Sabtu, 29 Juni 2013

MARIO's Part 5


Keke menggandeng lengan Shilla, dengan tangan kiri yang memegang senter menyala terang. Shilla sendiri melangkah di samping Gabriel yang berada di depan dengan tenang. Ify melangkah di belakang sembari menggerutu, karena pemuda yang melangkah di sampingnya ini daritadi tak pernah bisa diam.
"Jadi Fy, kalau di film-film ya, kalau kita ketemu tiga kali secara nggak sengaja selama berturut-turut, itu berarti jodoh!" kata Rio masih berargumen. "Pertama, elo sekelas sama gue. Kedua, elo duduk depan gue. Ketiga, kita satu kelompok! Nah. Kesimpulannya adalah..."
"Gue dapat kesialan bertubi-tubi," sela Ify menuntaskan kalimat Rio.
Rio menipiskan bibir, tapi lalu kembali nyengir lebar khasnya. "Terkadang Fy, ada berkah di balik kesialan," kata Rio masih saja berusaha.
Ify melengos kasar, lalu memilih mengalihkan pembicaraan saja. "Yel, ini kemana nih? Kita udah masuk lebih dalam loh!" tanya Ify yang memang sudah berada di tengah hutan.
"Kita harus cari pohon paling besar," jawab Gabriel membaca kertas yang ia pegang. Ia lalu kembali mendongak, menyenterkan ke segala arah.
"Pohon paling besar yang gimana? Paling tinggi atau paling rindang atau gimana?" tanya Shilla meminta penjelasan.
"Gue juga nggak tahu. Yang jelas di sini di suruh cari pohon besar," jawab Gabriel terus mencari.
KRESEK
"KYAAA," jerit Ify spontan, membuat semua terkejut.
"Apa Fy? Apaan?" tanya Rio cemas.
"Itu! Itu tadi ada apaan gerak-gerak," kata Ify dengan wajah pucat dan panik.
"Apaan sih?" tanya Shilla sembari menyenterkan ke arah sekitar kaki Ify. Terlihat, seekor hewan berbulu abu-abu gelap terlihat dengan sepasang mata hitamnya. "Yaelah. Kucing," kata Shilla santai.
"Tenang Fy, itu anaknya Shilla. Shillakan macan," kata Rio setengah mengejek, yang langsung dapat injakan kaki keras dari Shilla, membuatnya segera mengaduh.
"Udahlah. Ayo kita cari lagi," kata Gabriel kembali memimpin.
"Shil," bisik Keke sembari mencolek pinggang Shilla membuat Shilla menoleh. "Itu... apaan?" tanya Keke takut-takut sembari menyenterkan ke arah yang di maksud.
Shilla mengerutkan kening, ikut menyenter ke arah yang Keke tuju. Gabriel, Ify, serta Rio merasa tertarik dan juga memandangi ke arah yang sama. Terlihat, seperti sebuah guling dengan kain putih membungkusnya, dan terlihat seperti....
"POCOOONNNGGG!!!" teriak Shilla spontan. Keke dan Ify ikut memekik, membuat Gabriel dan Rio terkejut setengah mati.
"Gabriel!!!" jerit Ify memegang lengan Gabriel dan berlindung di dada pemuda itu.
Shilla juga tanpa sadar memegang lengan Gabriel yang satu lagi dengan erat. Kalau masalah begini, ia juga tak berani. Sedangkan Keke yang sedari tadi menggandeng lengan Shilla, memeluk gadis itu ketakutan.
Rio tenganga di tempat. Heh heh heh! Apa-apaan ini? Kenapa ia seperti pemuda tak di anggap? Kenapa tiga gadis itu malah berlindung pada Gabriel? He?! Apa-apaan ini!? Lalu dia di anggap apa?! Pajangan saja?! Atau parahnya, ia hanya pecundang yang tak bisa melindungi?
"Ssstt... Itu tuh cuma boongan doang," kata Gabriel menenangkan sembari mengarahkan senter ke arah benda tadi. "Pasti ini kerjaannya panitia. Bukan beneran."
Shilla membuka mata perlahan, lalu melebarkan mata memerhatikan benda itu lebih jeli. Keke juga sedikit mengintip walau masih takut.
"Eh, iya ding boongan," kata Shilla lega sembari meringis. Ify ikut menghela nafas lega. Tapi kedua gadis itu lalu sama-sama tersadar dan memandang ke arah tangan mereka yang masih memeluk lengan Gabriel. Gabriel sendiri menatap keduanya bergantian.
"Eh sorry," ucap Shilla lalu segera melepaskan genggamannya. "Gu... gue... em... gue tadi panik!" kata Shilla menjelaskan dengan wajah memerah.
Gabriel tersenyum tipis, "nggak papa kok."
Ify menggigit bibir bawah, sedikit menahan sebal karena ternyata gadis itu juga menggenggam lengan Gabriel. Tapi Ify masih belum juga melepaskan pegangannya.
"Ehem!" Rio berdehem keras, sambil melepaskan paksa tangan Ify di lengan Gabriel, lalu berdiri di antara dua orang itu. "Ayo lanjut lagi! Nanti kita malah tertinggal jauh sama yang lain," kata Rio ketus sambil memicingkan mata ke arah Gabriel. Sementara Ify di sebelahnya mendumel dalam hati karena gangguan pemuda itu.
Gabriel hanya mendesah tak kentara, tapi lalu kembali melanjutkan langkah di ikuti yang lain.
"Kalau takut, nih. Lebih kokoh!" kata Rio menepuk-nepuk lengannya sendiri pada Ify. Ify mendelik, lalu mencibir saja.
Rio lalu tanpa sengaja menoleh ke arah Keke yang berada di pojok kiri. Wajah gadis itu nampak pucat dengan keringat bercucuran di keningnya. Rio sedikit mengernyitkan kening, merasakan sesuatu yang menjanggal ketika melihat wajah bulat itu pucat pasih seperti ini.
"Ke," panggil Rio membuat Keke menoleh. "Lo nggak papa? Muka lo pucet," ucap Rio peduli.
Keke mengangkat alis sejenak, tapi lalu tersenyum kikuk. "Nggak papa," jawabnya singkat. Tapi nadanya gemetar, membuat Rio malah berpikir ada apa-apa.
"Ke, serius deh. Muka lo tuh pucet," ucap Rio khawatir sembari melangkah ke arah gadis itu, membuat tiga orang lain sedikit bingung. Karena tumben sajalah seorang Rio memedulikan orang lain. Apalagi di sekolah, tak ada satupun orang yang tahu tentang hubungan antara Rio dan Keke. Alvin saja hanya tahu sedikit.
"Aku tadi cuma takut Yo," jawab Keke menenangkan, walau tak bisa menahan ada yang melayang dalam hatinya karena untuk pertama, pemuda itu memberikan perhatian di depan orang lain.
Rio menatap Keke lekat, berusaha mencari kepastian dari jawaban itu. "Shil, lo bawa air minum?" tanya Rio tanpa mengalihkan pandangan. Memang, yang membawa perlengkapan adalah Shilla. Walau itu hanya P3K.
"Nggak. Kan nggak boleh," jawab Shilla juga mulai merasa khawatir dengan wajah menunduk Keke yang semakin pucat.
Rio membungkukkan badan, memandang Keke. Ia menepuk pundak gadis itu, membuat Keke mendongak perlahan, walau diam-diam menahan laju detak jantungnya yang kencang.
"Ke... lo tadi belum makan ya? Magh lo kambuh?" tanya Rio lembut, membuat lagi-lagi ketiga orang anggotanya itu terkejut tak percaya.
Nanti dulu nanti dulu. Ada apa ini? Kenapa mendadak seorang Mario Stevano jadi lembut nan perhatian seperti ini? Dan... kenapa Rio bisa tahu Keke punya magh? Bukankah saat kelas satu dulu mereka tak sekelas? Lalu di kelas mereka juga tidak akrab. Bahkan Rio hanya menegur Keke kalau-kalau meminjam PR ataupun perlengkapan menulis.
"Nggak Yo. Aku cuma...."
"Ck! Elo tuh kenapa sih nggak pernah mau jujur sama gue?" potong Rio sebelum kalimat Keke usai. Rio menghela nafas keras memandang teman dari kecilnya itu. "Elo tuh emang. Hati sama omongan di depan gue selalu beda. Seneng banget sih nyembunyiin gitu," omel Rio sebal, mengingat memang selama ini Keke selalu berkilah kalau Rio mencemaskannya. Ya seperti tentang magh yang di derita Keke.
Dalam hati Keke nelangsa. Seperti tersindir tajam. Bukan hanya karena masalah magh saja. Ada hal lain, yang selalu ia sembunyikan dari Rio. Namun mungkin pemuda itu masih saja tak peka, bahwa sebenarnya sebuah rasa telah Keke berikan selama ini.  Rasa yang terus saja bersembunyi di balik status 'teman kecil'.
Rio menghela nafas kembali, lalu membalikkan tubuh membelakangi Keke. Lutut pemuda itu sedikit di tekuk, dan menoleh ke belakang sembari menepuk-nepuk pundaknya.
"Naik gih. Nggak tega gue kalau nanti elo pingsan beneran kayak dulu."
Kayak dulu? Maksudnya? Pertanyaan yang sama menyantol di benak Gabriel, Shilla, dan juga Ify.
Keke tertegun sesaat. Ia sedikit melirik ke arah tiga teman kelompoknya itu, lalu menunduk tapi menurut saja. Karena mungkin sudah jadi kebiasan sedari mereka SD. Kalau menolak permintaan Rio yang satu ini, Rio selalu saja ngambek, dengan berkata "ya sudah kalau elo nggak mau denger omongan gue! Nanti pingsan nggak gue tolong ya!". Kalimat itu sering kali Keke dapat sejak mereka kelas enam SD, di mana magh Keke sering kali kambuh dan pertahanan gadis itu sering pula melemah.
Keke merengkuh leher Rio lembut, Rio mengambil lututnya, lalu berdiri dan sudah menggendong Keke di belakang. Tak peduli pada tatapan tak mengerti namun juga heran dari tiga orang lain.
"Yaelah, Tante Gina ngasih lo makan apa sih? Enteng banget," ejek Rio tertawa geli. Keke hanya mendecak dan merenggut.
Gabriel tersentak. Mendengar nama itu. Gina. Dan Rio menyebutnya Tante Gina. Hanya dengan sekilat detik, sebuah ingatan langsung datang dalam otak Gabriel. Dan membuatnya langsung mengerti, bahkan tanpa sadar pemuda itu mengucap huruf O tanpa suara. Ia lalu memandangi Keke yang kini dengan sedikit canggung menaruh dagunya di bahu kanan Rio. Gabriel sudah bisa menduga, ada rona merah di kedua pipi bulat gadis itu. Oh, ternyata gadis ini toh, batin Gabriel dalam hati.
Rio menggerakkan kepala pada para anggota kelompoknya yang lain, dan memasang ekspresi seakan-akan tak ada hal aneh yang terjadi. Walau ia tahu pasti mereka heran dan kaget dengan perlakuan Rio terhadap Keke.
"He! Ngapain lo semua bengong? Ayo jalan," kata Rio memimpin, lalu mulai melangkah di ikuti yang lain.
Shilla seakan tersadar, lalu segera mengekor di ikuti Gabriel. Sementara Ify masih terdiam dan setengah tenganga di tempat melihat adegan barusan. Rio yang mendadak jadi perhatian pada seorang gadis -yang menurut Ify sangat culun karena selalu saja diam tanpa di tegur dulu-, Rio dan Keke yang sepertinya punya sesuatu di masa lalu, Rio yang menawarkan diri menggendong Keke dan langsung di turuti Keke tanpa bantahan. Tidakkah... kejadian ini terlalu aneh? Dan juga.... raut cemas nan khawatir Rio tadi ituloh. Ify bahkan tak pernah mendapatkan ekspresi seperti itu. Ify, yang sejak dari dulu sudah jadi rahasia umum di kejar-kejar oleh Rio, tak pernah di perlakukan Rio semanis itu! Dan Rio malah bersikap lembut pada gadis berpipi bulat yang cupu abis itu? Yang sangat jauh levelnya dengan Ify! Pemuda itu kesurupan hantu hutan ini atau gimana sih?
Merasa ada anggota yang kurang, langkah Shilla terhenti. Ia berbalik, dan mengerutkan kening melihat Ify masih membatu. Dan makin mengerutkan kening melihat raut kesal Ify. Ada apa dengan gadis itu?
"Fy! Cepetan!" tegur Shilla membuat Ify mengerjap dan tersadar.
Ify merapatkan bibir sejenak, sedikit tak suka gadis itu yang menyadari ketidak hadirannya. Kenapa bukan Gabriel saja? Bahkan juga, sekarang saja Rio yang selalu memuja Ify malah sibuk mengucapkan sesuatu pada Keke. Dengan lembut! Apa-apaan sih Rio itu?! Mau membuat Ify geram!?
Eh?
Ify terkesiap sendiri. Menyadari dasar kekesalannya sedari tadi. Wait wait wait. Ada apa nih dengan otaknya? Kenapa mendadak jadi tak suka dengan perlakuan Rio pada gadis lain? Loh?
"Ify. Lo masih mau berdiri di situ doang?" tegur Shilla lagi, kini dengan nada malas.
Gabriel dan Rio memilih menghentikan langkah, ikut memandangi gadis cantik berwajah tirus itu namun tak mengeluarkan kata.
Ify mendesah, tapi lalu menurut dan berjalan mendekat. Walau dalam hati masih bertanya-tanya tak mengerti, apa yang terjadi pada otaknya kini, yang membuatnya benar-benar merasa geram pada Rio dan Keke.





Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 26B


Part 26B. Playboy Insyaf

Oik sedang asyik membaca majalah di ruang tengah kala pintu rumahnya diketuk seseorang. Gadis itu mengangkat alis. Apa itu Agni ya? Karena tadi Agni pergi keluar bersama Irsyad. Minggu ini keluarga Oik memang sedang pergi keluar kota. Dan Agni yang menemaninya tinggal beberapa hari di sini.
Gadis itu segera beranjak menuju pintu rumah dan membukakan pintu begitu saja. Tapi nafasnya langsung tercekat. Tubuhnya membeku mendadak. Melihat seorang pemuda tampan karismatik berdiri di depan pintu rumah dengan agak gugup.
"Hei," sapa Cakka tersenyum tipis.
Oik terpaku sesaat. Tapi tak lama tatapannya langsung menajam. "Cari siapa?" tanyanya dingin tak bersahabat.
Cakka menelan ludah. Merasakan hatinya berdesir pedih. "Ya kamulah. Siapa lagi?"
Oik mengangkat sebelah alis, "kenapa?"
Cakka menghela nafas, "aku mau minta maaf," tegasnya yakin. Membuat Oik tersentak.
"Emang lo ada salah apa?" tanya Oik ketus. Belum juga mau bersahabatan.
"Ik..." Cakka menggaruk kepalanya yang tak gatal, merasa kikuk. "Maafin aku..." ucapnya memelas.
Oik merapatkan giginya. Tapi gadis itu menggeleng pelan, mencoba menguatkan diri tak mau luluh. "Sorry. Gue lupa elo ada salah," ucapnya datar berniat menutup pintu kembali. Tapi Cakka segera menahannya.
"Aku nyakitin kamu, aku nyiain kamu, dan aku ninggalin kamu," kata Cakka mengaku membuat Oik tertegun. "Iya, Ik. Aku salah. Dan aku nyesel," kata Cakka sungguh-sungguh.
Oik mengeratkan genggaman di kenop pintu rumahnya.
"Kamu mau aku lakuin apa? Aku bakal turutin," bujuk Cakka serius.
Oik makin menajamkan tatapannya pada Cakka, "terjun ke jurang? Kamu mau?" tanyanya sinis.
Cakka terdiam sejenak, tapi lalu meringis. "Kalau aku terjun, kan aku mati. Ya gimana mau tahu kamu maafin aku atau nggak," ucapnya ngeles. Oik hanya mendelik.
"Ik, beneran aku nyesel. Sekarang juga aku udah bener-bener insyaf! Gara-gara kamu aku tahu kalau selama ini aku tuh udah sering nyakitin cewek," aku Cakka merasa bersalah.
Oik mendengus, "baru nyadar? Kemaren kemana aja?" tanyanya masih sinis.
"Kemaren kena' virus playboynya Iyel," jawab Cakka asal. "Sekarang bos ku udah insyaf. Ray juga. Mereka udah dapat satu cewek idaman mereka. Nah, aku maunya sama kamu."
Oik mendelik lagi. Walau rasanya ada yang menggelitik, membuat ia ingin tersenyum geli. Tapi gadis itu masih gengsi dan memasang wajah dingin.
"Ik, bentar lagi juga kita bakal ujian. Bakal lulus dari smanra. Aku nggak mau kehilangan kamu buat kedua kalinya. Please, aku bener-bener sayangnya sama kamu. Dan aku mau kamu yang terakhir di masa putih abu-abuku," kata Cakka serius.
Oik makin mendelik, "oh. Jadi terakhir di masa putih abu-abu aja?" ketusnya sebal.
Cakka langsung tersadar dan menempeleng pipinya sendiri. "Maksudnya, sampai rambutku jadi putih abu-abu," ralatnya segera sambil meringis.
Oik mencibir, walau bibirnya tersenyum kecil menahan tawa. Pipinya mulai membara. Membuat Cakka mulai merasa agak melambung.
"Aku nggak tahu ada hubungan apa kamu sama Obiet. Tapi aku tetep mau berusaha balikan sama kamu," kata Cakka kembali serius.
"Obiet sahabatku, kamu juga tahu, kan?" kata Oik agak menunduk. Tanpa sadar nadanya mulai melunak.
Cakka menganguk pelan. Dari dulu ia juga tahu Oik dan Obiet bersahabat dekat. Dan tak ada apapun antar keduanya.
"Eum... jadi..."
"Oik!?"
Cakka mendadak terdiam. Kalimatnya terpotong begitu saja. Oik juga ikut terkejut. Keduanya menoleh. Dan tertegun. Melihat Agni baru datang dan menatap Cakka tajam. Di belakang ada Irsyad yang ingin mengantarkan kekasihnya itu. Splash hitam Irsyad terparkir di depan rumah Oik. Keduanya juga kaget melihat Cakka sudah ada di teras rumah Oik.
Darah Agni mendidih seketika melihat tampang pemuda itu. Dengan tergesa ia segera mendekat. Oik menunduk, sementara Cakka menelan ludah dengan tegang.
"Ngapain lo di sini?" tanya Agni tajam.
"Gue... mau ketemu Oik," jawab Cakka pelan namun serius.
Agni memicingkan mata, "mau ngapain lagi lo?" tanyanya setengah membentak.
Irsyad segera mendekat dan berdiri di samping Agni. "Ag, sabar dulu," katanya mencoba menenangkan.
Agni menoleh, "bilangin temenmu ini ya. Aku nggak suka dia deketin Oik lagi! Belum puas dia nyakitin sepupu ku!?" marah Agni meledak. Oik makin menunduk.
Irsyad mendesah. Tapi belum juga menjawab, Agni makin marah dan kembali menatap Cakka.
"Stok cewek elo udah habis ya? Karena itu lo deketin Oik lagi?!" marahnya tak terima.
Cakka menarik nafas dalam, dan membalas tatapan Agni serius. "Gue sayang sama sepupu lo! Maaf atas perbuatan gue waktu itu. Gue nyesel," tegasnya sungguh-sungguh.
"Cih. Playboy emang gitu ya? Mulutnya manis banget. Ngomong maaf aja gampang," sindir Agni tajam.
"Agni, kamu dengerin Cakka dulu," bujuk Irsyad membantu.
"Nggak perlu!" tegas Agni tak mau dibantah. Ia lalu menoleh pada Oik yang terus menunduk. "Masuk, Ik," perintahnya tegas.
Oik mengepalkan tangan. Agni adalah sepupu terdekatnya. Yang ia anggap sebagai kakak kandung sendiri. Ia selalu menuruti perintah Agni. Tapi kenapa saat ini... rasanya ingin membantah ya?
"Oik, masuk," Agni makin menegaskan intonasinya.
Oik menggigit bibir, tapi segera berbalik dan berlari pergi. Membuat Cakka langsung merasakan sesak amat dalam.
"Sana lo pergi! Enek gue liat muka lo!" usir Agni membentak, kemudian menoleh pada Irsyad. "Kamu juga pulang. Udah mendung, kayaknya bentar lagi ujan," kata Agni dengan nada yang langsung berubah drastis.
"Gue nggak mau pulang sebelum Oik maafin gue!" tegas Cakka ngotot.
Agni memicingkan mata, "elo emang batu ya! Terserah lo pulang atau nggak. Tapi jangan lo injekkin kaki di sini!" marah Agni membentak.
Cakka mengepalkan tangan. Mencoba menahan emosinya. "Bilangin Oik, gue nunggu dia," tegasnya kemudian membalikkan tubuh dan melangkah menjauh. Namun pemuda itu berhenti di perkarangan rumah Oik dan berbalik kembali. Membuat Agni tersentak.
"Kalau elo nggak bolehin gue berdiri di teras lo, gue berdiri di sini," tegas Cakka serius.
Agni terpana sesaat, tapi lalu tersenyum sinis. "Oh, elo mau kayak di sinetron-sinetron gitu? Nunggu sambil hujan-hujanan? Elo pikir ngaruh apa?" tanya Agni ketus.
"Gue nggak peduli. Gue bakal buktiin ke elo kalau gue serius. Dan gue mau nunggu maaf dari Oik," kata Cakka tegas.
Agni tertegun. Ditatapnya Cakka tajam. "Terserah lo," katanya datar. Ia lalu menoleh pada Irsyad. "Pulang gih."
Irsyad diam sejenak. "Cakka serius, Ag," katanya masih mencoba membantu temannya itu.
Agni mendengus, "Aku nggak peduli. Aku cuma nggak mau ada yang nyakitin saudaraku," tegasnya serius, dan lalu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat.
Irsyad menghela nafas, lalu menoleh pada Cakka yang masih berdiri tegak.
"Kka, udah mau ujan," kata Irsyad mengingatkan. Awan hitam mulai mengumpul di atas rumah Oik.
"Gue nggak peduli, Syad," tegas Cakka masih ngotot.
Irsyad mendecak. Perlahan, tetesan dari langit mulai jatuh. Membuat Irsyad terkejut. Cakka tak berkutik. Perlahan namun pasti, hujan mulai menjadi deras.
Irsyad mendesah lalu melangkah mendekat dan berdiri di samping Cakka membuat Cakka terkejut.
"Ngapain lo?" tanya Cakka di tengah hujan yan makin menjadi.
Irsyad tersenyum sambil memasukkan kedua tangan di saku celananya. "Kita sahabatan udah tiga tahun. Apa salahnya gue nemenin elo ujan-ujanan? Kan bisa jadi kenangan kalau kita lulus nanti," jawabnya asal.
Cakka tertegun, tapi lalu tertawa. Ia meninju pelan lengan Irsyad. "Elo emang sobat gue."
Irsyad tertawa, dan mengikuti Cakka berdiri tegak. Menemani teman setim basketnya itu.
^^^
Agni membuka pintu, masuk ke dalam kamar Oik di lantai dua. Gadis itu tersentak. Melihat sepupunya duduk di atas ranjang dan menangis.
"Ik..." Agni segera mendekat. Ia duduk di samping saudaranya itu dengan cemas.
"Maaf, Ag...." ucap Oik bergetar, membuat kening Agni berkerut. "Tapi... aku percaya Cakka," katanya menunduk dan sesenggukan.
Agni tertegun. "Kamu masih sayang?" tanyanya dengan nada datar.
Oik menarik nafas, dan mengangkat kepala menatap Agni. "Selalu, Ag..." jawabnya bergetar.
Agni terdiam. Perlahan hati kerasnya mulai meluluh. Bertepatan kala ia mendengar hujan deras yang turun. Agni dan Oik sama-sama tersentak.
Oik segera bangkit dari ranjang dan berlari ke jendela kamar. Ia tersentak.
"Agni! Hujan!" kata Oik panik.
Agni menghela nafas, "gue udah ingetin kok. Dia aja ngotot," jawab Agni cuek.
"Tapi..." Oik berbalik, menatap Agni. "Irsyad juga kehujanan..."
Agni tersentak. Ia segera melesat ke samping Oik. Dan terkejut. "Irsyad bego!" umpatnya lalu meraih payung dan berlari keluar.
^^^
"Irsyad!!!" panggil Agni sambil membuka payung dan segera berlari mendekat, memayungi kepala Irsyad yang sudah basah kuyup. "Kamu ngapain sih?" omel Agni segera.
Irsyad tersenyum tenang, "nemenin Cakka."
Agni tenganga, "kamu tuh..." geramnya tertahan, tapi masih memayungi Irsyad.
"Aku sahabatnya Cakka. Aku bakal bantu dan nemenin dia," kata Irsyad serius. Membuat Agni tertegun. "Kamu aja bisakan belain Oik? Nah sekarang giliran aku yang bela Cakka. Karena dia juga sahabat aku. Ini gunanya sahabat, Ag."
Agni makin terpana. Cakka tersenyum berterima kasih pada Irsyad walau masih kehujanan.
Tiba-tiba dari dalam rumah Oik berlari keluar dan membuka payung. Ia melesat dan berhenti di depan Cakka, memayungi pemuda itu membuat Cakka tersentak.
"Aku nggak mau kamu sakit cuma karena nunggu aku," kata Oik ngos-ngosan karena berlari, langsung berkata tanpa ditanya membuat Cakka tertegun.
Agni makin terdiam melihat itu.
"Ag..." panggil Irsyad membuat Agni menoleh. "Sebagai sahabat, aku tahu Cakka gimana. Bukan maksud bela, tapi memang ini kenyataan. Cakka ngerasa kehilangan setelah putus dari Oik. Apalagi waktu kamu nentang dia. Cakka frustasi," jelas Irsyad membuat Agni, Oik, dan juga Cakka tertegun. "Kalau kamu nggak percaya sama Cakka, seenggaknya kamu percaya sama aku. Cakka sayang banget sama Oik. Dan aku jamin itu."
Cakka tertegun. Ia tersenyum berterima kasih pada sahabatnya itu. Dan entah kenapa ada perasaan bergejolak dalam dadanya. Menyadari ia beruntung mendapat sahabat-sahabat yang luar biasa. Termasuk Irsyad.
Agni menghela nafas panjang, "semua pilihan ada sama Oik," katanya pasrah dan mengalah.
Wajah Cakka langsung merekah. Senyumnya melebar bahagia dan lega.
Agni menoleh pada Irsyad, "ayo kamu masuk. Aku ambilin handuk," kata Agni segera menarik tangan Irsyad dan memayungi Irsyad menuju rumahnya.
Irsyad masih sempat menepuk pundak Cakka dan tersenyum penuh arti.
"Thanks Syad!" ucap Cakka di tengah hujan.
Irsyad mengacungkan jempol dan mengikuti Agni.
Cakka diam sejenak, lalu menoleh pada Oik yang sedang menunduk dan masih memayunginya.
"Mau masuk juga nggak? Ada baju abang aku, biar kamu nggak masuk angin," kata Oik salah tingkah dan terus menunduk. "Bentar lagi ujian, nggak lucu kalau kamu sakit."
Cakka tersenyum kecil, "Kan kalau sakit nanti diperhatiin. Nggak papa deh," godanya membuat pipi Oik memanas.
"Nggak usah geer deh," elak Oik gugup. "Lagian sejak kapan Cakka Nuraga bisa sakit karena hujan? Bukannya sering main basket sambil hujan-hujanan?"
Senyum Cakka melebar, "masih ingat?"
Oik mencibir. Tapi ia lalu melepaskan payungnya begitu saja dan maju, memeluk tubuh basah Cakka membuat pemuda itu agak terkejut.
"Kalau gitu aku aja yang sakit," bisik gadis itu bersemu, membuat Cakka tertawa dan membalas peluknya erat.
Sementara itu di dalam rumah, Irsyad tertawa mengintip dari tirai jendela yang terbuka. Bajunya sudah berganti menjadi baju kakak laki-laki Oik.
"So sweet banget sih, pelukan di tengah hujan," komentar Irsyad membuat Agni yang tadi baru saja mengambil handuk basah untuk rambut Irsyad tersentak. Irsyad menoleh ke arahnya, "dingin-dingin gini emang enaknya dipeluk sih," katanya nyengir lebar.
Agni mendelik, lalu dengan cepat melempar handuk mengenai wajah Irsyad tepat. "Peluk tuh bantal!" katanya memeletkan lidah dan pergi.
Irsyad mencibir saja.

xxxxx

HAI! Terima kasih atas 'BOM' kalian di mention. Maapin yak. Banyak faktor coy. Ada aja kendala.
Tengkyu untuk yang masih nungguin PMB dan ngingetin ane buat lanjut. Huahahaha. Maksudnya tuh post part berikutnya novel PMB udah tekirim. Tapi novel PMBpun juga ngaret gak sesuai jadwal terbit. Ane nyesek to the max bro.
Oh ya. Untuk pembeli PMB kalau novel udah sampai buruan laporan ye. Dan jangan kasih tahu juga endingnya gimana :p Walau memang bakal beda sama cerbung, ya tetep aja jangan bocorin. Karena nanti ada beberapa yang sama.

next? Doakan cepet yak hahaha

bbye
@aleastri