
dia sering berkunjung ke danau yang ada di perumahan ini," jelas satpam
itu lagi.
Wajah
Alvin merekah dengan mata berbinar, "Besok dia bakal datang lagi
nggak?"
Satpam
itu terdiam sejenak, "Saya kurang tahu mas. Saya sering liat aja dia masuk
perumahan ini. Kan perumahan ini memang terkenal karena taman dan danau yang
ada di sana itu," ucap satpam itu sambil menunjuk ke arah yang di maksud,
"Tapi anak laki-laki keluarga Haling itu jarang bergaul. Jadi saya nggak
pernah nanya-nanya atau ngobrol. Namanya aja saya nggak tahu mas. Maaf ya
mas..."
Garis
wajah Alvin mengendor seketika. Ia kembali mendesah kecewa, "Nggak papa
kok Pak. Makasih," ucap Alvin pahit.
Satpam
itu mengangguk dan tersenyum ramah.
"Ya
sudahlah. Kita pulang aja ya," ucap Pak Anton sambil menepuk pundak Alvin.
Alvin
menghela nafas panjang. Lalu menatap rumah sederhana berwarna biru muda dengan
teras yang cukup luas itu. Tapi kemudian Alvin mengangguk lemas, dan dengan
gontai masuk ke dalam taksi yang baru saja di stop Papanya.
^^^
Ternyata
Pak Anton tidak membawa Alvin pulang. Ia malah mengajak anak tunggalnya itu
menuju sebuah dealer mobil di Jakarta. Pak Anton ingin membelikan Alvin mobil
baru selama di Jakarta. Karena mobilnya yang di Malang di tinggal dan di
berikan pada Sivia. Pak Anton membelikan Alvin mobil di hari pertama ia datang
ke Jakarta agar kekecewaan Alvin sedikit berkurang.
"Jadi?
Kamu mau yang mana? Tetap xenia kayak mobil kamu yang di Malang dulu?"
tawar Pak Anton sambil membolak balik lembar demi lembar poto-poto mobil yang
memang di sediakan.
Alvin
sama sekali tidak bersemangat. Padahal ia sudah sangat gembira akan bertemu Io
kembali, sahabat kecilnya yang dulu ia tinggal. Tapi kenapa Io harus pindah
rumah? Alvin sekarang tidak tahu Io di mana. Pikirannya kacau, karena ternyata
harapannya tak menjadi kenyataan. Atau... apa Alvin harus mengikuti program
termehek-mehek yang di televisi itu untuk bertemu dengan Io ya? Alvin diam
sejenak, tapi kemudian segera menggelengkan kepalanya. Konyol. Buat apa ia
mengikuti program yang mirip sinetron stripping seperti itu? Nanti ia malah di
tertawakan teman-temannya di Malang dulu. Apalagi kalau Sivia juga menonton.
"Oh...
jadi kamu mau ganti? Yang mana?" tanya Pak Anton seakan mengartikan
gelengan Alvin dengan jawaban dari pertanyaannya yang sebelumnya.
Alvin
tidak bergeming. Masih melamun.
"Vin!"
panggil Pak Anton sambil menepuk pundak Alvin membuat Alvin terloncat kecil dan
tersadar.
"Eh,
iya pa? Kenapa?" tanya Alvin linglung.
Pak
Anton diam sejenak, tapi kemudian mendesah kecil. "Kamu mau mobil yang
mana? Mau tetap xenia kayak dulu?"
Alvin
terdiam. Lalu menatap jejeran mobil di depannya. Setelah berkeliling cukup
lama, mata Alvin berhenti pada sebuah Honda Jazz putih yang berada cukup jauh
dari tempatnya duduk. Hm... menarik.
“Yang
itu Pa…” jawab Alvin sambil menunjuk jazz itu.
“Oh,
maaf. Yang itu sudah ada pemiliknya,” jawab pelayan toko yang melayani Alvin
dan Papanya. Bet namanya tertulis Irna.
“Sudah
ada pemiliknya?” tanya Pak Anton bingung.
“Iya,
Pak. Sebentar lagi pemiliknya akan datang mengambil,” jelas Irna.
“Nggak
ada yang lain mba?” tanya Pak Anton.
“Oh,
maaf sekali lagi Pak. Itu warna putih yang terakhir. Kalau mau, warna lain
saja,” bujuk Irna ramah.
Alvin
menghela nafas, padahal Honda Jazz Putih itu cukup menarik. “Ya udah deh Pa.
Yang warna itam aja.”
“Oh…
yang hitam aja mba,” kata Papa Alvin memandang Irna.
Irna
tersenyum ramah. Selanjutnya, Papa Alvin sibuk dengan pembayaran mobil itu.
Sementara Alvin duduk diam sambil menatap keseluruhan toko.
^^^
Acha
dan Rio turun dari taksi. Rio segera menarik tangan Acha dan melangkah dengan
langkah panjang. Acha sedikit kesulitan menjajarkan kakinya dengan langkah
kakaknya itu.
“Kenapa
harus sama Acha sih? Kakak mau pamer gitu, di beliin mobil baru sama Ayah,”
kata Acha kesal.
Rio
menyeringai lebar. “Iya, dong. Harusnya kamu juga ikut senang Cha. Kan jadi
lebih enak. Kamu nggak perlu susah-susah naik motor kakak. Biasanya kan rok
kamu terbang ke mana-mana. Kalau di mobil kan nggak. Lagian… beruntung kamu
jadi cewek pertama yang boleh duduk di kursi manis si putih.”
“Si
putih? Iyuh. Jadi tu mobil udah punya nama?” tanya Acha sambil mendelik.
Rio
tertawa renyah. “Udah. Ayo masuk,” kata Rio sambil memasuki dealer mobil yang
outdoor itu dan menarik tangan Acha.
Tapi
saat satu langkah kaki Rio terinjak di dealer itu, Rio mendadak terdiam.
“Kenapa
kak?” tanya Acha heran melihat kakanya yang tiba-tiba menghentikkan langkah dan
terdiam.
Rio
tetap diam tak menjawab. Mendadak ia membeku. Dan seperti ada sesuatu yang
menghentikannya. Perlahan, ia merasakan sesuatu. Entah apa. Seperti... ada
seseorang di dealer ini. Padahal kemarin, Rio tidak merasakan apapun. Tapi
kenapa sekarang, seperti ada sesuatu datang. Bukan. Bukan sesuatu. Tepatnya ada
seseorang. Entah siapa...
^^^
DEG!
Alvin
merasakan jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik. Sesaat, ia
seperti merasakan sesuatu. Sebuah perasaan kuat. Hatinya seperti berteriak
memberitahu, ada seseorang datang.
Alvin
menatap sekelilingnya. Tapi pandangannya terhalang dengan deretan mobil-mobil
di dealer itu. Dan juga, kasir berada di sudut. Sangat jauh dengan pintu utama.
Alvin makin penasaran dengan perasaannya. Tapi ia hanya diam saja.
^^^
“Kak?
Kenapa sih? Ayo masuk!” kata Acha sambil menarik tangan Rio. Rio terlonjak,
lalu tersadar dan menurut.
“Selamat
sore. Ada yang bisa saya bantu?” tanya salah satu pegawai toko sambil tersenyum
ramah.
“Eh,
mau ambil mobil yang kemarin itu mba,” jawab Rio yang memang masih ingat dengan
perempuan yang kemarin lusa juga melayaninya.
Perempuan dewasa berambut panjang gelombang itu, Putri.
“oh,
iya mas. Itu mobilnya,” kata Putri sambil melangkah menuju Honda Jazz putih
yang berada tidak jauh dari kasir berada. Rio dan Acha mengikuti.
“Ini
kuncinya mas,” kata Putri seraya menyerahkan kunci mobil Rio. Rio menerimanya.
“Silahkan
mas. Kemarin sudah di coba kan?” tanya Putri.
Rio
diam sesaat, tapi lalu mengangguk. Ia lalu segera masuk dan duduk di kursi
pengemudi.
Acha
tersenyum terima kasih pada Putri, lalu melangkah menuju pintu mobil satunya.
Saat membuka pintu mobil, tanpa sengaja mata Acha berhenti pada seorang anak
laki-laki yang sedang duduk di meja kasir.
Dan
entah bisikan dari siapa, anak laki-laki itu juga menoleh ke arah Acha. Mata
keduanya beradu. Acha tersentak, dan terdiam. Ia seperti mengenali tatapan anak
laki-laki itu. Acha kenal betul dengan sorot kedua mata anak laki-laki itu.
Mata sedikit sipit dan wajah oriental anak itu, seperti Acha kenal.
“Cha…
kok bengong? Ayo masuk,” kata Rio menyadarkan Acha.
Acha
terkejut, tapi lalu mengangguk. Ia menatap anak laki-laki itu lagi sekilas,
tapi lalu memasuki mobil Rio. Rio mulai menghidupkan mesin mobil, lalu
menginjak gas dan menuntun mobil barunya pergi.
^^^
“Itu
yang beli mobil tadi mas,” kata Irna saat melihat Alvin memerhatikan Honda Jazz
putih yang mulai keluar perlahan dari dealer.
Alvin
masih menatap mobil itu sampai bayangnya hilang.
“Kenapa
vin? Katanya udah mau yang hitam. Kamu masih ingin Jazz putih itu?” tanya Pak
Anton.
Alvin
menoleh, lalu menggeleng. Ia lalu mendesah, dan kembali menatap pintu keluar.
Di mana Honda Jazz putih itu pergi. Bukan. Bukan mobil itu. Tapi pemiliknya.
Siapa anak perempuan itu? Sepertinya… Alvin pernah lihat. Tapi di mana? Dan
juga… siapa yang ada dalam mobil itu? Shiitt… kenapa kaca jendela itu harus
tertutup dan kenapa tidak bisa terlihat jelas dari luar siapa yang duduk di
dalamnya? Dan juga… kenapa Alvin tidak melihat saat pemilik mobil itu masuk.
Dan anak perempuan itu. Sebenarnya siapa? Rambut gelombang di bawah pundak
gadis itu, seperti mengingatkan Alvin pada seseorang. Entah siapa. Dan bayang
pemilik mobil yang duduk di kursi pengemudi itu, seperti menarik Alvin untuk
merasa sangat penasaran. Dan Alvin merasa… Pengemudi mobil itu adalah seseorang
yang selama ini dia cari. Seseorang yang hilang. Tapi siapa?
^^^
“Kak…”
panggil Acha saat di dalam mobil.
“Em…”
sahut Rio tanpa menoleh.
“Tadi…
di dealer mobil, kakak ngerasain sesuatu?” tanya Acha pelan.
Rio
terdiam tapi tetap fokus pada jalanan di depan, “kenapa?”
“Em…
aku ngerasa…” kalimat Acha menggantung. Ia diam sejenak, “aku ngerasa ada
seseorang kak.”
Rio
terdiam. Lalu menginjak rem, bertepatan dengan lampu merah. Rio menoleh ke arah
Acha, “kamu juga ngerasain?”
Acha
mengangguk. “Kakak juga, kan? Makanya, tadi kakak sempat diam pas masuk ke
sana. Tapi kak, aku ngerasa… waktu aku liat ada anak laki-laki di kasir.”
Rio
mengernyitkan kening sambil menatap Acha. Acha mengangguk meyakinkan.
“Tapi
nggak tahu siapa. Dia juga natap Acha. Kayaknya Acha kenal. Tapi… siapa ya?”
kata Acha mencoba mengingat-ingat anak laki-laki tadi.
Rio
tertegun sesaat. Tapi lalu menghela nafas panjang dan menginjak gas kembali
saat lampu berganti menjadi hijau.
“Cuma
perasaan kita aja kali,” kata Rio menatap lurus ke depan. Acha mengangkat bahu.
Rio
diam, walau perlahan pikirannya mulai bercabang. Nggak. Nggak mungkin. Nggak
mungkin ada dia di sana. Bagaimana bisa? Apa dia kembali ke Jakarta? Ah. Tidak.
Bukan. Rio sudah seringkali berharap dan menunggu dia. Tapi tetap saja. Dia tak
pernah datang. Dan mungkin, yang tadi itu hanya perasaan Rio. Walau Rio merasa
perasaannya kali ini sangat kuat sekali. Ia yakin kalau ada Apin di sana. Ia
bahkan dapat merasakannya. Tapi... ck. Rio tak mau kecewa lagi. Sudah sering
kali ia mendapat kekecewaan seperti ini. Apin tidak ada di sana. Ya. Tidak ada.
^^^
Alvin
memandang sebuah bangunan di depannya. Ia sudah siap dengan seragam SMA rapi.
Ini hari pertama Alvin di sekolah barunya. Tapi merupakan minggu pertama bagi
siswa sekolah itu. SMA Nusantara.
Alvin
melangkah masuk ke sekolah barunya. Semua mata, khususnya para siswi, tertuju
padanya. Tapi Alvin tak peduli dan terus berjalan menatap ke depan. Tidak
sedikit para siswi yang menatapnya dengan mata berbinar ataupun mendesah kagum.
Itu pasti. Memang siapa sih yang menatap Alvin tapi tidak kagum padanya?
Khususnya para perempuan. Tubuh jangkung putih, dengan wajah orientalnya. Mata
sedikit sipit tapi memiliki tatapan tajam yang buat terpesona. Rambutnya yang
sedikit gondrong ala Harajuku. Dan wajah cakepnya yang memang mempesona.
Seperti personil boyband-boyband Korea. Apalagi, ia memang cool dan keren.
Menambah nilai fisiknya yang makin rupawan.
Alvin
lalu masuk ke dalam ruang guru yang memang ia sudah tahu saat kemarin datang ke
sekolah ini untuk mendaftar bersama Omanya.
Bel
masukan berbunyi. Pertanda seluruh kegiatan harus di hentikkan dan memulai
belajar mengajar seperti biasa. Bel itu seperti suara petir memuakkan bagi para
siswa karena meganggu sarapan pagi mereka. Satpam sekolah sudah menutup pintu
pagar. Para guru sibuk keluar dari ruangannya dan melangkah menuju kelas yang
di ajarnya sekarang.
Pak
Dave, wali kelas baru Alvin, menuntun Alvin menuju kelasnya.
“Ini
kelas kamu, 12 IPS 3,” kata Pak Dave menyebutkan kelas Alvin sambil berhenti di
samping pintu kelas.
Alvin
menatap ruangan itu. Lalu memandang papan kelas di atas pintu. 12 IPS 3.
“Tunggu
di sini,” pesan Pak Dave. Alvin mengangguk. Pak Dave lalu melangkah memasuki
kelas.
Kelas
yang sebelumnya ramai dan ribut mengalahkan pasar pagi itu, mendadak hening.
Ozy yang semula iseng melempari Shilla dengan kertas, kembali duduk manis di
mejanya. Shilla dengan kesal melempar balik kertas itu dan mencibir. Angel dan
Zahra yang sedang asyik bergosip ria, ikut diam dan menghadapkan posisi duduk
ke depan. Cakka yang asyik dengan hapenya, juga ikut menoleh ke arah Pak Dave
yang baru saja masuk. Semua murid bergegas menuju meja masing-masing dan duduk
manis. Hanya satu orang yang sedari tenang di pojok kelas. Ia hanya menatap
kedatangan Pak Dave, lalu memandang para penghuni kelas 12 IPS 3, Gabriel.
“Pagi
semua,” sapa Pak Dave ramah.
“Pagi
Pak Dave…” jawab murid-murid kompak. Terdengar suara cempreng Ozy yang paling
nyaring.
“Kalian
sudah tahu belum bakal ada murid baru?” tanya Pak Dave. “Murid baru itu akan
masuk ke kelas ini.”
Kelas
menjadi ribut kembali dengan cepat. Desas-desus sana sani mulai terdengar.
Apalagi Angel dan Zahra. Mereka memang sudah melihat siapa tadi anak laki-laki
asing yang masuk ke kantor guru. Anak laki-laki itu tampan, membuat Zahra dan
Angel memekik senang sambil tersenyum. Shilla mengangkat alis melihat tingkah
dua sobatnya itu. Karena dia memang belum melihat siapa murid baru kelasnya.
Pak
Dave menoleh ke arah pintu kelas, “Alvin… ayo masuk.”
Semuanya
menoleh kompak ke arah pintu kelas. Perlahan, bayang Alvin muncul. Alvin
memasuki kelas dengan tangan kanan memegang tali ransel hitamnya. Semua mata
para perempuan melebar dan bersinar. Desahan kagum mulai terdengar dari mereka.
Para anak cowok hanya diam menatap Alvin. Ozy mengangkat alis sambil menatap
teman baru yang berdiri di depan kelas itu.
“Waw,”
gumam Shilla kagum. “Ada artis Korea masuk kelas…”
“Perkenalkan
diri dulu Alvin,” kata Pak Dave mempersilahkan Alvin.
Alvin
berdiri di tengah kelas sambil menatap para teman barunya, “Namaku Alvin.
Pindahan dari Malang.”
“Oh… Alvin…” kata semua cewek kompak. Cakka sampai
mendelik melihat kelakukan centil para teman kelasnya itu.
“Terus?”
tanya Pak Dave. Alvin hanya menggeleng. “Itu saja?” tanya Pak Dave lagi. Kini
Alvin mengangguk.
“Yaaahhh…”
sorak semua siswi kecewa.
“Ada
yang mau bertanya?” tanya Pak Dave.
Anak
perempuan berambut panjang dengan poni belah samping dan behel di giginya,
segera mengacungkan tangan.
“Iya
Zahra?” tanya Pak Dave.
“Nama
lengkapnya siapa?” tanya Zahra yang duduk baris kedua dari depan.
“Alvin
Jonathan Sindunata,” jawab Alvin seadanya. Yang lain manggut-manggut.
Lalu
anak perempuan yang duduk di depan Zahra dengan poni panjang dan rambut kuncir
kudanya mengangkat tangan sambil tersenyum lebar.
“Iya
Angel? Mau tanya apa?” tanya Pak Dave.
“Rumahnya
di mana?” tanya Angel. Semua menyoraki. Angel hanya menjulurkan lidah.
“Di
Jakarta,” jawab Alvin singkat.
“Iya
tahu di Jakarta. Maksudnya, di mananya gitu. Alamat lengkap…” kata Angel tidak
puas.
“Sorry.
Aku baru di sini. Jadi belum terlalu tahu,” jawab Alvin.
Para
perempuan kecewa kembali. Lalu dengan malu-malu, anak perempuan yang duduk di
samping Angel mengangkat tangan.
“tanya
apa lagi Shilla?” tanya Pak Dave mulai kesal karena waktu mengajarnya
berkurang.
“Nomor
hapenya berapa?” tanya Shilla malu-malu, yang di sambut sorakan seluruh penjuru
kelas. Ozy dan Cakka yang paling heboh menyoraki. Gabriel sampai tertawa kecil.
Shilla hanya tersenyum tersipu. Tanpa sadar Alvin balas tersenyum tipis,
membuat wajah cantik Shilla memerah.
“Udah,
udah. Pertanyaannya kok ngaco sih. Nanya pribadi nanti aja,” kata Pak Dave
kesal. Guru satu ini memang tidak suka kalau pelajarannya di ganggu atau
terkurang waktunya.
“Alvin,
kamu duduk di…” kalimat Pak Dave menggantung sambil mencari bangku kosong, “di
samping Gabriel,” lanjut Pak Dave menunjuk bangku paling pojok belakang. Di
samping bangku itu, seorang anak laki-laki tampan berbadan kurus jangkuk
mendongak, lalu memandang Alvin.
Alvin
mengangguk dan melangkah menuju bangku yang di maksud. Mata Shilla berputar
mengikuti badan Alvin. Gabriel menarik salah satu ujung bibirnya menyambut Alvin.
Alvin balas tersenyum tipis dan menaruh tasnya lalu duduk di samping Gabriel.
“Oh,
my God. Pangeran sekolah, sama anak baru yang cakep...” kata Angel menggantung
sambil menatap meja di pojok belakang.
“Duduk
semeja!!!” pekik Zahra senang. Angel juga tersenyum lebar.
Semua
murid menoleh ke belakang, ke meja Gabriel dan Alvin. Ada beberapa anak yang
memandang takut dan khawatir. Tapi beberapa juga, khususnya perempuan,
memandang kagum. Lengkap sudah kelas ini. Dua orang cowok keren dan tampan
duduk di bangku pojok belakang. Bisa fresh terus mata mereka memandangi dua
cowok keren itu.
“Oke,
kita mulai pelajaran hari ini,” kata Pak Dave menyadarkan para siswa akan meja
pojok belakang itu. Tapi…
Tok…
tok.. tok…
Semua
menoleh ke arah pintu kelas. Olivia, murid kelas 12 IPS 2, berdiri di sana.
“Em…
permisi. Pak Dave di perlukan kepala sekolah sekarang di kantornya,” kata
Olivia sopan. Semua siswa hampir berteriak senang kalau tidak sadar akan
keberadaan Pak Dave di depan kelas. Sementara Pak Dave mendengus kesal. Sudah
tadi jam pelajaran di potong karena perkenalan Alvin, sekarang harus pergi
meninggalkan pelajaran itu! Ish!
“Ya
sudah. Kerjakan halaman 24. Kalau bapak belum datang, kumpulkan ke Patton,
ketua kelas,” perintah Pak Deni, lalu melangkah keluar kelas. Olivia bergegas
kembali ke kelasnya.
Satu…
Dua… Ti…
“YYYEEEYYY!!!”
sorak semua kompak.
“Merdeka!!”
teriak Ozy sambil meninju udara. Cakka menimpuk kepalanya dengan kesal. Anak
itu memang sering bertingkah konyol. Padahal ia tidak sadar apa predikatnya di
sekolah ini.
Kelas
12 IPS 3 kembali ribut seperti biasa. Patton, sang ketua kelas, malah tidak
tahu menahu dan sibuk mengerjakan tugas dari Pak Dave sendiri.
“Hei.
Gue Gabriel. Panggil aja Iyel,” kata Gabriel sambil menjulurkan tangannya ke
Alvin.
Alvin
membalasnya sambil tersenyum tipis, “Alvin.”
Anak
laki-laki yang duduk di depan Gabriel, menoleh dan berbalik ke belakang.
“Kenalin.
Gue Cakka,” kata Cakka menjulurkan tangan. Alvin membalasnya. Anak laki-laki
yang duduk di samping Cakka berbalik juga.
“Gue
Ozy. Welcome to 12 IPS 3!!!” kata Ozy sambil tersenyum lebar.
“Eh!
Awas kalau Alvin jadi mangsa baru kalian,” kata seorang siswi tiba-tiba yang
sudah berdiri di samping meja Alvin. Semua menoleh.
“Gue
Shilla,” kata Shilla manis sambil menjulurkan tangan sambil tersenyum.
Alvin
diam sesaat sambil memandang tangan Shilla, tapi lalu membalas dan menjabat
tangan Shilla. Shilla tersenyum kembali sambil melepaskan genggamannya.
“Hati-hati
bro sama dia. Nenek lampir. Anaknya suka gigit,” ejek Ozy dan detik berikutnya
satu jitakan mendarat di kepalanya dengan kesal dari Shilla.
“Ingat
ya. Alvin anak baru. Buat di betah di sini. Jangan perlakuin dia kayak kalian
perlakuin anak-anak lain,” perintah Shilla dengan gaya bossy.
Gabriel,
Cakka, dan Ozy saling pandang dengan alis terangkat. Sementara Alvin mengernyitkan
kening tidak mengerti.
Shilla
menoleh kembali ke Alvin. “Semoga nyaman di sini ya Vin,” ucap Shilla sambil
tersenyum manis, lalu berbalik dan melangkah pergi.
Alvin
balas tersenyum tipis. Tapi tidak lama Alvin menjadi heran sendiri, kenapa
daritadi ia tersenyum ke arah cewek itu? Walau hanya senyuman tipis, tapi itu
sudah termasuk kemajuan pesat. Karena sebelumnya Alvin memang kurang tertarik
dengan perempuan. Bukan berarti ia menyukai sesama jenis, tapi Alvin masih
belum ingin memikirkan perempuan. Tapi kini…
Alin
mengangkat salah satu alis sambil menatap punggung Shilla yang semakin menjauh.
Entah mengapa… sepertinya Alvin merasakan ada magnet antara ia dan Shilla.
^^^
@
SMA Harapan
Acha
tersentak kaget melihat kakaknya yang ikut melangkah bersamanya ke kelasnya
pagi ini. Padahal harusnya Rio berbelok naik ke tangga untuk menuju kelas
duabelas yang berada di lantai dua.
“Udah
ah kak. Ngapain sih ngantar Acha sampai ke kelas gini? Kelas kakak kan di
lantai atas,” kata Acha sewot. “Kayak satpam aja,” lanjutnya menggerutu.
Rio
tersenyum sambil merangkul adik semata wayangnya itu. “Emang nggak boleh?
Selain ngelindungin kamu dari bahaya cowok-cowok rese, kakak juga punya tujuan
lain…”
Acha
mencibir. “Pasti mau ngapel.”
Rio
nyengir kuda. “Tuh tahu,” kata Rio sambil mengacak-acak rambut Acha.
Sampai
di depan kelas Acha, 10-2, seorang anak perempuan berwajah imut dengan rambut
ikal yang di ikat tinggi olehnya, sedang menyapu di ambang pintu kelas.
“Pagi,
Ke…” sapa Rio ramah saat sudah berdiri di depan anak perempuan itu.
Keke
mendongak, lalu balas tersenyum manis. “Pagi juga kak…”
“Piket
ya Ke?” tanya Rio. Acha mendelik kecil ke arah kakaknya, lalu terkekeh geli
melihat gaya sok peduli kakaknya itu. Biasa juga selalu cuek pada siapapun.
“Eh…
iya kak,” jawab Keke sambil tersenyum sedikit kikuk.
“Oh,
iya. Ke, nanti pulang di jemput?” tanya Rio.
“Eh…
nggak tahu, kak. Kayaknya sih nggak,” jawab Keke, membuat sebuah senyuman
terukir di wajah tampan Rio.
“Bareng
aja gimana? Sekalian, mau aku kenalin.”
Keke
mengerutkan kening, “kenalin? Sama siapa kak?”
“Hmptt…
Dasar! Kak Rio mau pamer Ke. Dia baru beli mobil, makanya ajak kamu pulang
bareng. Iya, kan?” goda Acha yang masih berdiri di samping Rio. Rio tersenyum
kikuk.
“Namanya
si putih. Aneh kan? Masa’ mobil di kasih nama? Ckckckck. Kakakku mau kenalin
kamu sama mobil barunya,” lanjut Acha. Keke tersenyum geli mendengarnya.
“Eh…
gimana Ke? Mau bareng nggak?” tanya Rio canggung sambil menggaruk lehernya yang
tidak gatal. Acha tersenyum kecil melihat keduanya.
Keke
mengangguk dan tersenyum malu. Rio tersenyum lega dan senang.
“Ceile!
Dasar! Kalau di depan yang lain aja, belaga sok preman. Di depan Keke, malah
malu-malu monyet,” ejek Acha. Keke tersipu malu. Rio menepuk kepala adiknya itu
sambil tersenyum kecil.
“Ya
udah. Kakak balik dulu. Ke… gue balik ya,” pamit Rio.
Keke
mengangguk sambil tersenyum. Rio pun berbalik dan melangkah menjauh menuju
kelasnya. Keke menatap punggung Rio yang semakin menjauh.
“Prikitiw!”
teriak Acha membuat Keke terlonjak.
Keke
tertawa. “Apaan sih Cha! Eh, udah ngerjain fisika?”
“Eh,
belum. Oh, ya. Pinjam punya kamu dong, Ke…” pinta Acha memelas.
Keke
tersenyum. “Ambil aja di tasku.”
Acha
tersenyum lebar. “Makasih ya Ke. Kamu emang calon kakak ipar yang baik!” kata
Acha setengah menggoda, lalu segera melesat ke dalam kelas.
“Apaan
sih!” kata Keke malu.
xxxxx
Panjang
banget ya? Wakakaka. Itu scene di dealer mobil nggak kayak sinetron kan ya? Ya
kan? Ya kan?
Couple
nya sudah mulai muncul, maaf kalau bukan couple kesayangan anda :p
Masih
ada yang mau nunggu part 3? Masih kan ya? Iya dong pastinya! Harus iya! *maksa*
Komen?
Silahkan di klik ---> facebook.com/mrz.mikas (Aleastri Blinkstar Miossa)
twitter.com/aleastri . Jangan lupa pake' hastag #PMB :D
Terima
kasih sudah membaca ;)
Kamu hebat dalam memainkan Tokoh,,,,,saya aja masih kebingungan aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasssaa.
BalasHapusKunjungi balik yak,sekalian baca baca punya saya