Sabtu, 15 Februari 2014

Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 29



Rio telah merelakan dan mengijinkan Acha bertemu Ozy. Walau Rio tak tahu menahu bahwa Acha sudah bertemu Ozy kembali. Namun di sisi lain, Rio merasa termotivasi dari Ozy. Ozy saja bisa meluluhkan hati kerasnya, lalu kenapa ia tidak? Rio akan berjuang. Rio akan berusaha.
Mendapatkan restu orang tua Keke.

Part 29. Rio!

Kamu menonton Power Ranger hari ini? Ranger Merah menyelamatkan Ranger Pink. Mereka saling menyukai. Walau Ranger Merah sudah hampir mati, tapi demi Ranger Pink ia terus berjuang.

Apa itu yang namanya kekuatan cinta?

Cinta? Haha kita sedang membahas kartun, bukan sinetron.

Tapi seorang pahlawan juga butuh cinta untuk tetap berjuang.

Apa nanti kamu akan berjuang juga untuk orang yang kamu cintai?

Tentu. Demi dia, aku pasti bisa berubah menjadi Ranger Merah. Hahahaha.

x x x

Rio terdiam lama di dalam Jazz putihnya. Tapi tak lama, ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Mencoba menyiapkan diri. Dibukanya pintu mobil dan keluar. Melangkah menuju pagar rumah cokelat bertingkat dua itu. Rio menatap rumah tersebut dari luar, lalu menghembuskan nafas sekali lagi. Ia membuka pagar rumah, dan melangkah menuju teras. Tiap langkahnya mencoba meyakinkan hati pemuda itu bahwa ia benar-benar telah siap.
Pemuda itu mengetuk pintu tiga kali, dan menunggu. Tak lama, seorang wanita dewasa membukakan pintu. Dan langsung terkejut begitu melihat sosok Rio berada di depannya.
"Siang tante," sapa Rio sambil tersenyum tipis.
Mama Keke diam sesaat, lalu mendelik tak suka. "Ngapain lagi kamu ke sini?" tanyanya kasar.
Rio menghela nafas. "Tante... saya mohon, kasih kesempatan untuk saya buktiin ke tante sama, Om. Kalau saja sayang sama Keke!" tegas Rio serius. Langsung to the point tanpa basa-basi.
Mama Keke makin mendelik, "Rio, sudahlah. Suami saya sudah bilang, kan? Jangan harap kamu bisa dekat sama Keke! Kamu belum kapok dipukul suami saya?"
Rio diam sesaat. "Sampai kapanpun, saya terus pertahanin perasaan saya tante. Walau saya ditendang, dipukul, bahkan diinjak. Saya tetap berusaha ada bersama Keke."
Mama Keke menatap pemuda itu tajam. "Suami saya belum pulang kerja. Sebaiknya kamu pulang sebelum dia datang. Saya tidak mau melihat suami saya marah besar lagi," usir Mama Keke mencoba sabar.
"Saya sudah bilangkan tante? Sampai kapanpun, saya bakal berusaha untuk bersama Keke lagi," ucap Rio yakin.
Mama Keke mendesah, "keras kepala kamu."
"Ini semua karena perasaan saya ke Keke sudah terlanjur besar tante," jawab Rio mantap, membuat wanita di depannya itu tertegun. "Please tante, kasih saya kesempatan buat buktiin ke tante sama om," pinta Rio sungguh-sunguh.
Mama Keke menghela nafas. Wanita itu diam lama. Tapi kemudian kembali berkata, "maaf Rio. Tapi tante juga nggak bisa lawan Papa Keke," kata Mama Keke menyesal.
Rio menggigit bibir, "boleh... saya ketemu sama Keke? Sebentar lagi saya ujian nasional tante. Saya mau masalah ini selesai."
Mama Keke mendesah lagi. Ia nampak ragu, menatap Rio yang sangat berharap. Tapi tiba-tiba sebuah Kijang silver memasuki parkiran rumah Keke. Membuat Mama Keke dan Rio menoleh, lalu terkejut. Kijang silver itu berhenti, dan mematikan mesin. Rio meneguk ludah, dan entah mengapa jantungnya mulai melajukan detakkan tak nyaman.
Papa Keke keluar dari dalam mobil, sedikit mengernyit melihat sosok pemuda berdiri di teras rumahnya. Dan saat dekat, garis wajahnya perlahan berubah menjadi kaku dan tajam.
"Kamu?!"
Rio membalas tatapan Papa Keke, tapi diam saja tak menjawab.
"Kenapa lagi kamu ke sini?!" Nada itu langsung tersulut, bercampur antara amarah dan geram.
"Pa, sabar Pa... Papa baru pulang," kata Mama Keke menenangkan sambil mengambil alih tas koper di tangan Papa Keke.
Papa Keke mendesah keras dan menoleh pada istrinya. "Kenapa mama ijinkan anak ini menginjak kaki lagi di sini?!" tanyanya dengan nada tinggi. Mama Keke terdiam.
"Om, saya datang ke sini untuk..."
"Pergi!" potong Papa Keke membentak. "Saya tidak ingin mendengar ocehanmu!"
"Om! Saya datang ke sini mau minta maaf sama om. Dan meminta ijin agar saya sama Keke lagi," pinta Rio serius.
"Jangan mimpi kamu saya akan seperti itu," sahut Papa Keke tajam dan sinis.
"Pa, suruh Rio masuk dulu. Kita bicarain baik-baik di dalam. Nanti dilihat tetangga, Pa," kata Mama Keke mencoba membujuk. Tapi suaminya itu justru melemparkan tatapan marah menyuruh Mama Keke kali ini diam saja.
"Saya sungguh-sungguh sayang sama anak om," ucap Rio mantap kembali menarik perhatian Papa Keke.
Papa Keke makin emosi dan tersulut, "jaga mulut kamu! Kamu tidak pantas menyayangi anak saya!"
"Saya sayang anak om!"
Seakan menantang, Rio mengulangi ucapannya lagi. Kali ini benar-benar dengan nada tegas dan serius. Membuat Papa Keke langsung refleks melayangkan tamparan ke pipi kanannya. Mama Keke yang masih ada di sana membelalak kaget.
"Anak brandal seperti kamu tidak pantas dengan anak saya!" bentak Papa Keke meradang. Mama Keke diam sesaat, tapi segera masuk ke dalam rumah.
"Pergi kamu!"
"Saya bakal tetap di sini sampai om ngerti," kata Rio belum menyerah, walau pipinya mulai berdenyut perih.
Papa Keke makin geram, "ngerti apa?!"
"Om! Saya sayang sama anak Om. Dan saya yakin, Keke juga begitu!"
Papa Keke menatap Rio tajam, "kamu racuni apa anak saya sampai dia juga memiliki rasa sama seperti kamu?!"
Rio balas menatap Papa Keke. "Saya cuma ngasih dia kebahagiaan dan ketenangan tanpa kekangan orangtua," tegasnya membuat Papa Keke terdiam.
"Keke sudah dewasa om. Dia sudah SMA. Tapi kenapa sampai sekarang semua kemauan dia ditentang orangtuanya? Kenapa Keke selalu nggak punya pilihan? Hidupnya nggak punya warna karena selalu menurut kemauan orangtuanya. Kenapa kalian nggak pernah mau dengarkan dia?" kata Rio, mengingat perkataan Alvin tentang pengekangannya terhadap Acha. "Dan saya ada untuk Keke, untuk jadi pendengarnya, tempat mengadunya, dan saya berusaha untuk membuat hidup Keke berwarna. Bukan hitam putih seperti om dan tante beri ke dia," lanjut Rio dengan nada dinginnya. Papa Keke tertegun. 
"Mungkin om pikir itu semua terbaik untuk Keke. Tapi Keke nggak bahagia om, dia tertekan. Membimbing itu bukan ngekang," kata Rio tajam. "Ada seseorang yang bilang sama saya, kalau kita benar-benar ingin memberi yang terbaik untuk orang yang kita sayang, caranya adalah mendengarkan perasaannya. Mendengarkan apa pilihan dia sebenarnya. Bukan mengekang semua kemauan dia. Dan menjadi egois dengan memilih keputusan kita sendiri," ucap Rio, mengulang perkataan Alvin saat itu padanya.
Papa Keke terdiam lama. Namun mengingat lagi tabiat pemuda ini, membuat hatinya mengeras lagi. Tidak. Pemuda berandal ini tak akan pantas bersama anaknya.
"Terserah bagaimana cara saya membimbing Keke, dan itu bukan urusan kamu!"
"Tapi saya ingin itu jadi urusan saya," kata Rio serius. "Karena saya care sama Keke. Saya sayang sama Keke."
Papa Keke makin melotot geram, dan sekali lagi ingin melayangkan tangannya.
"Pa!" kata seseorang yang dengan cepat menahan tangan Papa Keke di udara, melesat secepat kilat dan tahu-tahu sudah datang berdiri di depan sang papa. Papa Keke dan Rio tersentak, dan terdiam.
Keke memegangi tangan papanya dengan nafas terengah. Ia baru saja dibangunkan mama, dan segera melesat ke bawah saat tahu ada Rio di rumahnya.
"Cukup, Pa... Jangan sakitin Kak Rio lagi," pinta Keke memelas. Sang papa menatapnya geram, lalu menepis tangan Keke. "Pa, please... ngertiin Keke..." ucap Keke bergetar penuh permohonan.
"Dia anak berandal, Ke."
Keke menggeleng, "Kak Rio nggak seburuk yang Papa bayangkan," belanya membuat Rio terdiam dan tertegun. "Walaupun kasar, tapi Kak Rio selalu berperilaku manis di depan Keke. Kak Rio selalu ngejaga Keke, dan buat Keke tenang. Kak Rio selalu bisa buat Keke ngerasa kalau beban Keke ringan," ucap Keke bergetar, "beban Keke tentang semua kemauan Papa..."
Semua terdiam. Menatap Keke yang kini sudah berkaca-kaca. Wajah kuyuhnya terlihat sangat lelah. Gadis itu mulai merasakan tubuhnya bergetar. Tapi ia tak mau mundur lagi. Yang ia hadapai adalah orangtuanya sendiri. Keke sudah dewasa. Ia sudah harus berani mengutarakan apa isi hatinya. Keke tahu, semua yang dilakukan orangtuanya adalah untuk dia. Dan Keke juga sangat tahu, pada akhirnya kedua orangtuanya yang terlihat keras ini juga tak bisa membantah jika anak gadis mereka terluka karena tingkah mereka sendiri.
"Selama ini Keke cuma diam nggak ngelawan pilihan Papa. Tapi kali ini beda, Pa..." Keke menarik nafas dalam, mengisi rongga paru-parunya yang terasa sesak. "Papa suruh Keke les ini dan itu, Keke masih bisa nurut. Papa larang Keke ikut ekskul selain pelajaran, Keke juga bisa nurut. Tapi apa Papa tahu, kenapa selama ini Keke nggak pernah nunjukin penolakan Keke?"
Papa Keke terdiam. Entah mengapa benar-benar hilang kata menatap mata anak sulungnya itu sudah berkaca.
"Karena semua kesedihan Keke terhapus oleh keberadaan Kak Rio. Keke tahu, Kak Rio cuma berandalan kasar. Kak Rio punya tabiat nggak baik. Keke juga awalnya sama kayak Papa, nggak terima dengan sikap Kak Rio yang sangat berbeda dengan Keke. Tapi... apa papa nggak pernah mencoba ngerti kenapa Keke bisa luluh?"
Rio yang dibelakangi punggung Keke tertegun. Ia tak tahu harus apa lagi. Gadis ini jarang berbicara, apalagi tentang perasaannya. Ia sering menunduk, menurut kalem tanpa bantahan. Tapi sekali ia mengutarakan isi hatinya, semua benar-benar dibuat diam tak bisa berkutik.
"Itu semua karena sikap kasar Kak Rio selama ini cuma tameng..." ucap Keke agak bergetar, membuat Rio tersentak. "Kak Rio nggak pernah bisa jauh dari adiknya. Kak Rio selalu kangen orangtuanya yang jauh. Kak Rio selalu peduli sama pembantu rumahnya. Kak Rio bahkan menyayangi sahabat-sahabatnya. Kak Rio... punya hati lembut yang orang asing nggak pernah tahu..."
Rio makin tertegun. Papa dan Mama Keke dapat melihat ekspresi itu. Mereka mengerti. Apa yang dikatakan Keke tak pernah ia ucapkan sebelumnya. Kali ini benar-benar pertama Keke mengutarakan semua. Walau sambil membelakangi Rio.
"Dan... ada satu hal yang buat Keke luluh sama Kak Rio..." Keke menunduk, terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan disertai air mata yang mulai menetes. "Terkadang, Kak Rio ngingetin Keke sama Papa..."
Semua terkejut. Mata Rio dan Papa Keke saling tatap sejenak, lalu kembali terfokus pada Keke yang sudah mencoba diri menguasai dirinya.
"Posesifnya, kerasnya, diamnya... Tapi Keke tahu. Kalian berdua sama-sama ngelakuin ini untuk ngelindungin orang yang kalian sayang. Dan kalian sama-sama nggak tahu, kalau yang kalian lakuin sering nyakitin orang itu..." Keke memberanikan diri mendongak, menatap Papanya dengan wajah yang sudah basah. "Kak Rio menjaga Acha sama kayak Papa menjaga Keke. Acha pernah sakit dan frustasi karena sikap over Kak Rio. Dan karena Keke, Kak Rio sadar kesalahannya. Lalu sekarang... apa bisa, karena Kak Rio... Papa tahu bahwa Papa terlalu keras?"
Mama Keke menggigit bibir, merasakan matanya juga mulai menghangat. Ia perlahan mendekat, dan memegang lengan suaminya itu hangat. Hal yang hanya dua orang itu saja yang mengerti. Papa Keke masih diam tak bergerak.
"Acha sama Keke sama.... Kami sama-sama nggak pernah ngeluh dan berani protes. Bukan karena kami takut... Kami cuma nggak mau ngelawan orang yang sangat kami sayang..." Keke menarik kembali bulir yang hampir jatuh. "Acha sudah bebas dari kekangannya. Lalu sekarang... Keke kapan Pa?"
Rio meneguk ludah perlahan. Ia mendekat perlahan, berdiri di samping gadis itu membuat semua tersentak dan menoleh. Rio menghela nafas panjang sebelum bicara.
"Om... selama ini saya selalu melindungi adik saya. Saya nggak mau ada yang nyakitin dia. Tapi justru... selama ini sayalah yang nyakitin dia," Rio menarik nafas sejenak dan agak menundukkan kepala. "Cukup saya aja yang merasakan penyesalannya, Om. Cukup saya jadi contoh penjaga yang tidak baik."
Papa Keke tanpa sadar menggigit bibir keras. Ia memandang sepasang remaja yang sama-sama menundukkan kepala hormat kepadanya. Namun juga sikap permohonan mereka. Isak Keke masih terdengar samar. Membuat hatinya teriris. Pria itu juga dapat merasakan istrinya terus memberikan ungkapan batin yang ia sudah sangat paham tanpa bicara ataupun saling tatap.  Papa Keke menarik nafas sedalam mungkin, seakan ia sedang kekurangan banyak oksigen. Lalu dihembuskan perlahan, menenangkan diri.
"Pa? Kita ngomongin di dalam aja ya. Nggak baik berdiri di depan pintu," bujuk Mama Keke memecah hening.
Keke melirik sedikit, dan terus melafalkan doa dalam hati. Rio diam-diam juga berkomat-kamit dalam hati. Andai saja ia punya kekuatan pikiran. Sudah dihipnotis Papa Keke untuk segera setuju.
Papa Keke diam sejenak, kemudian menipiskan bibir. "Buatkan kopi, Ke. Papa harus bicara dengan pacar kamu ini."
Kalimat itu langsung membuat Keke dan Rio mendongak kompak. Tapi Papa Keke sudah berbalik dan masuk, diikuti istrinya yang tersenyum lega.
Keke dan Rio masih terdiam di tempat. Mereka saling menoleh. Masih dengan tampang tak percaya. Tapi kemudian tangis Keke benar-benar pecah. Rio menjulurkan tangan, mendekap gadis itu dengan perasaan yang seperti meledak-ledak tak karuan.
Beginikah rasanya mendapatkan restu? Beginikah rasanya hasil baik dari perjuangan untuk seseorang? Ini sih lebih bahagia daripada menang dari Smanra. Rio tak henti-hentinya mengucap syukur dalam hati.
Tapi kebahagiaan itu terpecah ketika hape Rio bergetar. Ia melepaskan pelukannya dan segera merogoh hape. Keke mengusap mata sembabnya dan kali ini wajah imut itu menyunggingkan senyum cerah.
Rio tak bisa menahan diri untuk tidak berbinar membaca nama kontak Acha yang tertera. Rio segera menekan dial menerima telpon sambil mendekatkan hape ke samping telinga.
"Halo Cha? Cha, ka....kak....."
Garis wajah Rio tiba-tiba mengendor. Kalimatnya terhenti. Membuat Keke mengerutkan kening.
"Cha? Cha kenapa? Suaramu nggak jelas," kata Rio mengernyit sambil menajamkan pendengaran. Hatinya mulai panik, mendengar isak di seberang sana. Rio benar-benar fokus dan khusyuk mendengar suara tersendat Acha. Mata pemuda itu perlahan melebar. Hatinya yang baru saja melambung tinggi tiba-tiba jatuh begitu saja dan hancur berkeping-keping.
"Kak?" panggil Keke mulai cemas melihat wajah Rio mendadak kaku dan memucat.
Tapi Rio tak menjawab. Ia meneguk ludah. Kembali mendengarkan Acha terus mengucap kalimat yang sama dengan gemetar. Membuat Rio dapat merasakan tungkainya mulai melemas.

Xxxxx

Part yang ini kayaknya drama zuper ya. Setaralah ya sama FTV-FTV Ind*siar atau m*ctv wuakakakakaka.
NOHHHHH aku baek banget yekannnn langsung aku post huahahahahaha ini hadiah buat setahun ALders yaaaaa padahal mau ngadain kuis yg hadiahnya ebook PMB asli, maksudnya PMB yang versi lama karena inikan versi baru gitu ye, tapi kayaknya TL sepi banget kemajuan deh ALders banyak yg malam mingguan kayaknya :’’’)))
Okeydey part depan gak tau kapan ya mungkin tunggu gabrielstev mention aleastri gitu yekan makanya bantuin ane dapat mention dr doi huahahahahahaha. Okeydey sekali lagi happy satu tahun ailopyu deh ya pokoknya selalu dukung me sampai kapanpun and makasih selalu support bahkan demo dan sebagainya gitu hahaha dan tetap sabar menghadapi kengaretan saya ye karena kan biar greget gitu (?) wuahahahahahaha
MARIOs? Nanti deh ya aku mau fokus selesaiin PMB dulu, baru deh MARIOs biar satu2 gitu jd kalian gak terlalu fyusing and kalau Ms udah, ya lanjut yg ‘itu’ kalau ada yg lupa ya alhamdulillah (?) klo ada yg inget ya jangan bahas lanjut(?) hahahaha waitwait aja and keep cabal alders muacmuach

Sincerely, Jodoh Gabriel Yang Tertunda

@aleastri






Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 28B



Part 28B. Alvin!

TINNNNN
Rio segera mengerem sambil menekan klakson panjang. Seorang bocah berkulit putih melintas di depannya begitu saja, hampir saja tertabrak. Bocah itu menolehkan kepala. Wajahnya oriental dan sekitar berusia sepuluh tahun. Ia menunduk takut memohon maaf, dan segera berlari menyeberang lagi.
Rio terdiam. Entah kenapa melihat bocah tadi langsung mengingatkannya pada seseorang.
"Apin..."
Rio meneguk ludah. Ia menggelengkan kepala, mencoba mengenyahkan pikiran itu. Karena masih ada satu masalah yang harus ia selesaikan. Namun entah kenapa, hatinya perlahan mulai merasa tak nyaman. Dan bayang wajah Alvin terngiang dalam benaknya.

^^^

"STOPPP!!!! SION!!!! GUE MOHON STOP GUE MOHON!!!" teriak Shilla tak bisa lagi menahan suaranya yang sedari tadi histeris.
Sion tak mendengarkan. Ia kini duduk di atas Alvin dan memukul pemuda itu brutal. Shilla terus-terusan mencoba menarik lengan Sion namun dengan kasar Sion menepisnya membuat Shilla sering terjatuh, namun berkali-kali segera bangkit lagi memisahkan Sion dari Alvin.
"Koko!" teriak Acha ikut histeris dan refleks bergerak mendekat dengan cepat. Ozy juga ikut berlari bersama Ray dan yang lain.
"Sion lepasin!" bentak  Ozy mencoba menarik Sion tapi Sion lagi-lagi mendorongnya menjauh.
Seperti kerasukan, Sion tak urung menghentikan tangannya. Walau wajah Alvin sudah memar babak belur dan darah juga mengalir dari pelipis ataupun bibirnya. Bahkan Alvin sudah terkapar tak berdaya. Ia mencoba menepis dengan lemah, namun kedua mata sipit itu seperti tak mampu terbuka lagi. Alvin mencoba mempertahankan kesadaran, tapi ia harus akui Sion memang pertarung yang patut paling ditakuti di smanra.
"Sion gue mohon lepasin..." Shilla makin menangis histeris sambil memegangi lengan Sion kuat. Acha dan Ozy juga mencoba menarik Sion menjauh.
Ray dan yang lain masih membeku melihat kondisi Alvin yang benar-benar K.O. Tapi mereka segera tersadar dan ikut memisahkan keduanya. Sion masih mengamuk ketika Cakka, Dayat, Irsyad, serta siswa lain menariknya menjauh dari Alvin. Mereka segera menyingkirkan Sion jauh-jauh.
Shilla segera mendekat dan mengangkat kepala Alvin yang sudah dipenuhi darah dan memar warna biru keunguan. Tangis gadis itu makin deras tak bisa ditahan. Alvin sudah benar-benar hilang kekuatan. Bukan hanya wajah, tubuhnya juga memar dan berdarahan. Matanya sayu agak terbuka dengan mulut yang ingin berucap namun tak mampu bergerak. Acha terduduk lemas di samping Shilla, ikut menangis melihat keadaan Alvin.
"Ambil kotak p3k! Handuk, sapu tangan, air anget, atau apapun cepetan!" perintah Ozy panik pada tim cheers yang terbungkam melihat kondisi Alvin. Tapi mendengar nada tinggi dari Ozy membuat mereka refleks menurut dan berlarian panik.
"Kita bawa ke rumah sakit aja!" kata Acha menangis panik, lalu kembali menoleh pada Alvin yang bernafas lelah. "Koko bertahan ya, tahan sebentar."
Alvin memejamkan mata sekilas, dan mencoba membukanya lagi. Badannya berdenyut semua, merintih sakit. Ia menatap gadis yang menangis deras sedang memangku kepalanya. Alvin dapat melihat lengan Shilla terluka karena terjatuh berkali-kali untuk melindunginya dari Sion. Tangan Alvin perlahan bergerak, meraih jemari Shilla yang dingin memegang wajah dan kepala Alvin. Shilla agak tersentak, dan menatap Alvin dengan mata nanar. Alvin merasakan nafasnya terasa lambat. Sulit sekali untuk mendapatkan oksigen. Ia menatap sepasang bola mata Shilla dalam, lalu menggerakkan kepala perlahan sambil berkedip. Seakan memberi isyarat. Shilla mengerti. Gadis itu masih sambil sesenggukkan mendekatkan wajahnya. Alvin memejamkan mata, dan dengan lembut merapatkan bibir di pipi Shilla. Memberikan kecupan hangat. Shilla agak terkejut, dan menoleh kaget. Alvin menatapnya sayu dan lelah. Dengan senyuman tipis di wajah tampannya. Namun perlahan, kedua mata itu memejam. Shilla diam, memandangi Alvin. Tapi Alvin tak bergerak lagi. 
"Ko? Koko!!!" panggil Acha panik sambil menggoyang kaki Alvin. Tapi kedua mata itu masih menutup rapat.
"BAWA ALVIN KE RUMAH SAKIT! SIAPAPUN BANTU GUE BAWA ALVIN KE RUMAH SAKIT!" teriak Ozy panik dan histeris.
Para siswa yang awalnya menyiram Sion dengan air untuk menyadarkan pemuda itu dari kekhilafannya, menoleh kaget. Para anggota cheers yang tadi mengambil kota p3k dan lainnya juga makin berlari mendekat mendengar teriakan panik Ozy itu.
Shilla masih membeku menatap Alvin yang belum juga bergerak. Jantung Shilla mulai melemah dengan nafas tertahan. Tapi tak lama tangis gadis itu kembali tumpah. Ia memeluk Alvin erat. Tak berkata apapun lagi. Hanya menumpahkan tangis deras. Shilla seperti kehilangan akal. Yang ia tahu ia hanya ingin memeluk Alvin seerat mungkin sekarang. Tak peduli pada Acha yang terus memanggili nama Alvin, Ozy yang panik, tim cheers dan para siswa yang berlarian, ataupun beberapa yang masih mengurusi Sion. Shilla tak peduli. Ia hanya ingin memeluk Alvin sekarang juga.
Sore itu. Di lapangan basket SMA Nusantara yang hanya dipenuhi sebagian muridnya. Kejadian tragis yang akan tak pernah dilupa telah terjadi.

^^^

Sivia dan Gabriel berlari kalut di koridor rumah sakit itu. Gabriel bahkan sampai menabrak seorang perawat tapi ia tak memedulikan dan terus berlari dengan tangan menggenggam jemari dingin Sivia. Wajah Sivia sudah pucat pasi. Ia melafalkan doa dalam hati dengan panik dan terus berlari menuju ruangan itu. UGD.
Shilla yang bersandar di pintu UGD, masih menangis sesenggukan. Ia sedari tadi diam tak mau berbicara dan terus menangis. Acha wajahnya sudah kuyuh dan sembab, duduk lemas di deretan kursi depan UGD. Ozy juga ada di sana. Berjalan bolak-balik dengan gelisah tak nyaman.
Mendengar suara derap langkah, mereka menoleh. Sivia dan Gabriel segera mendekat.
"Sorry gue baru datang," kata Gabriel terengah-engah. "Tadi gue ke smanra, dan udah tahu semua. Gue juga udah beresin Sion. Gimana Alvin?" tanya Gabriel panik dan cemas. Sebelumnya Gabriel dan Sivia memang sudah ke smanra. Tapi yang ada justru para siswa yang seakan sedang menjaga Sion yang sedang basah kuyup terduduk di tepi lapangan. Para tim cheers sudah memutuskan pulang, karena ngeri membayangkan kalau-kalau Sion kembali mengamuk seperti tadi. Benar-benar kalut, Sion seperti kerasukan dan menjadi orang lain ketika ia memukuli Alvin dengan brutal. Ketika diceritakan itu oleh Cakka, badan Sivia langsung melemas. Gadis itu dengan emosi mendatangi Sion dan ingin mendaratkan tamparan keras. Namun Gabriel segera menahannya. Pemuda jangkung itu tak berkata apapun, hanya menatap Sion datar. Sion yang sejak disiram air oleh teman-temannya memang sudah sadar apa yang dilakukannya di luar batas dan bisa saja membunuh Alvin, tak bisa berkata apapun. Apalagi Gabriel satu-satunya murid smanra yang ia hormati. Gabriel terlalu baik padanya. Gabriel selalu membantunya. Gabriel selalu melindunginya. Dan Gabriel selalu mampu menahan gejolak emosi Sion. Bukannya tak bisa melawan Gabriel, Sion hanya tak pernah mau. Jadi selama ini ia sangat setuju jika Gabriel dinobatkan sebagai 'ketua' di sekolah. Dan saat Gabriel menatapnya datar seperti sekarang, Sion benar-benar tak bisa berkutik. Justru kediaman Gabriel tanpa perlawanan fisik menunjukkan jelas betapa marahnya pemuda itu.
"Gue nggak akan ngebela lo kali ini," ucap Gabriel datar ketika Sion menatapnya, "dan gue adalah orang pertama yang ngelempar lo ke penjara kalau nyawa Alvin hilang atas kelakuan lo." Dan setelah itu Gabriel segera menarik Sivia pergi, menuju rumah sakit. Tak berkata apapun lagi, tapi sudah mampu membuat Sion gemetar.
"Belum ada kabar, Yel," jawab Ozy mendesah berat menjawab pertanyaan Gabriel tadi. Karena di depan UGD itu, hanya Ozylah yang bisa menjawab.
"Memangnya separah apa? Gue tahu Sion kalau emosi di luar kendali, tapi kenapa sampai masuk rumah sakit gini?" tanya Gabriel mewakilkan Sivia yang makin memucat gelisah.
Ozy mendecak. Ia menggerakan kepala pada Acha yang menunduk di bangku, lalu menoleh pada Shilla yang terus sesenggukan dalam diam. Ozy memandang Gabriel lagi. "Mungkin sikap dua cewek ini bisa wakilin jawaban gue..." kata Ozy tak sanggup menjelaskan rinci bagaimana kondisi Alvin tadi.
Sivia menutup mulut dengan telapak tangan. Gadis itu merasa shock seketika. Tapi ia tak diam saja. Dengan cepat dan gemetar Sivia mengambil hapenya, segera menghubungi keluarga.
Gabriel menghela nafas panjang, lalu perlahan mendekati Shilla yang terus menutup mulut. Merasakan bayangan di depannya, Shilla mendongak perlahan. Mata bengkak dan basah gadis itu sudah memerah nanar. Ia hanya diam saja. Terisak menatap Gabriel yang memandangnya nelangsa. Gabriel mendesah pelan, tapi kemudian menarik kepala Shilla dan merangkul sahabatnya itu hangat.
"Dia bakal baik-baik aja. Dia itu kuat," kata Gabriel mencoba menenangkan.
Shilla tak menyahut. Namun air matanya kembali pecah. Gadis itu menaruh kepala di dada Gabriel yang jangkung, dan menumpahkan tangis di sana. Gabriel tak berkata apapun. Hanya mengusap rambut panjang Shilla lembut, mencoba menenangkannya.
"Zy..."
Ozy terkejut dan menoleh. Sivia dengan gemetar memanggilnya. Hidung gadis itu sudah merah. Ia menyodorkan hapenya ke depan Ozy. Sivia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi sepertinya tenggorokannya tercekat hingga gadis itu hanya menatap Ozy penuh arti.
"Tolong..." pinta Sivia bergetar.
Ozy menipiskan bibir, mengerti. Ia menerima hape Sivia, dan mendekatkannya ke samping telinga. "Halo Om? Ee ini Ozy," kata Ozy mewakilkan Sivia yang kini ikut mendekat ke pintu UGD.
Sivia mendorong pintu yang tertutup rapat itu. Namun tak bisa. Gadis itu merutuk dan mencoba menahan tangis.
"Aku mau masuk..." kata Sivia bergetar dengan mata yang mulai berembun penuh.
Gabriel yang kini di sampingnya, menoleh. "Sabar Vi..." ucapnya lembut, "berdoa aja..."
Shilla yang mendengar itu memejamkan mata rapat, membuat bulir air matanya kembali menetes.
Sivia memegang pintu UGD dengan tatapan kosong. Seakan bisa menembus dinding, hatinya berbisik kepada Alvin.
'Aku sudah larang kamu untuk berantem, kan? Berapa kali aku marah karena perilaku burukmu ini? Kamu saudaraku, Vin. Kamu kakakku. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa...' batin Sivia menahan agar tangisnya tak tumpah. 'Kamu selalu bilang kalau kamu pasti baik-baik aja. Kamu terlalu percaya diri! Liat sekarang, kan? Karena nggak bisa nahan emosi untuk berantem, kamu malah masuk UGD...'
Sivia merasakan ada yang mengalir di pipi bulatnya. Ia segera mengusap dan berusaha tetap tegar. Gadis itu menarik nafas, mencoba menguasai diri. Tidak. Alvin pasti baik-baik saja. Tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi padanya. Sivia harus percaya. Sivia tak boleh berpikir negatif. Alvin pasti baik-baik saja.
Perlahan, Sivia merasakan jemarinya digenggam seseorang. Membuat gadis itu menoleh. Gabriel menatapnya lembut, masih dengan satu tangan menenangkan Shilla. Gabriel tak berkata apapun. Hanya menatap Sivia penuh arti.
Sivia juga tak berkata apapun. Ia menatap Gabriel dengan mata basah. Tapi kemudian menunduk, menahan isaknya lagi. Dalam hati gadis itu berdoa setulus hati. Semoga Tuhan memberikan kekuatan pada sepupunya itu.
Berkilo meter dari suasana cemas dan takut di depan ruangan UGD, sebuah Honda Jazz putih melaju kencang ke dalam sebuah perumahan. Namun tak lama sang pengemudi menepikan mobil, dan menginjak rem. Pemuda itu terdiam sendiri di dalam mobilnya. Ia agak mengernyit. Entah mengapa perasaannya tak nyaman sedari tadi.
Rio menggerakan kepala perlahan ke arah kanannya, menatap rumah cokelat bertingkat dua tepat di seberangnya. Pemuda itu meneguk ludah. Firasat tak enak ini... karena ia akan memasuki rumah itu kah? Atau ada hal lain yang lebih menakutkan akan terjadi?

xxxxx

Huahahahaha sorry to say ya. Setelah ngaret yg sangat long long long time, eh datang malah part 'ginian' berturut-turut. Hehehe semoga feelnya masih ada ya karena kan udah lama banget ceritanya, pasti udah lupa deh hehe.
Kalau ada yang sering baca #bocorancerbung PMB di ALders atau di twitku, pasti agak bingung. Hehe karena ceritanya diubah dikit. Tepatnya ditambahin sih. Adegan Alvin masuk rumah sakit ini nih yang beda. Awalnya GabrielSivia datang ke smanra dan ngelerai, udah kelar. Tapi kayanya kurang aja gitu, jadi deh aku buat Alvinnya sekarat .-.v
Part 29 judulnya... "Rio!"
Hahaha kalau 28 judulnya "Alvin!" next jadi nama Rio. Jadi makin drama gitudeyyyyy
Kalau waktunya kapan, doain aja cepet ya aku nggak mau janji lagi deh nanti dicap macem2 lagi :p *ngelirikseorangalders*
And btw, Happy #setahunALders !

@aleastri