Keke
menggandeng lengan Shilla, dengan tangan kiri yang memegang senter menyala
terang. Shilla sendiri melangkah di samping Gabriel yang berada di depan dengan
tenang. Ify melangkah di belakang sembari menggerutu, karena pemuda yang
melangkah di sampingnya ini daritadi tak pernah bisa diam.
"Jadi
Fy, kalau di film-film ya, kalau kita ketemu tiga kali secara nggak sengaja
selama berturut-turut, itu berarti jodoh!" kata Rio masih berargumen.
"Pertama, elo sekelas sama gue. Kedua, elo duduk depan gue. Ketiga, kita
satu kelompok! Nah. Kesimpulannya adalah..."
"Gue
dapat kesialan bertubi-tubi," sela Ify menuntaskan kalimat Rio.
Rio
menipiskan bibir, tapi lalu kembali nyengir lebar khasnya. "Terkadang Fy,
ada berkah di balik kesialan," kata Rio masih saja berusaha.
Ify
melengos kasar, lalu memilih mengalihkan pembicaraan saja. "Yel, ini
kemana nih? Kita udah masuk lebih dalam loh!" tanya Ify yang memang sudah
berada di tengah hutan.
"Kita
harus cari pohon paling besar," jawab Gabriel membaca kertas yang ia
pegang. Ia lalu kembali mendongak, menyenterkan ke segala arah.
"Pohon
paling besar yang gimana? Paling tinggi atau paling rindang atau gimana?"
tanya Shilla meminta penjelasan.
"Gue
juga nggak tahu. Yang jelas di sini di suruh cari pohon besar," jawab
Gabriel terus mencari.
KRESEK
"KYAAA,"
jerit Ify spontan, membuat semua terkejut.
"Apa
Fy? Apaan?" tanya Rio cemas.
"Itu!
Itu tadi ada apaan gerak-gerak," kata Ify dengan wajah pucat dan panik.
"Apaan
sih?" tanya Shilla sembari menyenterkan ke arah sekitar kaki Ify. Terlihat,
seekor hewan berbulu abu-abu gelap terlihat dengan sepasang mata hitamnya.
"Yaelah. Kucing," kata Shilla santai.
"Tenang
Fy, itu anaknya Shilla. Shillakan macan," kata Rio setengah mengejek, yang
langsung dapat injakan kaki keras dari Shilla, membuatnya segera mengaduh.
"Udahlah.
Ayo kita cari lagi," kata Gabriel kembali memimpin.
"Shil,"
bisik Keke sembari mencolek pinggang Shilla membuat Shilla menoleh.
"Itu... apaan?" tanya Keke takut-takut sembari menyenterkan ke arah
yang di maksud.
Shilla mengerutkan
kening, ikut menyenter ke arah yang Keke tuju. Gabriel, Ify, serta Rio merasa
tertarik dan juga memandangi ke arah yang sama. Terlihat, seperti sebuah guling
dengan kain putih membungkusnya, dan terlihat seperti....
"POCOOONNNGGG!!!"
teriak Shilla spontan. Keke dan Ify ikut memekik, membuat Gabriel dan Rio
terkejut setengah mati.
"Gabriel!!!"
jerit Ify memegang lengan Gabriel dan berlindung di dada pemuda itu.
Shilla juga
tanpa sadar memegang lengan Gabriel yang satu lagi dengan erat. Kalau masalah
begini, ia juga tak berani. Sedangkan Keke yang sedari tadi menggandeng lengan
Shilla, memeluk gadis itu ketakutan.
Rio
tenganga di tempat. Heh heh heh! Apa-apaan ini? Kenapa ia seperti pemuda tak di
anggap? Kenapa tiga gadis itu malah berlindung pada Gabriel? He?! Apa-apaan
ini!? Lalu dia di anggap apa?! Pajangan saja?! Atau parahnya, ia hanya
pecundang yang tak bisa melindungi?
"Ssstt...
Itu tuh cuma boongan doang," kata Gabriel menenangkan sembari mengarahkan
senter ke arah benda tadi. "Pasti ini kerjaannya panitia. Bukan
beneran."
Shilla
membuka mata perlahan, lalu melebarkan mata memerhatikan benda itu lebih jeli.
Keke juga sedikit mengintip walau masih takut.
"Eh,
iya ding boongan," kata Shilla lega sembari meringis. Ify ikut menghela
nafas lega. Tapi kedua gadis itu lalu sama-sama tersadar dan memandang ke arah
tangan mereka yang masih memeluk lengan Gabriel. Gabriel sendiri menatap
keduanya bergantian.
"Eh
sorry," ucap Shilla lalu segera melepaskan genggamannya. "Gu...
gue... em... gue tadi panik!" kata Shilla menjelaskan dengan wajah
memerah.
Gabriel
tersenyum tipis, "nggak papa kok."
Ify
menggigit bibir bawah, sedikit menahan sebal karena ternyata gadis itu juga
menggenggam lengan Gabriel. Tapi Ify masih belum juga melepaskan pegangannya.
"Ehem!"
Rio berdehem keras, sambil melepaskan paksa tangan Ify di lengan Gabriel, lalu
berdiri di antara dua orang itu. "Ayo lanjut lagi! Nanti kita malah
tertinggal jauh sama yang lain," kata Rio ketus sambil memicingkan mata ke
arah Gabriel. Sementara Ify di sebelahnya mendumel dalam hati karena gangguan
pemuda itu.
Gabriel
hanya mendesah tak kentara, tapi lalu kembali melanjutkan langkah di ikuti yang
lain.
"Kalau
takut, nih. Lebih kokoh!" kata Rio menepuk-nepuk lengannya sendiri pada
Ify. Ify mendelik, lalu mencibir saja.
Rio lalu
tanpa sengaja menoleh ke arah Keke yang berada di pojok kiri. Wajah gadis itu
nampak pucat dengan keringat bercucuran di keningnya. Rio sedikit mengernyitkan
kening, merasakan sesuatu yang menjanggal ketika melihat wajah bulat itu pucat
pasih seperti ini.
"Ke,"
panggil Rio membuat Keke menoleh. "Lo nggak papa? Muka lo pucet,"
ucap Rio peduli.
Keke
mengangkat alis sejenak, tapi lalu tersenyum kikuk. "Nggak papa,"
jawabnya singkat. Tapi nadanya gemetar, membuat Rio malah berpikir ada apa-apa.
"Ke,
serius deh. Muka lo tuh pucet," ucap Rio khawatir sembari melangkah ke
arah gadis itu, membuat tiga orang lain sedikit bingung. Karena tumben sajalah
seorang Rio memedulikan orang lain. Apalagi di sekolah, tak ada satupun orang
yang tahu tentang hubungan antara Rio dan Keke. Alvin saja hanya tahu sedikit.
"Aku
tadi cuma takut Yo," jawab Keke menenangkan, walau tak bisa menahan ada
yang melayang dalam hatinya karena untuk pertama, pemuda itu memberikan
perhatian di depan orang lain.
Rio menatap
Keke lekat, berusaha mencari kepastian dari jawaban itu. "Shil, lo bawa
air minum?" tanya Rio tanpa mengalihkan pandangan. Memang, yang membawa
perlengkapan adalah Shilla. Walau itu hanya P3K.
"Nggak.
Kan nggak boleh," jawab Shilla juga mulai merasa khawatir dengan wajah
menunduk Keke yang semakin pucat.
Rio
membungkukkan badan, memandang Keke. Ia menepuk pundak gadis itu, membuat Keke
mendongak perlahan, walau diam-diam menahan laju detak jantungnya yang kencang.
"Ke...
lo tadi belum makan ya? Magh lo kambuh?" tanya Rio lembut, membuat
lagi-lagi ketiga orang anggotanya itu terkejut tak percaya.
Nanti dulu
nanti dulu. Ada apa ini? Kenapa mendadak seorang Mario Stevano jadi lembut nan
perhatian seperti ini? Dan... kenapa Rio bisa tahu Keke punya magh? Bukankah
saat kelas satu dulu mereka tak sekelas? Lalu di kelas mereka juga tidak akrab.
Bahkan Rio hanya menegur Keke kalau-kalau meminjam PR ataupun perlengkapan
menulis.
"Nggak
Yo. Aku cuma...."
"Ck!
Elo tuh kenapa sih nggak pernah mau jujur sama gue?" potong Rio sebelum
kalimat Keke usai. Rio menghela nafas keras memandang teman dari kecilnya itu.
"Elo tuh emang. Hati sama omongan di depan gue selalu beda. Seneng banget
sih nyembunyiin gitu," omel Rio sebal, mengingat memang selama ini Keke
selalu berkilah kalau Rio mencemaskannya. Ya seperti tentang magh yang di
derita Keke.
Dalam hati
Keke nelangsa. Seperti tersindir tajam. Bukan hanya karena masalah magh saja.
Ada hal lain, yang selalu ia sembunyikan dari Rio. Namun mungkin pemuda itu
masih saja tak peka, bahwa sebenarnya sebuah rasa telah Keke berikan selama
ini. Rasa yang terus saja bersembunyi di
balik status 'teman kecil'.
Rio
menghela nafas kembali, lalu membalikkan tubuh membelakangi Keke. Lutut pemuda
itu sedikit di tekuk, dan menoleh ke belakang sembari menepuk-nepuk pundaknya.
"Naik
gih. Nggak tega gue kalau nanti elo pingsan beneran kayak dulu."
Kayak dulu?
Maksudnya? Pertanyaan
yang sama menyantol di benak Gabriel, Shilla, dan juga Ify.
Keke
tertegun sesaat. Ia sedikit melirik ke arah tiga teman kelompoknya itu, lalu
menunduk tapi menurut saja. Karena mungkin sudah jadi kebiasan sedari mereka
SD. Kalau menolak permintaan Rio yang satu ini, Rio selalu saja ngambek, dengan
berkata "ya sudah kalau elo nggak mau denger omongan gue! Nanti pingsan
nggak gue tolong ya!". Kalimat itu sering kali Keke dapat sejak mereka
kelas enam SD, di mana magh Keke sering kali kambuh dan pertahanan gadis itu
sering pula melemah.
Keke
merengkuh leher Rio lembut, Rio mengambil lututnya, lalu berdiri dan sudah
menggendong Keke di belakang. Tak peduli pada tatapan tak mengerti namun juga
heran dari tiga orang lain.
"Yaelah,
Tante Gina ngasih lo makan apa sih? Enteng banget," ejek Rio tertawa geli.
Keke hanya mendecak dan merenggut.
Gabriel
tersentak. Mendengar nama itu. Gina. Dan Rio menyebutnya Tante Gina. Hanya
dengan sekilat detik, sebuah ingatan langsung datang dalam otak Gabriel. Dan
membuatnya langsung mengerti, bahkan tanpa sadar pemuda itu mengucap huruf O
tanpa suara. Ia lalu memandangi Keke yang kini dengan sedikit canggung menaruh
dagunya di bahu kanan Rio. Gabriel sudah bisa menduga, ada rona merah di kedua
pipi bulat gadis itu. Oh, ternyata gadis ini toh, batin Gabriel dalam hati.
Rio
menggerakkan kepala pada para anggota kelompoknya yang lain, dan memasang
ekspresi seakan-akan tak ada hal aneh yang terjadi. Walau ia tahu pasti mereka
heran dan kaget dengan perlakuan Rio terhadap Keke.
"He!
Ngapain lo semua bengong? Ayo jalan," kata Rio memimpin, lalu mulai
melangkah di ikuti yang lain.
Shilla
seakan tersadar, lalu segera mengekor di ikuti Gabriel. Sementara Ify masih
terdiam dan setengah tenganga di tempat melihat adegan barusan. Rio yang
mendadak jadi perhatian pada seorang gadis -yang menurut Ify sangat culun
karena selalu saja diam tanpa di tegur dulu-, Rio dan Keke yang sepertinya
punya sesuatu di masa lalu, Rio yang menawarkan diri menggendong Keke dan
langsung di turuti Keke tanpa bantahan. Tidakkah... kejadian ini terlalu aneh?
Dan juga.... raut cemas nan khawatir Rio tadi ituloh. Ify bahkan tak pernah
mendapatkan ekspresi seperti itu. Ify, yang sejak dari dulu sudah jadi rahasia
umum di kejar-kejar oleh Rio, tak pernah di perlakukan Rio semanis itu! Dan Rio
malah bersikap lembut pada gadis berpipi bulat yang cupu abis itu? Yang sangat
jauh levelnya dengan Ify! Pemuda itu kesurupan hantu hutan ini atau gimana sih?
Merasa ada
anggota yang kurang, langkah Shilla terhenti. Ia berbalik, dan mengerutkan
kening melihat Ify masih membatu. Dan makin mengerutkan kening melihat raut
kesal Ify. Ada apa dengan gadis itu?
"Fy!
Cepetan!" tegur Shilla membuat Ify mengerjap dan tersadar.
Ify
merapatkan bibir sejenak, sedikit tak suka gadis itu yang menyadari ketidak
hadirannya. Kenapa bukan Gabriel saja? Bahkan juga, sekarang saja Rio yang
selalu memuja Ify malah sibuk mengucapkan sesuatu pada Keke. Dengan lembut!
Apa-apaan sih Rio itu?! Mau membuat Ify geram!?
Eh?
Ify
terkesiap sendiri. Menyadari dasar kekesalannya sedari tadi. Wait wait wait.
Ada apa nih dengan otaknya? Kenapa mendadak jadi tak suka dengan perlakuan Rio
pada gadis lain? Loh?
"Ify.
Lo masih mau berdiri di situ doang?" tegur Shilla lagi, kini dengan nada
malas.
Gabriel dan
Rio memilih menghentikan langkah, ikut memandangi gadis cantik berwajah tirus
itu namun tak mengeluarkan kata.
Ify
mendesah, tapi lalu menurut dan berjalan mendekat. Walau dalam hati masih
bertanya-tanya tak mengerti, apa yang terjadi pada otaknya kini, yang
membuatnya benar-benar merasa geram pada Rio dan Keke.