Jumat, 03 Mei 2013

CERPEN: Jatuh Cinta Di bawah Hujan



Tittle: Jatuh Cinta Di Bawah Hujan
Main cast: Angel, Gilang
Author: Aleastri

Hujan. Sialan.
Aku mengumpat super sebal. Oke, apa hari ini adalah hari tersialku? Oh salah. Mungkin bulan tersialku. Apa memang hidupku akan dipenuhi kesialan dimulai dari minggu ini? Oh, no.
Apalagi yang kurang? Aku terdampar di suatu daerah pedalaman yang bahkan aku sama sekali tak pernah datang kemari apalagi tahu namanya sebelumnya! Kemudian hari pertamaku di sekolah baru sungguh membosankan, dan warga sekolahnya mempunyai cara pandang sangat berbeda denganku! Dan lagi, kini aku disuruh ibu membeli sesuatu di pasar. Tapi di tengah jalan malah turun hujan deras dan aku harus berteduh sementara di toko tutup yang ada di pinggir jalan.
Lengkap sudah!
Pedalaman ini, adakah yang tahu? Ah, aku tak yakin. Ini Batu Sopang, atau kata ibuku orang-orang lebih menyebutnya Batu Kajang. Orang-orang mana nih bu? Pedalaman sini? Huft. Ini adalah kota -ops, desa maksudku- tambang di Penajam, Kalimantan Timur. Aku orang asli Balikpapan, harus pindah ke desa kecil ini karena kerja ayahku. Kami semua jadi ikut pindah kemari, meninggalkan Balikpapan yang sudah membesarkanku selama 15 tahun lebih.
Bayangkan. Balikpapan yang sudah super lengkap, semua tersedia. Aku bahkan tak perlu repot-repot keluar rumah untuk beli makan. Cukup pesan delivery, semua selesai. Aku juga tak perlu susah-susah naik motor, hanya naik ke mobil dan dibawa supir pergi, tak repot. Tapi ini? Uh shit. Apa ayahku sengaja ya agar anak-anaknya tak usah dimanjakan terus dan ikut merasakan hidup susah begini? Atau malah, jangan-jangan ayah turun pangkat lagi? OH NO. Jangan alasan terakhir. Jangan.
Tiba-tiba aku mendengar tawa kecil tak jauh di kiriku. Tubuhku sontak menegang. Dengan perlahan ku lirik. Samar, aku melihat seorang pemuda jangkung berdiri tak jauh dari tempatku, menatapku sambil tertawa. Aku mendelik. Kenapa dia?
"Kamu kenapa geleng-geleng sendiri? Pusing?" tanyanya geli membuatku agak tersentak.
Aku menoleh kanan dan kiri. Em, oke. Hanya ada aku dan dia. Jadi dia bicara padaku?
Em... wait. Apa tadi dia bilang? Geleng-geleng sendiri? Ah Angel bodoh. Apa yang tadi kamu lakukan? Apa karena lamunan kesal tentang kepindahan itu membuatmu stres? Argh!
"Kesel ya hujannya belum reda?"
Aku terkejut. Apalagi saat menoleh dia sudah datang menghampiriku. Aku segera membuang muka. Aduh. Aku belum tahu watak warga sini. Apa dia orang jahat? Apa di sini juga ada penculikan, perampokan, atau bahkan... pemerkosaan? KYAAA jangan yang terakhir Tuhan, jangan.
"Aku bukan orang jahat," ucapnya kalem, seakan membaca pikiranku.
Ku delikkan mata ke arahnya. Tapi diam saja.
"Kamu murid baru di SMA, kan?"
Aku mengangkat alis. SMA di sini memang hanya satu. Jadi dia tak perlu repot-repot menyebut SMA mana yang dimaksud. Aku hanya mengangguk pelan menjawab. Sekolah kecil begitu, ya tentu saja berita tentang anak baru cepat menyebar. Anak baru dari kota pula!
"Siapa namamu?"
Suara serak itu agak mengganggu. Please deh. Nggak usah bersikap sok kenal gitu.
"Angel," jawabku singat dan datar.
Dia seperti manggut-manggut. "Kelas X-2, kan?"
Aku mengangguk. Ku lihat hujan sepertinya mulai agak mereda. Baguslah. Aku tak suka berlama-lama mengobrol dengan orang asing tak dikenal. Apalagi orang desa seperti ini. Selama aku di sekolah baru, tak ada satupun orang ku temui punya jalan pikiran sama sepertiku. Orang desa dan orang kota memang jauh berbeda.
"Dari Balikpapan, kan?"
Aku kembali mengangguk. Bagus, langit gelap mulai terlihat cerah.
"Aku juga dari sana loh."
Dan kalimat itu membuatku langsung menoleh seketika. Mataku melebar. Sementara ia tersenyum dan mengangguk. Baru ku sadari setelah benar-benar memandangnya. Dia manis. Dengan lesung pipi di kanan. Laki-laki di sini biasanya berkulit gelap karena berada di daerah panas dengan tambang. Tapi pemuda ini kulitnya putih. Membuatku jadi tergeitik untuk bertanya.
"Siapa namamu?"
"Gilang," dia menjawab singkat, lalu tak lama menyambung. "Kelasku di sampingmu, X-3."
Aku membulatkan bibir.
"Aku pindah ke sini waktu kelas dua SMP. Mungkin alasan kita sama. Bapakku pindah tugas ke sini," jelasnya tersenyum.
Awalnya aku merasa pemuda ini sok akrab. Tapi ternyata senyumannya itu ramah dan bersahabat. Dia tak seburuk awal pikiranku tentangnya.
"Em, hujannya udah reda. Aku harus cepet pulang," pamitnya saat sadar hujan telah berhenti. "Bye Angel!" pamitnya ramah, kemudian berjalan menuju motornya yang tak jauh berada di samping motorku.
Aku memandangi kepergian pemuda itu. Sepertinya aku tak benar-benar sial.

***

Aku bingung kenapa semua orang berlari keluar kelas saat gerimis mulai turun. Tapi aku tersadar saat teman sebangkuku berkata bahwa mereka mengambil helm di parkiran. Ya, parkiran sekolahku tak beratap. Aku tersentak dan tersadar bahwa helmku ada di atas motor. Aku jadi ikut berlari keluar kelas menuju ke parkiran.
Setelah mengambil helm merahku, gerimis malah mulai deras. Aku berlari lagi. Tapi karena terburu, tanpa sengaja pundakku terbentur dengan pundak seseorang yang juga berlari mengambil helm. Tanah parkiran yang becek, membuatku terpeleset. Tapi refleks si penabrak itu menarik lenganku membuatku pasrah saat tubuhku tertompang pada tubuhnya. Membuat tubuh kami menempel. Dan kedua pasang mata kami bertemu.
Gilang...
Ini bukan adegan sinetron atau film. Sungguh. Ini kisah nyata, dengan saksi gerimis yang mulai berganti menjadi hujan seutuhnya.
Gilang tampak tersentak dan menyadari itu. Suara rintik makin ramai. Ia tanpa permisi -atau mungkin tanpa sadar- menarik pergelangan tanganku dan membawaku berlari. Aku hanya bisa pasrah sambil melindungi kepala dengan helmku. Ia menuju pos satpam tak jauh dari tempat kami tadi. Kami berteduh di sana dengan pakaian yang sudah setengah basah.
Ia nampak terengah-engah berlari sambil melepaskan genggamannya dan mendecak kecil melihat banyak bulatan basah di seragamnya.
Aku tanpa sadar memerhatikan pemuda putih ini. Ini pertemuan kedua kami. Juga karena hujan. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Jantungku berdebar kini. Rambut basahnya jatuh mengenai dahinya yang juga basah. Yang entah mengapa membuatnya terlihat bersinar. Ia mengacak-acak rambutnya, mencoba mengeringkan. Tapi gerakkan itu malah terlihat keren di mataku.
Oke, ini memang lebay. Aku bahkan baru pertama kali melihat laki-laki sampai seperti ini. Tapi kenapa dengan dia... berbeda?
Dia tiba-tiba menoleh padaku, membuatku agak tergagap dan dengan gugup segera membuang muka. Ku lirik, ada senyuman kecil di bibirnya.
"Kita ketemu lagi karena hujan," ucapnya memasukkan tangan di saku celana abu-abunya.
Aku mengangguk pelan dan menunduk. Tapi aku baru sadar. Sepatu kets oranye kesayanganku sudah kotor dengan lumpur menghiasinya. Oh no.
"Iyuh," gumamku mengangkat kaki. Oh God... jadi apa sepatuku ini?! Aku seperti pulang dari sawah.
Ku dengar Gilang tertawa, membuatku menoleh dan mendelik.
"Ya ampun, Ngel. Di sini tuh emang udah biasa kali. Makanya, nggak usah pake sepatu bagus-bagus deh. Kalau hujan ya pasti becek," katanya santai.
Aku merenggut, lalu mundur dan duduk di bangku yang ada di pos satpam yang kosong ini -em nanti dulu, aku baru sadar. Memangnya ini pos satpam ya? Bukannya sekolah ini tak punya satpam? Eng... Ah sudahlah-.
Aku melepaskan sepatu kananku, dan memasang wajah super jijik melihat sepatu yang sudah benar-benar tak layak itu. Kalau aku datang ke sekolahku yang ada di Balikpapan, pasti aku sudah ditendang karena tak pantas memakai sepatu begini. Iyuh.
"Sepatukan bisa dicuci, segitu amat sih," komentar Gilang duduk di sampingku.
Aku melengos kasar, "apalagi nih keburukkan dari tempat ini? Kalau siang super panas, kalau malam super dingin. Nggak ada mal, nggak ada delivery. Es krim aja nggak ada! Dan tanah becek, selanjutnya apa?!" protesku panjang lebar, kesal beribu kesal. Tapi aku juga heran. Kenapa aku bisa mengutarakan kekesalan pada pemuda ini? Padahal biasanya aku selalu diam seribu bahasa bersama orang-orang di sini.
Tapi diluar dugaan, Gilang malah tertawa.
"Awalnya aku juga kesel sama tempat ini. Sumpek banget. Tapi ya karena adaptasi, aku nyaman ada di sini," katanya diakhiri senyum.
"Kenapa kamu bisa betah sih?" tanyaku sambil memakai kembali sepatu zuper -karena melebihi super, jadi zuper- menjijikan itu.
Dia tersenyum, sambil bersandar di dinding bangku. "Di sini orang-orangnya nyenengin, Ngel."
"Apanya?" selaku tak setuju, "cara berpikir dan bahasanya tuh beda banget!"
Dia mengangguk, seakan mengerti. "Itu karena kamu sudah nolak keberadaan orang-orang di sini. Coba deh kamu membuka diri, pasti bakal tahu," ucapnya menoleh, kemudian tersenyum lagi. "Mereka itu masih apa adanya. Nggak kayak orang kota, yang sekarang hampir semuanya cuma pake topeng."
Aku terdiam.
"Mereka bilang apa yang mereka rasa, nggak munafik. Mereka juga sederhana, selalu terima apapun yang mereka dapat. Kalau orang kota, macet dikit aja ngomelnya udah panjang lebar. Di sini juga orang-orangnya bersahabat dan saling peduli. Sedangkan di kota, kalau nggak kenal ya udah nggak kenal. Mau orang itu jatoh, kecopetan atau apapun, ya itu urusan dia. Beda sama orang sini," jelasnya panjang lebar. "Di sini juga nyenengin kok! Ada bendungan, ada air terjun, ada puncak! Semuanya lebih alami daripada di kota. Yang alami itukan lebih asyik. Ya nggak?" tanyanya memainkan alis.
Tanpa sadar aku tersenyum.
"Dulu aku juga sama kayak kamu. Diem aja. Tapi karena berbaur dengan mereka, aku ikut jadi pribadi yang terbuka dan mau bergaul sama siapapun. Mereka juga banyak ngasih aku pengalaman dan pengetahuan baru, yang nggak pernah aku dapat di kota!"
Aku mendekat, menunjukkan aku tertarik dengan pembicaraan ini. Tak peduli pada hujan yang semakin deras. Ataupun pelajaran yang sedang berlangsung di kelas. Aku seperti tak mau pergi. Ingin selalu mendengarkan ceritanya.
"Ya emang sih, tambang buat tempat ini jadi panas. Bahkan banyak yang putih malah jadi hitam. Kamu hati-hati tuh," tegurnya menggerakkan dagu ke arahku.
Aku tertawa kecil. Kamu juga hati-hati Gilang, kamukan putih. Batinku dalam hati.
"Tapi Ngel, kita tuh harus bersyukur sekolah di sini. Karena aku dengar sih, lulusan sekolah sini bakal lebih diutamakan kalau ngelamar kerja tambang nanti!" ceritanya antusias, "kerja tambang itukan gajinya lumayan tinggi. Why not kita kerja di sini aja?"
Kerja di sini? Dengan tambang? Nggak deh...
"Kamu mau jadi apa sih nanti?" tanyanya seakan membaca pikiranku lagi.
Aku agak ragu menjawab, "penulis."
Jawaban singkat itu membuatnya terlihat agak terkejut, tapi lalu tersenyum. "Bagus tuh. Gimana kalau kamu tulis tentang kepindahanmu ke sini? Tentang keluhanmu tentang kota ini."
"Desa maksudmu?" ucapku meralat. Dia tertawa.
"Iya, desa Batu Kajang maksudku," katanya membenarkan.
"Em.... oke deh. Kayaknya seru," katanya jadi semangat karena mendapat ide tulisan. Aku menatapnya, dan mencoba tersenyum manis. "Thanks ya."
"Untuk?" tanyanya terlihat tak mengerti.
"Udah kasih aku bahan tulisan," jawabku ringan, "dan juga udah nyadarin aku bahwa aku harus membuka diri di kehidupan baru ini."
Dia mengangguk dan tersenyum. Dia memang senang tersenyum. Dan aku suka.
Eh?
Aku... suka?
Aku terdiam sendiri. Menatap pemuda manis yang masih tersenyum padaku ini. Aku pernah berkata pada ibu bahwa aku tak level dekat-dekat dengan lelaki di sini. Tapi pemuda ini... sepertinya telah bisa membuatku jatuh cinta.
Ternyata benar ya kata orang. Di balik kesialan itu terkadang ada keberuntungan. Dan mungkin itu yang ku rasakan sekarang. Tapi hari selanjutnya aku akan mencoba berbaur di desa tambang ini. Lagipula kita tak pernah tahu kelebihan dan kekurangan sesuatu saat kita belum benar-benar mengenalnya. Seperti Gilang. Aku tak pernah tahu bahwa pemuda ini mampu mencuri hatiku hanya dengan dua kali pertemuan. Dengan hujan sebagai saksinya.

*******

Hahaha. Maap ye kaga greget. Ini LAGI-LAGI atas request Arief yang minta cerpennya double. Ya udah aku tambahin ini. Awalnya tokohnya bukan anak IC, tapi jadi ku ganti karena kalian pasti protes klo tau siapa nama tokoh awalnya. Hihihi.
*liatkanankiri* semoga ga ada anak sekolahku yg baca ya. wkwkwk. Karena tokoh 'Gilang' di sini bisa dibilang setengah real (?) Dan tokoh Angel itu emang real. Iya ya ya ya ya. Awalnya emang sengak songong sombong belagu dan sebagainya. Tapi nggak lama dia sadar kok kalau dia harus membuka diri di lingkungan baru #inicurcol
Dan cerpen ini juga ngasih pesan ye! Untuk membuka diri sama lingkungan baru, dan jangan judge sesuatu sebelum tahu lebih lanjut! Jangan kayak penulisnya nih, yg jadi sempet dimusuhin satu sekolah gara2 ga mau bergaul (?) tapi ya alhamdulillah setelah kenaikkan kelas dan bertemu 'Gilang' akhirnya bisa berbaur bahkan kini punya banyak sahabat dan jadi diri sendiri di sekolah o:)
Cerpen ini special untuk seorang kakak kelas yang sekarang udah nggak deket lagi sama aku. Hehehe. Makasih atas nasihatnya saat itu. Lain kali pulang bareng yuk ke Balikpapan! Hehehe.
Juga untuk anak2 SMA N 1 Batu Sopang, khususnya XI IPA 1 yang udah buat aku jadi diri sendiri lagi! Jadi Ale yg gila dan heboh! Bukan Ale yg diem kalem ga banyak omong kayak awal pindah! Hehehe. Makasih! Muchlove banget karena tanpa kalian aku pasti udah frustasi terdampar di tempat yg sama sekali ga ku kenal. Terima kasiiiihhhhhh
Oke, ada request baru lagi? Oh ya. Yg Badai-Rasha-Gilangel disave dulu ya, aku usahain buat deh! Kalau selesai nanti aku post. Yg lain mau ikut mesen cerpen? Bisa :p

cheers!
@aleastri


CERPEN: Karena Aku Sahabatmu



Cerpen ini spesial teruntuk Gabriel Stevent Damanik dan para GabrielFC untuk lima tahunan kebersamaan kita. Hahahaha.

***
Kamu berubah. Ini bukan kamu. Di mana kamu yang dulu? Yang selalu menyampatkan diri menyapaku, menanyakan kabarku, dan berbagi cerita dengan riangnya? Di mana kamu yang dulu? Yang selalu mencoba menghibur ku walau aku tak sedang bersedih. Di mana kamu yang dulu? Yang selalu dewasa menanggapi sesuatu, tanpa merasa takut pada apapun.
Di mana kamu yang dulu? Bersembunyi di balik topeng 'pacar ganteng' kekasih barumu itu?
Sekarang aku mulai merasakan kamu selalu berusaha menjaga image. Selalu berusaha terlihat 'tampan' di depan kekasihmu. Tak pernah memedulikanku. Melupakan dan menjauhiku. Biar apa? Biar kekasihmu tak cemburu? Lucu. Tolong beritahu dia. Kita bersama sudah bertahun-tahun. Oh ya. Bukankah saat itu di awal dia mengatakan dia mengerti dengan kondisi kita? Lalu kenapa mendadak seperti ini?
Jangan membuatku jadi membenci kekasihmu. Dan parahnya, jangan membuatku jadi membencimu.

"Cindai?"
Cindai terlonjak setengah mati. Tubuhnya bahkan terloncat kecil dan sontak mendongak, dari awalnya khusyuk menulis di buku catatan oranyenya.
"Kenapa? Kok kayaknya marah gitu?" tanya Marsha, sahabat Cindai, sambil duduk di depan kursi Cindai. Ia baru saja datang dari kantin sambil membawa segelas plastik es cokelat. "Mata lo juga berkaca-kaca. Kenapa sih?" tanyanya khawatir, lalu menyedot es cokelatnya.
Cindai terdiam. Lalu menghela nafas panjang. Ia menatap Marsha lurus. "Gue mau bunuh Chelsea."
Marsha sontak tersedak. Es cokelat dari sedotannya sampai menyembur membuat Cindai refleks menarik tubuh menjauh.
Marsha terbatuk-batuk sesaat, lalu melotot menatap Cindai. "Lo gila!" desisnya tak percaya.
Cindai mendengus. "Sumpah, Sha! Ini udah di batas kesabaran! Gue emosi!!!" geramnya kesal. Kalau mengingat buku di depannya bukan 'buku keramat'nya, mungkin sudah ia jadikan pelampiasan amarah. Mengacak-acak kertas buku itu sambil mengamuk.
Marsha mendesah. "Udah deh, Ndai. Kemarahan lo nggak akan didenger Bagas. Berantem lagi yang ada."
"Ya karena itu!" Cindai menggebrak meja sambil berdiri. "Dia tuh udah dibutakan! Bahkan gue, temennya dari SD sampai dilupain sama dia! Lo pikir nggak nyesek? Sakit Sha!"
Marsha agak menarik wajah, dan mengerjap-ngerjap menatap Cindai yang sudah 'berasap'. Beberapa murid yang berada di dalam kelas menatap gadis itu.
"Gue yang selalu dukung dia selama ini! Gue yang selalu nyemangatin dia! Gue yang selalu ada! Tapi nyatanya? Di saat seneng dia nempelnya sama si sipit centil sialan itu! Bahkan dia belain cewek itu daripada gue!"
"Ndai, sabar Ndai, sabar," kata Marsha menarik Cindai duduk lagi. Ia memandang teman-teman sekelasnya, lalu nyengir. "Sorry, biasa. Efek tadi nggak ngantin nih. Hehehe."
Murid kelas 9B yang ada di sana saling pandang sesaat, tapi lalu kembali ke akitifas masing-masing, belaga tak mengerti. Walau mereka sangat tahu. Cindai marah karena Bagas jadian dengan Chelsea. Bukan karena cemburu. Jelas sekali. Karena yang mereka tahu, Bagas kini seperti melupakan Cindai, dan selalu menempel pada Chelsea. Bukan hanya Cindai, tapi hampir semua juga tahu, bahwa Bagas telah berubah.

***

Bagas mendesah, menatap gadis berseragam putih biru yang sedang menempelkan selembar kertas di mading sekolah. Ia menata kertas berwarna jingga itu, lalu berbalik dan kembali melangkah menuju kelasnya.
Bagas menunggu sampai gadis itu pergi, dan kemudian mendekat ke depan mading. Pasti cerpen baru. Gadis chubby tadi, Cindai, memang seorang penulis di sekolah ini. Cerpen dan puisinya sudah sering ada tertempel di mading sekolah. Bagas selalu membacanya. Dulu bersama Cindai, yang kemudian langsung mengomentari cerpen itu. Dulu.
Bagas membaca cerpen itu. Berjudul 'Kamu Telah Dewasa'. Mengisahkan tentang persahabatan dua remaja putri SMP. Salah satunya sudah mempunyai seorang pacar, dan membuatnya merasa ia sudah dewasa. Merubah segala hal. Dimulai dari bermain bersama, mengerjakan pr bersama, tertawa bersama, secara perlahan semua telah berkurang. Disibukkan dengan kegiatan bersama si pacar. Dewasa menjadikan dia jadi pribadi yang arogan. Hanya mementingkan diri sendiri tanpa memedulikan orang yang peduli padanya. Ia selalu menjadi baik di hadapan sang pacar, menomorsatukan sang pacar, dan selalu berada di samping sang pacar. Tak lagi memedulikan sahabatnya. Melupakan semua hal. Yang ada hanya pacarnya, pacarnya, dan pacarnya.
"Cara sindir ala Cindai banget," gumam Bagas membaca setengah cerpen itu. Ia kemudian mendesah. "Kamu nggak ngerti, Ndai..." bisiknya pelan, entah pada siapa.
"Bagas!"
Bagas agak terkejut. Ia berbalik, mendapati seorang gadis cantik oriental berambut panjang lurus tersenyum di hadapannya. Chelsea.
"Yuk ke kelas. PR metik nomer 7 aku belum. Hehe," kata Chelsea cengengesan.
Bagas diam sejenak, kemudian tertawa kecil. "Yuk," ajaknya kemudian menarik tangan Chelsea menuju kelas mereka.
'Aku sayang dia, Ndai,' batin Bagas melamun sambil melangkah. 'Dulu kamu selalu ngedukung aku, kan? Tapi kenapa sekarang nggak? Memangnya salah aku punya pacar?'

***

Chelsea mengangkat sebelah alis, membalas tatapan tajam seorang gadis manis bepipi bulat yang sedang duduk berjarak dua meja darinya di kantin sekolah ini. Ia bersama sahabatnya, sementara Chelsea bersama dua temannya.
Gadis itu. Yang jelas sekali terlihat tak menyukai Chelsea. Berawal dari kedekatan Chelsea dan Bagas sejak mereka sekelas. Chelsea tahu, Bagas dan dia berteman sejak dulu. Tapi ya tetap saja, kan? Gadis itu adalah seorang gadis. Tak ada hubungan darah dengan Bagas. Wajar kalau Chelsea merasa tak suka.
Gadis itu, Cindai, tak bisa mengalihkan tatapan. Apalagi sejak Chelsea balas menatapnya. Seakan-akan Cindai telah mengatakan apa yang ada di isi hatinya saat balas tatapan itu. Bahwa ia ingin, ingin sekali, teramat ingin, sangat ingin, ingin banget, kalau Chelsea menjauh dari Bagas sesegera mungkin.
Panggilan dari temannya membuat mau tak mau Chelsea mengalihkan pandangan. Cindai mendengus.
"Sha," panggilnya tanpa mengalihkan pandangan, membuat Marsha yang sedang melahap batagornya menoleh. "Bawa samurai nggak?"
Marsha langsung terbatuk-batuk. Ini sudah kedua kalinya ceplosan Cindai membuatnya tersedak. Ia memandang ke depan, melihat Chelsea yang sedang mengobrol bersama teman-temannya. "Nggak, cuma ada ini nih," canda Marsha mengacungkan garpu di tangan.
"Oke deh bisa. Sini," Cindai merebut garpu itu dan ingin berdiri.
"Eeeehhh," Marsha segera menariknya duduk, dan mengambil alih garpu itu segera. "Udah deh, Ndai! Gila ah lo!"
Cindai menghembuskan nafas keras. "Sha, gue tuh temenan udah lima tahun lebih! Wajar kalau gue nggak terima diginiin! Gue curiga kalau Bagas udah diracunin atau dipelet!" gerutunya geram dan tertahan, mengingat ini adalah kantin. Walau emosi, gadis itu berusaha menahan diri.
Marsha mendesah. Ini sekian kalinya ia mendengar omelan itu. Selalu begitu.
"Gue juga pernah kali pacaran sama si Ray! Tapi gue nggak lupain dia loh! Bahkan Ray sering marah karena gue mentingin dia. Gue justru malah bela dia! Karena dia sahabat gue!" marah Cindai tak tahan.
"Iya, Ndai. Gue gerti," kata Marsha menenangkan. "Udah deh, Ndai. Waktu itu aja lo berantem hebat sama Bagas gara-gara ini. Lo mau apa? Ngelabrak Chelsea gitu? Itu justru buat Bagas makin kesel sama lo. Mungkin sekarang Bagas udah bener-bener sayang," kata Marsha menasihati. "Lo harusnya ngedukung."
Cindai menghela nafas panjang, mencoba menyabarkan diri karena ia sadar bahwa ini masih di kantin sekolah. "Sha, gue udah dukung dia kok. Gue ngerti. Tapi ya nggak gini juga lah. Masa' dia nggak pernah nyapa gue, ngomong sama gue, ataupun main ke rumah gue. Mana pernah Sha! Lo terima nggak kalau gue gituin elo?"
Marsha terdiam. "Eung... ya nggak sih...." katanya mau tak mau membenarkan juga.
"Nah! Punya pacar buat dia ngelupain siapa yang selama ini ada buat dia! Gue doain deh shortlast!"
"Cindai ah!" tegur Marsha segera. "Bagas itukan sahabat lo, nggak boleh gitu."
"Gue emosi!" sahut Cindai ketus. "Sumpah ya, Sha. Selama ini, setiap gue marah ataupun kecewa sama Bagas, nggak pernah sampai kayak gini. Ini udah batas maks gue bete sama dia! Gara-gara apa? Gara-gara cewek yang belum ada satu tahun dia kenal!"
Marsha menghela nafas, "kalau menurut gue sih ya. Bagas hanya berusaha nyenengin Chelsea. Wajar Ndai kalau lo bersikap manis di depan orang yang lo suka. Gitu juga Bagas. Usia kita ini Ndai, awal dimana kita baru-baru ngerasain cinta monyet, naksir-naksiran, yang buat perasaan kita bahagia terlalu banyak, ataupun sedih berlebihan. Jadi lo ngerti kalau Bagas lagi bahagia di atas awan sama Chelsea, karena itu dia selalu mementingkan Chelsea daripada yang lain," nasihat Marsha panjang lebar. Ia menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dan melanjutkan. "Coba deh lo ingat saat lo suka sama Ray. Lo pasti mikirin Ray terus, kan? Pengen tahu dia lagi apa, khawatir dia lagi sama siapa, atau yang lain. Lo pengen liat dia seneng karena elo, kan? Dan saat jadian, lo pengen terus sama-sama Ray, kan? Lo seakan-akan nggak mau pisah, kan? Itu wajar, Ndai. Itu tingkah orang jatuh cinta."
Cindai terdiam. Seperti ditembak telak. Tak bisa membantah lagi. Marsha memang sahabatnya yang paling unik. Terkadang sering asal ceplos, tapi terkadang dewasa menanggapi sesuatu. Tipe sahabat baik yang dibutuhkan.
"Jangan salahin Bagas terus, Ndai. Biarkan dia bahagia. Nggak lama kok. Karena gue yakin, kalau nanti dia pisah sama Chelsea, yang dia ingat pasti elo. Orang yang selalu ada buat dia," kata Marsha menenangkan, lalu tersenyum. Dan kemudian kembali melanjutkan makan batagornya yang sempat tertunda. Membiarkan Cindai terdiam memikirkan ucapan-ucapannya.

***

Bagas mendelik. Dan tak lama raut wajahnya jadi kaku dan geram. Menatap gadis cantik itu, yang kini sudah berkaca-kaca di hadapannya.
"Maksud kamu apa sih?" tanya Bagas mencoba sabar, walau jelas sekali ia menahan amarah.
"Sorry, Gas..." kata Chelsea bergetar. "Aku nggak maksud. Tapi..." ucapan Chelsea terhenti sejenak. "Aku nggak bisa bohongin perasaan, kalau aku... masih sayang sama Arya."
Tangan Bagas terkepal. Ada sesuatu yang menancap dadanya. Sakit sekali. "Jadi... selama ini kamu masih sering berhubungan sama dia?" tanyanya serak dan datar.
Chelsea menarik kembali bulir hangat yang hampir menetes dari mata sipitnya. "I... iya..." ucapnya bergetar dan menunduk.
Bagas menghela nafas keras. "Selama ini, aku selalu coba jaga perasaan kamu. Aku nggak pernah sekalipun ngobrol sama Cindai padahal dia sahabat aku! Aku bahkan ngejauh dari Cindai karena kamu! Tapi kamu malah kayak gini?" kata Bagas tak bisa menahan diri. Jelas sekali terdengar nada kecewa dan emosi.
Chelsea makin menunduk. Air matanya mulai mengalir tak bisa dibendung. "Maaf, Gas... Maaf..." ucapnya tersendat dan bergetar.
Bagas menggelengkan kepala tak percaya, kemudian menghela nafas keras. "Kita putus," tegasnya tajam, dan kemudian segera berbalik pergi. Meninggalkan Chelsea yang menangis di koridor sekolah yang sudah sepi.
Bagas melangkah cepat dengan gusar. Ransel di punggungnya bergerak-gerak seiring langkahnya. Sekolah sudah sepi karena setengah jam lalu bel pulang sudah berbunyi. Ini hari Sabtu. Ada beberapa anak yang masih berada di area sekolah. Sekedar nongkrong ataupun latihan ekskul.
Bagas terus melangkah. Hatinya benar-benar retak dan hancur. Dan entah kenapa perasaannya membawanya melangkah menuju perpustakaan. Tidak. Ia bukan masuk ke perpustakaan yang diisi anak mading itu, tapi menuju ke belakangnya. Dimana ada botanical garden sekolah yang sejuk.
Mendengar suara langkah, Cindai sontak terlonjak dan segera menoleh. Ia makin terkejut, serta refleks berdiri. Menatap Bagas yang wajahnya kaku dan pucat, berdiri tak jauh di depannya.
Bagas terdiam. Tak bisa berkata. Hanya menghentikan gerak kaki dan terdiam. Ia tak tahu harus bagaimana. Dirinya juga bingung bagaimana bisa ia menuju kemari. Tentu saja di hari Sabtu begini, sepulang sekolah bukannya ikut ekskul, Cindai justru bersembunyi di belakang perpus. Di samping botanical garden yang sejuk. Ada meja dan beberapa kursi taman di sana, yang biasanya dipakai para penjaga sekolah dan tukang kebun untuk berkumpul ataupun merokok bareng. Sabtu jam sebelas seperti ini para penjaga sekolah dan tukang kebun sibuk, belum waktu mereka istirahat. Jadi Cindai selalu memakainya sebagai tempat menulis.
Cindai dapat membaca rasa sedih dan kecewa dalam mata Bagas. Membuatnya melangkah keluar dari belakang meja dan maju ke hadapan sahabatnya itu.
"Kenapa?" tanya Cindai khawatir dan cemas.
Bagas seperti ditampar keras. Nada itu. Ekspresi itu. Dari sahabatnya. Yang selalu ada untuknya. Yang selalu mendukungnya. Yang selalu menyemangatinya. Yang pernah ia lupakan.
Lutut Bagas melemas. Membuatnya luruh dan dengan perlahan berlutut, membuat Cindai terkejut. Pemuda itu menatap Cindai nanar sambil berlutut tepat di hadapan Cindai.
"Maaf..."
Kata itu terlontar begitu saja. Penuh getaran penyesalan. Penuh pilu dan rasa bersalah. Membuat hati Cindai terenyuh. Ia membeku, menatap Bagas dengan mata melebar.
"Aku sudah jadi sahabat yang jahat. Maaf..."
Bagas mengucapkan sepenuh hati, benar-benar menyesal. Membuat Cindai mendesah lega dan tersenyum haru. Ia menatap Bagas, dengan mata yang mulai berkaca.
"Lain kali, sadar diri biar nggak overdosis. Kamu kemarin mabuk," kata Cindai membuat Bagas mengernyit. "Mabuk cinta maksudku," sambungnya tersenyum menahan tangis.
Bagas tertegun sejenak, tapi lalu tertawa kecil. Cindai mengulurkan tangan, menarik pemuda itu berdiri kembali. Mereka berdiri berhadapan, saling menatap. Hening itu seakan telah bercerita, menjelaskan semua. Membuat Cindai mengerti, pemuda ini telah memutuskan hubungannya dan tersadar akan semua. Membuat Bagas juga mengerti, gadis ini pernah kecewa dan marah padanya, tapi tak pernah 'pergi'.
"Jangan berubah lagi," kata Cindai lirih, penuh permohonan.
Bagas tersenyum lembut, "maaf..."
Cindai balas tersenyum, kemudian mengacungkan kelingking kanannya. "Still amigo ya?" katanya tersenyum lebar.
Bagas tertawa kecil, lalu membalas uluran itu, mengaitkan kelingkingnya. "Amigo," ucapnya seraya tersenyum.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

EAAAAAAAA HAHAHAHA APAINI YA -_-
Ya gitu deh. Ini curahan hati ttg rasa kecewa dan marah buat abang kambing tercinta. Tapi ucapan Marsha di cerpen ini bener2 buat aku jadi sadar sendiri. Kalau emang harusnya kita ngertiin orang yg lagi 'fall in love'. Dia juga manusia biasa, juga ngerasain hal yg sama klo lagi jatuh cinta. Kita juga gitu kan?
Ya bukannya doain shortlast ataupun berakhir kayak cerbung ini. Klo dia baca, aku cuma mau dia tahu kalau kita, para fansnya, akan selalu ada buat dia walaupun dia udah pernah ngecewain kita. Kita akan selalu ada buat dia ya. Hehehe.
Dan buat my lovely kambing tersayang, walau lagi bahagia, please jgn nyuekin kita ya. Seenggaknya kamu kyak dulu, ngehibur kita walau itu hanya di timeline. Dgn twit kocakmu, ataupun dgn pendapatmu ttg sesuatu. Hihihihi. Tapi kalau memang kamu mau berubah jadi lebih dewasa, please berubah secara perlahan. Dan berubah ke arah yang baik ya. Biar banyak yg makin sayang sama kamu.
Udah deh gitu aja. Sorry ini cerpennya badai lagi. Nggak tahu mau couple apa bingung saya -_- masa AlieL? Kan ga cucok gitu. Hahaha. Eh, but. Buat yg bilang aliel aliel dan aliel, tengkyu loh! Hahaha aku aja kaget ada yg bilang gitu dan kini nyebar. wkwkwk.

cheers!
@aleastri ^^