Selasa, 26 Februari 2013

Bintang Super Mario Part 7


Maaf sebelumnya ini ngaret banget karena ada banyak kendala. So so sorryyyyyyy

Part 7: Kembali Pulang

Rio dan Ozy melangkah santai di koridor SMA Pelita pagi ini. Mereka memang pergi bersama. Menggunakan motor Ozy. Sebenarnya Rio punya kendaraan, namun pemuda itu lebih senang pergi bersama. Kalau kata Ozy sih, alasan Rio saja agak tak keluar uang bensin.
Tiba-tiba seorang guru muda berhenti di depan keduanya, membuat Rio dan Ozy yang sebelumnya berdebat, terkejut dan menghentikan langkah. Mereka sama-sama mengangkat alis tinggi melihat Miss Alya melipat kedua tangan di depan dada dan mefokuskan tatapan ke arah Rio.
"Morning Miss..." sapa Ozy mencoba menyapa.
"Pagi Miss," ucap Rio ikutan.
Alya tersenyum sekilas, lalu mendekat. Tertuju pada Rio membuat Rio menarik wajah sedikit, merasa curiga.
"Miss, nanti wali saya datang kok, tenang aja," ucap Rio sudah panik.
Alya tertawa, lalu tersenyum. Manis sekali. Membuat Ozy yang melihat itu melebarkan mata, menjadi terpesona.
"Tapi sebelum itu, boleh saya bertanya?" kata Alya membuat kening Rio berkerut. "Nama lengkap kamu benar Mario Bintang Haling, kan?"
Rio mengangguk mantap.
"Em... sebelum ke Manado, kamu pernah tinggal di Jakarta, kan?"
Rio tersentak, dan mengernyit. Ozy juga ikut mengerutkan kening.
"Kok... tahu?" tanya Rio perlahan. Ia memutar mata pada Ozy di sampingnya, lalu seakan berkata melalui tatapan, 'jangan-jangan dia fans gue Zy?'
Ozy yang sangat mengerti Rio, langsung melotot kecil dengan geram. Rio hanya terkikik kecil, dan kembali memandang Miss Alya. Tapi ia terkejut, kala melihat tatapan Miss Alya padanya. Menyelidik, tapi seakan ada haru di sana. Rio tak mengerti maksud tatapan itu. Ozypun juga jadi sangat penasaran.
"Em... saya boleh minta satu permintaan?" ucap Alya membuat Rio tersentak.
"Eee... apa Miss?" tanya Rio mulai menebak-nebak. Waduh. Jangan-jangan guru muda ini naksir padanya? Lalu ingin menjadikan dia pacar gitu? Apakah ia setampan itu? Haha. Eh tapi, bagaimana dengan Ozy? Nanti Rio malah dimusuhinya lagi kalau ternyata guru ini menyukai Rio.
Pikiran narsis Rio langsung pecah saat mendengar ucapan Miss Alya.
"Saya mau mukul kamu."
Mata Rio sontak membelalak, Ozy juga tenganga. Alya yang melihat itu justru meledakkan tawa mendapatkan ekspresi lucu dua anak muridnya ini.
"Ma... mau apa Miss?" tanya Rio sudah membelalak ngeri.
"Mau mukul," jawab Alya santai walau masih geli melihat ekspresi Rio dan Ozy.
Rio menarik wajah menjauh, sementara Alya kembali tersenyum.
"Serius. Sekali aja, saya mau mukul kamu," ucap Alya meminta ijin. "Untuk keinginan masa lalu yang belum tercapai," lanjut Alya menggumam, membuat Rio dan Ozy samar-samar mendengarnya. Keduanya jadi makin mengerutkan kening tak mengerti.
Rio meneguk ludah, lalu akhirnya mendekat, "ya deh Miss," ucapnya pasrah.
Alya tersenyum, lalu ingin mengepalkan tangannya.
"Tapi jangan keras-keras ya Miss," ucap Rio sebelum tangan Alya bergerak.
Alya tertawa kecil, dan mengangguk. Sedetik kemudian, sebelum Rio sempat menahan lagi, tonjokkan tangan Alya sudah mendarat di bahu Rio, membuat Rio menjerit tertahan sakit.
"Lebay lo!" protes Ozy yang sempat terkejut karena rintihan Rio.
Rio bersungut, sambil mengusap-usap bahunya yang mulai terasa berdenyut. "Aduh Miss... Mau lampiasin emosi ke saya ya? Keras amat."
Alya tersenyum, lalu kembali melipat kedua tangan di depan dada. "Selama sebelas tahun ini, kamu kemana saja?" ceplosnya tak bisa menahan diri.
Rio kembali mengerutkan kening, "maksud Miss?"
"Apa selama sebelas tahun ini kamu ada di Manado?" tanya Alya tak menghiraukan pertanyaan Rio.
Rio terdiam cukup lama. "Em... saya cuma sembilan tahun di Manado, kelas dua SD pindah dari Jakarta," jawab Rio.
Alya manggut-manggut. Ia diam sejenak, berpikir. Haruskah ia bertanya frontal pada pemuda ini? Tapi... Alya sebenarnya ingin diam saja. Memerhatikan bagaimana kisah ini akan berjalan. Tapi Alya sungguh penasaran.
Alya akhirnya hanya menghela nafas saja, "Oh ya. Istirahat nanti ekskul musik akan kumpul untuk data anggota baru. Kamu harus datang ya," tegasnya membuat Rio tersentak.
"Rio ikut musik?" tanya Ozy tak tahu menahu.
"Aduh... tapikan Miss..." ucap Rio ingin menolak.
"Mario, ini sebagai hukuman. Kamu, harus berduet dengan Alyssa," potong Alya tak mau dibantah.
"Ha? Duet?" Ozy melebarkan mata dan menoleh pada Rio tak percaya. Sekaligus kesal karena Rio sama sekali tak bercerita tentang ini.
Alya mengangguk tenang, "lagipula Rio katanya pintar nyanyi. Bukankah ini kesempatan bagus? Kamu harusnya bersyukur, karena Alyssa adalah murid yang sangat berbakat. Kamu beruntung nanti berduet dengannya."
Rio tersenyum masam.
"Dan pasti kamu akan berterima kasih pada saya suatu saat nanti," ucap Alya penuh arti.
"Hm. Iya Miss, berterima kasih karena dipertemukan satu panggung sama jelangkung sapi itu," gerutu Rio mendumel.
Alya tertawa renyah, 'bukan. Tapi berterima kasih karena kamu kembali dipertemukan dengan sahabat kecilmu itu,' batin Alya tersenyum memandang Rio.
Ozy yang melihat itu hanya diam. Walaupun ia agak merasa kesal pada Rio. Kenapa sih, di depan pemuda ini Miss Alya jadi sering tertawa? Apalagi kini Miss Alya tersenyum menatap Rio. Ck. Jangan-jangan Miss Alya menaruh hati pada Rio?

^^^

Ify menopang dagu dengan kanan kirinya, sementara tangan kanannya menggenggam sesuatu. Kedua mata beningnya terus tertuju ke sana, keluar jendela di sampingnya. Memandang jauh langit cerah hari ini. Ia kemudian menghela nafas, dan menggerakkan kepala ke kepalan tangan kanannya. Jemarinya terbuka perlahan, melihatkan sebuah gantungan kunci dengan bandul boneka Super Mario kecil. Bibirnya mencair, tersenyum tipis.
Ify menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia kembali menggenggam gantungan kunci itu, lalu kembali menatap langit.
"Gimana bisa lupa kalau kerjanya begini mulu?"
Ify terlonjak setengah mati, dan segera menoleh. Gabriel dengan santai kini menduduki kursi Acha yang memang kosong. Ia ikut menopang dagu, memiringkan kepalanya sedikit dan menatap Ify lekat. Membuat Ify merasa salah tingkah.
"Tiap hari liat langit, liat matahari, liat bintang. Itu semua tentang Rio, kan?"
Ify terdiam. Ia meneguk ludah sedikit, dan menunduk.
"Hm... jangan-jangan gue bakal nunggu sampai bulan jadi tiga nih," ucap Gabriel dengan nada menyindir.
Ify mendecak, dan membuang wajah kembali menatap langit. "Guekan nggak nyuruh lo nunggu," balas Ify.
Gabriel tertawa kecil. Entah mengapa sifat Ify yang ini yang membuatnya semakin ingin mengejar Ify. Sifatnya yang tak mau kalah dan selalu balas berbicara untuk membela diri.
"Gue udah nunggu bertahun-tahun, apa salahnya gue terusin?" jawab Gabriel santai.
Ify mengerucutkan bibir, "lo nggak capek?" sahut Ify.
Gabriel tersenyum. Tangannya mengambil dagu lancip Ify, dan menariknya lembut untuk menoleh ke arah Gabriel. Gabriel kembali tersenyum manis, membuat lutut Ify tanpa sadar melemas seketika.
"Emang ada alasan ya untuk berhenti nunggu lo?"
Ify membeku. Mulutnya terbuka sedikit, dengan tenggorokkan tercekat. Ia ingin bicara, tapi sepertinya suaranya sudah hilang entah kemana. Kedua bola mata teduh yang menatapnya lekat itu benar-benar membuatnya tak bisa berkutik.
"Masih pagi woy!"
Ify dan Gabriel terlonjak seketika. Keduanya menoleh, dan refleks membenarkan posisi duduk mereka. Tangan Gabriel yang memegang dagu Ify juga sontak turun dan kini berganti jadi menggaruk tengkuknya, merasa kikuk.
Acha tersenyum lebar di depan keduanya, "gue tahu, kalian lagi kasmaran. Tapi tolong ingat ya, ini kelas. Dan jam juga masih jam tujuh kurang. Masih pagi untuk pacaran. Oke?" ucap Acha dengan nada menasihati dan wajah serius.
Sontak, wajah Ify memanas dan memerah merona. Gabriel jadi makin salah tingkah sambil senyum-senyum tak jelas.
"Katanya, nggak jawab. Tapi kok bau-baunya udah jadian?" tanya Acha menyindir, karena semalaman Ify menelponnya, menceritakan -dengan sangat heboh- bagaimana pernyataan cinta Gabriel semalam. "Peje!" lanjut Acha memalak sambil menengadahkan tangannya.
Gabriel tertawa gugup, lalu menepuk telapak tangan Acha itu. "Pagi-pagi nggak usah gosip deh," ucap Gabriel sambil berdiri, dan beranjak. Tapi tangan Acha segera menahannya.
"Mau kemana lo? Setelah buat sahabat gue udah kayak kepiting rebus gitu, kini lo pergi gitu aja?" kata Acha membuat Ify melotot kecil.
'Acha sialan. Pipi gue merah ya karena dia,' umpat Ify dalam hati.
Gabriel membuang pandangan ke arah Ify yang kini jadi menunduk gugup. Refleks, Gabriel tersenyum senang melihat pipi itu merona merah. Membuat Ify terlihat seperti baru saja diambil dari dalam kuali.
Gabriel berdehem pelan, lalu memasukkan kedua tangan di saku celana abu-abunya, "gue ke meja gue ya Fy," pamitnya manis.
Ify makin terlihat salah tingkah. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.
Acha terkikik geli, "meja lo cuma sepuluh langkah dari sini pamitnya kayak mau kemana aje," goda Acha.
Gabriel mendelik kecil, walau senyuman di wajahnya belum hilang. Ia hanya menepuk poni Acha sekilas, membuat Acha merenggut. Lalu melangkah pergi menuju kursinya.
Melihat Gabriel sudah pergi, Acha segera melompat duduk di samping Ify, dan melepaskan tasnya. "Kata lo nggak jadian," bisik Acha segera.
"Emang nggak," jawab Ify santai lalu memasukkan gantungan kunci yang sedaritadi ia genggam ke dalam tasnya. "Kan gue udah bilang, tadi malam gue emang udah ngaku suka juga sama dia. Dan dia mau nunggu," ucap Ify pelan sambil memandang ke arah Acha.
Acha manggut-manggut, lalu geleng-geleng sambil mendecak-decakkan lidahnya. "Lo bener-bener kayak lagi ada di novel-novel Fy!"
"Kemaren lo bilang kayak di film," sindir Ify.
Acha meringis, "sama aja. Drama banget!" ejek Acha, Ify hanya mencibir saja.

^^^

Istirahat kali ini, ekskul musik berkumpul di ruang musik. Semua sudah berkumpul. Ify duduk di samping Gabriel, yang sebelumnya ia sempat mendelik melihat Rio ada di antara para anggota baru. Alya berdiri di depan kelas, dengan setumpuk formulir di tangannya.
"Bulan Oktober nanti akan ada pensi. Saya akan menyeleksi siapa saja yang akan tampil nanti, khususnya untuk junior kelas sepuluh," kata Alya memulai. "Tapi sebelumnya saya akan mengumumkan beberapa anggota yang sudah terpilih."
Gabriel menoleh pada Ify, lalu berbisik, "pasti kamu, kan?"
Ify melirik, lalu tersenyum saja. 'Iya. Tapi sekarang nggak sendiri,' batinnya menjawab.
Dari jauh, diam-diam Rio memerhatikan dua orang itu. Ia mencibir kecil, 'tu cowok pacarnya si jelangkung?' tanya Rio dalam hati, entah pada siapa. Tapi tak lama ia tersentak sendiri. 'Eh, apa urusan gue?' batinnya lagi.
"Nanti akan ada penampilan dari ketua kita, Alyssa," suara Alya kembali terdengar, sambil menoleh pad Ify yang duduk di barisan depan.
Ify tersenyum. Yang lainnya tak heran. Ya iyalah. Bintang sekolah itu pasti muncul. Acha yang duduk di belakang Ify mencolek-colek pinggang Ify. Ify hanya nyengir.
"Tapi kali ini dia akan berduet," kata Alya membuat semua hening seketika.
Ify melengos, sudah bersiap. Rio acuh tak peduli sambil belaga memerhatikan ruang musik seutuhnya. Gabriel mengangkat alis, baru ingat. Oh ya. Ifykan sudah bercerita bahwa ia akan diduetkan dengan anak baru itu.
"Dia akan duet dengan murid baru sebelas ipa tiga, Rio."
"Ha?!" Acha tak bisa menahan diri untuk tidak memekik. Karena Ify tak menceritakan hal ini. Beberapa yang ada di ruangan itu juga terkejut, ada yang mendesah kaget, dan membelalakkan mata menatap ke arah Ify dan Rio bergantian yang duduk berjauhan.
Mereka akan berduet? Mereka yang sempat menghebohkan kantin karena bertengkar seperti anak kecil merebutkan mainan itu akan berduet? Duet apa? Adu jotos di atas panggung? Atau malah saling bentak tak karuan? Miss Alya tak salahkah?
"Kalian kenapa? Kaget?" tanya Alya tenang, "nanti juga akan ada penampilan dari tiga senior kalian, Angel, Kiki, dan Patton," Alya segera mengalihkan pembicaraan. Tak ingin waktu istirahat yang sedikit ini habis hanya karena terkejutan tentang Rio dan Ify.
Alya lalu juga menjelaskan bagaimana konsep pensi nanti. Sambil melihat-lihat sekilas nama-nama di formulir yang ia balik-balik satu persatu.
"Jadi nanti mungkin akan ada grup yang....." Kalimat Alya memelan, dan terhenti. Ia terdiam mendadak, membuat para muridnya mengerutkan kening.
Alya membeku. Terpaku membaca nama yang ada pada formulir di tangannya. Alya menelan ludah, lalu mendongak. Kepalanya bergerak cepat, mencari. Dan terhenti. Pada seorang pemuda jangkung tampan yang duduk di samping Ify. Alya melebarkan mata, membuat pemuda itu mengerutkan kening tak mengerti mendapat tatapan aneh tersebut.
Alya kembali membaca nama itu. Gabriel Bintang Damanik. Bintang?
Oh. As. Ta. Ga. Kenapa Alya baru menyadari? Padahal selama inikan Gabriel adalah anak muridnya sendiri. Ia adalah wali kelas Gabriel. Tapi kenapa ia baru sadar, bahwa nama Gabriel itu adalah Bintang!
Alya menggigit bibir kuat. Akhir-akhir ini ia dapat melihat Gabriel 'dekat' dengan Ify. Walau Alya tak tahu apa hubungan kedua muridnya itu. Dan... apakah Gabriel adalah Bintang saat itu? Jadi, feeling Alya sebelas tahun lalu itu akan terjadi? Bahwa Bintang akan ada di tengah-tengah Ify dan Rio.
"Miss?"
Alya terkejut, dan sontak mendongak. Acha memanggilnya sambil terus mengernyit tak paham.
"Miss kenapa?" tanya Acha peduli. Yang lain juga menatap Alya dengan bingung tapi juga cemas.
Alya diam sejenak, sebelum akhirnya tersenyum. "Maaf," ucapnya singkat, "Tadi sampai mana?"
Semua saling pandang. Masih bertanya-tanya dengan keanehan guru ini. Sementara Rio geleng-geleng kecil. Sepertinya benar guru muda ini memang aneh.
"Sampai penjelasan tentang grup Miss," jawab Gabriel.
"Oh, iya," ucap Alya segera teringat. Ia lalu kembali melanjutkan. Alya menjelaskan terperinci tentang semua. Sampai akhirnya ia selesai juga.
"Ya, begitulah. Jadi besok kalian sudah ijin ke orangtua untuk pulang sore, karena besok kita akan mulai berlatih. Mengerti?" tutup Alya. Semua mengangguk menurut. "Oke, sampai jumpa nanti," pamit Alya beranjak. Ia menaruh formulir di atas meja, lalu berjalan keluar. Tapi sebelumnya ia jadi ingat dan kembali menoleh ke dalam. "Rio, ikut saya," tegasnya membuat Rio tersentak.
Rio meneguk ludah, tapi lalu berdiri dan menurut. Ify melihat itu, tapi diam saja. Satu persatu para anggota musik mulai ikut berkeluaran.
Gabriel berdiri, lalu melangkah ke meja di depan kelas. Ia melihat-lihat formulir, ingin tahu siapa saja yang masuk ekskul musik selain dirinya. Acha kini langsung duduk di kursi Gabriel tadi, dan menyerbu Ify dengan ribuan pertanyaan kenapa bisa berduet dengan Rio. Ify melengos, lalu mulai menjelaskan.
Gabriel terus melihat satu persatu. Sampai ia berhenti pada selembar formulir. Punya Rio.
Gabriel membaca formulir Rio. Dan baru saja di kolom pertama, Gabriel terdiam. Keningnya berkerut. Lalu kembali membaca. Hatinya mulai bergerak tak nyaman. Ia baca sekali lagi. Gabriel masih kurang puas. Ia memejamkan mata, lalu membukanya. Mungkin matanya salah. Tapi tetap saja. Tulisan itu tak berubah. Nama itu tak berubah. Sama. Persis.
"Bintang Haling?" gumam Gabriel tercekat.
Ia merasa bumi terbelah jadi dua seketika. Langit seakan runtuh begitu saja. Gabriel segera memperkuat genggaman di formulir itu, karena mendadak tubuhnya melemas.
Sial. Kenapa firasat buruk itu sering kali benar terjadi? Saat itu Gabriel sudah sempat menduga bahwa Rio adalah si Rio kecil Ify. Dan benar. Sial. Kenapa dia harus kembali di saat seperti ini? Sial.
Gabriel berkali-kali mengumpat dalam hati. Tanpa sadar ia meremas kertas itu. Padahal baru tadi malam Gabriel berhasil menyatakan perasaannya pada Ify. Padahal baru tadi malam Ify mengatakan akan berusaha melupakan Rio. Namun apa yang terjadi? Rio malah kembali. Oke, mereka memang tak saling mengenal. Tapi bagaimana kalau Ify akhirnya sadar? Posisi Gabriel sudah terdesak, apa kini jadi makin di ujung tanduk? Argh.
"Gab?"
Gabriel terkejut setengah mati, dan berbalik. Ia makin terlonjak melihat Ify berdiri tepat di belakangnya. Refleks, Gabriel menyembunyikan formulir Rio di balik punggungnya. Ify mengerutkan kening.
"Kamu kenapa?" tanya Ify peduli.
"A... aku..."
Belum sempat Gabriel selesai menjawab, mata Ify sudah menangkap tumpukan formulir di atas meja. Ia kemudian menjulurkan tangan, ingin meraih tapi tersentak kala Gabriel segera menahannya. Kening Ify makin berkerut.
"Gab? Aku harus ambil formulir itu," ucap Ify. "Miss Alya nyuruh untuk data semua dan diketik jadi absen ekskul."
Gabriel melebarkan mata, lalu meneguk ludah. "Loh? Eh... kok kamu sih yang ngetik? Kamukan ketua Fy."
"Sebenarnya sih Acha, karena dia seketaris. Tapi aku mau bantu. Jadi nanti kita ngetiknya berdua," jelas Ify. Acha yang namanya disebut jadi ikut mendekat.
"Ada paan?" tanya Acha ingin tahu.
Gabriel diam sejenak, lalu mencoba tersenyum tenang seperti biasa. "Gue aja yang ngetik absen deh."
"Loh?" Acha dan Ify sontak mengerutkan kening kompak.
"Em... iya. Gue aja, nggak papa kok," kata Gabriel sambil berbalik, merapikan formulir itu dan menggenggamnya.
"Tapikan... itu tugas gue. Gue aja. Lo kerajinan deh," tolak Acha.
Gabriel meringis, sambil mencoba mencari alasan lagi. "Ya... kasihan kaliankan harus repot-repot ngetik? Kalian juga harus latihan untuk pensi. Kaliankan senior, pasti bakal jadi penampilan utama. Jadi kalian fokus aja sama latihan kalian," ucap Gabriel panjang lebar.
"Apaan sih lo. Cuma ngetik sejam doang nggak capek tahu. Bilang aja emang lonya terlalu care sama Ify, makanya nggak mau Ify repot. Huuu," sahut Acha menyoraki. Gabriel meringis. Ify malah jadi tersipu.
"Tuh, lo tahu," jawab Gabriel tersenyum lebar.
Acha geleng-geleng, "efek jatuh cinta itu sedahsyat inikah?" godanya mengerling, "gue kayaknya nggak gitu banget deh," lanjutnya setengah bergumam.
Ify yang mendengar itu jadi tersentak dan mengerutkan kening sambil menoleh, "emang lo naksir siapa?"
Acha tersentak, baru menyadari sikap keceplosannya tadi. Ia merutuk diri dalam hati, lalu cengengesan tak jelas. "Balik ke kelas yuk! Udah mau bel nih!" ucapnya beralasan, lalu segera melesat kabur sebelum Ify sempat bertanya lanjut.
"Dasar aneh," gumam Ify melihat tingkah sahabatnya itu.
Gabriel tertawa kecil, "yuk bareng," ajaknya manis, lalu melangkah. Ify tersenyum kecil, lalu berjalan di samping Gabriel.

^^^

"Ini sudah jam berapa Mario?" tanya Alya tegas, sambil melipat kedua tangan di depan dada. Menatap Rio tajam yang sedari tadi berdiri di depan pintu utama sekolah bersamanya.
"Em... anu Miss... eh... yang datang Om saya," jawab Rio, "orangtua saya masih di Manado. Nah, Om saya tuh masih ngantor. Istirahatnya jam sebelasan."
"Dan ini sudah jam setengah dua belas," sahut Alya tajam, "saya sudah bilang, kan? Batasnya jam sebelas. Kenapa harus Om? Nggak ada tante atau nenek, atau siapalah."
Rio meringis. Dalam hati menjawab, 'ya cuma Om Adit yang bisa diajak kerja sama.'
"Em... bentar ya Miss. Saya panggil Ozy dulu," pamit Rio membuat Alya mendelik.
"Untuk apa?"
"Saya mau nelpon Om saya. Ozy yang punya nomornya."
"Loh? Kok Ozy? Kan Omnya kamu."
DUAR.
Mampus.
Rio merutuk diri. Merasa sangat bodoh mengucapkan kalimat itu. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Eung... gini Miss. Kan... si Ozy tuh tetangga saya, dan deket sama Om saya juga. Eng... terus... Ozy tuh sering smsan sama Om saya! Kalau saya jarang Miss, kan satu rumah," jawab Rio beralasan sambil cengar-cengir tak jelas.
Tapi tatapan Alya justru makin menajam, "untuk apa Ozy smsan sama Om kamu?"
'BEGOOO!!!'
Rio menjerit dalam hati. Rasanya ingin sekali memukulkan kepalanya ke dinding keras-keras. Ia memutar mata, mencari alasan lagi.
Alya mendesah keras, "ya sudah cepat sana! Saya masih harus mengajar," kata Alya tak sabar.
Rio tersentak, lalu segera menurut dan berlari pergi. Satu, ia bersyukur bisa lepas dari pertanyaan-pertanyaan Alya hingga tak ketahuan. Dua, ia memang harus segera menelpon Adit. Kalau tidak mau nanti bisa-bisa Alya meminta nomor orangtuanya. Ah. Jangan sampai deh.
Alya menghela nafas melihat kepergian anak muridnya itu. Ia lalu duduk di anak tangga depan pintu utama sekolah, sambil menunggu Rio. Tangannya merogoh saku rok hitamnya, lalu mengeluarkan segenggam permen cokelat. Alya mengambil satu, dan memakannya. Sementara sisanya ia masukkan lagi dalam saku. Ia menunggu Rio sambil mengemut permen cokelat itu.
Alya merasakan hapenya bergetar di saku blezer birunya. Ia merogoh, dan melihat pesan masuk. Bibir wanita muda itu tersenyum kecil, lalu membalasnya. Ia kemudian kembali memasukkan hape dengan perasaan yang mulai mengembang bahagia karena sms tadi.
Alya mengedarkan pandangan, dan tanpa sengaja melihat ke arah gerbang utama. Sebuah Mercedes Benz hitam melaju memasuki kawasan SMA Pelita, dan berhenti di depan parkiran. Alya sedikit mengerutkan kening, tak mengenali mobil itu. Tapi ia tak terlalu memusingkan dan kembali menunggu Rio yang tak kunjung datang.
Seorang anak perempuan bepipi bulat dengan tas ransel merah muda di pundaknya keluar dari Mercy hitam itu. Ia lalu mulai berlari ke arah pintu utama sekolah. Sementara Mercy tadi masuk ke dalam parkiran, mencoba mencari tempat parkir yang sudah penuh mobil dari para guru, staf sekolah, maupun murid.
Anak perempuan manis dengan seragam SD itu berlari senang dan antusias menuju sekolah tempat kakaknya menimba ilmu. Ia bersenandung kecil dengan riang, membuat Alya jadi menoleh dan mengangkat alis. Menyadari seorang murid SD sedang mendekat ke arahnya.
Tapi karena berlari sambil bernyanyi-nyanyi dan tak fokus, saat baru saja menginjak satu tangga, anak perempuan itu terjatuh. Membuat Alya terkejut dan segera mendekat.
"Aduuhhh..." rintih anak perempuan tersebut kesakitan memegangi lututnya yang berdenyut.
"Eh, sini sini tante bantu," ucap Alya menolong sambil membantu anak tersebut berdiri dan duduk di anak tangga ketiga. "Coba sini liat. Luka nggak?" tanya Alya simpatik.
Anak perempuan itu sudah mewek, lalu mengangkat sedikit rok merahnya. Ada sedikit memar di lutut kanannya, namun tak sampai membuka kulit.
"Kita ke UKS yuk. Biar tante obatin," bujuk Alya lembut.
"Nggak mau!" tolak anak perempuan itu segera sambil menggeleng cepat. "Sakit..." rengeknya merenggut sedih.
"Nggak kok. Kan nanti ada dokter, cuma dikasih obat merah aja," bujuk Alya masih bernada lembut dengan senyuman menenangkan.
"Nggak mau!" Anak perempuan bepipi bulat itu tetap menggeleng tak mau.
Alya menghela nafas, "ya udah deh. Kalau gitu..." Alya merogoh saku rok hitamnya, mengambil tiga bungkus permen cokelat. "Nih buat kamu. Tapi jangan nangis ya," kata Alya memberikan permen-permen itu di genggaman anak perempuan tersebut.
Anak perempuan itu menyeka pipinya dan menerima.
"Siapa nama kamu?" tanya Alya sembari mengusap pipi chubby anak itu.
"Dinda," jawabnya singkat.
"Kelas berapa? Ngapain kesini?"
"Kelas tiga. Mau ketemu kakak."
Kening Alya berkerut, "kakak?"
Dinda mengangguk, lalu melihat ke arah dalam sekolah. Ia melebarkan mata melihat sebuah mading kreasi menyambut di koridor utama, dengan didampingi lemari-lemari piala di kanan dan kiri dinding koridor. Dinda merasa tertarik. Rasa sakit yang sudah hilang, membuatnya bisa berdiri dan beranjak. Alya jadi terkejut. Dinda langsung berlari kecil memasuki SMA Pelita.
"Eh, mau kemana?" tahan Alya berdiri, memandang ke arah Dinda yang memasuki SMA Pelita dengan cueknya. Alya menghela nafas dan melipat kedua tangan di depan dada. Geleng-geleng kecil melihat Dinda yang kini memandangi deretan piala-piala prestasi SMA Pelita.
"Ehm. Permisi."
Sebuah suara berat yang tiba-tiba sudah ada di belakang Alya membuat Alya tersentak. Ia diam sejenak, lalu berbalik.

*****

Yak. Karena udah panjang banget jadi dipotong dua part (eh, kayaknya jadi tiga sih wkwkwk). Sorry ye. Hehe. Gimana gimana?
Gabriel kesannya agak.... em... antagonis ga sih? haha -,- Achanya keceplosan bilang dia lagi suka sama orang. haha. ini sebenarnya request biar ada couple buat acha. oke deh oke. Betewe, Ify sama Rio kapan nyadar ya?  Dan yang manggil Alya itu siapa? Ah. You know who pasti kan? Hahaha.
Part depan masih dengan judul sama, karena bagian B dari part ini. Bocorannya, bakal ada yang bawa bunga(?), bakal ada yang dihukum (wkwkwk), dan akan ada pendekar (?). Mau tahu kan? Iya aja deh! Baca part depan yaw. Bakal cepet post kalau dipromote :p
jangan lupa follow @_ALders ya! Disana bakal bahas BSM juga ;)

salam kece!
@aleastri

Persahabatan Musuh Bebuyutan Part 23


Ada kisah lain yang menarik. Kisah cinta selain dari para tokoh utama. Mereka merangkai cerita sendiri. Debo, si playboy yang bersahabat kecil dengan Ify, yang disebut-sebut sebagai princess smanhar; Cakka, playboy juga yang masih sangat mengharapkan kembalinya sang mantan; dan Gabriel, yang juga merupakan playboy yang tak tahu lagi seperti apa gaya pacarannya, yang sudah jatuh hati pada seorang gadis dari Malang.
Bagaimana kelanjutan kisah tiga playboy itu?

Part 23. Another Love Story

Aku ingin bercerita. Apa kamu akan mendengarkannya?

Pasti.

Kenapa begitu?

Akukan sahabatmu.

Apa setiap sahabat harus mendengarkan cerita sahabatnya?

Iyalah. Sahabat itu harus mau mendengarkan cerita ataupun keluhan sahabatnya. Bersahabat itukan berbagi. Jadi kita juga harus berbagi cerita masing-masing. Aku akan selalu siap mendengarkan ceritamu kapan saja. Dan juga pada sahabat-sahabatku nanti.

***

"Thanks kalian udah coba nenangin dia," kata Rio kala mereka duduk di pinggir lapangan basket.
Deva, Lintar, Rizky, Kiki, Zevana, Debo, serta Ify mengangguk-anggukkan kepala duduk lesehan di depan Rio. Acha dan Rio duduk di bangku, seakan seperti pemimpin. Ya, walau pada kenyataan memang Rio adalah 'pemimpin'.
"Ini idenya Debo," ucap Zeva menunjuk Debo. "Tapi karena sebagai cowok, Keke pasti canggung ngomong ke dia. Jadi Ify deh yang ditunjuk."
Ify mengangguk, "dia udah gue anggap adek sendiri kok. Kayak Acha," ucapnya tulus.
Rio menghela nafas, "Thanks ya De, Fy, kalian emang selalu ada buat gue," katanya tulus tersenyum tipis.
"Kitakan sahabat Yo," ucap Debo dan Ify kompak. Namun keduanya jadi sama-sama terkejut dan saling menoleh. Hanya sedetik. Karena berikutnya mereka langsung membuang muka.
Deva dan yang lain melihat itu dengan kening berkerut. Walau Acha dan Rio tak heran.
Rio tersenyum tipis lagi. "Kalian emang sahabat gue dari dulu. Dulu kita cuma bertiga, dan sekarang ditambah sama yang lain. Gue benar-benar bersyukur pernah kenal dan ketemu kalian semua."
Deva tertawa dan menepuk lutut Rio. "Lo kayak orang mau mati aja deh, Yo. Kita semua dari dulu emang bersyukur dan bahagia karena udah dipertemukan."
Rio mengangguk-angguk kecil, "kalian juga bersyukurkan sudah saling dipertemukan?" tanya Rio menoleh pada Debo dan Ify bergantian, membuat kedua orang itu terkejut karena tiba-tiba ditanya seperti itu.
Deva, Rizky, Lintar, Zeva, serta Kiki mengerutkan kening tak mengerti menatap Ify dan Debo bergantian. Kedua orang itu terdiam tak menjawab.
Acha menyenggol pelan Rio, menegur kakaknya itu karena telah mengorek luka lama. Tapi Rio hanya acuh saja. Toh itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Minggu depan mereka sudah akan try out terakhir. Masihkah kedua orang itu tetap seperti ini saja walau akan melepas masa putih abu-abu?
"Ehm. Eh, sorry, gue baru inget si Cahya nungguin gue di kelasnya. Gue kesana dulu ya," kata Debo beralasan sambil berdiri.
Ify meneguk ludah. "Gue ke toilet dulu," katanya ikut berdiri, dan segera pergi.
Debo yang belum beranjak, mendesah pelan tapi juga membalikkan tubuh dan melangkah menjauh. Berlawanan dengan arah Ify.
Semua yang tersisa di sana memandangi kedua orang itu bergantian.
"Mereka kenapa sih?" tanya Rizky tak bisa menahan diri untuk tak penasaran.
"Kalian nyadar nggak, mereka tuh nggak pernah teguran satu sama lain selama ini. Gue dari dulu heran kenapa mereka kayak orang musuhan, bahkan kayak nggak kenal," kata Deva ikut, "padahalkan kita sering ngumpul bareng."
"Dan juga... bukannya lo sahabatan sama Ify Debo dari dulu ya Yo? Berarti dari dulu mereka udah kenal, kan?" tanya Zeva juga tak tahu menahu.
Rio dan Acha saling pandang sejenak, lalu menghela nafas di detik yang sama.
"Memangnya kalian nggak tahu ya?" tanya Acha. Semua menggeleng kompak. "Em... karena Acha nggak tahu cerita jelasnya, lebih baik Kak Rio aja yang jelasin," kata Acha menunjuk Rio.
Rio agak tersentak, "ah nggak! Nggak ada bakat ngedongeng," tolak Rio mentah-mentah.
"Yah Yo... cerita dong, apaan sih?" desak Zeva memelas.
"Iya Yo, ringkas aja deh nggak usah panjang-panjang," kata Lintar ikutan. Yang lain juga begitu.
Rio terdiam agak lama. Ia menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya pelan. Semua menunggu dan mendengarkan dengan serius.
"Dulu... mereka pernah jadian."
"HA?!??"
Rio dan Acha sampai terloncat kecil mendengar jeritan spontan mereka. Bahkan Kiki, yan terkenal selalu bersikap tenang dand iam, juga ikutan menganga kaget.
"Jadian? Kapan?"
"Ify mantannya Debo?"
"Kok gue nggak tahu?"
"Sejak kapan mereka pacaran?"
"Putusnya kapan?"
"Mereka kenapa putus? Ada masalah ya?"
"Jangan-jangan Debo selingkuh ya Yo? Diakan playboy!"
"Atau jangan-jangan karena putus dari Ify, Debo jadi playboy?"
"DIEM WOY!!!"
Para murid yang duduk lesehan di depan Rio sontak menurut dan menutup mulut. Rio mendelik kesal ke arah mereka yang telah menyerbunya bertubi-tubi. Rio menghela nafas keras.
"Kalau kalian banyak ngoceh, gue nggak bakal lanjutin!" ancam Rio ketus.
"Eh, iya ya. Lanjut Yo, lanjut," ucap mereka segera menurut dan mengalah.
Rio menghela nafas panjang, lalu mulai menceritakan semua.
Entah mulai sejak kapan, Debo mulai merasakan hal berbeda kala melihat Ify. Tepatnya saat mereka menginjak bangku SMP. Saat mereka sedang mengalami masa puber dan awal-awal merasakan cinta monyet. Debo mengaku pada Rio bahwa ia mulai menyukai Ify. Dan Rio dengan santai memberitahukannya pada Ify saat itu. Ify sempat tak percaya walau pipinya memerah. Karena hal itu, Rio -dengan paksa- membawa Ify mendatangi Debo. Rio berkata Ify tak percaya bahwa Debo menyukainya. Debo awalnya salah tingkah, tapi mengaku. Ify yang memang juga rasakan hal sama, menerimanya. Mereka pacaran sejak kelas dua SMP. Semua berjalan bahagia dan baik. Tapi sampai kenaikkan kelas, tiba-tiba ada sosok lain datang. Riko namanya. Dia adalah teman SD Rio, Debo, dan juga Ify. Saat kelas enam dulu, Riko pernah mengaku menyukai Ify. Tapi karena mereka masih kecil, keduanya tak berani untuk berpacaran. Walaupun begitu, mereka sering diledeki teman-teman sekolah. Termasuk Rio dan Debo. Bahkan Rio sering kali mendorong Ify ke arah Riko. Dan saat itu tiba-tiba saja Riko ada di depan SMP mereka, yang langsung bertemu pada Ify. Riko mengaku datang untuk bertemu Ify karena rindu pada gadis cantik itu. Ia mengambil tangan Ify, menggenggamnya dan berkata bahwa ia ingin melanjutkan kisah cinta monyet mereka kala SD dulu. Dan tindakan itu tepat kala Rio serta Debo keluar dari sekolah. Mereka tersentak melihat Ify yang membeku dipegang tangannya oleh Riko. Debo langsung tersulut emosinya dan mendatangi dua orang itu. Perkelahianpun terjadi. Rio mencoba melerai. Tapi kemudian, Debo malah pergi begitu saja tanpa berkata apapun, Meninggalkan Ify yang menangis di sana. Setelah itu, keduanya tak pernah saling tegur. Mereka tak mau saling tatap. Di kelaspun Debo pindah tempat duduk jadi sangat jauh dari Ify. Jendela kamar mereka sama-sama tertutup rapat padahal rumah mereka berhadapan. Awalnya Ify mengira ini hanya waktu untuk saling menenangkan hati. Karena itu, setelah ia merasa semua mereda, Ify memberanikan diri bertemu Debo. Ia mencoba meminta maaf. Tapi ternyata Debo malah tak mendengarkan dan pergi begitu saja. Ify berkali-kali menjelaskan dan memohon, tapi Debo tetap keras kepala dan tak peduli. Itu adalah patah hati pertamya. Ia benar-benar merasa dikhianati. Karena, saat pertama kali hati tersakiti, lukanya sangat sulit untuk terobati. Semua juga tahu itu. Ifypun mengalah. Ia menyerah, dan akhirnya mengucapkan kalimat itu. Bahwa memang mereka harus berhenti di sini. Ify tak tahu, bahwa Debo sangat kehilangan sosoknya. Ia memang marah besar pada Ify, tapi rasa sayang pemuda itu juga tak kalah besar. Namun... ia meluapkan amarahnya itu dengan cara salah. Secara perlahan pemuda itu mulai berubah. Ia menjadi seorang playboy. Tak pernah serius menjalani hubungan. Ia tak mau tahu perasaan seorang perempuan. Tak peduli lagi. Hati pemuda itu sudah mati. Ify hanya memandanginya dari jauh. Tanpa pernah menegur sekalipun. Dan hal itu sampai berlanjut ke kelas tiga SMA sampai saat ini. Mereka tak pernah saling tegur sapa dan terus menghindar. Walau terus saja sekelas dan tak pernah terpisah, tapi mereka masih sama. Walau juga berkumpul di pertemanan yang sama, mereka seperti dua orang tak saling mengenal. Padahal dulu, Debo dan Ify adalah sepasang sahabat akrab yang dekat dan selalu bersama. Tapi kini keduanya telah berubah. Sama-sama 'keras'. Walau keduanya masih memiliki keinginan kembali bersama, tapi ego mereka terlalu tinggi hingga berusaha terlihat saling tak peduli.
Lintar, Zeva, Deva, Rizky, dan juga Kiki terdiam mendengarkan semua. Terkadang Zeva menutup mulut dengan telapak tangan. Mereka tak percaya dengan masa lalu dua sahabat mereka itu.
"Kita harus ngelakuin sesuatu, Yo. Mereka nggak bisa terus-terusan gini!" kata Deva memberi argumen.
Acha mengangguk-angguk setuju, "padahal dulu ya, mereka tuh dekeeeett banget. Kalau ngajak main Kak Rio, pasti datangnya berdua. Pokoknya, ada Debo ada Ify!"
"Tapi kita harus apa? Berapa kali gue coba buat mereka rukun," kata Rio putus asa.
Mereka terdiam. Sampai akhirnya senyuman lebar terngiang di wajah cantik Acha. Gadis itu menjetikkan jari dengan girang, membuat semua menoleh padanya dan mengangkat alis.
^^^
Gabriel, Cakka, dan Alvin menuruni tangga sekolah menuju kantin. Sampai mereka tak sengaja memandang ke ujung koridor, terlihat Ray berjalan dengan seorang siswi. Mereka diam sejenak, tak heran. Tapi...
Ketiga pemuda tampan itu menajamkan pandangan. Mereka membelalak kompak. Melihat siswi yang bersama Ray adalah Olivia, murid 12 IPS 2 itu. Mantan Ray yang superjutek dan pasti saja galak kalau Ray dekat-dekat dengannya. Tapi kini?
"Woy bro!" teriak Ray kala melihat ketiga sahabatnya itu. Ia menyeringai lebar, lalu menoleh pada Olivia dan berkata sesuatu. Setelah itu pemuda berambut lebat itu berlari mendatangi Gabriel dan yang lain yang masih tenganga tak percaya dan juga tak mengerti.
"Jangan lebar-lebar nanti lalat masuk," tegur Ray mengibaskan tangan di depan mulut ketiganya. Sontak, ketiga pemuda itu tersadar dan menatap Ray.
"Lo apain Olivia sampai luluh gitu? Wah... lo pelet ya jangan-jangan?" tuduh Cakka melototi Ray.
"Sembarangan lo!" sahut Ray balas melotot, "gue hebat, kan?" sombongnya sambil membusungkan dada dan menyisir rambut ke belakang.
Gabriel, Cakka, dan Alvin mendelik.
"Elo... jangan bilang udah...." kalimat Alvin terputus-putus sambil memicingkan mata ke arah Ray.
Ray tersenyum, lalu tertawa. "Iya bro. Gue balikan!"
"Serius lo?" mata Cakka kembali membelalak lebar. "Eh kok bisa? Kan dia pernah newain lo lagi selingkuh!"
Ray tersenyum menyeringai, "Gue udah insyaf jadi playboy!" ucapnya mantap membuat ketiga lain tenganga. Tapi detik berikutnya Gabriel dan yang lain malah tertawa geli, membuat Ray mendelik.
 "Yeee lo kira gue becanda? Beneran nih! Nggak gampang lo ternyata ninggalin dunia keplayboyan."
Gabriel, Cakka, dan Alvin makin tertawa ngakak.
"Ketawa aja terus. Lo pikir gue ngelawak? Pengorbanan gue berat bro! Ya... tapi hasilnya mantep sih. Oliv balik ke gue," kata Ray dengan akhir senyum lebar cemerlang.
Ketiganya jadi terdiam. Benar juga sih. Olivia bisa sampai luluh begini berarti Ray benar-benar serius.
"Em... oke oke. Gimana caranya elo yakinin dia?" tanya Cakka ingin tahu.
Ray tersenyum menyeringai lagi, sambil memasukkan kedua tangan di kantong celananya. Ia mulai berjalan. Gabriel, Alvin serta Cakka mengikuti di belakang dengan penasaran. Biasanya Gabriel yang berjalan paling depan. Tapi kali ini justru Ray.
"Gue yakinin dia mati-matian. Lo tahu sendirikan Oliv tuh juteknya minta ampun sama gue? Gue bahkan sampai mutusin semua cewek gue di depan dia. Dan lo harus tahu yang ini nih. Gue teriak gue sayang banget sama dia di kafe, men!" Ray cerita menggebu-gebu membuat Alvin, Cakka, dan Gabriel makin mendekat dengan antusias. "Hampir semua cewek yang lagi masa pendekatan sama gue ada di sono, dan mereka liat itu! Beuuhhh..." Ray menutup wajah dengan telapak tangan. Ia kemudian berbalik badan, menatap ketiga sahabatnya itu. "Finally, it's the end. With a happy ending love story," ucapnya bergaya lebay dengan senyuman lebar bahagia.
"Lo hebat," komentar Alvin takjub. Ray tertawa.
"Tuh Kka! Ray aja bisa, kenapa lo nggak?" kata Gabriel menepuk pundak Cakka membuat Cakka mengerjap dan tersentak.
"Alah, elo juga. Gimana sepupu gue mau sama lo, kalau elo masih ada di dunia ke-play-boy-an," kata Alvin menekankan kata akhir.
Gabriel menyeringai, "Sip! Gue bakal berusaha, Vin!" katanya penuh semangat sambil mengepalkan tangan, membuat Alvin agak mendelik.
"Kka, dengar ya. Perempuan tuh bakal luluh kalau elo nunjukkin ke dia lo bener-bener tulus sayang sama dia. Perempuan juga suka cowok yang mau berkorban demi dia. Gue rela ngelakuin apapun demi Olivia, karena gue bener sayang sama dia," ucap Ray memberi nasihat. "Lagipula, kadang kita memang harus mengorbankan banyak hal untuk dapatkan apa yang kita inginkan. Dan elo harus rela lakuin hal itu kalau mau balikan sama Oik."
Cakka terdiam dan tertegun. Tapi tak lama ia melengos panjang, "ada Agni. Susah," ucapnya lemas dan putus asa.
"Agni itu cewek!" tegur Ray menepuk lengan Cakka.
"Ya gue tahu! Sejak kapan gue raguin?" sahut Cakka agak ketus.
"Guekan udah ngomong sama lo. Kalau elo beneran tulus, cewek bakal luluh, bro. Dan kalau elo bener tulus sama Oik, Agni juga bakal luluh sama perjuangan lo," jelas Ray memberi semangat.
"Tapi... Agni tuh keras kepala," kata Cakka kembali lemas.
"Sekeras apa sih? Buktinya Irsyad bisa tuh luluhin dia," kata Alvin membuat semua tersentak.
"Oh, ya! Gue lupa. Irsyadkan pacarnya Agni!" kata Ray senang dan gembira. Ia lalu menoleh pada Cakka dengan mata berbinar. "Kalau gitu..."
"Ada Irsyad yang bakal bantuin lo luluhin Agni," sambung Alvin tersenyum.
Cakka tertawa senang, lalu tersenyum lebar. Ia bertos ria dengan Ray dan bersorak gembira.
"Ah! Gue harus kasih tahu Ozy!" ucap Cakka senang dan ingin beranjak, tapi segera ditahan Ray.
Ekspresi wajah Ray berubah seketika. "Nggak usah. Bikin capek elo."
"Kenapa?" tanya Cakka mengangkat alis.
"Gue padahal ngasih tahu pertama kali gue balikan sama Oliv ke dia. Tapi responnya datar aja," jawab Ray agak lesu. Cakka jadi terdiam.
Alvin menghela nafas, "udahlah. Nanti juga dia balik ceria lagi kok," ucapnya lalu kembali melangkah. 'Semoga aja,' sambungnya dalam hati tanpa ada yang tahu. Hanya pemuda itu. Tanpa berniat memberitahukan semua pada ketiga sahabatnya sendiri.
^^^
Gabriel melipat kedua tangan di atas meja, lalu menumpukan dagu di atasnya. Mata pemuda itu menatap hape yang tergeletak tak jauh di depannya. Ia diam. Terus diam. Sampai hape itu mendadak berdering, membuatnya agak meloncat kaget. Dengan cepat segera diraihnya smartphone itu. Tapi garis wajahnya mengendor seketika bukan sms yang ia inginkan yang datang.
Gabriel mendecak, tak berniat membuka apalagi membalas sms tak penting itu -ya tentu saja dari para perempuan loversnya-. Ia mendesah, dan kali ini bersandar di sandaran kursi belajarnya. Matanya kembali fokus menatap layar hape. Layar itu kembali nyala dan berdering, membuat Gabriel berdebar dan meraihnya.
Oh shit.
Sms itu lagi. Rasanya ingin sekali membanting hape ini. Kenapa sih yang diharapkan selalu saja tak pernah datang? Hape ini juga. Kenapa sms masuk malah dari yang tak diharapkan, sedangkan sms yang ditunggu entah sedang ada dimana.
Apakah ini karena sinyal? Ah bodoh. Ibukota begini kehilangan sinyal? Memangnya pedalaman apa.
Gabriel mendengus. Bertepatan kala hapenya berdering. Ia diam sejenak, memandangi hape itu sampai tak lama berhenti. Dengan malas diraihnya dan ditekan tombol kunci.
Sontak mata pemuda itu melebar dan segera menegakkan tubuh. Dibukanya segera sms masuk.

From: Alvin
Iya, dia lagi nyantai aja. Katanya, kalau lo mau sms, cepetan sms. Dia mau tidur. Kalau ga, ya terserah lo.
Tp knpa dia jd baik sama lo sih -_-

Gabriel refleks tersenyum lebar. Ia tertawa-tawa riang, lalu melangkah senang menuju ranjang dan menghempaskan tubuh di sana. Dengan segera ia membuat pesan baru. Tapi tak lama senyuman pemuda itu meluntur.
Nanti dulu. Mau sms apa nih?
Pemuda tampan itu memukul pelan kepalanya sendiri. Bodoh. Sekarang dia malah tak tahu harus memulai darimana. Ia mendesah, lalu mencoba mengetik. Tapi tak lama tangannya malah menghapus seluruh teks. Tak lama ia terdiam lagi. Mencoba mengetik, tapi tak lama dihapus kembali. Dan seperti itu terus menerus.
^^^
Sivia mengunyah snack di mulutnya sambil menonton layar televisi di depan sofa yang ia duduki. Perlahan, matanya agak bergerak. Melirik ke arah layar hape yang ditaruh di atas meja depan sofa. Ia menelan snack di mulutnya. Tapi lalu mendesah dan mencoba fokus menonton. Tapi tetap saja matanya tak bisa berhenti melirik ke arah hape.
Mana nih yang kata Alvin mau sms? Kok hapenya diam saja?
Em, wait. Untuk apa Sivia menunggu? Ah bodoh.
Sivia menggeleng sendiri dan kembali memandang ke layar televisi. Namun gadis itu malah jadi gelisah. Ditolehkan kepala pada Alvin yang duduk di meja makan sedang asik otp-an dengan Shilla. Sivia menghembuskan nafas, dan kembali melirik hape.
"Itung sampai sepuluh deh. Kalau nggak sms juga, aku tinggal tidur," gumam Sivia menatap hape. Ia menarik nafas dalam, lalu mulai menghitung sambil menatap hape dengan perasaan yang tanpa sadar jadi berharap.
"Sepuluh..."
^^^
"SEPULUH JAM JUGA NGGAK AKAN SELESAIIII!!!!" teriak Gabriel frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya, lalu menghembuskan nafas keras menatap hape. "Kalau gini terus sampai kapan gue bakal sms dia? Bego!"
Gabriel segera mengetikkan sebuah sms.

To: Sivia
Hei! :)
Lg apa? Hehehe.

Gabriel membacanya sekali lagi. Em, oke... kenapa dia memberi tawa di akhir? Ah sudahlah. Nanti malah jadi makin lama. Dengan cepat Gabriel menekan tombol send sebelum jarinya malah menghapus kembali pesan itu.
Dan di tempat si penerima pesan....
"Dua.... sa...." kata Sivia menggantung. Ia memandangi hape. Namun tak ada yang terjadi. Gadis itu agak kecewa, "sa..." diulanginya lagi. Tapi tetap saja tak ada yang terjadi. Ia menggeram sendiri. "Sa....." Kembali tak ingin kata itu selesai diucap. Tanpa sadar ternyata ia telah berharap diam-diam.
Hape mendadak berdering, membuat wajah Sivia langsung merekah.
"Satu! Satu! Pas banget sih itungannya Via," katanya girang pada diri sendiri.
Alvin yang sedang menelpon jadi menoleh mendengar seruan riang itu. Ia mengangkat alis kala Sivia membuka sms masuk. Sivia seperti tersenyum geli, lalu mengetik balasan. Alvin melebarkan mata. Eh eh eh eh eeeehhh kok sepupunya itu terlihat senang? Itu sms dari Gabrielkah? Jangan bilang kalau Sivia.....
"Vin!"
Alvin terlonjak kala ditelpon Shilla sudah memanggil dengan kesal. Ia mengomel karena Alvin tak mendengarkan. Alvin mengeluh sekilas, tapi alu kembali menanggapi kekasihnya itu.
Tanpa sadar, Sivia malah jadi larut sendiri. Ia terkadang sengaja membalas lama, tapi entah kenapa dirinya malah tak bisa menahan diri untuk tidak bergegas membalas.
Berkilo meter dari tempatnya, Gabriel terus saja tertawa-tawa sambil tersenyum-senyum. Tak memedulikan sejumlah sms dan telpon yang ia reject berkali-kali dari para gadis yang setia menantinya. Gabriel telah memutuskan untuk menjauh. Tak peduli kini mereka mau apa. Karena sekarang yang diinginkan Gabriel adalah Sivia. Dan ia harus mendapatkan gadis itu bagaimanapun caranya. Gabriel akan mengikuti cara Ray. Ia akan berhenti bermain-main dengan perempuan. Karena kini, pemuda itu telah menyadari bahwa ia benar-benar telah 'jatuh' pada gadis berlesung pipi sepupu Alvin dari Malang itu. Gadis ini menarik. Berbeda dengan gadis biasanya. Walau mereka baru pertama kali bertemu, tapi wajah cantiknya tak pernah sedetikpun pergi dari benak Gabriel. Apa ini yang dikatakan mabuk cinta? Apa ini rasanya 'gila' saat jatuh cinta? Ternyata... mengasyikkan juga ya?
Malam itu Gabriel tertidur pulas dengan senyuman tercetak jelas di wajah tampannya. Walau saat ia membuka mata ataupun menutup mata, tetap saja wajah gadis itu yang terlihat. Aneh ya? Apalagi saat tertidur seperti ini, Gabriel dapat bertemu dengannya dalam mimpi. Mengatur kisah manis berdua sesuka hati. Dan kini, sebuah sms terakhir dari gadis itu mengantarkan Gabriel dalam mimpi indahnya bersama gadis cantik itu.

From: Sivia
Oke, selamat tidur jga. Bsok aku tunggu.

xxxxx
SIVIAAAAAAAA  ("¬_¬)--o)*з*)ː̖́. Apa itu maksud smsnya coba?! Щ(ºДºщ)
*Ehm, maaf. Penulis randomnya udah parah*
Oke, back to story ya.
Ecieeee love seasonnya udah pada bersemi semua. Walau part-part sebelumnya ada dua pasangan yang berkabung(?) sekarang ada empat pasangan yang berbunga-bunga ecieeee
Debo sama Ify kayaknya bakal disatuin lagi tuh. Ray balikan sama Oliv ecie ecieee. Cakka lagi niat mau usaha balikan. Dan..... huuuuffftt Gabriel udah tahap smsan sama Sivia. Oh, cie. (-_-)
Part depan.... hm oke. Part 24. Kayaknya aku pernah bahas ini deh di salah satu part. Bisa dibilang spesial part untuk salah satu couple. Bukan, bukan. Bukan couple yg lagi didemo utk cepetan muncul lagi karena lama ga muncul *ifyouknowwhatImean*. Tapi couple lainnya. Yg agak nyesek bagi saya *mungkinadayangtahu* So, wait aja. Maap kemaren-kemaren ngaret. Akunya kembali drop nih u,u doakan kesehatan saya ya, semoga cepet sembuh juga penyakitnya pergi-pergi jangan kembali lagi (AMIN AMIN AMIIIIN)
Jangan lupa follow @_ALders . Udah bakal ada kuisnya loh! ;)

@aleastri ({})