Kamis, 17 April 2014

Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 30B



Part 30B. Peace?

Gabriel melangkah bersama Shilla pagi ini di koridor sekolah. Shilla menunduk. Wajah cantiknya dan penampilan modisnya mendadak mendung. Hari ini ia benar-benar tampil apa adanya tanpa ada barang-barang lucu yang langsung menarik perhatian karena dirinya adalah si princess sekolah. Tapi hari ini Shilla melangkah merapat di samping Gabriel. Matanya jelas sekali bengkak dan sendu. Gabriel memang menjemputnya pagi ini. Sebentar lagi Try Out tingkat provinsi, Gabriel takut kalau Shilla tak masuk sekolah karena kejadian kemarin.
Beberapa kasak-kusuk melihat permandangan itu. Beberapa sudah menduga karena kejadian kemarin memang menghebohkan sekolah dan menyebar begitu saja. Gabriel berjalan masa bodoh seakan tak mengerti keadaan. Tapi ia tetap menjaga sahabat karibnya ini dengan tak kentara.
Sampai tiba-tiba seseorang melangkah mendekat dan berhenti tepat di depan Gabriel dan Shilla di tengah koridor yang hampir sampai ke kelas 12 IPS 3. Gabriel berhenti, diikuti Shilla. Shilla mendongak perlahan. Matanya melebar. Kedua bola mata itu mendadak menyala dan membara. Tangannya mengepal. Melihat pemuda yang berdiri di depannya itu membuatnya ingin sekali mengambil pisau dan mencabik-cabiknya. Walau Shilla dapat melihat wajah pemuda itu juga lebam.
Sion berdiri kaku. Ia meneguk ludah takut-takut. Untuk pertama kalinya ia benar-benar gemetar berada di sekolah sendiri. Sion menatap Gabriel, yang langsung dibalas tajam. Sion melirik Shilla. Sama. Tatapan Shilla juga tajam. Justru lebih parah. Tatapannya sangat membenci dan emosi.
"NGAPAIN LO BERDIRI DI DEPAN GUE?! PERGI SANA!" teriak Shilla tiba-tiba, membuat semua terkejut tak terkecuali Gabriel. Beberapa murid di koridor itu langsung menoleh. Dan mendadak mereka menepi, menghentikan langkah. Membuat lingkaran cukup lenggang antara Shilla, Gabriel, dan Sion.
"Shil, gue-"
"KENAPA?! ELO NGGAK TERIMA?! ELO EMOSI?! ELO MAU HAJAR GUE SEKARANG?! ATAU SEKALIAN AJA LO BUNUH! BIAR LO PUAS!" teriak Shilla meradang dan maju. Mata bengkaknya melebar penuh amarah. Shilla ingin maju dengan kepalan tangan, tapi dengan sigap Gabriel segera menahannya. Shilla sempat mengamuk mencoba melepaskan cengkeraman Gabriel pada kedua lengannya. Gadis itu mendadak kalap. Emosinya langsung meledak pagi ini.
Para mata menonton menarik nafas tegang. Beberapa yang ada di dalam kelas melolongkan kepala ingin tahu. Hening. Bahkan tak ada yang berani bergerak pergi atau sekedar batuk semata.
"SEBENCI-BENCINYA LO SAMA DIA, HARUSNYA LO MASIH PUNYA HATI! SEKARANG NYAWANYA DIA TERANCAM! ITU SEMUA KARENA ELO! ELO TUH PERSIS PEMBUNUH!" teriak Shilla histeris dan sudah diluar kesadarannya. Tak peduli mereka di koridor kelas dua belas smanra. Tak peduli sudah banyak yang menyaksikan. Shilla benar-benar lepas kendali.
Gabriel terus mencoba menahan Shilla seorang diri. Tapi tak lama dari arah kerumunan para murid, dua orang nampak berlari datang dengan panik. Ada Ray dan Ozy. Mereka segera datang ketika mengetahui Shilla bertemu Sion.
"ELO MAU NGAPAIN LAGI!? BELUM PUAS LO HA?! SAAT DIA NYERAHPUN ELO MASIH BELUM BERHENTI MUKULIN DIA! ELO KETERLALUAN!!!" teriak Shilla benar-benar emosi besar. Ozy dan Ray segera membantu Gabriel menahan Shilla yang terus mengamuk ingin menghajar wajah Sion yang makin memucat di depannya.
"Shilla!" tegur Ozy hampir membentak. Tangannya juga keras menghentak Shilla. Membuat sebuah benda yang tertempel di tali tas sekolah Shilla terjatuh ke lantai.
Shilla terkejut dan menoleh. Tubuh gadis itu seketika melemas. Mulutnya mendadak bungkam. Mata nanarnya menatap benda itu dengan hati terenyuh perih.
Sebuah pin. Pin lukis cantik yang cukup besar. Sepasang nenek dan kakek duduk di sebuah kursi goyang sambil berangkulan mesra, terlukis indah di sana. Si nenek tersenyum, menyipitkan mata sambil bersandar di bahu si kakek. Sementara si kakek merangkul nenek sambil tersenyum di balik kacamata beningnya.

"Kita nenek dan kakeknya smanra, kan?"

Kalimat itu mendadak menampar Shilla keras.

"Ini adalah gambaran masa depan aku sama kamu. Kita akan ngabisin masa tua sama-sama. Jadi nenek dan kakek untuk cucu-cucu kita kelak."

Kalimat itu menggema di benak Shilla. Membuat gadis itu luruh seketika. Kakinya melemas. Ia terduduk di koridor yang senyap tersebut.
Perlahan, semua bisa melihat Shilla benar-benar tak kuasa lagi. Bahu gadis itu bergetar, tangisnya pecah seketika. Membuat Gabriel dan yang lain makin nelangsa. Gabriel segera berlutut di samping Shilla, merangkul gadis itu. Sementara Ozy meraih pin tadi, dan juga duduk di samping Shilla bersama Ray. Para murid yang lain ikut terenyuh.
Tapi mereka dibuat kaget. Ketika tiba-tiba kaki Sion ikut melemas. Perlahan menekuk, lalu jatuh. Pemuda itu berlutut di hadapan Shilla. Kepalanya tertunduk dalam.
"Gue minta maaf..." kata Sion bergetar, membuat semua tersentak. Shilla menatap pemuda itu tajam dengan mata basah. "Gue kalap. Gue bener-bener khilaf. Gue minta maaf..." kata Sion penuh penyesalan. Bahkan kedua tangan pemuda itu ikut menyentuh lantai, menunduk dalam. Di tengah koridor pagi itu. Membuat semua terkesima dan tercengang.
Shilla tak menjawab. Ia menunduk lagi, menangis tersedu. Tapi tak lama ada dua orang menyeruak dari kerumunan di belakang Sion. Keduanya segera maju, dan terkejut melihat permandangan yang ada. Mereka makin tertegun melihat Shilla yang benar-benar tak mampu menahan diri sampai menangis histeris di tengah koridor sekolah seperti ini. Mereka, Angel dan Zahra, saling pandang. Zahra meneguk ludah, agak ragu. Sementara Angel mendecak tak sabar, lalu bergerak dan berlari mendekat. Zahra segera mengikuti. Keduanya ikut berlutut dan mengambil alih Shilla dari Gabriel.
"Bawa dia ke kelas," perintah Gabriel halus. Angel dan Zahra mengangguk patuh.
Angel merangkul Shilla dan menuntun gadis itu berdiri perlahan. Zahra mengambil pin yang diserahkan Ozy lalu memegang lengan Shilla, ikut menuntunnya. Sion masih berada di posisinya. Berlutut memohon maaf. Ray, Ozy, serta Gabriel ikut berdiri, menatap kepergian Shilla yang benar-benar hilang tenaga.
Ozy mendesah, lalu memandang Sion. "Bangun lo," ucapnya dengan nada tinggi namun tegas. Sion tak bergeming. "Sampai kapan lo mau kayak gitu? Ditonton banyak orang."
Sion meneguk ludah, tapi kemudian menurut. Perlahan ia bangkit, dengan kepala yang masih menunduk. Ray melengos kasar, lalu melihat sekitar.
"Ngapain lagi?! Elo pikir kita lagi main drama?! Bubar sana!" perintah Ray membentak, membuat para 'penonton' itu tersadar dan refleks menurut berlari kesana kemari dengan panik segera menuju kelas masing-masing atau kemanapun lah. Yang jelas segera pergi dari situ.
Gabriel menghela nafas, kemudian melangkah. Mendekati Sion. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam celana abu-abunya. "Berenti, Yon. Gue mohon. Belajar tahan emosi lo. Masalah ini adalah pelajaran," kata Gabriel datar, namun sarat nasihat. "Kalau ada yang bernasib sama kayak Alvin karena sikap lo, saat itu gue yang bakal benar-benar ngebunuh lo." Ucapan Gabriel datar. Tanpa ekspresi. Tanpa intonasi. Namun tegas dan serius. Sion makin menunduk menyesal. Ia benar-benar tak siap dicap pembunuh kalau benar nyawa Alvin akan melayang karenanya.
Gabriel mendesah lagi. Tangannya terangkat, merangkul pundak Sion dan menepuk-nepuknya. Ozy dan Ray yang melihat itu tertegun. Selalu begini. Gabriel pasti memaafkan teman-temannya tanpa memutus tali pertemanan. Memang tak salah smanra menyegani dan menganggapnya sebagai pemimpin sekolah.

***

Para murid kelas 12 IPS 3 memandang iba Shilla yang menangis di pelukan Angel. Zahra duduk di depannya, memegang sebotol air mineral yang tadi ditolak Shilla. Shilla terus menggenggam pin yang jatuh tadi. Tiba-tiba semua terasa menyesaki dada dan pikirannya. Semua kejadian itu, terutama di kelas ini, kembali terulang.
Kedatangan awal pemuda itu. Senyum tipisnya yang membalas pertanyaan malu-malu Shilla.
Perkenalan mereka yang tak semanis kisah novel namun menimbulkan kesan istimewa.
Pertengkaran pertama mereka yang membuat Shilla tak tahan melayangkan tamparan keras.
Permintaan maaf pemuda itu. Kedatangan mereka di Panti Asuhan bertemu keluarga Shilla. Percakapan di rumah pohon sambil menatap bintang.
Senyum malu-malu mereka jika saling tatap tak sengaja, ataupun cibiran dan debat mereka jika sedang bertengkar kecil.
Pertemuan dengan adik bungsunya. Pemuda itu yang membela dua adiknya daripada dia.
Kencan pertama mereka bersama Kekey. Senja dan es krim strawberry yang manis.
Kejutannya mendatangi rumah pemuda itu dengan membawa sarapan. Bertemu dan sarapan pagi dengan keluarganya. Kejadian 'hampir' mereka yang terhentikan atas datangnya Sivia yang membuat Shilla sempat merasa takut dan sedih mengira Sivia adalah kekasih pemuda itu dari Malang.
Pemuda itu yang akhirnya mengakui semuanya. Di bawah pohon besar depan danau. Pelukan hangat itu. Ucapannya yang keluar begitu saja mengutarakan perasaan. Hari jadian mereka yang spontan.
Tingkah keduanya yang menjodohkan Gabriel dan Sivia. Gelang spesial yang membuatnya pernah cemburu dan merasa tak dianggap.
Tingkah romantis pemuda itu yang pertama. Pin lukis cantik. Lagu Terbaik Untukmu dari Tangga yang merupakan pesan pemuda itu di radio yang mereka dengar.
Dan... pemuda itu yang langsung meledakkan emosi ketika pemuda lain menyatakan juga menyukai Shilla. Pemuda itu yang memang tak pernah bisa mengendalikan diri jika emosi, mengamuk dan bergulat. Menyebabkan dia....
Air mata Shilla makin berkejaran. Hatinya benar-benar kalut. Sejak kemarin tak ada perkembangan apapun. Bahkan Alvin belum sadarkan diri. Entah apa yang Sion lakukan hingga menyebabkan hal itu. Membuat Shilla semakin takut dan cemas.
"Shil, dia pasti baik-baik aja," kata Angel terus mencoba menenangkan.
"Tapi bentar lagi ujian, Ngel. Gimana kalau dia belum sadar? Gimana dia bisa ikut ujian?" tanya Shilla bergetar. "Aku takut..."
Angel makin mengeratkan pelukannya. Ia diam sejenak menggigit bibir, tapi tak bisa menahan air matanya ikut menetes. "Maafin gue Shil... Harusnya kemaren gue nggak emosi. Harusnya gue lindungin elo. Harusnya gue dan yang lain bisa nahan Sion sama Alvin dari awal. Maafin gue..."
Zahra yang mendengar itu menunduk, merasa ikut bersalah.
Shilla mendongakkan kepala dan menegakkan tubuh, memandang Angel yang hidungnya ikut memerah.
"Elo sobat gue. Gue nggak bisa liat lo hancur kayak gini. Maafin gue..." mohon Angel bergetar. "Kemaren gue kasar sama lo. Gue juga nyudutin elo. Maaf...."
Shilla tak bisa berkata lagi. Tangisnya makin keras. Ia langsung menarik Angel dalam pelukan erat. Zahra tak diam. Mendekat dan memeluk dua sahabatnya itu juga sambil terisak. Para murid 12 IPS 3 saling pandang sejenak, tapi entah mengapa mereka jadi saling meminta maaf satu sama lain. Ujian semakin dekat. Waktu mereka di putih abu-abu makin menipis. Tak seharusnya diisi dengan permusuhan yang memisahkan.
Ozy dan Ray terdiam di pintu kelas memandang itu. Keduanya menghela nafas panjang, lalu saling menoleh. Sejak kemarin, mereka tak ada bicara lagi. Ozy langsung pergi membawa Alvin ke rumah sakit, semalaman menemani Acha di sana. Lalu pagi tadi mereka tak sengaja bertemu dan langsung mendatangi Shilla dan Gabriel yang bertemu Sion.
Ray diam. Ia meneguk ludah sejenak, dan merasa agak canggung. "Eung... kita perlu pelukan sambil nangis juga nggak kayak cewek-cewek itu?"
Ozy terkekeh, lalu menepuk pundak sahabatnya itu. Ia diam sejenak, seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tak tahu berkata apa. Ozy menghela nafas sesaat. Dan menatap Ray penuh penyesalan rasa bersalah.
"Maafin gue."
Kini gantian Ray yang terkekeh. "Bener. Kita perlu pelukan," katanya langsung menarik tubuh mungil Ozy dan mendekapnya erat.
"Pake' nangis nggak?" tanya Ozy polos. Walau jelas suaranya mulai bergetar.
"Nanti aja kalau udah lulus," kata Ray asal sambil menepuk-nepuk pundak Ozy. "Kitakan premannya sekolah. Preman kok nangis," kata Ray sambil mendengus.
Ozy tertawa sambil melepaskan pelukannya. "Tapi mata lo berair tuh," ejek Ozy.
"Kelilipan!" elak Ray ngeles mengusap matanya. "Gue juga agak flu nih," sambungnya mendenguskan hidung. Ozy kembali tertawa. Tawa yang benar-benar ringan.
Sesosok tubuh tiba-tiba menyeruak mereka dan berdiri di antaranya sambil memasang wajah polos ingin tahu. "Gue ketinggalan apa nih? Kok roman-romannya couple kurcaci stres udah balikan?" goda Cakka memainkan alis.
Ray tersenyum, "Gue nggak mau Acha jealous. Sekarangkan gue yang kedua buat dia," katanya dengan nada sok sinis menyipitkan mata ke arah Ozy.
Ozy tertawa, "Sekarang Acha harus ngerti. Kalau elo, ataupun kalian, para sahabat gue, adalah yang nomor satu sekarang," ucapnya tersenyum lebar.
"Sepik lo," kata Cakka menjitaknya.
Ozy merintih sejenak, tapi kemudian tertawa kecil, "Udah lama nggak dijitak. Kangen juga gue," katanya nyengir.
Cakka dan Ray saling pandang sejenak, tapi kemudian tersenyum juga. Cakka merangkulkan tangan ke kedua teman di sisinya ini.
"Mulai saat ini, kita fokus ke ujian ya. Jangan berantem lagi," kata Cakka belaga sok pintar.
"Jangan pacaran lagi," ucap Ray dewasa sambil memicingkan mata ke arah Cakka dan merangkulnya juga.
"Jangan godain pacar orang lagi," sambung Ozy ikutan juga merangkulkan tangan ke pundak Cakka.
"Dan jangan berdiri di depan kelas lagi! Gue mau lewat!"
Mereka terkejut dan berbalik. Sosok jangkung Gabriel sudah kembali dari sebelumnya bicara berdua dengan Sion.
"Temen kalian lagi sekarat di rumah sakit, lah ini lagi rangkulan kayak di acara reuni SMA," sindir Gabriel ketus. "Duduk gih, ada yang mau gue omongin," kata Gabriel serius sambil berjalan ke depan kelas.
Ozy, Ray, serta Cakka saling pandang sejenak. Tapi mereka segera menurut. Ray yang sebenarnya murid 'salah kelas', ikut masuk dan duduk di atas meja dengan santai. Angel, Shilla, dan Zahra saling melepaskan pelukan ketika mendengar deheman Gabriel berdiri di depan kelas. Semua kini menatap lurus pada si penguasa sekolah itu.
Gabriel memasukkan kedua tangan di saku celananya. Ia diam sambil memandangi seluruh kelas perlahan, kemudian mendesah pelan.
"Gue udah buat keputusan. Terserah kalian mau marah, nggak terima, atau menolak hal ini," kata Gabriel datar, membuat semua hening dan mengerutkan kening. "Tolong umumin ke semua, khususnya adik kelas, karena sepulang ini gue bakal ke rumah sakit untuk temani Alvin," ucap Gabriel tegas. Yang lebih tepatnya memerintah, bukan minta tolong seperti kata yang ia ucap di awal. 
Shilla yang mendengar nama Alvin meneguk ludah getir sambil menarik isaknya. Tapi ia tetap memerhatikan Gabriel yang kali ini benar-benar serius.
Gabriel kembali memandangi kelasnya, yang menatapnya penuh perhatian dan tegang. Gabriel menarik nafas dalam, lalu mengucapkannya kalimat itu. Kalimat yang langsung dijawab desahan kaget dan mulut terbuka para murid kelas. Membuat mereka terpaku. Sementara Gabriel meneguk ludah sesaat, dan kembali mengulang kalimatnya. Kini jauh lebih tegas.
"Gue damai sama Rio Smanhar."

xxxxx

Haha okey thanks buat semua yg selalu support, entah dalam bentuk komentar atau ‘demo’ kalian yang luar biasa ya, meledak banget di mention hahaha thanks juga buat masukkan dan saran semuanya. PMB emang udah mau tamat and please don’t go away (?) stay di blog ya walau ada kemungkinan aku bakal ‘pindah’ blog di wordpress.
Aku juga mohon maaf pernah ngilang lama dari kalian hehe sorry ye tapi sekarang I’m back kok haha sorry juga setiap tanggal 13 gak pernah lagi dirayain utk anniv alders hehe but nanti tgl 24 April aku harap bisa bikin event karna itu perayaan tiga tahun PMB di blog! Iya, PMB udah 3 tahun dan still ngaret gak pernah end hahaha peace deh. Event tiga tahunan ini berhubungan sama PMB so follow @_Alders aja ya buat tahu infonya nanti.
Thanks untuk semua kesabarannya guys! Loplop xoxo

@aleastri

Nb: aku udah nggak pake bb, jadi buat alders yg masih mau chat atau curhat ke dm atau askfm aja ya




Kamis, 10 April 2014

Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 30A



 aku lagi mager banget ya bikin opening gitu, dan kalian pada demo -_- apalagi ini mau UN, jadi pasti makin lama lanjutnya jadi ya silahkan langsung baca aja ya okebye

***
 Part 30. Peace?

Derap lari yang memburu cepat membuat mereka tersentak dan menoleh. Mata mereka melebar, melihat sosok jangkung Rio berlari dengan wajah pucat dan cemas. Rio berhenti, tepat tak jauh di depan Gabriel yang bersama Sivia dan Shilla. Keduanya saling tatap. Dua musuh besar itu kembali bertemu. Bukan di lapangan basket atau area tawuran, namun di depan pintu UGD.
"Kak!" panggil Acha segera mendekat dan menghambur ke pelukan Rio.
Rio segera tersadar. "Apin kenapa?" tanyanya kembali panik. Acha tak menjawab, justru mempererat dekapannya dan menempelkan wajah di dada bidang Rio, kembali menumpahkan tangis. Aksi yang membuat Rio semain kalut. "Cha? Apin kenapa? Mana Apin?" tanya Rio hampir histeris.
"Dia bonyok," jawab Ozy mewakilkan, mengerti Acha sekarang hanya ingin menumpahkan perasaan pada sang kakaknya. "Cukup parah," sambung Ozy lirih.
Tubuh Rio mulai melemas. Acha segera menarik kakak tunggalnya itu yang hampir saja limbung. Rio mengumpat kasar, nyala di mata tajamnya langsung membara. "Siapa yang mukul dia?! Siapa yang buat dia kayak gini!?" marah Rio langsung tersulut.
Ozy terdiam. Ia meneguk ludah sesaat, "... anak smanra... Sion..."
Tangan Rio langsung terkepal. Emosinya naik begitu saja. Ia lalu membuang pandangan pada Gabriel yang hanya menatapnya tanpa ekspresi. Rio menatap Gabriel tajam, seakan meluapkan emosi melalui matanya bahwa Gabriel patut disalahkan karena salah satu anak buahnya berbuat seperti ini.
Gabriel mendesah pelan, mengerti. "Gue nggak tahu. Gue juga nggak nyangka dengan tangan kosong Sion bisa buat Alvin kayak gini," kata Gabriel cukup merasa bersalah.
Rio kembali kehilangan tenaga. Ia menatap pintu UGD nelangsa. Pemuda itu tak berkata lagi. Ia mengulurkan kedua tangan, kembali memeluk adiknya erat. Berbagi kecemasan amat besar bersama. Ingin sekali Rio menangis panik seperti Acha. Namun ia tahu diri. Air matanya disimpan rapat dalam bibirnya yang mengatup kaku. Membatin, pemuda itu berdoa. Tuhan... kalau bisa berlutut, mungkin Rio akan berlutut di hadapan-MU. Kali ini, tolong dengan sangat, kabulkan doanya. Jangan biarkan tubuh lemas tak berdaya itu berlama-lama menutup mata. Jangan biarkan ada luka parah di tubuhnya. Panjangkan nyawanya. Selamatkan dia.
"Kak..." bisik Acha bergetar pelan dalam dekapan Rio. "Acha mohon... berhenti berantem... Acha nggak mau liat Kak Rio kayak Koko..." pintanya sepenuh hati, seakan itu adalah permintaan terakhirnya. "Jangan tawuran lagi. Jangan emosian lagi. Jangan bandel lagi..."
Rio tak menjawab. Tenggorokkannya tercekat, seakan digumpali segenggam pasir. Rio juga pernah masuk rumah sakit karena bertarung dengan Gabriel dulu. Ia mengerti betapa menyiksanya tubuh ketika itu. Rio tak tahu Alvin separah apa, tapi Rio berharap semoga semua akan baik-baik saja. Tapi kini Rio mengerti satu hal lain. Bagaimana rasanya jadi Acha dan kerabatnya yang lain ketika ia masuk ke rumah sakit. Ternyata bukan ia saja yang berjuang, namun orang-orang yang menyayanginya juga berjuang atas rasa takut kehilangan. 
Pintu UGD terbuka, Sivia segera menepi diikuti yang lain menatap seorang suster yang baru keluar itu. Acha juga melepaskan pelukannya pada Rio dan mendekat, diikuti Rio yang berdiri di sisi pintu UGD. Berseberangan dengan Shilla.
"Lukanya cukup parah, mengenai beberapa bagian vitalnya," jelas sang suster jelas namun agak lirih, mengerti itu bukan berita baik untuk disampaikan. "Alvin belum sadarkan diri, tapi kami akan memindahkannya ke ruang inap."
Setelah itu sang suster mengangguk kecil pamit, dan kembali masuk ke dalam ruang UGD.
Rio merasakan tulangnya hilang entah kemana. Acha terduduk lemas di bangku depan UGD, setetes bening hangat meluncur di pipi bulat Sivia, sementara Shilla menempelkan dahi di dinding ruang UGD, kembali menangis takut.
Rio yang bersandar di dinding samping pintu UGD perlahan merosot kebawah. Pemuda itu menekuk lutut, dan memeluknya. Ia membenamkan kepala di sana. Tak tahan lagi. Perlahan, samar memang, bahu tegak itu bergetar. Tak bisa lagi sembunyi. Hati rapuh itu menampakkan diri, mengibas tirai arogan dan sikap kasar yang selama ini menopengi.
Gabriel dan Ozy yang melihat itu terkesima. Rio, yang biasanya selalu terlihat gagah dan masa bodoh berdiri angkuh di hadapan mereka, kini terlihat lemah tak berdaya. karena Alvin.
Gabriel meneguk ludah. Entah mengapa ia merasa amat sangat bersalah. Mengingat semua akar permasalahan ini. Permusuhan tak penting yang menyangkut nama pribadi, merambat ke tim basket antar sekolah, dan lalu meningkat menjadi permusuhan atas nama sekolah. Pada pemuda yang terduduk lemas di lantai di dekatnya, Gabriel tak tahu Rio juga merasakan penyesalan yang sama. Ingin sekali Rio menghantam tubuhnya sendiri. Merasa sangat bodoh dan jahat melempar sahabatnya sendiri dalam situasi seperti ini. Kalau saja tak ada permusuhan, mungkin Sion tak akan menghakimi Alvin seperti tadi. Dan kalaupun iya, para murid smanra yang lain bisa melindungi Alvin. Tapi karena dicap pengkhianat, mereka justru tak berbuat banyak sebelum Sion benar-benar menghabisi Alvin.
Andai saja tak ada permusuhan. Mungkin tak akan seperti ini...

x x x
Sivia mengeratkan genggaman pada kelima jemari Gabriel, membuat pemuda itu meneguk ludah namun masih diam. Sivia masih berdiri di sampingnya. Terus menunggu.
Mereka kini berada di koridor rumah sakit. Gabriel baru saja pamit pulang, tapi Sivia menghentikannya dan membuat sebuah permohonan. Gabriel sedari tadi diam, terus berpikir keras.
"Aku mohon..."
Kini sebuah kalimat bergetar itu tercetus. Tak lagi hening dengan genggaman lembut. Sivia benar-benar berharap.
Gabriel menarik nafas dan menghembuskannya panjang. Ia menggerakkan kepala perlahan, menatap Sivia yang kedua matanya sudah sembab. Gabriel menggigit bibirnya sesaat. Tapi kemudian menganggukkan kepala pelan sambil tersenyum tipis.
Sivia mendesah lega setengah mati. Ia segera menarik tangan Gabriel menuju parkiran.
Sementara di parkiran, Rio berhenti di depan Jazz putihnya. Acha sudah terisak sambil memegangi kedua tangan Rio yang dingin. Sama seperti Sivia, ia juga memohon.
"Demi Koko Alvin, kak..." pinta Acha bergetar. "Tolong..." Acha menarik isaknya, mencoba menormalkan suaranya walau ia merasa suaranya benar-benar lirih tak beraturan. "Acha nggak akan minta banyak hal lagi. Acha cuma mau, kali ini... Kabulin permintaan Acha... Acha mohon..."
Rio berdiri lemas di hadapan sang adiknya itu. Ia juga dapat merasakan kedua matanya mulai menghangat dengan hati berdesir luluh. Ia menarik nafas dalam, mencoba menghilangkan kesesakan amat dalam di dadanya. Dan ketika menghembuskannya, Rio dapat mendengar derap langkah mendekat. Membuat ia dan Acha mengangkat wajah.
Sivia dan Gabriel melangkah mendekat. Walau Gabriel jelas sekali langkahnya jauh lebih pelan dengan wajah canggung.
Acha terdiam. Ia mengusap kedua pipi basahnya, dan mendekat pada Rio. Rio melirik Acha. Dengan mata, Acha memberikan isyarat memohon itu sekali lagi. Seakan mengatakan bahwa ini saatnya Rio mengabulkan permohonannya.
Sivia berhenti di hadapan Rio dengan Gabriel beberapa langkah di belakangnya. Suasana terasa sangat kaku dan dingin. Apalagi langit telah gelap dengan angin berhembus perlahan, makin mendramatisir pertemuan kedua pemimpin dua kubu yang berlawanan itu.
"Harus ada yang kalian bicarakan..." kata Sivia serius, menatap Rio tepat dan penuh arti.
Rio terdiam sesaat, tapi kemudian mendesah pelan dan mengangguk kecil, "gue tahu," katanya serak.
Gabriel menunduk sejenak, tapi kemudian dengan tegas ia mendongak dan melangkah maju, tepat berhenti di hadapan Rio yang masih terlihat tak bersemangat sejak dari Alvin dipindahkan ke ruang inap.
Rio mendongak, menumbukkan kedua bola mata tepat pada mata elang Gabriel. Keduanya diam satu sama lain. Membuat Sivia agak meneguk ludah gentar. Acha juga tanpa sadar mencengkeram pelan lengan Rio.
Kedua musuh bebuyutan itu masih hening. Namun di detik yang sama, dengan suara yang sama-sama serak dan lirih, mereka membuka suara. Membuat Sivia merasakan bulu kuduknya meremang.
Keduanya mengaku kalah satu sama lain.

x x x

Rio mendesah berat untuk ke sekian kalinya. Keke duduk di sampingnya sambil menunduk. Sementara Debo, Lintar, serta Deva duduk berderet di depan Rio dengan mata menajam, namun juga sarat kecewa dan ketergunan. Acha sebenarnya ada. Namun ia tertidur lelah dan diangat Rio ke kamar, sementara Rio langsung memanggil kawan-kawannya. 
"Gue nggak tahu harus gimana..." komentar Debo setelah sekian lama diam. "Pengen nonjok elo, Yo. Tapi di sisi lain juga masih benci smanra..." kata Debo dengan nada kering.
Rio ditemani Keke, memang sudah menjelaskan semuanya. Rio tak tahan lagi. Permusuhan ini harus berakhir. Perkelahian itu harus dihapuskan. Kesekaratan Alvin menamparnya keras. Menyadarkannya bahwa tawuran hanyalah jalan menuju neraka.
"Gue memang egois... Tapi gue juga capek sembunyi. Kalian sahabat gue, kalian harus tahu ini," kata Rio lemah dan serak. "Dan gue sungguh-sungguh. Gue... trauma berantem. Gue nggak mau liat adek gue sedih lagi. Gue nggak mau liat orang tua gue susah lagi. Saudara gue yang cemas. Dan... gue nggak mau sahabat gue khawatir..." kata Rio mengingat kejadian semalam. Acha, Sivia, dan Shilla yang tak berhenti menangis takut dan terus melafalkan doa. Gabriel dan Ozy yang setia menemani dan khawatir. Ayah Alvin dan Oma yang kebingungan dan cemas. Serta dirinya, yang hampir frustasi belum ada perkembangan selanjutnya tentang Alvin.
"Gue bukan ketua kalian. Nggak pernah ada yang memutuskan atau pemilihannya, kan? Jadi sekarang gue serahin ke kalian. Untuk pribadi... gue mundur," kata Rio benar-benar mengaku kalah.
Keke mengeratkan genggaman pada jemari dingin Rio. Keke mengerti, betapa campur aduknya perasaan hati Rio mengucapkan kalimat itu. Rio yang tak pernah mau kalah dan arogan, untuk pertama kalinya mengalah dan menyerah. 
"Gue nggak mau liat ada yang kayak Alvin lagi. Cukup Alvin aja yang jadi korban, jangan nambah..." kata Rio bergetar. Ia menundukkan kepala perlahan, menunjukkan permohonan tak terucap itu. Membuat Debo dan yang lain nelangsa.
Debo, Lintar, serta Deva saling pandang. Mereka diam sejenak, kemudian menghela nafas di detik yang sama.
"Den... makanannya udah siap," lapor Mbok Ipah dari arah dapur. "Den Rio belum ada makan sejak pulang pagi tadi, Den Rio makan ya," bujuk Mbok Ipah takut-takut.
Rio diam, tak menjawab. Keke mendesah, lalu menoleh pada Mbok Ipah. Seakan memberi isyarat melalui tatapan. Mbok Ipah mengangguk mengerti.
"Mas Debo, Mas Deva, sama Mas Lintar, Mbok masak banyak, kalian makan di sini aja," kata Mbok Ipah menawari. Debo dan yang lain hanya balas tersenyum tipis. Mbok Ipah lalu segera pamit lagi ke dapur.
"Kak, aku ambilin makan ya?" bujuk Keke lembut. "Nanti kalau nggak makan justru Kak Rio yang sakit. Acha makin stres loh kalau Kakak sama Kokonya sama-sama sakit. Aku nanti bangunin Acha suruh makan juga."
Rio meneguk ludah, lalu menghela nafas. Namun tak sengaja matanya jatuh pada hapenya yang tergeletak di atas meja di depannya. Pemuda itu diam beberapa saat. Tapi lalu meraih hape hitam itu. Ada yang harus ia hubungi. Sekarang. Sesegera mungkin. Karena Rio takut terlambat. Selama ini ia tak memberitahukan apapun pada seseorang yang akan segera ia hubungi. Dan sekarang mungkin saat yang paling tepat untuk memohon kehadirannya kembali.