aku lagi mager banget ya bikin opening gitu, dan kalian pada demo -_- apalagi ini mau UN, jadi pasti makin lama lanjutnya jadi ya silahkan langsung baca aja ya okebye
***
Part 30. Peace?
Derap lari yang memburu cepat membuat
mereka tersentak dan menoleh. Mata mereka melebar, melihat sosok jangkung Rio
berlari dengan wajah pucat dan cemas. Rio berhenti, tepat tak jauh di depan
Gabriel yang bersama Sivia dan Shilla. Keduanya saling tatap. Dua musuh besar
itu kembali bertemu. Bukan di lapangan basket atau area tawuran, namun di depan
pintu UGD.
"Kak!" panggil Acha segera
mendekat dan menghambur ke pelukan Rio.
Rio segera tersadar. "Apin
kenapa?" tanyanya kembali panik. Acha tak menjawab, justru mempererat
dekapannya dan menempelkan wajah di dada bidang Rio, kembali menumpahkan
tangis. Aksi yang membuat Rio semain kalut. "Cha? Apin kenapa? Mana
Apin?" tanya Rio hampir histeris.
"Dia bonyok," jawab Ozy
mewakilkan, mengerti Acha sekarang hanya ingin menumpahkan perasaan pada sang
kakaknya. "Cukup parah," sambung Ozy lirih.
Tubuh Rio mulai melemas. Acha segera
menarik kakak tunggalnya itu yang hampir saja limbung. Rio mengumpat kasar,
nyala di mata tajamnya langsung membara. "Siapa yang mukul dia?! Siapa
yang buat dia kayak gini!?" marah Rio langsung tersulut.
Ozy terdiam. Ia meneguk ludah sesaat,
"... anak smanra... Sion..."
Tangan Rio langsung terkepal. Emosinya
naik begitu saja. Ia lalu membuang pandangan pada Gabriel yang hanya menatapnya
tanpa ekspresi. Rio menatap Gabriel tajam, seakan meluapkan emosi melalui
matanya bahwa Gabriel patut disalahkan karena salah satu anak buahnya berbuat
seperti ini.
Gabriel mendesah pelan, mengerti.
"Gue nggak tahu. Gue juga nggak nyangka dengan tangan kosong Sion bisa
buat Alvin kayak gini," kata Gabriel cukup merasa bersalah.
Rio kembali kehilangan tenaga. Ia menatap
pintu UGD nelangsa. Pemuda itu tak berkata lagi. Ia mengulurkan kedua tangan,
kembali memeluk adiknya erat. Berbagi kecemasan amat besar bersama. Ingin
sekali Rio menangis panik seperti Acha. Namun ia tahu diri. Air matanya
disimpan rapat dalam bibirnya yang mengatup kaku. Membatin, pemuda itu berdoa.
Tuhan... kalau bisa berlutut, mungkin Rio akan berlutut di hadapan-MU. Kali
ini, tolong dengan sangat, kabulkan doanya. Jangan biarkan tubuh lemas tak
berdaya itu berlama-lama menutup mata. Jangan biarkan ada luka parah di
tubuhnya. Panjangkan nyawanya. Selamatkan dia.
"Kak..." bisik Acha bergetar pelan dalam dekapan
Rio. "Acha mohon... berhenti berantem... Acha nggak mau liat Kak Rio kayak
Koko..." pintanya sepenuh hati, seakan itu adalah permintaan terakhirnya.
"Jangan tawuran lagi. Jangan emosian lagi. Jangan bandel lagi..."
Rio tak menjawab. Tenggorokkannya tercekat, seakan digumpali
segenggam pasir. Rio juga pernah masuk rumah sakit karena bertarung dengan
Gabriel dulu. Ia mengerti betapa menyiksanya tubuh ketika itu. Rio tak tahu
Alvin separah apa, tapi Rio berharap semoga semua akan baik-baik saja. Tapi
kini Rio mengerti satu hal lain. Bagaimana rasanya jadi Acha dan kerabatnya
yang lain ketika ia masuk ke rumah sakit. Ternyata bukan ia saja yang berjuang,
namun orang-orang yang menyayanginya juga berjuang atas rasa takut
kehilangan.
Pintu UGD terbuka, Sivia segera menepi diikuti yang lain menatap
seorang suster yang baru keluar itu. Acha juga melepaskan pelukannya pada Rio
dan mendekat, diikuti Rio yang berdiri di sisi pintu UGD. Berseberangan dengan
Shilla.
"Lukanya cukup parah, mengenai beberapa bagian
vitalnya," jelas sang suster jelas namun agak lirih, mengerti itu bukan
berita baik untuk disampaikan. "Alvin belum sadarkan diri, tapi kami akan
memindahkannya ke ruang inap."
Setelah itu sang suster mengangguk kecil pamit, dan kembali
masuk ke dalam ruang UGD.
Rio merasakan tulangnya hilang entah kemana. Acha terduduk
lemas di bangku depan UGD, setetes bening hangat meluncur di pipi bulat Sivia,
sementara Shilla menempelkan dahi di dinding ruang UGD, kembali menangis takut.
Rio yang bersandar di dinding samping pintu UGD perlahan
merosot kebawah. Pemuda itu menekuk lutut, dan memeluknya. Ia membenamkan
kepala di sana. Tak tahan lagi. Perlahan, samar memang, bahu tegak itu
bergetar. Tak bisa lagi sembunyi. Hati rapuh itu menampakkan diri, mengibas
tirai arogan dan sikap kasar yang selama ini menopengi.
Gabriel dan Ozy yang melihat itu terkesima. Rio, yang biasanya
selalu terlihat gagah dan masa bodoh berdiri angkuh di hadapan mereka, kini
terlihat lemah tak berdaya. karena Alvin.
Gabriel meneguk ludah. Entah mengapa ia merasa amat sangat
bersalah. Mengingat semua akar permasalahan ini. Permusuhan tak penting yang
menyangkut nama pribadi, merambat ke tim basket antar sekolah, dan lalu
meningkat menjadi permusuhan atas nama sekolah. Pada pemuda yang terduduk lemas
di lantai di dekatnya, Gabriel tak tahu Rio juga merasakan penyesalan yang
sama. Ingin sekali Rio menghantam tubuhnya sendiri. Merasa sangat bodoh dan
jahat melempar sahabatnya sendiri dalam situasi seperti ini. Kalau saja tak ada
permusuhan, mungkin Sion tak akan menghakimi Alvin seperti tadi. Dan kalaupun
iya, para murid smanra yang lain bisa melindungi Alvin. Tapi karena dicap
pengkhianat, mereka justru tak berbuat banyak sebelum Sion benar-benar
menghabisi Alvin.
Andai saja tak ada permusuhan. Mungkin tak akan seperti ini...
x
x x
Sivia mengeratkan genggaman pada kelima jemari Gabriel,
membuat pemuda itu meneguk ludah namun masih diam. Sivia masih berdiri di
sampingnya. Terus menunggu.
Mereka kini berada di koridor rumah sakit. Gabriel baru saja
pamit pulang, tapi Sivia menghentikannya dan membuat sebuah permohonan. Gabriel
sedari tadi diam, terus berpikir keras.
"Aku mohon..."
Kini sebuah kalimat bergetar itu tercetus. Tak lagi hening
dengan genggaman lembut. Sivia benar-benar berharap.
Gabriel menarik nafas dan menghembuskannya panjang. Ia
menggerakkan kepala perlahan, menatap Sivia yang kedua matanya sudah sembab.
Gabriel menggigit bibirnya sesaat. Tapi kemudian menganggukkan kepala pelan
sambil tersenyum tipis.
Sivia mendesah lega setengah mati. Ia segera menarik tangan
Gabriel menuju parkiran.
Sementara di parkiran, Rio berhenti di depan Jazz putihnya.
Acha sudah terisak sambil memegangi kedua tangan Rio yang dingin. Sama seperti
Sivia, ia juga memohon.
"Demi Koko Alvin, kak..." pinta Acha bergetar.
"Tolong..." Acha menarik isaknya, mencoba menormalkan suaranya walau
ia merasa suaranya benar-benar lirih tak beraturan. "Acha nggak akan minta
banyak hal lagi. Acha cuma mau, kali ini... Kabulin permintaan Acha... Acha
mohon..."
Rio berdiri lemas di hadapan sang adiknya itu. Ia juga dapat
merasakan kedua matanya mulai menghangat dengan hati berdesir luluh. Ia menarik
nafas dalam, mencoba menghilangkan kesesakan amat dalam di dadanya. Dan ketika
menghembuskannya, Rio dapat mendengar derap langkah mendekat. Membuat ia dan
Acha mengangkat wajah.
Sivia dan Gabriel melangkah mendekat. Walau Gabriel jelas
sekali langkahnya jauh lebih pelan dengan wajah canggung.
Acha terdiam. Ia mengusap kedua pipi basahnya, dan mendekat
pada Rio. Rio melirik Acha. Dengan mata, Acha memberikan isyarat memohon itu
sekali lagi. Seakan mengatakan bahwa ini saatnya Rio mengabulkan permohonannya.
Sivia berhenti di hadapan Rio dengan Gabriel beberapa langkah
di belakangnya. Suasana terasa sangat kaku dan dingin. Apalagi langit telah
gelap dengan angin berhembus perlahan, makin mendramatisir pertemuan kedua
pemimpin dua kubu yang berlawanan itu.
"Harus ada yang kalian bicarakan..." kata Sivia
serius, menatap Rio tepat dan penuh arti.
Rio terdiam sesaat, tapi kemudian mendesah pelan dan
mengangguk kecil, "gue tahu," katanya serak.
Gabriel menunduk sejenak, tapi kemudian dengan tegas ia
mendongak dan melangkah maju, tepat berhenti di hadapan Rio yang masih terlihat
tak bersemangat sejak dari Alvin dipindahkan ke ruang inap.
Rio mendongak, menumbukkan kedua bola mata tepat pada mata
elang Gabriel. Keduanya diam satu sama lain. Membuat Sivia agak meneguk ludah
gentar. Acha juga tanpa sadar mencengkeram pelan lengan Rio.
Kedua musuh bebuyutan itu masih hening. Namun di detik yang
sama, dengan suara yang sama-sama serak dan lirih, mereka membuka suara.
Membuat Sivia merasakan bulu kuduknya meremang.
Keduanya mengaku kalah satu sama lain.
x
x x
Rio mendesah berat untuk ke sekian kalinya. Keke duduk di
sampingnya sambil menunduk. Sementara Debo, Lintar, serta Deva duduk berderet
di depan Rio dengan mata menajam, namun juga sarat kecewa dan ketergunan. Acha
sebenarnya ada. Namun ia tertidur lelah dan diangat Rio ke kamar, sementara Rio
langsung memanggil kawan-kawannya.
"Gue nggak tahu harus gimana..." komentar Debo
setelah sekian lama diam. "Pengen nonjok elo, Yo. Tapi di sisi lain juga
masih benci smanra..." kata Debo dengan nada kering.
Rio ditemani Keke, memang sudah menjelaskan semuanya. Rio tak
tahan lagi. Permusuhan ini harus berakhir. Perkelahian itu harus dihapuskan.
Kesekaratan Alvin menamparnya keras. Menyadarkannya bahwa tawuran hanyalah
jalan menuju neraka.
"Gue memang egois... Tapi gue juga capek sembunyi. Kalian
sahabat gue, kalian harus tahu ini," kata Rio lemah dan serak. "Dan
gue sungguh-sungguh. Gue... trauma berantem. Gue nggak mau liat adek gue sedih
lagi. Gue nggak mau liat orang tua gue susah lagi. Saudara gue yang cemas.
Dan... gue nggak mau sahabat gue khawatir..." kata Rio mengingat kejadian
semalam. Acha, Sivia, dan Shilla yang tak berhenti menangis takut dan terus
melafalkan doa. Gabriel dan Ozy yang setia menemani dan khawatir. Ayah Alvin
dan Oma yang kebingungan dan cemas. Serta dirinya, yang hampir frustasi belum ada
perkembangan selanjutnya tentang Alvin.
"Gue bukan ketua kalian. Nggak pernah ada yang memutuskan
atau pemilihannya, kan? Jadi sekarang gue serahin ke kalian. Untuk pribadi...
gue mundur," kata Rio benar-benar mengaku kalah.
Keke mengeratkan genggaman pada jemari dingin Rio. Keke
mengerti, betapa campur aduknya perasaan hati Rio mengucapkan kalimat itu. Rio
yang tak pernah mau kalah dan arogan, untuk pertama kalinya mengalah dan
menyerah.
"Gue nggak mau liat ada yang kayak Alvin lagi. Cukup
Alvin aja yang jadi korban, jangan nambah..." kata Rio bergetar. Ia
menundukkan kepala perlahan, menunjukkan permohonan tak terucap itu. Membuat
Debo dan yang lain nelangsa.
Debo, Lintar, serta Deva saling pandang. Mereka diam sejenak,
kemudian menghela nafas di detik yang sama.
"Den... makanannya udah siap," lapor Mbok Ipah dari
arah dapur. "Den Rio belum ada makan sejak pulang pagi tadi, Den Rio makan
ya," bujuk Mbok Ipah takut-takut.
Rio diam, tak menjawab. Keke mendesah, lalu menoleh pada Mbok
Ipah. Seakan memberi isyarat melalui tatapan. Mbok Ipah mengangguk mengerti.
"Mas Debo, Mas Deva, sama Mas Lintar, Mbok masak banyak,
kalian makan di sini aja," kata Mbok Ipah menawari. Debo dan yang lain
hanya balas tersenyum tipis. Mbok Ipah lalu segera pamit lagi ke dapur.
"Kak, aku ambilin makan ya?" bujuk Keke lembut.
"Nanti kalau nggak makan justru Kak Rio yang sakit. Acha makin stres loh
kalau Kakak sama Kokonya sama-sama sakit. Aku nanti bangunin Acha suruh makan
juga."
Rio meneguk ludah, lalu menghela nafas. Namun tak sengaja
matanya jatuh pada hapenya yang tergeletak di atas meja di depannya. Pemuda itu
diam beberapa saat. Tapi lalu meraih hape hitam itu. Ada yang harus ia hubungi.
Sekarang. Sesegera mungkin. Karena Rio takut terlambat. Selama ini ia tak
memberitahukan apapun pada seseorang yang akan segera ia hubungi. Dan sekarang
mungkin saat yang paling tepat untuk memohon kehadirannya kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar