Bel
istirahat berbunyi. Keke dan Acha sama-sama menaruh peralatan belajar ke dalam
tas masing-masing. Acha lalu merogoh sebuah kotak bekal berwarna biru pink ke
atas meja.
"Ke! Gue
buat sushi loh!" kata Acha bangga. "Mau?"
Keke
mengangkat alis, "ya maulah! Eh tapi, makannya di samping perpus yuk. Gue
sekalian mau ngembaliin buku. Dan juga, kan biar bisa sekalian beli minum di
koperasi," ajak Keke sembari berdiri dan membawa sebuah buku.Acha menurut
dan mengikuti.
Mereka
melangkah beriringan menuju perpustakaan. Setelah itu mereka membeli minuman
botol di koperasi yang ada di samping perpus. Dan lalu duduk di meja taman yang
berada di samping perpus. Di samping perpus memang ada taman sekolah yang
terdapat beberapa bangku taman dan meja-meja. Ada satu meja yang kosong. Keke
dan Acha segera duduk di sana. Acha membuka kotak bekalnya, lalu menyodorkan
pada Keke.
"Wih. Enak
nih," kata Keke senang.
Tapi baru
saja tangannya ingin mengambil satu buah sushi, ada tangan lain yang ikut
mengambil tanpa ijin. Membuat Acha dan Keke tersentak.
"Eh,
apaan si-" kalimat Acha yang baru saja ingin memerotes segera terhenti. Ia
terpana melihat siapa yang berdiri di sampingnya dan kini dengan santai
mengunyah sushi miliknya. Pemuda itu mengunyah tenang, lalu menoleh ke arah
Acha dan Keke yang melongo.
"Sushi
buatan siapa nih? Enak kayaknya."
Keke
terkejut, dan menoleh. Mendapati kursi di sampingnya sudah diduduki seorang
pemuda. Dan ia baru sadar. Meja mereka sudah dipenuhi empat pemuda pemegang
sekolah!
Pemuda yang
tadi mengambil santai sushi Acha, mengambil salah satu kursi di meja di
dekatnya, lalu dengan tenang menaruh kursi di antara Acha dan Keke, membuat
Acha dan Keke terpaksa menjauh. Keke mendelik ke arah pemuda itu, sementara
Acha menunduk menahan kesal.
Keke melihat
sekelilingnya, lalu mendecak sebal. Di samping kanannya, ada Rio, lalu Cakka,
dan setelah itu Alvin. Dan pemuda yang duduk di sisi kirinya, yang tadi memaksa
datang, siapa lagi kalau bukan Gabriel.
"Sushinya
banyak tuh. Bisa dong bagi?" tanya Cakka mengerling.
Keke dan
Acha saling pandang. Acha menghela nafas, tapi lalu mencoba tersenyum dan
mendorong kotak bekal itu ke tengah meja. Sontak, keempat preman sekolah itu
dengan santai mengambil satu sushi dan melahapnya. Acha tenganga sejenak, tapi
lalu mengatupkan mulutnya. Mendadak, ia tak mood makan.
"Ck
kak! Aku sama Acha mau makan. Kenapa diganggu sih?" tanya Keke tak bisa
menahan kesalnya.
"Oh.
Lo mau makan? Nih," Gabriel dengan santai menyodorkan sushi ke mulut Keke,
membuat Keke terlonjak dan sontak memundurkan wajah menghindar dan menepis
pelan tangan Gabriel.
"Kenapa
sewot sih, Ke? Temen lo aja nggak papa kok," kata Alvin santai sambil
melahap sushinya.
Keke
menggeram sebal, sambil memutar mata ke arah Acha. Terlihat sekali wajah Acha
menahan kesal. Gadis itu memang pernah mengaku, kurang menyukai sikap FourG
yang sok penguasa. Keke tahu pasti, sekarang di hati Acha, Acha berusaha
mati-matian menahan diri untuk tidak melawan.
"Eh,
makan kali. Inikan punya lo," ucap Cakka bernada manis sambil menyodorkan
kotak bekal ke arah Acha.
Acha
tersenyum masam, tapi lalu menurut saja dan mengambil satu sushi, lalu
memakannya.Walau perasaannya sedikit tak nyaman. Karena kini banyak sepasang
mata memerhatikan meja itu.
"Nih."
Keke
terkejut, saat melihat sebuah sushi tersodor ke depannya. Keke menoleh,
mendapati Rio sedang memasang wajah tanpa ekspresi dengan sushi di tangannya.
Keke mengangkat alis, tapi entah mengapa menerima sushi itu.
Istirahat
kali itu, keenam orang tersebut memakan bekal milik Acha bersama. Walau yang
bercuap sedaritadi hanyalah Gabriel, Cakka, dan juga Alvin saja. Rio hanya diam
saja seperti biasa. Acha dan Keke masih merasa jengah, apalagi kini mereka
seperti menjadi tontonan saja. Karena ya... sejak kapan sih FourG mendatangi
perempuan? Adanya mereka yang dikelilingi wanita. Lalu kini, ada dua cewek yang
duduk semeja dengan mereka, ditambah makan bekal bersama, itu adalah kejadian
langka.
"Ke,
siapa nama temen lo ini?" tanya Cakka.
"Acha,"
jawab Keke malas-malasan.
"Oh...
Acha..." ucap Cakka dan Alvin serempak, membuat Acha menunduk.
"Teh
Jepang," kata Cakka memainkan alis ke arah Alvin.
“Itu Ocha,
bego,” kata Alvin geleng-geleng kecil.
“A…..
Chalon masa depan aku,” goda Cakka membuat Alvin sontak tertawa ngakak. Keke
mendelik, Rio dan Gabriel geleng-geleng saja, sementara Acha yang digoda hanya
tersenyum masam sekilas.
Gabriel
memutar bola mata ke arah gadis di sisi kirinya itu, lalu diam-diam
memerhatikan Acha lekat. Acha yang sadar diperhatikan Gabriel mulai merasa
jengah dan salah tingkah. Tapi seakan tak mengerti Acha salah tingkah, Gabriel
makin menatap gadis itu. Aneh. Gadis-gadis lain pasti senang dan mendekat,
walau ada yang malu-malu atau agresif sekalipun, jika Gabriel berada di dekat
mereka. Namun gadis ini berbeda. Gabriel dapat merasakan. Acha menjauhkan kursinya
dari Gabriel dan seperti risih dengan keberadaan preman sekolah itu. Acha
melirik takut, dan refleks segera menunduk lagi. Gabriel masih memerhatikannya.
Gabriel bisa melihat bibir gadis itu mencuat, mungkin ia sedang menggerutu
dalam hati. Kening Gabriel makin
berkerut. Padahal biasanya kalau ia memandangi seorang gadis, gadis itu akan
merona dan tersipu. Sementara gadis ini jelas-jelas memberikan aura penolakan
yang kentara. Membuat Gabriel sedikit tersinggung.
Keke
menghela nafas, tak tahan lagi. Ia pun berdiri, membuat semua sedikit tersentak
dan menoleh.
"Aku
sama Acha mau balik ke kelas. Yuk, Cha!" Keke segera menarik tangan Acha,
dan mengambil kotak bekal Acha serta tutupnya.
Acha sempat
tersentak, tapi segera menurut mengikuti langkah panjang Keke menjauhi meja
itu.
"Yah...
dia pergi..." ucap Cakka menatap kepergian Keke. "Ngambek tuh
kayaknya."
"Lama-lama
dia jadi kayak adek kita ya," kata Rio membuat semua menoleh ke arahnya,
tapi lalu mengangguk-angguk setuju.
"Makin
lama ketahuan deh aslinya. Awalnya kayaknya pendiem gitu, kalem. Eh tapi,
ternyata berani juga, man!
Nekat!" komentar Alvin disambut anggukan cepat Cakka.
"Yang
buat gue nggak nyangka, dia berani ngelindungi elo!" kata Cakka memandang
Gabriel. Gabriel hanya mengangkat alis saja.
Keempat
pemuda itu lalu hening. Di pikiran mereka ada satu nama gadis yang sama. Keke.
Gadis itu menarik juga. Padahal awal jumpa ia terlihat cengeng, penurut, dan
diam. Namun tak lama, tanpa diduga bahkan gadis itu nekat melawan musuh sendiri
hanya dengan setongkat kayu di tangannya. Lalu juga ia mulai berani memerotes
para pemuda ini. Sebenarnya mungkin dari awal gadis itu memang sudah ingin
melawan, tapi tak enak hati karena FourG sudah menawarkan diri untuk
melindunginya. Gadis satu itu... menarik.
***
Pak Jo
sudah mengemasi barang bawaannya, walau bel pergantian jam belum berbunyi. Ia
pamit keluar karena ada suatu kepentingan. Para murid 10B menahan diri untuk
tidak bersorak senang karena Pak Jo masih ada di depan kelas.
"Kenasha Mentari," panggil Pak Jo membuat Keke
menoleh. "Tolong kumpulkan PR teman-teman kamu yang kemarin, dan taruh di
meja saya," perintah Pak Jo pada Keke.
Keke
mengangguk menurut, lalu berdiri. Ia mengumpulkan buku-buku para murid 10B, dan
setelah itu mengekori Pak Jo keluar dari kelas.
Saat
melewati lapangan olahraga yang berada di tengah sekolah, Keke tanpa sengaja
memandang ke arah lapangan yang kini tak kosong itu. Ada beberapa siswa
berseragam olahraga bermain bola di sana. Keke mengangkat alis, melihat ada
sosok Alvin dan Rio di antara orang-orang itu. Keke mengedarkan pandangan, dan
kini melihat sosok Cakka sedang duduk di pinggir lapangan sambil memainkan
hapenya. Keke sedikit mengerutkan kening, tak melihat adanya Gabriel.
Sesuai
perintah, Keke menaruh tumpukan buku tulis ke meja Pak Jo, lalu pamit dan
keluar. Namun gadis itu tak memilih jalan pulang dengan koridor yang sama. Ia
berbelok, memilih lewat koridor depan saja, agar tak melewati lapangan
olahraga. Karena ingin sekalian ke toilet yang berada di depan lapangan upacara
itu.
Tapi saat
berbelok, langkah Keke sontak terhenti. Karena sekitar sepuluh meter darinya,
duduk seorang pemuda dengan sebuah gitar di pangkuannya. Pemuda itu nampak asik
memetik gitar sembari bersenandung pelan. Keke melebarkan mata, namun tak
bergerak. Terpaku melihat permandangan itu. Ia mefokuskan pandangan, memandang
wajah tegas itu dari samping. Ia baru menyadari. Pantas saja ribuan wanita tak
bisa menahan diri untuk tidak meleleh melihat pemuda itu. Pantas saja saat itu
Oik memekik histeris menceritakan tentang dirinya. Pantas saja para siswi
mengidolakannya. Karena dia... dia sungguh tampan. Apalagi kini matanya sedikit
menerawang ke depan, membuatnya makin rupawan. Seakan bersinar, ia memiliki
cahaya sendiri.
Keke makin tertegun. Kala mendengar nyanyian pemuda itu. Suara pemuda itu ternyata bagus. Serak seperti vokalis band. Namun juga menggetarkan hati pendengarnya. Berarti tambah lagi kelebihan pemuda itu.
Pemuda itu
tiba-tiba menghentikan nyanyian dan permainan gitarnya, membuat Keke tersadar. Keke
lalu segera berbalik, mengurungkan niat melewati koridor itu.
"Sini
lo."
Langkah
Keke terhenti.Tubuhnya membeku.
"Nggak
usah kabur. Gue udah liat daritadi."
Keke
merutuk diri dalam hati. Lalu dengan enggan ia menoleh. Pemuda itu, Gabriel,
masih tak menoleh ke arahnya. Kini ia belaga sibuk dengan gitarnya. Keke
menghembuskan nafas dan membalikkan tubuh, tapi diam saja.
Gabriel
mendecak pelan, dan akhirnya menoleh, "tadi kan gue bilang sini. Lo nggak
denger?" tanya Gabriel ketus, membuat Keke mencuatkan bibir kecil.
Keke
akhirnya menurut dan melangkah mendekat. Ia lalu dengan hati-hati duduk di
samping Gabriel. Sementara pemuda itu kembali sibuk mengganti-ganti kunci
gitar.
"Lain
kali, nggak usah ngintip. Datang aja langsung, duduk samping gue," kata
Gabriel datar tanpa menoleh.
Keke
mendelik sedikit, lalu mengerucutkan bibir. "Ngintipin kakak? Tadi aku
nggak sengaja lewat sini kok," sergah Keke.
Gabriel
hanya memiringkan bibirnya, tapi tak berkata dan kembali memetik gitar
perlahan. Kini Keke memerhatikannya, dan mulai kagum pada sosok Gabriel. Namun
tak lama Gabriel tiba-tiba menoleh ke arah Keke, membuat Keke sedikit terkejut.
Tatapan mereka beradu beberapa saat, sebelum Gabriel melengos kasar dan
membuang muka.
"Muka
lo kenapa ngeselin banget sih?" tanya Gabriel ketus, membuat Keke menganga
geram.
'Ngaca dong! Yang
ngeselin itu siapa?' geram Keke dalam hati. Namun ia berusaha menahan diri.
Gabriel
menghembuskan nafas, lalu mendongakkan kepala, menatap langit terik siang itu. "Kadang...
gue kesel liat muka lo. Tapi kadang gue juga malah seneng sama muka lo,"
racau Gabriel membuat kening Keke berkerut keras.
"Maksud
kakak?" tanya Keke tak mengerti.
Gabriel
mendesah kembali, "muka lo ngingetin gue sama seseorang."
Jawaban
dari Gabriel itu membuat alis Keke terangkat tinggi. Tapi lanjutan dari kalimat
itu, membuat jantung Keke seakan terhenti seketika.
"Elo
mirip sama adek gue..." kata Gabriel menjadi sedikit lirih. Ia lalu
mendesah, dan menoleh perlahan ke arah Keke yang tertegun. "Adek gue yang
nyebelin, tapi juga sangat gue sayang," sambung Gabriel.
Keke
membatu. Mata tajam Gabriel perlahan berubah kelam. Ada kehangatan dari sorot
matanya yang tak pernah Keke lihat sebelumnya. Ribuan emosi menyerbu hati Keke.
Ada suatu firasat dalam dirinya.
"Kakak...
punya adik?" tanya Keke perlahan.
Gabriel
mengangguk, lalu kembali mengalihkan pandangan, "mungkin sekarang dia udah
segede elo. Dan mungkin karena itu juga, gue mati-matian mau ngelindungin
elo."
Keke
merasakan tungkainya melemas. Ada yang bergerak dahsyat dalam dadanya. Dan
perlahan, sebuah kesimpulan muncul. Kesimpulan yang sebelumnya tak masuk akal
bagi Keke. Bukan kesimpulan sih, tepatnya perkiraan. Namun... apa benar
firasatnya ini?
***
Semenjak
mendengar ucapan Gabriel itu, Keke terus saja tak fokus. Ia mencoba membangun
balok-balok perkiraan sebelumnya. Bahwa memang sedari awal ada dua kemungkinan.
Gabriel, atau Rio. Dan kini, Gabriel membawakan suatu petunjuk besar. Gabriel
memiliki seorang adik. Dan adiknya itu sebaya dengan Keke. Dan yang lebih
mengagetkan, wajah adiknya itu mirip dengan Keke!
Padahal
tadi Keke ingin bertanya lanjut, namun Gabriel malah kembali seperti Gabriel
yang biasa. Gabriel yang kasar dan selalu bernada tak bersahabat. Tatapan
hangatnya yang sebelumnya dilihat Kekepun pudar. Ia malah mengomel dan menyuruh
Keke tak usah bertanya lagi. Membuat Keke kecewa. Karena... kalau saja Gabriel
mengucap satu atau dua petunjuk lagi, mungkin saja... Keke sudah sampai pada
titik tujuannya di SMA Bintang ini.
Saat keluar
dari kelas karena bel sudah berbunyi, Keke masih saja memikirkan hal itu.
Pantas
saja. Kala pertama kali Keke memperlihatkan seluruh wajah di depan Gabriel,
tepatnya setelah ia dilindungi dan dibawa ke kelas itu, Gabriel sempat terdiam
sesaat. Dan raut wajahnya berubah kala menatap Keke. Namun hanya sejenak. Ternyata
saat itu Gabriel teringat pada adiknya.
"Siapa
yang suruh elo keluar padahal belum dijemput?"
Sebuah
suara bariton membuat Keke sedikit terkejut dan mendongak. Ia melebarkan mata
melihat Rio sudah berdiri di depannya.
Rio
menghela nafas, tapi lalu berbalik, "ayo," pimpinnya melangkah. Keke
hanya diam menurut, karena pikirannya belum juga teralihkan dari sosok Gabriel.
"Hari
ini gue yang nganter elo. Yang lain harus duluan ke kafe," kata Rio
melangkah menuju parkiran.
Alis Keke
berkerut, dan akhirnya pun tak lagi merenungkan tentang Gabriel. "Kafe apa
sih kak? Kok kayaknya aku sering denger kalian ngomong itu," tanya Keke
mengikuti Rio melangkah menuju sebuah motor besar hitam yang menunggu.
"Loh?
Emang lo nggak tahu?" tanya Rio berhenti di depan motor itu, dan berbalik
menatap Keke yang mengerutkan kening. "Oh ya. Kita nggak pernah bawa lo
kesana ya?" tanya Rio seakan tersadar. Ia lalu meraih helm dan jaket, lalu
mengangsurkan pada Keke. Keke menerimanya, masih dengan alis berkerut.
"Besok
aja deh gue bawa lo kesana. Sekarang gue harus nganter lo pulang, karena Om
Rendy hari ini ada di kafe," kata Rio lalu memakai helm dan jaketnya.
"Om
Rendy?" tanya Keke penasaran sambil menatap Rio yang mengeluarkan
motornya.
Sebelum
menjawab, Rio menyalakan mesin dulu, lalu menyuruh Keke naik. Keke menurut,
duduk di belakang Rio. Kalau bersama Gabriel, ia pasti memegang besi pegangan
di belakang. Namun kala bersama Rio, entah mengapa tanpa sadar kedua tangan
Keke memegangi ujung jaket Rio.
"Om
Rendy itu bokapnya Gabriel," kata Rio menjawab pertanyaan Keke tadi.
Keke sontak
terkejut setengah mati.Semua perkiraannya tadi langsung meluntur. Mengetahui
hal itu. Gabriel ternyata memiliki seorang ayah. Keke diam-diam menelan kecewa.
Karena ternyata ia salah menduga.
"Tapi
bukan bokap kandungnya sih," lanjut Rio membuat Keke lagi-lagi tersentak.
Hatinya
makin gundah. Ketidakpastian ini membuatnya benar-benar gelisah. Keke
benar-benar jadi sangat resah.
"Om
Rendy juga udah kayak bokap kita berempat. Tapi dia tinggal di Singapur. Kalau
dia pulang, dia pasti pengen kita berempat ngumpul di kafe buat nyambut dia
gitu. Om Rendy memang suka ngada-ngada," cerita Rio sepanjang jalan.
Keke
tertegun sesaat. Menyadari bahwa tadi, adalah kalimat terpanjang Rio yang
pertama ia dengar. Keke mulai penasaran. Siapa sih Om Rendy yang dimaksud itu?
"Kakak...
deket banget ya sama si Om Rendy itu?" tanya Keke tak bisa menahan diri.
Rio
tersenyum, sambil terus menarik gasnya. "Gue udah kenal dari dulu.Dari
saat gue masih tinggal di Tangerang."
Keke sontak
kembali terkaget. Tangerang? Itukan tempat tinggalnya. Jadi dulu... Rio pernah
tinggal di sana?
Tanpa
sadar, ternyata mereka sudah sampai. Rio mengerem motornya, lalu menurunkan
kaki memberhentikan motor. Keke mengerjap, segera tersadar. Ia lalu turun dari
motor, dan lalu mengangsurkan helm dan jaket yang tadi Rio beri.
Tapi kala
memberikan helm itu, mata Keke tanpa sengaja tertuju pada gantungan kunci yang
menggantung di kunci motor hitam Rio. Ia terpaku. Menatap gantungan kunci
berbentuk tali berwarna hijau, kuning, biru, dan merah yang dikepang cantik. Di
ujungnya terikat sebuah bandul berbentuk bunga matahari. Mata Keke melebar, tak
memercayai pandangannya.
"Ke."
Suara
panggilan Rio membuat Keke terkejut dan menoleh. Rio sudah memasukkan jaket
milik Gabriel yang tadi di pakai Keke dalam tasnya, dan menaruh helm di
pegangan motor.
"Kak!"
ucap Keke sebelum Rio membuka mulut ingin pamit. Keke ragu sejenak, tapi lalu
akhirnya bertanya. Dengan suara selirih angin. "Kakak... tinggal di
Tangerang umur berapa?"
Rio
mengangkat alis sejenak, "gue lahir di sana. Dan saat SMP
pindah.Kenapa?"
Keke
merasakan tubuhnya membeku seketika. Mulutnya sedikit terbuka
tak percaya.Ada suatu kenyataan datang, membuat dadanya terhenyak.
Rio...
adalah kakaknya?