Part 30B. Peace?
Gabriel melangkah bersama Shilla pagi ini di koridor sekolah.
Shilla menunduk. Wajah cantiknya dan penampilan modisnya mendadak mendung. Hari
ini ia benar-benar tampil apa adanya tanpa ada barang-barang lucu yang langsung
menarik perhatian karena dirinya adalah si princess sekolah. Tapi hari ini
Shilla melangkah merapat di samping Gabriel. Matanya jelas sekali bengkak dan
sendu. Gabriel memang menjemputnya pagi ini. Sebentar lagi Try Out tingkat
provinsi, Gabriel takut kalau Shilla tak masuk sekolah karena kejadian kemarin.
Beberapa kasak-kusuk melihat permandangan itu. Beberapa sudah
menduga karena kejadian kemarin memang menghebohkan sekolah dan menyebar begitu
saja. Gabriel berjalan masa bodoh seakan tak mengerti keadaan. Tapi ia tetap
menjaga sahabat karibnya ini dengan tak kentara.
Sampai tiba-tiba seseorang melangkah mendekat dan berhenti
tepat di depan Gabriel dan Shilla di tengah koridor yang hampir sampai ke kelas
12 IPS 3. Gabriel berhenti, diikuti Shilla. Shilla mendongak perlahan. Matanya
melebar. Kedua bola mata itu mendadak menyala dan membara. Tangannya mengepal.
Melihat pemuda yang berdiri di depannya itu membuatnya ingin sekali mengambil
pisau dan mencabik-cabiknya. Walau Shilla dapat melihat wajah pemuda itu juga
lebam.
Sion berdiri kaku. Ia meneguk ludah takut-takut. Untuk pertama
kalinya ia benar-benar gemetar berada di sekolah sendiri. Sion menatap Gabriel,
yang langsung dibalas tajam. Sion melirik Shilla. Sama. Tatapan Shilla juga
tajam. Justru lebih parah. Tatapannya sangat membenci dan emosi.
"NGAPAIN LO BERDIRI DI DEPAN GUE?! PERGI SANA!"
teriak Shilla tiba-tiba, membuat semua terkejut tak terkecuali Gabriel.
Beberapa murid di koridor itu langsung menoleh. Dan mendadak mereka menepi,
menghentikan langkah. Membuat lingkaran cukup lenggang antara Shilla, Gabriel,
dan Sion.
"Shil, gue-"
"KENAPA?! ELO NGGAK TERIMA?! ELO EMOSI?! ELO MAU HAJAR
GUE SEKARANG?! ATAU SEKALIAN AJA LO BUNUH! BIAR LO PUAS!" teriak Shilla
meradang dan maju. Mata bengkaknya melebar penuh amarah. Shilla ingin maju
dengan kepalan tangan, tapi dengan sigap Gabriel segera menahannya. Shilla
sempat mengamuk mencoba melepaskan cengkeraman Gabriel pada kedua lengannya.
Gadis itu mendadak kalap. Emosinya langsung meledak pagi ini.
Para mata menonton menarik nafas tegang. Beberapa yang ada di
dalam kelas melolongkan kepala ingin tahu. Hening. Bahkan tak ada yang berani
bergerak pergi atau sekedar batuk semata.
"SEBENCI-BENCINYA LO SAMA DIA, HARUSNYA LO MASIH PUNYA
HATI! SEKARANG NYAWANYA DIA TERANCAM! ITU SEMUA KARENA ELO! ELO TUH PERSIS
PEMBUNUH!" teriak Shilla histeris dan sudah diluar kesadarannya. Tak
peduli mereka di koridor kelas dua belas smanra. Tak peduli sudah banyak yang
menyaksikan. Shilla benar-benar lepas kendali.
Gabriel terus mencoba menahan Shilla seorang diri. Tapi tak
lama dari arah kerumunan para murid, dua orang nampak berlari datang dengan
panik. Ada Ray dan Ozy. Mereka segera datang ketika mengetahui Shilla bertemu
Sion.
"ELO MAU NGAPAIN LAGI!? BELUM PUAS LO HA?! SAAT DIA
NYERAHPUN ELO MASIH BELUM BERHENTI MUKULIN DIA! ELO KETERLALUAN!!!" teriak
Shilla benar-benar emosi besar. Ozy dan Ray segera membantu Gabriel menahan
Shilla yang terus mengamuk ingin menghajar wajah Sion yang makin memucat di
depannya.
"Shilla!" tegur Ozy hampir membentak. Tangannya juga
keras menghentak Shilla. Membuat sebuah benda yang tertempel di tali tas
sekolah Shilla terjatuh ke lantai.
Shilla terkejut dan menoleh. Tubuh gadis itu seketika melemas.
Mulutnya mendadak bungkam. Mata nanarnya menatap benda itu dengan hati terenyuh
perih.
Sebuah pin. Pin lukis cantik yang cukup besar. Sepasang nenek
dan kakek duduk di sebuah kursi goyang sambil berangkulan mesra, terlukis indah
di sana. Si nenek tersenyum, menyipitkan mata sambil bersandar di bahu si
kakek. Sementara si kakek merangkul nenek sambil tersenyum di balik kacamata
beningnya.
"Kita nenek dan
kakeknya smanra, kan?"
Kalimat itu mendadak menampar Shilla keras.
"Ini adalah gambaran
masa depan aku sama kamu. Kita akan ngabisin masa tua sama-sama. Jadi nenek dan
kakek untuk cucu-cucu kita kelak."
Kalimat itu menggema di benak Shilla. Membuat gadis itu luruh
seketika. Kakinya melemas. Ia terduduk di koridor yang senyap tersebut.
Perlahan, semua bisa melihat Shilla benar-benar tak kuasa
lagi. Bahu gadis itu bergetar, tangisnya pecah seketika. Membuat Gabriel dan
yang lain makin nelangsa. Gabriel segera berlutut di samping Shilla, merangkul
gadis itu. Sementara Ozy meraih pin tadi, dan juga duduk di samping Shilla
bersama Ray. Para murid yang lain ikut terenyuh.
Tapi mereka dibuat kaget. Ketika tiba-tiba kaki Sion ikut
melemas. Perlahan menekuk, lalu jatuh. Pemuda itu berlutut di hadapan Shilla.
Kepalanya tertunduk dalam.
"Gue minta maaf..." kata Sion bergetar, membuat
semua tersentak. Shilla menatap pemuda itu tajam dengan mata basah. "Gue
kalap. Gue bener-bener khilaf. Gue minta maaf..." kata Sion penuh
penyesalan. Bahkan kedua tangan pemuda itu ikut menyentuh lantai, menunduk
dalam. Di tengah koridor pagi itu. Membuat semua terkesima dan tercengang.
Shilla tak menjawab. Ia menunduk lagi, menangis tersedu. Tapi
tak lama ada dua orang menyeruak dari kerumunan di belakang Sion. Keduanya
segera maju, dan terkejut melihat permandangan yang ada. Mereka makin tertegun
melihat Shilla yang benar-benar tak mampu menahan diri sampai menangis histeris
di tengah koridor sekolah seperti ini. Mereka, Angel dan Zahra, saling pandang.
Zahra meneguk ludah, agak ragu. Sementara Angel mendecak tak sabar, lalu
bergerak dan berlari mendekat. Zahra segera mengikuti. Keduanya ikut berlutut
dan mengambil alih Shilla dari Gabriel.
"Bawa dia ke kelas," perintah Gabriel halus. Angel
dan Zahra mengangguk patuh.
Angel merangkul Shilla dan menuntun gadis itu berdiri
perlahan. Zahra mengambil pin yang diserahkan Ozy lalu memegang lengan Shilla,
ikut menuntunnya. Sion masih berada di posisinya. Berlutut memohon maaf. Ray,
Ozy, serta Gabriel ikut berdiri, menatap kepergian Shilla yang benar-benar
hilang tenaga.
Ozy mendesah, lalu memandang Sion. "Bangun lo,"
ucapnya dengan nada tinggi namun tegas. Sion tak bergeming. "Sampai kapan
lo mau kayak gitu? Ditonton banyak orang."
Sion meneguk ludah, tapi kemudian menurut. Perlahan ia
bangkit, dengan kepala yang masih menunduk. Ray melengos kasar, lalu melihat
sekitar.
"Ngapain lagi?! Elo pikir kita lagi main drama?! Bubar
sana!" perintah Ray membentak, membuat para 'penonton' itu tersadar dan
refleks menurut berlari kesana kemari dengan panik segera menuju kelas masing-masing
atau kemanapun lah. Yang jelas segera pergi dari situ.
Gabriel menghela nafas, kemudian melangkah. Mendekati Sion.
Kedua tangannya dimasukkan ke dalam celana abu-abunya. "Berenti, Yon. Gue
mohon. Belajar tahan emosi lo. Masalah ini adalah pelajaran," kata Gabriel
datar, namun sarat nasihat. "Kalau ada yang bernasib sama kayak Alvin
karena sikap lo, saat itu gue yang bakal benar-benar ngebunuh lo." Ucapan
Gabriel datar. Tanpa ekspresi. Tanpa intonasi. Namun tegas dan serius. Sion
makin menunduk menyesal. Ia benar-benar tak siap dicap pembunuh kalau benar
nyawa Alvin akan melayang karenanya.
Gabriel mendesah lagi. Tangannya terangkat, merangkul pundak
Sion dan menepuk-nepuknya. Ozy dan Ray yang melihat itu tertegun. Selalu
begini. Gabriel pasti memaafkan teman-temannya tanpa memutus tali pertemanan.
Memang tak salah smanra menyegani dan menganggapnya sebagai pemimpin sekolah.
***
Para murid kelas 12 IPS 3 memandang iba Shilla yang menangis
di pelukan Angel. Zahra duduk di depannya, memegang sebotol air mineral yang
tadi ditolak Shilla. Shilla terus menggenggam pin yang jatuh tadi. Tiba-tiba
semua terasa menyesaki dada dan pikirannya. Semua kejadian itu, terutama di
kelas ini, kembali terulang.
Kedatangan awal pemuda itu. Senyum tipisnya yang membalas
pertanyaan malu-malu Shilla.
Perkenalan mereka yang tak semanis kisah novel namun
menimbulkan kesan istimewa.
Pertengkaran pertama mereka yang membuat Shilla tak tahan
melayangkan tamparan keras.
Permintaan maaf pemuda itu. Kedatangan mereka di Panti Asuhan
bertemu keluarga Shilla. Percakapan di rumah pohon sambil menatap bintang.
Senyum malu-malu mereka jika saling tatap tak sengaja, ataupun
cibiran dan debat mereka jika sedang bertengkar kecil.
Pertemuan dengan adik bungsunya. Pemuda itu yang membela dua
adiknya daripada dia.
Kencan pertama mereka bersama Kekey. Senja dan es krim
strawberry yang manis.
Kejutannya mendatangi rumah pemuda itu dengan membawa sarapan.
Bertemu dan sarapan pagi dengan keluarganya. Kejadian 'hampir' mereka yang
terhentikan atas datangnya Sivia yang membuat Shilla sempat merasa takut dan
sedih mengira Sivia adalah kekasih pemuda itu dari Malang.
Pemuda itu yang akhirnya mengakui semuanya. Di bawah pohon
besar depan danau. Pelukan hangat itu. Ucapannya yang keluar begitu saja
mengutarakan perasaan. Hari jadian mereka yang spontan.
Tingkah keduanya yang menjodohkan Gabriel dan Sivia. Gelang
spesial yang membuatnya pernah cemburu dan merasa tak dianggap.
Tingkah romantis pemuda itu yang pertama. Pin lukis cantik.
Lagu Terbaik Untukmu dari Tangga yang merupakan pesan pemuda itu di radio yang
mereka dengar.
Dan... pemuda itu yang langsung meledakkan emosi ketika pemuda
lain menyatakan juga menyukai Shilla. Pemuda itu yang memang tak pernah bisa
mengendalikan diri jika emosi, mengamuk dan bergulat. Menyebabkan dia....
Air mata Shilla makin berkejaran. Hatinya benar-benar kalut.
Sejak kemarin tak ada perkembangan apapun. Bahkan Alvin belum sadarkan diri.
Entah apa yang Sion lakukan hingga menyebabkan hal itu. Membuat Shilla semakin
takut dan cemas.
"Shil, dia pasti baik-baik aja," kata Angel terus
mencoba menenangkan.
"Tapi bentar lagi ujian, Ngel. Gimana kalau dia belum
sadar? Gimana dia bisa ikut ujian?" tanya Shilla bergetar. "Aku
takut..."
Angel makin mengeratkan pelukannya. Ia diam sejenak menggigit
bibir, tapi tak bisa menahan air matanya ikut menetes. "Maafin gue Shil...
Harusnya kemaren gue nggak emosi. Harusnya gue lindungin elo. Harusnya gue dan
yang lain bisa nahan Sion sama Alvin dari awal. Maafin gue..."
Zahra yang mendengar itu menunduk, merasa ikut bersalah.
Shilla mendongakkan kepala dan menegakkan tubuh, memandang
Angel yang hidungnya ikut memerah.
"Elo sobat gue. Gue nggak bisa liat lo hancur kayak gini.
Maafin gue..." mohon Angel bergetar. "Kemaren gue kasar sama lo. Gue
juga nyudutin elo. Maaf...."
Shilla tak bisa berkata lagi. Tangisnya makin keras. Ia
langsung menarik Angel dalam pelukan erat. Zahra tak diam. Mendekat dan memeluk
dua sahabatnya itu juga sambil terisak. Para murid 12 IPS 3 saling pandang
sejenak, tapi entah mengapa mereka jadi saling meminta maaf satu sama lain.
Ujian semakin dekat. Waktu mereka di putih abu-abu makin menipis. Tak
seharusnya diisi dengan permusuhan yang memisahkan.
Ozy dan Ray terdiam di pintu kelas memandang itu. Keduanya
menghela nafas panjang, lalu saling menoleh. Sejak kemarin, mereka tak ada
bicara lagi. Ozy langsung pergi membawa Alvin ke rumah sakit, semalaman
menemani Acha di sana. Lalu pagi tadi mereka tak sengaja bertemu dan langsung
mendatangi Shilla dan Gabriel yang bertemu Sion.
Ray diam. Ia meneguk ludah sejenak, dan merasa agak canggung.
"Eung... kita perlu pelukan sambil nangis juga nggak kayak cewek-cewek
itu?"
Ozy terkekeh, lalu menepuk pundak sahabatnya itu. Ia diam
sejenak, seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tak tahu berkata apa. Ozy
menghela nafas sesaat. Dan menatap Ray penuh penyesalan rasa bersalah.
"Maafin gue."
Kini gantian Ray yang terkekeh. "Bener. Kita perlu
pelukan," katanya langsung menarik tubuh mungil Ozy dan mendekapnya erat.
"Pake' nangis nggak?" tanya Ozy polos. Walau jelas
suaranya mulai bergetar.
"Nanti aja kalau udah lulus," kata Ray asal sambil
menepuk-nepuk pundak Ozy. "Kitakan premannya sekolah. Preman kok
nangis," kata Ray sambil mendengus.
Ozy tertawa sambil melepaskan pelukannya. "Tapi mata lo
berair tuh," ejek Ozy.
"Kelilipan!" elak Ray ngeles mengusap matanya.
"Gue juga agak flu nih," sambungnya mendenguskan hidung. Ozy kembali
tertawa. Tawa yang benar-benar ringan.
Sesosok tubuh tiba-tiba menyeruak mereka dan berdiri di
antaranya sambil memasang wajah polos ingin tahu. "Gue ketinggalan apa
nih? Kok roman-romannya couple kurcaci stres udah balikan?" goda Cakka
memainkan alis.
Ray tersenyum, "Gue nggak mau Acha jealous. Sekarangkan
gue yang kedua buat dia," katanya dengan nada sok sinis menyipitkan mata
ke arah Ozy.
Ozy tertawa, "Sekarang Acha harus ngerti. Kalau elo,
ataupun kalian, para sahabat gue, adalah yang nomor satu sekarang,"
ucapnya tersenyum lebar.
"Sepik lo," kata Cakka menjitaknya.
Ozy merintih sejenak, tapi kemudian tertawa kecil, "Udah
lama nggak dijitak. Kangen juga gue," katanya nyengir.
Cakka dan Ray saling pandang sejenak, tapi kemudian tersenyum
juga. Cakka merangkulkan tangan ke kedua teman di sisinya ini.
"Mulai saat ini, kita fokus ke ujian ya. Jangan berantem
lagi," kata Cakka belaga sok pintar.
"Jangan pacaran lagi," ucap Ray dewasa sambil
memicingkan mata ke arah Cakka dan merangkulnya juga.
"Jangan godain pacar orang lagi," sambung Ozy ikutan
juga merangkulkan tangan ke pundak Cakka.
"Dan jangan berdiri di depan kelas lagi! Gue mau
lewat!"
Mereka terkejut dan berbalik. Sosok jangkung Gabriel sudah
kembali dari sebelumnya bicara berdua dengan Sion.
"Temen kalian lagi sekarat di rumah sakit, lah ini lagi
rangkulan kayak di acara reuni SMA," sindir Gabriel ketus. "Duduk
gih, ada yang mau gue omongin," kata Gabriel serius sambil berjalan ke
depan kelas.
Ozy, Ray, serta Cakka saling pandang sejenak. Tapi mereka
segera menurut. Ray yang sebenarnya murid 'salah kelas', ikut masuk dan duduk
di atas meja dengan santai. Angel, Shilla, dan Zahra saling melepaskan pelukan
ketika mendengar deheman Gabriel berdiri di depan kelas. Semua kini menatap
lurus pada si penguasa sekolah itu.
Gabriel memasukkan kedua tangan di saku celananya. Ia diam
sambil memandangi seluruh kelas perlahan, kemudian mendesah pelan.
"Gue udah buat keputusan. Terserah kalian mau marah,
nggak terima, atau menolak hal ini," kata Gabriel datar, membuat semua
hening dan mengerutkan kening. "Tolong umumin ke semua, khususnya adik
kelas, karena sepulang ini gue bakal ke rumah sakit untuk temani Alvin,"
ucap Gabriel tegas. Yang lebih tepatnya memerintah, bukan minta tolong seperti
kata yang ia ucap di awal.
Shilla yang mendengar nama Alvin meneguk ludah getir sambil
menarik isaknya. Tapi ia tetap memerhatikan Gabriel yang kali ini benar-benar
serius.
Gabriel kembali memandangi kelasnya, yang menatapnya penuh
perhatian dan tegang. Gabriel menarik nafas dalam, lalu mengucapkannya kalimat
itu. Kalimat yang langsung dijawab desahan kaget dan mulut terbuka para murid
kelas. Membuat mereka terpaku. Sementara Gabriel meneguk ludah sesaat, dan
kembali mengulang kalimatnya. Kini jauh lebih tegas.
"Gue damai sama Rio Smanhar."
xxxxx
Haha okey thanks buat semua yg selalu support, entah dalam
bentuk komentar atau ‘demo’ kalian yang luar biasa ya, meledak banget di
mention hahaha thanks juga buat masukkan dan saran semuanya. PMB emang udah mau
tamat and please don’t go away (?) stay di blog ya walau ada kemungkinan aku
bakal ‘pindah’ blog di wordpress.
Aku juga mohon maaf pernah ngilang lama dari kalian hehe sorry
ye tapi sekarang I’m back kok haha sorry juga setiap tanggal 13 gak pernah lagi
dirayain utk anniv alders hehe but nanti tgl 24 April aku harap bisa bikin
event karna itu perayaan tiga tahun PMB di blog! Iya, PMB udah 3 tahun dan
still ngaret gak pernah end hahaha peace deh. Event tiga tahunan ini
berhubungan sama PMB so follow @_Alders aja ya buat tahu infonya nanti.
Thanks untuk semua kesabarannya guys! Loplop xoxo
@aleastri
Nb: aku udah nggak pake bb, jadi buat alders yg masih mau chat
atau curhat ke dm atau askfm aja ya